Rabu, 10 Juli 2024

Penafsiran Dan Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Hukum Di Indonesia

Pendahuluan

Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasca amandemen. Sebagai negara hukum maka hukum harus dipahami sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri beberapa elemen, salah satu elemen peradilan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, seorang Hakim haruslah menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Akan tetapi apabila dalam hukum tertulis tidak ditemukan atau dirasa tidak cukup, maka Hakim dapat melakukan penafsiran hukum.

Secara yuridis maupun filosofis, hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penafsiran hukum atau penemuan hukum agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Penafsiran hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu.yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan hukum. Dalam upaya penafsiran hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Terlepas dari segala macam metode atau teori penafsiran di atas, suatu hal yang perlu menjadi perhatian serius adalah bahwa hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, adalah konsep yang berasal dari kata-kata yang dahulunya diucapkan oleh satu, dua, atau lebih banyak orang yang kemudian disusun dalam kalimat. Tiap-tiap perkataan itu di dalamnya mengandung beberapa atau bahkan banyak makna, sehingga hukum dalam konteks norma sesungguhnya adalah simbol-simbol atau tanda-tanda yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk pasal yang dituangkan dalam rumusan Undang-Undang Dasar, undang-undang, atau peraturan-peraturan tertulis lainnya.

Hukum yang tertulis dalam batas-batas tertentu dapat ditelusuri maksudnya, meskipun adakalanya ketika harus diterapkan pada suatu kasus dalam banyak situasi dan kondisi sosial ternyata tidak mudah. Korupsi, misalnya, adalah kata yang memerlukan kecermatan dalam penerapannya meskipun sudah jelas. Demikian pula kata “jasa” dalam konteks hukum, apakah orang yang menerima imbalan atas jasanya membantu memperkenalkan kepada panitera kepala pengadilan dapat dianggap terlibat dalam kejahatan, jikalau ternyata orang diperkenalkan itu kemudian menyuap panitera tersebut.

Dalam penerapan hukum selain penafsiran, seperti telah diuraikan sebelumnya, dikenal pula kegiatan penemuan hukum atau metode konstruksi. Metode ini digunakan ketika juris (hakim, penuntut umum, dan pakar hukum) menghadapi ketiadaan dan kekosongan aturan untuk menyelesaikan persoalan konkrit. Penemuan hukum secara lebih umum pada prinsipnya adalah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang ipaparkan dalam peristilahan hukum. Tujuannya adalah memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan dan mencari penyelesaian sengketa konkret. Tentang penemuan hukum ini sebagian pakar memisahkannya dari penafsiran hukum, sebagian lagi menganggapnya termasuk metode penafsiran hukum.

Konstruksi Hukum Dan Penemuan Hukum

Konstruksi hukum pada dasarnya dilakukan apabila terjadi beberapa hal sebagai berikut:

  1. Tidak ditemukan ketentuan undang-undang yang dapat diterapkan terhadap kasus yang terjadi;
  2. Dalam peraturannya tidak ada;
  3. Terjadi kekosongan hukum atau recht vacuum;
  4. Terjadi kekosongan undang-undang atau wet vacuum.

Untuk mengisi kekosongan undang-undang, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang. Artinya, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, namun hakim juga tidak mengabaikan prinsip hukum sebagai suatu sistem.

Sesuai dengan salah satu prinsip hukum, hakim terikat dengan asas bahwa hakim dilarang menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan hukum tidak ada, aturan kurang lengkap, peristiwa tidak diatur, melainkan hakim wajib mengadili perkara yang ada sepanjang perkara memenuhi syarat materiil dan sesuai dengan kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

Pada Keadaan ini, Hakim harus menggali dan menemukan nilai hukum yang ada di masyarakat. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.


Metode Konstruksi Hukum oleh Hakim


Mengenai metode konstruksi hukum yang digunakan hakim akan dijelaskan pada bagian ini, sebagai berikut:


Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)

Metode Metode analogi adalah metode penemuan hukum dengan cara mencari esensi yang lebih umum dari peristiwa hukum atau perbuatan hukum, baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya. Berdasarkan metode ini, peristiwa yang serupa atau sejenis yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. Dengan demikian, analogi memberi penafsiran pada peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut, sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan dapat dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.


Metode Argumentum a Contrario

Metode argumentum a contrario adalah metode penemuan hukum yang memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan jika undang-undang menetapkan hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tersebut. Maka, bagi peristiwa yang terjadi di luar peraturan tersebut berlaku kebalikannya. Ada momen di mana suatu peristiwa tidak diatur dalam undang-undang, namun diatur kebalikannya. Jadi, inti dari argumentum a contrario adalah mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan dengan pengertian kebalikannya.


Metode Metode Penyempitan atau Pengkonkretan Hukum

Dalam metode penyempitan hukum atau pengkonkretan hukum (rechtsvervijning), tidak jarang norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan terlalu luas dan terlalu umum ruang lingkupnya sehingga hakim perlu mempersempit makna tersebut. Metode ini bertujuan untuk menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, dan umum, agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.

 

Metode Fiksi Hukum

Fiksi Hukum adalah sebagai sebuah asas dimana semua orang dianggap tahu hukum (undang-undang), padahal dalam kenyataannya tidak semua orang mengetahui undang-undang, bahkan seorang pakar hukum pun tidak mungkin untuk mengetahui semua undang-undang yang ada. Pakar hukum hanya mengetahui hukum sesuai dengan keahliannya. Namun demikian, metode fiksi hukum ini sangat dibutuhkan oleh hakim dalam praktik peradilan, karena seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana tidak dapat berdalih untuk dibebaskan dengan alasan hakim tidak mengetahui hukum yang mengatur tentang kejahatan yang dilakukan pelaku.

Menafsirkan atau menginterpretasi intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami. Hakikat memahami sesuatu adalah yang disebut filsafat hermeneutika atau metode memahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu agar memahaminya. Dalam hubungan ini Ilmu Hukum adalah sebuah eksamplar Hermeneutika in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek kehidupan bermasyarakat. Sebab, dalam menerapkan Ilmu Hukum ketika menghadapi kasus hukum, maka kegiatan interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, tetapi juga terhadap kenyataan yang menyebabkan munculnya masalah hukum itu sendiri.

Dalam melakukan interpretasi tentu saja antara penafsir dan teks yang hendak ditafsirkan terdapat perbedaan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan atau ratusan tahun. Oleh karena itu, ketika melakukan interpretasi acapkali muncul dua sudut pandang yang berbeda antara teks yang hendak ditafsirkan dengan pandangan penafsir sendiri. Kedua pandangan itu kemudian diramu dengan berbagai aspek yang dipedomani oleh penafsir, yaitu keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.

Titik tolak hermeneutika adalah kehidupan manusiawi dan produk budayanya, termasuk teks-teks hukum yang dihasilkan olehnya. Hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, di mana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. Tujuan hermeneutika hukum itu adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang penafsiran atau interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya.

Dalam hubungan dengan penafsiran atau interpretasi, Alexander Peezenick menyatakan, “…statements are partly a result of the author’s philosophical background, partly a useful tool for political debate”. Pandangan konvensional dalam penafsiran undang-undang menganggap bahwa pengadilan harus berupaya menemukan tujuan atau maksud dari pembuat undang-undang. Penafsiran demikian sejalan dengan pandangan bahwa proses pembentukan undang-undang didominasi oleh kesepakatan nilai-nilai di antara berbagai kelompok kepentingan. Bagi pembentuk undang-undang, kesepakatan adalah produk tawar menawar (political bargain).

Metode serupa juga digunakan dalam penafsiran perjanjian-perjanjian perdata. Proses penemuan maksud pembentuk undang-undang, bagaimanapun, lebih sulit ketimbang menemukan maksud yang melatarbelakangi kontrak-kontrak perdata, sebab badan pembuat undang-undang memiliki ciri kemajemukan. Pernyataan-pernyataan pribadi anggota badan pembentuk undang-undang tidak bisa secara otomatis dianggap pengungkapan pandangan mayoritas yang paling mempengaruhi suatu undang-undang. Pendukung kelompok-kelompok kepentingan boleh jadi menyembunyikan tujuan yang sebenarnya dari legislasi.

Penafsiran konstitusi dilakukan mahkamah yang bebas, membantu dengan memberikan jaminan kebebasan bagi pengadilan dan menjalankan fungsi administrasi hukum dalam pengertian materiel. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi disebut hukum yang sesungguhnya (real law). Keputusan-keputusannya merupakan putusan yang murni bersifat hukum, di mana hakim-hakim tidak melakukan penemuan-penemuan di luar batas substansi hukum dasar, melainkan mengungkapkan makna essensi hukum sebagai suatu pendirian atau sikap. Hukum konstitusi tertulis juga tunduk pada perubahan, dan Mahkamah Konstitusi disebut pada tahap tertentu berperan dalam perubahan-perubahannya melalui pelaksanaan fungsi-fungsi yudisialnya.

Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia

Kekuasaan Kehakiman dengan para hakimnya diatur dalam BAB IX UUD 1945 Pasal 24 dan 25. Dalam penjelasan UUD 1945 dicantumkan, bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensi dari padanya ialah menurut UUD ditentukan adanya suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim.

Adanya suatu kekuasaan kehakiman (Badan Yudikatif) yang merdeka mandiri dalam melaksanakan tugasnya menandakan bahwa negara Republik Indonesia adalah suatu negara hukum. Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 1 (satu) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia”.

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 disebutkan. “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 menyebutkan, “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat”.

Berpijak dari Undang-Undang tersebut diatas maka dalam mengadili perkara-perkara yang dihadapinya maka hakim akan bertindak sebagai berikut :
  1. Dalam kasus yang hukumnya atau Undang-Undangnya sudah jelas tinggal menerapkan saja hukumnya.
  2. Dalam kasus dimana hukumnya tidak atau belum jelas maka hakim akan menafsirkan hukum atau Undang-Undang melalui cara/metoda penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum.
  3. Dalam kasus yang belum ada Undang-Undang/hukum tertulis yang mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 

Pada akhirnya hakim harus memutuskah perkara yang diadilinya semata-mata berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan dengan tiada membeda-bedakan orang dengan pelbagai resiko yang dihadapinya. Agar supaya putusan hakim diambil secara adil dan obyektif berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan, maka selain pemeriksaan harus dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum (kecuali Undang-Undang menentukan lain), juga hakim wajib membuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang dipergunakan untuk memutus perkaranya.

Demi mencegah subyektivitas seorang hakim, maka Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun tentu saja menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang baik dan benar yang sesuai dengan Pancasila dan According to the law of civilizied Nations.

Apabila hakim memutus berdasarkan hukum/undang-undang nasional, maka ia tinggal menerapkan isi hukum/undang-undang tersebut, tanpa harus menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat, karena hukum/undang-undang nasional adalah ikatan pembuat Undang-Undang (DPR bersama Pemerintah) atas nama rakyat Indonesia. Akan tetapi bila hukum/undang-undang tersebut adalah produk kolonial atau produk zaman orde lama, maka hakim dapat menafsirkan agar dapat diterapkan yang sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini. Dalam hal ini hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Demikian pula dalam hal hukum/undang-undangnya kurang jelas atau belum mengaturnya dan khususnya dalam hal berlakunya hukum adat atau hukum tidak tertulis, maka hakim perlu menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat, hakim harus menemukan hukum yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Dengan mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang baik dalam masyarakat untuk kemudian disaringnya menurut rasa keadilan dan kesadaran hukumnya sendiri, maka hakim berarti telah memutus perkara berdasarkan hukum dan rasa keadilan dalam kasus yang dihadapinya.

Seandainya dalam menemukan hukumnya, hakim berpendapat bahwa bila nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 atau perundang-undangan lainnya, maka hakim tidak wajib mengikutinya karena hakimlah yang oleh negara diberi kewenangan untuk menentukan hukumnya bukan masyarakat.

Bukankah putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yakni memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis. Yang dimaksudkan kebutuhan teoritis disini ialah bahwa menitikberatkan kepada fakta hukum beserta pertimbangannya maka putusan tersebut harus dapat dipertanggung-jawabkan dari segi ilmu hukum bahkan tidak jarang dengan putusannya yang membentuk yurispundensi yang dapat menentukan hukum baru (merupakan sumber hukum). Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan praktis ialah bahwa dengan putusannya diharapkan hakim dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maupun masyarakat pada umumnya karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum.

Karena itulah tugas hakim menjadi lebih berat karena ia akan menentukan isi dan wajah hukum serta keadilan dalam masyarakat kita, ia merupakan penyambung rasa dan penyambung lidah, penggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat, ia pula yang diharapkan oleh masyarakat menjadi benteng terakhir dalam menegakkan hukum dan keadilan dalam negara.

Pada kenyataannya hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sering menghadapi suatu keadaan, bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Bahkan seringkali hakim harus menemukan sendiri hukum itu dan/atau menciptakan untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus suatu perkara hakim harus mempunyai inisiatif sendiri dalam menemukan hukum, karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak lengkap atau hukum samar-samar.

Masalahnya sekarang, bagaimana membuat putusan yang baik agar dapat menjadi referensi terhadap pembaruan hukum, dalam era reformasi dan transformasi sekarang ini? Untuk itulah hakim harus melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori hukum, filsafat hukum dan sosiologi hukum. Hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara normatif (yang terlihat) saja. Dia dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas dan lebih jauh kedepan. Dia harus mampu melihat hal-hal yang melatarbelakangi suatu ketentuan tertulis, pemikiran apa yang ada disana dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu.

Mengapa penemuan hukum diperlukan? Hakim dalam pemeriksaan dan memutus perkara ternyata seringkali menghadapi suatu kenyataan bahwa hukum yang sudah ada tidak dapat secara pas untuk menjawab dan menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Hakim harus mencari kelengkapannya dengan menemukan sendiri hukum itu.

Kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup akan keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang selengkap-lengkapnya dan yang sejelasjelasnya. Oleh karena hukumnya tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.

Untuk itu, hakim harus menerapkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undang yang mencakup dua aspek hukum: pertama hakim harus menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, akan tetapi apabila hukum tertulis tersebut ternyata tidak cukup atau tidak pas, maka keduanya barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukum itu dari sumber-sumber hukum lainnya. Sumber-sumber hukum tersebut adalah yurispundensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.

Penafsiran hukum hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu.yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan hukum. Dalam upaya penemuan dan penciptaan hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat ditemukan beberapa prinsip sebagai berikut:

  1. Putusan pengadilan adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip ini diambil dari alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang berisi lima dasar negara yang disebut Pancasila. Prinsip ini merupakan landasan filosofis setiap hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara.
  2. Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas atau prinsip ini terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan pasal 29 Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Dalam prakteknya kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dijadikan kepala putusan (irah-irah) dalam setiap putusan Pengadilan, jika tidak maka putusan tersebut tidak mempunyai daya eksekutorial.
  3. Prinsip Kemandirian Hakim. Prinsip ini tertuang dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 Jo. Pasal 1 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Dalam penjelasan terhadap pasal 1 tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan extra judisialkecuali dalam hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, sedangkan pasal 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, menegaskan hakim harus bersikap mandiri.
  4. Prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara. Prinsip ini tertuang dalam pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
  5. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip tersebut di atas dimaksudkan agar putusan hakim dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.

Selanjutnya, mengingat selain sistem hukum Eropa sebagai warisan zaman penjajahan sebagai hukum positif maka di negeri ini dikenal sistem hukum adat dan sistem hukum Islam, maka pengertian nilai hukum yang hidup dalam ketentuan diatas haruslah diartikan, nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum Islam.

Kesimpulan

Penafsiran hukum (interpretasi) adalah sebuah pendekatan pada penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidak-lengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya. Hakim menemukan hukum itu untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Penafsiran merupakan kegiatan yang sangat penting dalam hukum.

Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks hukum untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkrit. Di samping hal itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang-Undang Dasar. Hakim dalam hal ini mempunyai wewenang yang sangat luas dalam hal menafsirkan peraturan yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim lain untuk memutuskan perkara.

Secara yuridis maupun filosofis, hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penafsiran hukum atau penemuan hukum agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua hakim dalam semua lingkungan peradilan dan dalam ruang lingkup hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi atau Hakim Agung.

Penafsiran hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu.yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan hukum. Dalam upaya penafsiran hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar