PENDAHULUAN UNTUK PENJELASAN
Pertama-tama perlu dicatat dan diingat bahwa karya “Parlemen
Atau Soviet” ini dituliskan Tan Malaka di Semarang, Oktober 1921. Artinya: 66
tahun lalu (1921-1987) atau lebih dari setengah abad. Dalam edisi ini istilah
sengaja tidak dirubah, untuk menunjukkan keasliannya.
Namun demikian diberikan kata pengantar “Beberapa Catatan”
(pada halaman I) oleh seketariat Departemen Pendidikan Kader Dewan Partai
Murba, pada penerbitannya tanggal 15 September 1961, tepat 25 tahun atau
seperempat abad yang lalu. Disamping itu dilengkapi dengan KOSAKATA, pada
halaman 171 - 181 untuk memberi keterangan mengenai kata, istilah atau ungkapan
dalam buku ini, agar dapat membantu para pembaca - terutama dari
generasi-generasi muda - untuk dapat memahami isi buku ini lebih baik.
Berpangkal tolak dari penjelasan di atas pembaca diharap
menempatkan isi buku ini sesuai dengan zaman ketika karya ini ditulis. Pembaca
juga jangan melupakan pada usia berapa Tan Malaka menghasilkan karyanya ini.
Ialah pada usia muda, baru 24 tahun, karena dia dilahirkan di Suliki, Sumatara
Barat, tahun 1897.
Buku ini ditulis setelah Tan Malaka baru saja dua tahun
sebelumnya, ialah tahun 1919, kembali dari Negeri Belanda belajar di
Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Negeri) di Haarlem untuk menjadi guru
mengajar anak-anak buruh perkebunan Senebah Mij, Deli Serdang, Sumatera Timur,
dan kemudian pindah ke Semarang tahun 1921, bergerak dalam bidang pendidikan
rakyat sebagai guru sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam Semarang dan VSTP
(Sarekat Buruh Kereta Api), yang dipimpin oleh Semaun.
Sesuai dengan masa penulisannya dan usia penulisnya, maka
isi dan sifat buku ini berlaku sebagai pengenalan sejarah badan legislatif,
pendalaman hakekat masalahnya dan perkembangannya, serta perbandingan dan
peneracaan untuk Indonesia dalam kerangka sejarah politik dan kepartaian yang
ada, dengan kacamata penglihatan 1921.
Dengan memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal di atas
ini, pembaca akan dapat memahami isi buku ini sesuai dengan keadaan zamannya
dan proporsi tingkat pertumbuhan pikiran penulisnya.
Karena keadaan berkembang terus sesuai dengan kodrat dan
hukum sejarah. Dan pikiran Tan Malaka juga tidak berhenti sampai di situ saja,
melainkan menjadi makin matang dan makin kaya sejalan dengan pertumbuhan
pengalamannya dan keadaan sekelilingnya, di dalam maupun di luar Indonesia.
Hindia Belanda tidak memberi kesempatan Tan Malaka mengembangkan diri di tanah
airnya sendiri.
Tahun 1921 itu juga Tan Malaka juga aktif dalam perjuangan
buruh. Dia pernah menjadi wakil ketua Serikat Buruh.Pelikan (tambang) Cepu,
yang didirikan Semaun. Dalam tahun ini pula Kongres PKI memilihnya menjadi
ketua mewakili Semaun yang sedang berada di luar negeri. Karena kegiatannya
yang terus meningkat, hingga melibatkan diri dalam pemogokan buruh, maka
tanggal 2 Maret 1922, Tan Malaka akhirnya ditangkap dan dibuang ke Kupang
(Timor); tapi kemudian dalam bulan ini juga keputusan dirubah menjad
“externering” atau pengasingan ke Negeri Belanda.
Baru hanya sekitar satu tahun saja Tan Malaka mulai bergerak
kiprah secara terbuka di tanah airnya sendiri, sudah terus dibuang oleh
pemerintah Hindia Belanda. Maka tamatlah perjuangan Tan Malaka di Indonesia
waktu itu.
Dalam Perang Dunia II, ketika Hindia Belanda diduduki
Balatentara Dai Nippon maka Tan Malaka berhasil menyelundup masuk kembali ke
Indonesia, mulai 1936 menyusup dari Cina melalui Burma masuk Singapura – sebelum
pecah perang – dan setelah pecah perang meninggalkan Singapura tahun 1942,
melalui Penang berlayar ke Medan, terus ke Padang dan akhirnya tiba di Jakarta,
tahun 1943 menyamar bekerja sebagai buruh (romusah) pada tambang batubara di
Bayah, Banten, dengan nama Husein.
Tan Malaka menolak pemberontakan 1926 yang dicetuskan oleh
pimpinan PKI. Sejak itu bersama dengan beberapa teman sepahamnya, dia
memisahkan diri keluar dari PKI.
Sejak karyanya “Naar de Republik Indonesia” (Menuju Republik
Indonesia) yang ditulisnya di Kanton, tahun 1925, Tan Malaka mulai lebih jauh
menunjukkan ketersendiriannya, “keaseliannya” yang kemudian menjadi ciri khas
haluan perjuangannya.
Akhirnya Tan Malaka dkk bukan hanya keluar secara formal
dari PKI. Mereka malahan mendirikan partai tandingan menghadapi PKI, yang telah
hancur lebur dan kacau balau akibat pemberontakan 1926. Di Bangkok tahun 1927
Tan Malaka dkk memproklamasikan pendirian PARTAI REPUBLIK INDONESIA, PARI,
berdasarkan Manifesto Bangkok yang menjelaskan pembentukan partai politik baru
yang bergerak secara ilegal itu.
Jadi, pada usia 30 tahun (1897-1927) Tan Malaka mulai
mempertegas dan mengkongkritkan pandangan, pendirian dan sikapnya, secara
ideologis, politis dan organisatoris.
Dalam perjuangan kemerdekaan sejak 1945 pertentangan PKI cs
dan Tan Malaka dkk mewarnai masa sejarah permulaan revolusi. PKI bersatu dengan
PSI dengan Sayap Kirinya, menyetujui dan mendukung Persetujuan Linggarjati
1947. Tan Malaka dkk menolak dan menentangnya. PKI melalui gembongnya Mr. Amir
Syarifuddin yang menjadi Perdana Menteri RI waktu itu menandatangani Perjanjian
Renville 1 Januari 1948. Sedangkan Tan Malaka bersama GRR menolak dan
menentangnya.
Pokoknya PKI dan kawan-kawan mempelopori politik kompromi
dengan imperialisme Belanda dengan mendukung Maklumat 1 dan 3 November 1946
Wakil Presiden Muhammad Hatta, yang dengan landasan itu membuka kompromi tidak
berprinsip dengan Belanda. Sedangkan Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangan
menolak dan menentang haluan seperti itu dan memperjuangkan prinsip berunding
dengan Belanda, setelah Belanda terlebih dahulu mengakui Proklamasi Kemerdekaan
RI 17 Agustus 1945 dan tentara mereka meninggalkan wilayah Indonesia. Untuk
mewarisi haluan Persatuan Perjuangan dan meneruskan tujuan perjuangannya pada
tanggal 7 November 1948, Tan Malaka mempelopori pendirian Partai Murba di
Yogyakarta, yang merupakan fusi tiga partai, ialah Partai Rakyat, Partai Buruh
Merdeka, dan Partai Rakyat Jelata.
Pendirian Partai Murba ini merupakan perkembangan pikiran
Tan Malaka secara ideologis, politis dan organisatoris. Bagaimana isi dan
bentuk kulminasi ini? Untuk mudah dan tegasnya kita kutip pidato Presiden
Soekarno kepada Kongres ke-V Partai Murba tanggal 15-17 Desember 1960 di
Bandung sbb:
“Saya kenal almarhum Tan Malaka. Saya baca semua ia punya
tulisan-tulisan. Saya berbicara dengan beliau berjam-jam. Dan selalu di dalam
pembicaraan-pembicaraan saya dengan almarhum Tan Malaka ini, kecuali tampak
bahwa Tan Malaka adalah pecinta Tanah Air dan Bangsa Indonesia, ia adalah
Sosialis yang sepenuh-penuhnya.”
Dan siapa tidak kenal Pahlawan Proklamator Sukarno yang
menilai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Tan Malaka dengan rumusan yang ilmiah dan
populer seperti ini?
Karenanya kiranya rumusan Bung Karno di atas tidak perlu
komentar lagi. Dengan karyanya “Madilog” Tan Malaka memperkenalkan cara
berpikir Ilmiah kepada rakyat Indonesia. “Thesis” menunjukkan jalan sosialisme
sebagai dasar dan pokok pemecahan masalah Indonesia. Kedua karya inilah yang
mencerminkan puncak pertumbuhan dan perkembangan pikiran Tan Malaka, yang
bersifat filsafat dan berisi idiologi. Sementara itu “Dari Penjara ke Penjara”,
karya otobiografi Pahlawan Kemerdekaan ini mencerminkan pandangan dan
perjalanan hidup Tan Malaka sebagai konsekuensi filsafat dan ideologinya
sendiri.
Dr. Harry Albert Poeze memerincikan dan melengkapi riwayat hidup dan perjuangan Tan Malaka dalam karya ilmiah dengan judul: “TAN MALAKA, PEJUANG KEMERDEKAAN INDONESIA, RIWAYAT HIDUP DARI 1897 SAMPAI 1945”.
Suatu desertasi akademis untuk memperoleh gelar doktor dalam
ilmu sosial pada Universitas Amsterdam tahun 1976, yang aslinya ditulis dalam
bahasa Belanda.
Kelanjutan karya Dr. Poeze ini akan dilengkapkan dengan
periode 1945-1949 sampai Tan Malaka mati tak tentu kuburnya dan hilang tak
tentu rimbanya jsutru di tanah airnya sendiri, yang belum menyadari kebenaran
pemikir dan pejuang rakyat Indonesia, dengan kedalaman dan kejauhan pandangan
yang jauh mendahului zamannya ini.
Untuk melengkapkan “Thesisnya” Tan Malaka merumuskan gagasan
“Gabungan Aslia” - Asia-Australia - sebagai konsepsi untuk penyusunan tata
politik dunia baru; makin lama makin jelas perdamaian dunia tidak mungkin
dipertahankan dalam konfigurasi dan susunannya yang ada sampai menjelang
tibanya Abad ke-XXI dewasa ini.
Dalam mencari dan mendapatkan alternatif untuk perbaikan dan
kemajuan pengisian dan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia, kiranya karya-karya
Tan Malaka penting untuk dipelajari dan dikaji kembali, sekurang-kurangnya
sebagai bahan bandingan, baik segi nasional maupun segi internasionalnya. Dan
kemudian dikembangkan.
Yang jelas cara berpikir dan cara bekerja – ilmiah yang
memenuhi prinsip, norma, nilai dan metode ilmiah – sangat mendesak diperlukan
selama ini. Disamping watak dan iman pemikir dan pemimpin serta pejuang Tanah
Air dan Rakyat Indonesia tercinta, yang taat dan konsekuen sepenuhnya dengan
cara berpikir dan cara bekerja ilmiah tersebut.
Jakarta, 3 April 1987.
W. Suwarto
ex-ketua umum Partai Murba,
Kongres ke-V 1960 Bandung,
ex-anggota DPA RI.
Parlement atau Sovyet
PENDAHULUAN
Pada zaman dahulu kala, kira-kira 20 abad yang lalu, maka
bangsa Barat (Eropa) yang sekarang ini adalah tinggal dalam kebodohan dan
kegelapan. Maka kebodohan dan kegelapan ini tiba-tiba diterangi oleh sinar yang
hebat yang terpancarnya dari Timur (Asia), oleh Agama Nasrani. Tiadalah maksud
kita akan menguraikan apa, dan dari mana asalnya, agama ini, dan berapa
sangkutannya dengan agama yang lain-lain dari Timur, umpamanya dengan agama
Yahudi atau Budha. Sengaja kita, hanya hendak mengingatkan, bahwa pergerakan
Eropa dari tidurnya yang berabad-abad itu, terutama disebabkan oleh Timur.
Bagaimanakah sekarang?
Sudah dua puluh abad yang lalu. Lebih dari lima belas abad
lamanya bangsa Barat dirintangi oleh agama saja. Peraturan negeri, ilmu
kepandaian, ilmu hukum, pendeknya segala ilmu yang menetapkan keamanan dan
kesentosaan dengan hukum, yang menetapkan keamanan dan kesentosaan di akhirat,
di dalam surga. Oleh sebab itu pulanglah aturan negeri di atas dunia ini kepada
yang ahli akan aturan negeri di akhirat itu, ialah pada Pendeta.
Lama kelamaan teranglah bagi mereka itu, bahwa Pendeta itu
manusia juga, dan dunia ini bukan akhirat. Maka dibongkarlah kuasanya Pendeta
yang begitu hebat. Bersangkutan dengan yang tersebut itu juga, maka
dibongkarlah pula kuasanya raja-raja dan bangsawan-bangsawan semuanya dengan
pikiran, usaha dan peperangan yang melenyapkan berjuta-juta jiwa manusia.
Hasilnya usaha dan pergerakan yang beratus-ratus tahun itu ialah “akuan atas
kemerdekaan dan kesamaan tiap-tiap manusia”. Kemerdekaan dan kesamaan tiap-tiap
manusia dan keamanan di atas dunia ini sudah ditetapkan dalam ilmu sosialisme.
Undang-undang yang dipilih dan disahkan supaya segala harta manusia yang
termulia itu jangan dianiaya, atau dirusakkan, ialah Parlemen, (kata kaum
Modal) dan pada masa ini gandengannya yaitu Soviet.
Sedangkan bangsa Barat sudah sampai pada keyakinan, bahwa
otak dan hati itulah harta yang setinggi-tingginya dan di atas dunia ini tidak
saja mungkin (bisa), tetapi harus datangnya damai dan kesentosaan, maka bangsa
Timur masih tinggal di kungkung (diikat) oleh adat, masih tinggal mengejar
akhirat saja dan menyia-nyiakan dunia ini masih dibelenggu oleh beberapa
kepercayaan. Semua ini melemahkan tenaga, usaha dan kesayangan terhadap kepada
dunia ini, yang penuh dengan pelbagai-bagai harta yang tiada terpermanai indah
dan mulianya, serta menumpulkan pikiran dan perhatian kita. Apabila kita
sekarang merasa dan melihat kemegahan otak dan hati yang dipersunting bangsa
Barat itu, maka sambil dalam keheranan kita melihat kapal di atas udara dan
dalam laut, mesin-mesin, dan kereta-kereta, telephone dan telegraf, menolelah
kita ke-barat dan berbisik-bisik Parlemen atau Soviet?
Ya, Parlemen atau Soviet. Keduanya buah sengsara dan azab
manusia berpuluh beratus tahun, jasa dari usaha dan korban nyawa ratusnya
manusia yang suci dan mulia. Keduanya bagi kita harta yang tiada ternilai
tetapi semata-mata baru. Itulah maksud kita hendak memeriksa dan perkakas ilmu
yang tiada cukup, manakah di antara pelita Barat yang dua itu, sekarang
tiba-tiba menyilaukan mata kita, yang sempurna sinarnya untuk jalan kemerdekaan
dan kemuliaan kita.
BAB I
PARLEMEN
SEBAGAI PERKAKAS SAJA DARI YANG MEMERINTAH
Pasal 1.
Dewan dan Parlemen
Sebenarnya perkataan Parlemen itu tiadalah boleh kita
terjemahkan saja dengan perkataan yang lebih lazim kita dengar sekarang, yaitu
“Dewan”. Wujud dan keadaan kedua anggota itu sangat berlainan sekali.
Sungguhpun susah mencari kabar yang sah dan terang, bagaimana kuasanya Sultan
atau Dewan (Dewan itu anggota yang membantu Sultan memerintah pada zaman dahulu
kala). Masing-masing pada zaman purbakala, tetapi pada sangka kita cara-cara,
yang dilakonkan di komedi bangsawan bolehlah dikatakan tiruan yang hampir
sempurna.
Apabila tuanku yang maha tinggi itu, yang bersemayam di
istana saja. Bertanyakan perihal negeri, kepada mamanda pemangku bumi atau yang
mulia perdana menteri atau lain-lain pembesar kerajaan, maka jawabnya “bumi senang
padi menjadi”. Jawab itu selalu hendaknya menyenangkan hati dan telinga yang
dipertuan.
Pembesar-pembesar itu tiadalah dipilih oleh hamba rakyat;
mereka biasanya raja-raja kecil, orang bangsawan dan terutama sekali kekasih
dan kepercayaan raja. Banyaknya pula di antara isi Dewan itu, yang suka
mengambil muka pada baginda dan ingin hendak mendapat pangkat tinggi. Dari
pihak bangsawan semacam itu, yang hidup dengan boros, hal mana menyebabkan
terpaksa memeras rakyat, tentulah kita tiada boleh mengharapkan ia terutama
sekali akan menaikan keperluan rakyat atau mengeluarkan suara yang tiada nyaman
didengar oleh telinga raja.
Biasanya pembesar-pembesar yang tersebut tiada pergi melihat
dengan mata sendiri, bagiamana hal ihwalnya rakyat. Dengan pegawai, polisi atau
mata-mata mereka merasa sudah cukup menjalankan kewajibannya. Untunglah kalau
ada raja yang adil. Tetapi keuntungan ini jarang sekali didapat; raja itu
manusia juga; lalimnya raja-raja Timur pada zaman dulu termasyur sekali.
Dengan peringatan yang sedikit ini bolehlah kita putuskan
bahwa keadaan Dewan itu berlainan sekali dengan Parlemen masa sekarang. Seperti
diterangkan tadi anggotanya Dewan itu tidaklah dipilih oleh orang banyak,
melainkan oleh raja.
Dan kalau pembesar-pembesar itu bukan “untuk” anak rakyat
melainkan musuhnya, tiadalah ada kuasa rakyat akan memecatkannya, dan menukar
yang lain yang disukainya. Lain halnya Parlemen (Nanti kita memberi keterangan
yang lebih lanjut tentang sesuatu Parlemen).
Anggotanya dipilih orang banyak dan mereka itu ada berkuasa
akan memeriksa pekerjaan wakilnya itu.
Kalau kita pikir lagi, bahwa anggota-anggota Dewan itu
asalnya dari golongan yang tinggi yang tiada campur dengan orang banyak, tiada
merasa susahnya si Kromo (orang kecil), tiadalah kita sia-sia mengatakan yang
anggota Dewan bukan wakil rakyat dan tiadalah kita heran, kalau keperluan
mereka itu berlawanan dengan keperluan rakyat. Kuasanya pun Dewan itu tidaklah
berbandingan dengan Parlemen. Dewan itu gunanya untuk memberi suara saja,
sungguhpun suara itu seperti diterangkan tadi, bukan suaranya orang banyak.
Raja tiada perlu mendengarkan atau memperdulikan suara dan nasehat itu.
Tetulah ada juga kesamaan Dewan dengan Parlemen, yaitu dalam
hal gunanya; keduanya bermaksud akan memerintah negeri, seperti ada juga
kesamaan antara gerobak dengan kereta api, yaitu pengangkut barang. Tetapi
seperti gerobak bukan kereta api, demikianlah juga Dewan itu bukan Parlemen.
Nanti kalau keadaan, kuasa dan gunanya Parlemen diuraikan
lebih dalam dan lanjut, bolehlah kita merasa, perbedaan kedua bahwa Dewan pada
zaman kuno boleh digulak-gulingkan oleh raja menurut sekehendak hatinya pada
tiap-tiap ketika, sedangkan di negeri yang berparlemen sejati zaman sekarang
raja itu haruslah mengikuti saja apa kemauan Parlemen, meskipun tiada setuju
dengan paham atau kemauannya.
Pasal 2.
Parlemen berlawanan dengan raja
Seperti diceritakan tadi Dewan itu tinggal suatu anggota
yang semata-mata menjadi perkakas bagi raja. Tiadalah begitu di sebelah Barat.
Barangkali sebab keras hati kemerdekaannya bangsa Barat, barangkali sebab tiada
buta lantaran adat atau agama, maka Parlemen sudah melawan keras pada kemauan
raja sewenang-wenang, dan perselisihan atau peperangan itu disudahi dengan kuat
dari pihak raja, “bahwa Parlemen itulah yang terkuasa sebagai kemauan rakyat”
(Volssouvereinitcit).
Perselisihan itu, lebih-lebih pada abad yang baru lalu boleh
dikatakan di seluruh Eropa. Dimana Parlemen meminta kuasa yang tertinggi dan
memaksa, supaya raja mengaku kekuasaannya. Sungguhpun perselisihan itu terjadi
di antara tanah Eropa, tetapi gelanggang yang akan kita pilih ialah tanah
Inggris, karena di sanalah orang banyak yang sebenarnya sadar dan di sanalah
orang banyak yang sebenarnya sadar dan di sanalah Parlemen itu yang tertua.
Sungguhpun tanah Perancis boleh dikatakan pokok dari pergerakan demokrasi zaman
sekarang, sungguhpun di sana rakyat mengalahkan raja, bangsawan dan pendetanya
dengan ribut dan topan yang hampir tiada berbanding. Tetapi kemenangan Parlemen
atas raja sudah satu abad dahulu dari itu terjadinya di tanah Inggris.
Marilah kita ikut perkelahian itu.
Pada abad ke 17 tanah Inggris sudah lama mempunyai parlemen,
asalnya sudah dari abad ke 13 (tahun 1215). Pada waktu ini dapatlah hamba
rakyat memaksa pada rajanya yang dalam kesempitan berperang, mengaku sahnya
pelakat “Magna Carta”. Di sana ditetapkan alasan kemerdekaan tiap-tiap orang
dan hak pada harta bendanya. Tiadalah boleh seorang juga dihukum, kalau tiada
dengan alasan undang-undang negeri. Kebenaran dan keadilan tiadalah boleh
dijual atau dibeli. Wujudnya tiadalah hakim boleh menghukum menilik kekayaan,
atau kemiskinan orang, atau menerima uang suapan.
Oleh karena raja tiada menepati janji yang tertulis di Magna
Carta itu dan sebab keborosannya, maka berkumpullah wakil bangsawan dan rakyat
dan mengadakan rapat. Kesudahannya dijadikan Parlemen yang terpaksa diakui dan
disahkan raja. Anggotanya dan kuasanya Parlemen itu makin lama makin bertambah-tambah.
Segala pajak haruslah dulu dibenarkannya demikianlah kehendak raja tadi tiada
boleh dilakukannya saja oleh menghukumi atau perdana menteri, kalau Parlemen
belum lebih dulu mengabulkan. Perlu diwartakan sedikit, bahwa Parlemen itu
terbagi dua atas “Majelis Tinggi” (House of Lord, atau Majelis Tinggi – Ed.)
yang beranggota bangsawan-bangsawan tinggi dan “Lagerhusis” (House of Common,
atau Majelis Rendah, seringkali inilah yang disebut Parlemen – Ed.) yang
beranggota bangsawan rendah-rendahan dan wakil-wakil orang banyak.
Adapun Parlemen tiadalah bisa berdamai dengan raja. Satu di
antaranya mesti mundur. Satu dari perkelahian yang banyak dan hebat itu,
terjadi pada abad ke 17 ketika raja Charles I memerintah tanah Inggris.
Kesumatnya sudah dicari lebih dahulu oleh Jacob I., bapak dari raja tersebut
tadi. Jacob I sudah mengumumkan (mengumumkan), bahwa dialah yang terkuasa dan
kuasanya itu diterimanya dari Tuhan, dan hak-hak Parlemen disebabkan oleh belas
kasihannya Baginda itu saja. Sekarang Parlemen mengawasi segala haknya, supaya
jangan dipotong-potong.
Pemerintah Charles I disambut dengan perjuangan yang besar
dengan Parlemen, oleh karena menteri beliau adalah sangat boros. Karena raja
yang kalah, haruslah dia mengakui sahnya “Petition of Right, pada undang-undang
mana ditentukan, bahwa tiada boleh orang ditangkap, kalau tiada bersebab, dan
dilarang mengambil pajak. Memungut uang tunai pada barang-barang masuk dan ke
luar tiadalah diizinkan lagi seperti biasanya, selama dia memerintah, melainkan
untuk setahun saja. Masygul dan murka akan kuasanya Parlemen maka oleh sebab
itu Baginda mencoba memerintah tidak dengan Parlemen, lamanya 11 tahun.
Kemudian karena berperang dengan bangsa Schot (sebagian dari
beliau punya rakyat) terpaksalah pula memanggil Parlemen kembali. Jangankan
Parlemen memperlihatkan takutnya, tetapi ia tiada memberi izin pula lagi kepada
raja memungut tunai dan ia mencacat-cacat akan kelaliman orang-orang pemberi
nasihat Baginda. Disuruh saja Parlemen itu pulang, karena suara yang macam itu
tiada nyaman kedengaran oleh telinga baginda. Tetapi karena dikalahkan oleh
bangsa Schot tadi, maka Bagindapun terpaksalah pula memanggil kembali (tahun
1640). Dua puluh tahun lamanya tidak disuruh-suruh pulang.
Sekarang Parlemen memperlihatkan kuasanya, serta ia menuduh
seseorang kepercayaan raja, yaitu menteri Graaf Strafford, yang dihukum bunuh.
Kesumat (permusuhan) antara raja dan Parlemen tiadalah berubah. Kesudahannya
sampai berselisih. Baginda menuduh beberapa anggota-anggota parlemen, bahwa
mereka memecahkan rahasia. Tetapi daya upaya Baginda hendak menangkap mereka
itu tinggal sia-sia saja. Selisih tadi mendatangkan peperangan. Mula-mula raja
ada beruntung tetapi tatkala Cromwell, juga seorang anggota Parlemen, masuk
gelanggang peperangan, maka bala tentara Parlemen berurut-turut mendapat
kemenangan.
Cromwell tiada dapat sekata dengan Parlemen, tetapi karangan
ini akan melampaui maksudnya, kalau kita mesti menguraikan pula perselisihan
antara Cromwell dengan Parlemen itu. Sebab itulah kita lekas kembali kepada
Baginda. Dekat negeri Naseby beliau dikalahkan oleh Cromwell, sehingga terpaksa
lari pada bangsa Schot, yang memerangi beliau dahulu, bangsa Schot menyerahkan
Baginda pada Parlemen.
Sesudah Cromwell mengusir musuhnya dalam Parlemen (yaitu
anggota-anggota juga seperti dia sendiri) yang selalu merintangi kemauannya
maka diangkatnya satu “Sidang Hakim” yang menjatuhkan hukuman mati pada raja
Charles I. Belumlah terseua dalam sejarah (sejarah) manapun kejadian semacam
ini, yang hamba rakyat berani mengangkat pedang di atas kepala seorang raja.
Sesudahnya raja dibunuh, maka tanah Inggris dijadikan
Republik, yang dikepalai oleh Cromwell. Anak Cromwell tiadalah dapat
mempertahankan republik yang didirikan bapaknya, sehingga “Kaum raja”
sangguplah menaikkan Charles II (anak Charles I) ke atas kerajaan. Oleh karena
kekasihannya kepada kaum Alim Katholik, maka ia diseterui kembali oleh
Parlemen. Permusuhan itu makin lama makin dalam, disebabkan juga karena
kelemahan Charles II itu tentang politik dalam dan luar negeri.
Banyaklah pula dalam masa ini undang-undang yang didirikan
yang menambah pengakuan kemerdekaan orang-orang negeri tanah Inggris. Yang
terutama sekali “Habeas Corpus Act.” (tahun 1679) yang menetapkan, bahwa tiada
boleh seorang juga dimasukkan ke dalam penjara atau ditahan (preventief), kalau
tidak lebih dahulu dengan surat perintah, dimana diterangkan kesalahannya, dan
perkara seorang yang tertuduh haruslah sesudah tiga hari tutupan, atau tahanan,
diperiksa. Jadi tiadalah boleh siapapun ditangkap saja atau ditahan lama,
karena hal-hal itu boleh melahirkan sewenang-wenang.
Dalam pemerintahan Jacob II (anak dari Charles II),
perseteruan raja dengan Parlemen tiadalah mundur. Setelah jemulah kaum di
Inggris akan Rajanya, yang bersifat lalim, maka dipanggilnya Willem van Oranye
dari negeri Belanda akan memerintah negerinya, permintaan itu dikabulkan.
Setelah ia tiba di tanah Inggris dengan bala tentara, maka raja Jacob II
larilah ke Perancis.
Willem van Oranye mengakui “Declaration of Right” dengan
sumpah. Dalam undang-undang inilah ditetapkan hak-haknya rakyat. Dari sekarang
tiadalah raja boleh menggulak-galikan Parlemen lagi, karena Parlemen sendiri
berhak akan memilih raja. Sudah tentulah dipilihnya raja, yang mau memerintah
menurut undang-undang yang menghormati kemerdekaan dan kekuasaan rakyat dan
Parlemen.
Kita harap, bahwa dengan misal yang terjadi di tanah Inggris
ketika 250 tahun terlampau itu akan sampai maksud kita buat memutuskan, bahwa
kemauan Parlemen dan kemauan raja selalu berbantah, dan perlawanan itu tiadalah
akan berhenti, sebelum salah satunya mundur. Akan penambahan keterangan yang
lebar, diambil misal tanah Jerman, dimana pemerintah dan Parlemen juga tiada
bisa cocok.
Pasal 3
Parlemen di Jerman sampai ke tahun 1918 hanyalah perkakas saja.
Kebetulan di tanah Inggris perlawanan Parlemen dengan
pemerintahan raja (Monarki) disudahi oleh kemenangan pada pihak yang pertama.
Tiadalah begitu di tanah Jerman, terutama karena lembutnya hati wakil-wakil
Rakyat dan kedua, lantaran keras lawannya pemerintah, lebih-lebih pada ketika
parlemen baru lahir.
Adapun kerajaan Jerman dinaikkan oleh Kaisar Bismarck.
Kebetulan pada masa Bismarck menjadi kepercayaan kaisarnya (Wilhelm I), maka
kaum Sosialis di Eropa dimana-mana mau merebut banyak kursi dalam Parlemen,
supaya dengan jalan ini dia boleh menyampaikan niatnya akan memajukan rakyat.
Kaum yang berkehendak kemajuan di dalam Parlemen, sesudah tanah Jerman menjadi
masyhur, (disebabkan kemenangan atas bangsa Perancis pada tahun 1870), ialah
kaum “National Liberal”. Tentulah kaum ini tidak searah (setuju) dengan partai
yang kuat pula, yaitu bangsawan, dengan militernya. Bangsawan, militer dan
orang kaya-kaya, yang setia pada Kaisarnya, mendapat kepala yang keras dan
pintar sekali pada Kaisar Bismarck. Jaranglah satu diplomat pada abad yang ke
19 sanggup menyamai Bismarck. Oleh karena kemenangan perang atas bangsa
Perancis semata-mata disebabkan oleh Kaisar perkasa itu, maka Bismarck sangatlah
dicintai orang banyak dan bangsawan-bangsawan.
Kalau kita pikir, berapa banyaknya kaum bangsawan kuno, yang
menyebrang di dalam Parlemen ke pihak Bismarck, maka dengan kepintaran dan
kemauanya yang begitu keras, mudahlah ia melawan “national Liberal” tadi dan
meneruskan kemauannya sendiri.
Tidaklah kita heran, kalau di tanah Jerman orang mengatakan,
bahwa Parlemen itu berlawanan dengan Pemerintah yang dikatakan pemerintah itu
yakni raja, Kaisar dan menteri-menteri. Di tanah Inggris pembesar-pembesar
semuanya diangkat oleh Parlemen, dipilih dari antara anggotanya, yaitu
anggota-anggota yang disukai orang banyak. Apabila anggota-anggota itu dalam
pekerjaan Menteri tiada memadai, maka Parlemen ada berkuasa akan menurunkannya.
Dan raja pun sudah bersumpah lebih dahulu tiada akan melanggar undang-undang
orang banyak dan Parlemen, maknanya, raja, Premier (menteri yang pertama) dan
segala menteri yang lain cuma menurut perintah Parlemen saja (ini sepanjang teori
kaum modal).
Tetapi di tanah Jerman raja itu berkuasa sekali. Ialah yang
boleh memilih menteri-menteri, ialah yang boleh memecatnya. Kita lekas merasa,
bahwa wakil dari kaum buruh selalu akan berlawan dengan pemerintah yaitu
menteri-menteri yang diangkat kaisar (Sultan) yang tiada memperdulikan sayang
atau tiadanya hamba Rakyat pada pembesar-pembesar yang disorongkannya itu.
Tetapi apakah daya, kaum sosialis? Pada waktu memilih wakil
untuk Parlemen saja, sudah kelihatan kuasanya bangsawan, hartawan dan kaum
militer. Lebih-lebih di Pruisen, dimana orang gemetar kalau melihat kaum
Militer, takut pada pegawai yang asalnya bangsawan; tentulah orang terpaksa
memilih wakil dari golongan yang tinggi juga, yang tentu tiada akan menaikkan
keperluan orang banyak, melainkan semata-mata keperluan tuan-tuan tanah yang
memiliki kebun-kebun di Pruisen. Wakil yang macam itu sudah tentu mendukung
pada Kaisar Bismarck dan pemerintah. Kelemahan kaum “National Liberal” adalah
baik sekali dilukiskan oleh Von Gerlach, pengarang parlementarisme (ilmu
tentang parlemen). Demikianlah bunyinya:
"pada pembacaan Bergrooting (maksudnya pemerintah) yang
pertama kalinya, maka kedengaranlah kaum “National Liberal” mempertahankan dan
mengumumkan cita-citanya. Dalam commissie (dimana maksud pemerintah itu
diperiksa oleh anggota-anggota Parlemen) orang mencoba memasukkan sebagian dari
pahamnya tadi ke dalam Begrooting Bismarck (cuma sebagian saja, alamat kaum
National Liberal akan mundur)”.
Dalam pembacaan (Pembacaan) yang kedua Bismarck bertitah,
bahwa pertimbangan kaum liberal tiada boleh diterima. Dalam waktu antara
pembacaan ke 2 dengan ke 3 kaum Liberal mencoba tawar menawar dengan
kepercayaan Bismarck, supaya Bismarck jangan membelakang (membuang) paham kaum
liberal sama sekali (sudah merasa akan mundur). Tetapi seperti biasanya
tiadalah ada paham kaum Liberal yang boleh dipakai. Bismarck mau atau semua
atau sekali-kali tidak. Dia tinggal bersikeras dan lawannya menjadi bubur. Dan
pada pembacaan yang ketiga kaum Liberal sendiri membatalkan, yaitu dengan hati
keberaratan, segala yang dikehendakinya sendiri, pada pembacaan yang kedua dan
ketiga. Bismarck menang. Dan kaum Liberall berserah saja."
Pada petikan dari karangan tuan Von Gerlach sedikit ini kita
boleh melihat betapa kuasanya pemerintah dalam hal ini Kaisar Bismarck – dan
betapa lemahnya Parlemen Jerman. Sebenarnya salah Parlemen juga, karena selalu
mundur. Kalau anggotanya ada bermalu dan yakin, tentulah ia harus
mempertahankan pahamnya sendiri dan keperluan orang banyak. Kalau Bismarck mau
melangsungkan juga, baik, tetapi Bismarck-lah sendiri menanggung hasil
perbuatannya. Sekarang kaum Liberal sendiri serta membenarkan pemerintah tadi
artinya juga serta menanggung baik buruknya aturan itu.
Kelemahan itu bukan saja memberi malu bagi “Wakil Rakyat”
tetapi juga boleh mendatangkan celaka pada Rakyat dan pada kaum yang
membatalkan paham sendiri (Partai Liberal). Untunglah Bismark selalu beruntung.
Juga karena sangat lanjut pikirannya. Tetapi bagaimanakah kalau pemerintah tiada
sepintar Bismarck?
Kalau tahu, bahwa belum lama lagi antaranya, ketika tanah
Jerman berperang besar, selalu kaum progresif itu (kecuali kaum Sosialis yang
dikepalai oleh Liebknecht) mengabulkan sekalian permintaan pemerintah, selalu
mengizinkan “memakai” orang untuk perang. Kecelakaan politik perang pemerintah
itu mesti juga tertanggung oleh kaum progresif yang menamai dirinya wakil kaum
buruh, yang berkata mencintai “Damai di seluruh Dunia”, dan tidak setuju dengan
kemauan kaum kapitalis yang mau memiliki tanah-tanah kepunyaan orang lain.
Barangkali bangsa Jerman dipukul rata tidak sebegitu
bersifat keras hati semacam bangsa Inggris dan barangkali juga Parlemen di
Jerman masih ingat pada “momok Bismarck” yang pada masa kecilnya begitu kerap
kali mengejut-ngejuti dan menakutinya. Tetapi sungguhlah betul, bahwa parlemen
di Jerman, meskipun hidup di abad ke dua puluh, masih tidak insaf akan
kodratnya, dan masih jadi perkakas pada pemerintah dan kaisarnya.
Marilah kita periksa lebih lanjut, bagaimana Parlemen ini
menyia-nyiakan senjatanya yang tajam sebagai hak Initiatief (yaitu hak bagi
tiap-tiap wakil untuk mengeluarkan pertimbangan yang boleh menjadi
undang-undang untuuk kebaikan orang kecil) dan “hak Interpellatie” (hak wakil
rakyat akan meminta keterangan pada pemerintah tentang segala pembuatannya.
Maksudnya supaya pekerjaan sewenang-wenang dari pihak pejabat boleh terhindar).
Di tanah Inggris umpamanya, dimana pemerintah asalnya dari
Parlemen: “hak Initiatief” tiadalah begitu perlu karena hak itu boleh
dipulangkan kepada Menteri-menteri, yang dipilih oleh parlemen dari anggotanya
sendiri (di tanah Inggris partai yang kuat dalam Parlemenlah yang mengangkat
menteri-menteri). Tetapi di tanah Jerman di mana Parlemen dan Pemerintah
berlawanan (di tanah Jerman Menteri-menteri bukan diangkat oleh Parlemen,
melainkan oleh Kaisar) haruslah hak itu dimuliakan benar. Apa yang kekurangan
pada urusan Pemerintah, boleh dipenuhi oleh wakil-wakil Rakyat. Meskipun
pertimbangan wakil-wakil tidak dikabulkan pemerintah, tiadalah mengapa karena
suara dalam Parlemen itu sudah didengar oleh orang banyak dan pertimbangan yang
diketengahkan wakilnya itu boleh dipikirkannya oleh Rakyat sendiri lebih
lanjut.
Kalau kelihatan berfaedah, tentulah tiada akan hilang dari
kenang-kenangannya. Pada “waktu Pilihan”, yang akan datang tentulah wakil yang
mengeluarkan pertimbangan tadi dan kalau sistem di Parlemen akan dipilih, dan
musuh wakil itu tiada dipilih, melainkan diganti dengan yang suka menaikkan
pertimbangan itu sekali lagi, sampai pemerintah terpaksa mengabulkan permintaan
orang banyak.
Tetapi salah langkah, kalau percaya, bahwa wakil kaum buruh
Jerman bisa boleh memakai senjata-senjata yang tajam itu.
Hari Rabu umpamanya Parlemen boleh mengeluarkan pertimbangan
(hak Initiatief). Tetapi hari yang satu ini dalam satu minggu tiadalah pula
boleh dipakai sama sekali, karena sudah ditetapkan lebih dulu, bahwa lima
perenam bagian dan hari itu akan dipergunakan untuk membicarakan pertimbangan
yang datangnya dari pihak pemerintah. Cuma seperenamnya untuk pertimbangan,
yang datang dari pada pihak anggota Parlemen yang bernafsu. Tetapi biasanya
pemerintah tiada memperdulikan aturan itu. Demikianlah dari antara 100
pertimbangan yang datangnya dari Parlemen pada tahun 1907 dari bulan Febuari
sampai bulan Mei tiada satu diperdulikan.
Apakah gunanya hak Initiatief semacam itu?
Lagi pula Parlemen tiada berkausa buat memaksa pemerintah
menjalankan apa yang sudah dikabulkan tadi. Sungguhpun begitu besar kehinaan
datangnya dari pihak pemerintah, tetapi tiadalah Parlemen Jerman pernah
memperlihatkan tulang kerasnya, yaitu melarang segala pertimbangan yang datang
dari pemerintah dengan jalan Obtaructie artinya menghalang-halangi segala
pertimbangan pemerintah dengan bermacam-macam muslihat, umpamanya membuat gaduh
bersama-sama, sehingga “Pembacaan” tidak kedengaran, atau tidak boleh
dilangsungkan; atau membuat pidato yang berjam-jam lamanya, sehingga pemerintah
pusing. Demikianlah, kalau pemerintah besoknya datang dengan pertimbangan itu sekali
lagi, perbuatan Obstructie itu diulangi lagi. Belumlah tentu siapa yang akan
menang, kalau kerasnya pemerintah dilawan dengan keras pula oleh Parlemen.
Di tanah Inggris seorang anggota Parlemen boleh bertanya
tentang perbuatan pemerintah (menteri-menteri). Dengan jalan ini rakyat boleh
mengetahui dan menimbang, bilamana juga, baik atau tidaknya perbuatan
pemerintah. Kalau pertanyaan itu ditimbang berarti atau penting, haruslah
menteri yang ditanya itu esok harinya dengan berhadap-hadapan memberi jawab.
Anggota boleh memutuskan, cukup, atau tidak jawaban itu.
“Hak bertanya“ semacam di Inggris ini tidak ada di tanah
Jerman, tetapi “hak Interpellatie” wujudnya boleh hampir bersamaan.
Tetapi jalan untuk bertanya itu sangat sekali diperpanjang
oleh pemerintah tanah Jerman. Mula-mulanya haruslah pertanyaan itu ditanda
tangani oleh 30 orang anggota. Di Parlemen barulah boleh ditimbang, atau
dibicarakan, kalau sekurang-kurangnya 5 orang anggota yang memberi izin.
Sungguhpun tanda tangan yang 50 orang itu diperoleh, tetapi belumlah boleh
dapat jawaban besok harinya seperti di tanah Inggris, karena pemerintah berhak
boleh memberi jawab bila dia mau saja. Kalau pemerintah sudah “main gelap”,
maka waktu menjawab tadi, dijanjikannya dari besok ke minggu yang akan datang,
dari minggu itu ke bulan baru, sampai pertanyaan dan jawabnya lupa oleh segenap
pihak. Tetapi, kalau pertanyaan tadi datang dari konco-konco pemerintah, yang
jadi wakil dalam Parlemen, maka pertanyaan tadi segera di jawab, sebab sudah
tahu dari dulu, bahwa konco-konco itu tiada akan menanyakan perkara yang akan
membuka rahasia pemerintah. Demikianlah pandai pula pemerintah itu bermuka
manis memperlihatkan kelurusan dalam segala perbuatannya. Dengan jalan serupa
itu “hak Interpellatie” yang begitu berfaedah bagi satu Parlemen yang sejati
dihinakan oleh pemerintah tanah air sendiri.
Aturan yang semacam ini tidak dapat menyelesaikan yang kusut
antara Parlemen dan tidak boleh pula mendatangkan kepercayaan rakyat baik atas
Parlemen baik atas pemerintahnya.
Di tanah Jerman Kaisar itu atau wakilnya bolehlah memutuskan
sendiri, mau atau tidaknya ia datang di Parlemen. Biasanya kalau ia merasa,
bahwa ada topan akan datang, (kalau Parlemen mau mengeluarkan suara yang tiada
nyaman didengar telinga), maka ia tinggal bersemayam di istananya saja. Acap
kali Kaisar itu bersituli dan kursi-kursi pembesar pemerintah kosong, kebetulan
kalau anggota-anggota Parlemen datang dengan hati panas, serta hendak
mengeluarkan teguran atau celaan pada perbuatan pemerintah, labraknya
anggota-anggota itu dielakkan dengan jalan tidur atau sembunyi saja.
Berhamburanlah kata-kata yang pedas-pedas di Parlemen tadi,
tetapi percuma saja.
Pada Parlemen yang sejati adalah “Mosi tak Percaya” pada
pemerintah suatu muslihat hendak menyuruh suatu Menteri memperhentikan
pekerjaannya. “Mosi tak percaya” itu tidak ada di Jerman. Apa guna? Menteri
diangkat kaisar, bukan oleh Parlemen.
Menteri-menteri cuma perkakas saja, tiada memikul tanggungan
sendiri. Kalau salah perbuatannya, bukanlah dia yang menanggung, karena semua
itu suruhan dari yang maha tinggi. Menteri tiadalah berkemauan sendiri.
Wujudnya walaupun Parlemen mengeluarkan “Mosi tak percaya” Kaisar boleh
berituli.
Apa boleh buat, Kaisar Jermanlah, yang biasanya menghapuskan
saja mosi apapun pada telapak sepatunya.
Menilik karangan tuan Van Gerlach tadi, menilik hal bahwa
senjata tajam pada parlemen sejati, seperti hak Interpellatie, dan initiatief,
hak mengeluarkan “Mosi tak percaya” tiada dipakai oleh Parlemen di tanah Jerman,
menilik perbandingan antara Parlemen dengan Kaisar Wilhelm dalam peperangan
yang besar yang baru lalu ini; mengenang suatu kejadian seperti tidak ada
bandingannya dalam sejarah Parlemen yang balid dalam abad 20, yaitu kejadian,
apabila kaisar Wilhelm II mengangkat saja seorang pejabat yang namanya hampir
tiada dikenal oleh orang banyak jangankan jasanya – ialah Michaelis, menjadi
Kaisar pada waktu yang begitu penting, maka tiadalah bisa kita menanggung
kehormatan terhadap kepada Parlemen yang semacam itu. Tidaklah kita rasanya
terlanjur mengatakan bahwa Parlemen di tanah Jerman cuma perkakas saja. Apabila
Kaisar Wilhelm II dengan hati batinnya hendak memerangi tanah kerajaan lain;
hendak mengambil koloni orang pendeknya dengan jalan perang ia hendak memuaskan
keinginan dan kelobaannya yang tiada berhingga itu maka tiadalah ia perlu
memikirkan sekejap juga, bahwa Parlemen akan menegakkan perbuatan yang
barangkali akan mendatangkan celaka benar atas Rakyat dan negerinya.
Sudahlah diterangkan oleh Karl Kautky dengan keterangan yang
sempurna, bahwa peperangan yang lalu (Perang Dunia Pertama – Ed.) ini
semata-mata disebabkan oleh dahaganya para kekuasan dan kemasyuran. Ialah yang
mencari kesumat, yang memaksa dengan tipu muslihat, supaya peperangan datang.
Apabila waktu perang tiba, maka ia memperoleh lagi
perlindungan dan pertolongan dari pihak Parlemen yang mengikuti saja, apa yang
dikehendakinya. Terhadap kepada Rakyatnya dan bangsa-bangsa sopan di atas
dunia, dia boleh berlaku seperti orang yang teraniaya, yang dimusuhi dan
dikhianati bangsa lain, dan dia tiada bermalu mengatakan bahwa Parlemen “Wakil
Rakyatnya” merelakan berperang. Semuanya itu tanda kelemahan Parlemen Jerman.
BAB II
PARLEMEN YANG
SEJATI
Pasal
1.Tumbuh dan hidupnya Parlemen Inggris semenjak dari masa merdekanya.
Dalam tiga pasal pada bab I tadi sudahlah rasanya cukup
keterangan-keterangan dan contoh-contoh yang mensahkan, bahwa datang dan
tumbuhnya Parlemen itu tiadalah dengan damai saja. Dalam contoh-contoh seperti
di tanah Jerman dan di tanah Inggris sudah kelihatan, bahwa tiada selalu
Parlemen itu yang beroleh kemenangan. Barangkali kekalahan tadi sementara,
entahlah, tetapi sudah terang bagi kita, bahwa Parlemen tanah Inggris sudah
lebih dari 250 tahun yang lalu, sudah menghindarkan musuh dari badan dirinya.
Sesudahnya itu barulah dia bernafas lapang, dan barulah dia boleh bebas tumbuh
sampai menjadi lembaga negara yang sempurna.
Sebelum kita menetapkan apa keadaan Parlemen yang dinamai
sempurna, terpaksalah kita lebih dahulu memeriksa tumbuh dan hidupnya Parlemen
dari mula ia dapat kemenangan dari raja, sampai ia dewasa. Inilah kewajiban
fasal ini akan melukiskan dengan ringkas hidup dan tumbuhnya Parlemen tanah
Inggris itu.
Seperti dahulu telah diwartakan, bahwa perkelahian Parlemen
dan raja, di Tanah Inggris, disudahi dengan pengakuan dari pihak raja atau
“Declaration of Right”. Apabila seorang raja naik tahta kerajaan, haruslah ia
lebih dahulu bersumpah mengakui sah undang-undang negeri; artinya tiadalah ia
kelak akan melanggar hak dan milik rakyat yang ditentukan dalamnya, dan
bersumpah mengakui sah kuasanya rakyat (Volkssouvereinitieit).
Semacam dalam suatu perkelahian, apabila yang seorang
mengalahkan lawannya, dan yang kalah tiada berdiam diri saja, melainkan
berusaha mencoba supaya belenggunya terlepas, ya, mencoba supaya kekalahannya
tadi boleh dibalikkannya, supaya menjadi kemenangan. Demikianlah juga keturunan
raja-raja tanah Inggris pada permulaan abad yang sudah, mencoba berjuang lagi.
Perjuangan itu akan kita lukiskan pula. Bukan karena hebatnya, melainkan sebab
dalam perjuangan itu ada banyak kejadian yang menambah pengetahuan dan
penguatan paham kita. Tentang hidup dan tumbuhnya Parlemen tanah Inggris samapi
pada masa dewasanya.
Pada permulaan abad yang tersebut, terbitlah tiga persoalan
yang penting, disebabkan oleh berdirinya lembaga negara yang masing-masing
mempunyai kekuasan besar.
Pertama. “siapa yang mesti memerintah, raja atau parlemen,
artinya bolehkah raja mengangkat pemerintah (kabinet sidang menteri) kalau
kabinet itu tiada disukai Parlemen”?
Kedua. Kuasakah Majelis Tinggi membatalkan kedaulatan
Parlemen?
Ketiga. Bolehkah raja bersama dengan Majelis Tinggi
membatalkan kedaulatan Parlemen? (yang dinamai kedaulatan Parlemen, yaitu
kedaulatan orang, atau suara yang terbanyak).
Segala pertanyaan ini adalah jawabnya dalam sejarah bangsa
Inggris pada permulaan abad yang disebut tadi.
Disebabkan oleh peperangan yang lama dan hebat antara tanah
Inggris dan Kaisar Napoleon, maka Rakyat sangatlah menanggung sengsara.
Kemiskinan rakyat tiadalah berhingga. Semasa perang tiadalah
barang-barang Inggris boleh dimasukkan dan dijual di benua Eropa, sehingga
barang-barang pabrik bertimbun-timbun tinggal di gudang-gudang. Setelah
perdamaian sudah dilangsungkan, maka barang-barang masih tinggal
bertimbun-timbun di tempatnya, karena tiada ada orang yang bernafsu dan mampu
membelinya sebelah ke darat tanah Eropa. Sebab itulah tuan-tuan pabrik terpaksa
menutup pabriknya; seterusnya banyaklah kuli terpaksa disuruh pulang, karena
tiada ada pekerjaan dalam pabrik lagi. Juga disebabkan pendapatan (uitvinding)
mesin-mesin yang baru, kuat, sempurna dan lebih banyak bisa menghasilkan
barang-barang daripada mesin yang lama, banyaklah pula tangan yang terpisah,
yang tiada perlu dipakai lagi, sehingga pendapatan itu semata-mata mendatangkan
celaka saja pada si kuli.
Dan lagi serdadu yang pulang dari medang peperangan, yang
sudah lama tiada menjalankan pekerjaan biasanya, menambah pula banyaknya orang
yang mondar-mandir, disebabkan tidak dapat mencari penghidupan.
Demikianlah tidak ada bandingannya kemiskinan dan kelaparan
orang kecil, yang tiada termanai banyaknya itu. Tidaklah kita dapat murka atau
jadi heran, kalau kita baca dalam sejarah tanah Inggris pada masa itu,
bagaimana orang kecil keputusan asa, dan bagaimana ia membalaskan dendam dengan
jalan merusakkan mesin-mesin, yang menjadi musuh pada jalannya mencari sesuap
nasi dan sehelai kain itu.
Siapakah akan membela nasibnya, si miskin dan si kecil itu?
Siapakah akan menaikkan keperluannya di dalam Parlemen, yang hanyalah diduduki
oleh Bangsawan, Hartawan, yang tiada merasa sengsara kelaparan, dan tiada
memperdulikan nasibnya orang kecil?
Sedangkan belum lama lagi di belakang, Parlemen mendirikan
undang-undang, yang melarang kuli-kuli membuat vergadering-vergadering
(organisasi-Ed.) dan vereeniging (perhimpunan); artinya melarang kaum buruh
memperbaiki nasibnya dengan jalan minta tambahan gaji, minta bantuan dan
lain-lain. Barang siapa yang tiada dapat pekerjaan, boleh diterima dalam satu
perusahaan yang memberi pertolongan, perusahaan yang mana berkuasa menyuruh
kerja, umpamanya dalam pabrik. Itulah namanya pertolongan itu, yaitu dengan
upah sedikit, dipaksa orang kelaparan kerja keras sehingga yang ditolong
namanya itu menjadi saingannya pula pada kaumnya sendiri, yang terpaksa pada
mengambil upah sedikit, kalau dia tiada mau mati kelaparan. Pun anak-anak atau
perempuan bolehlah menjalankan mesin-mesin, sehingga mahluk yang lemah-lemah
itu dengan upah yang kecil bersaing pula, seperti kaumnya yang diberi
pertolongan oleh perusahaan tadi. Kita mengerti, betapa sengsaranya kaum buruh
dan anak bininya. Tertib dan kebudayaan merekapun tiadalah perdulikan lagi.
Kemiskinan dan kelaparan selalu menghilangkan kemanusiaan. Siapakah di antara
orang kecil sekarang, yang tiada curiga dan paham bagi penghidupan dan
kemerdekaannya sendiri?
Oleh karena kedatangan mesin-mesin, maka pabrik kecil-kecil
dan kuno tiada bisa bersaing dengan pabrik yang model baru itu, sehingga
kebanyakan pabrik kecil itu punah (jatuh) atau dihisap (dibeli) oleh yang
besar. Demikianlah segala mata-mata pencaharian jatuh ke tangan dua tiga orang
kaya saja. Saingan satu parbik dengan yang lain hilanglah, sebab tuan-tuannya
berkongsi-kongsi pula, sehingga mereka boleh seenak hati menaikkan harga
barang-barang. Barang makanan juga boleh ditetapkan harganya oleh sedikit orang
tuan-tuan tanah, karena dari tanah luar tidak ada saingannya lagi, disebabkan
oleh undang-undang Parlemen, yang memungut cukai bagi barang-barang tanah luar
yang masuk. Dengan lukisan di atas ini kita insyaf, betapa kelemahan kaum buruh
diperbandingkan dengan kaum uang.
Sudah disebutkan lebih dahulu, bahwa tiadalah berapa besar
pengharapan kaum buruh akan mendapat pertolongan dari parlemen, karena
anggotanya hampir semua asalnya dari kaum atas. Hak memilih (kiesrecht)
menanggung pula, supaya anggota-anggota itu jangan dicampuri wakil kaum buruh.
Yang Majelis Tinggi cuma diduduki oleh Lord (kanjeng-kanjeng) saja. Mereka itu
diangkat selama hidup dan digantikan oleh anaknya (erfelijk). Anggotanya
Majelis Rendah keluaran dari golongan atas juga, bangsawan kecil dan hartawan.
Memilihnya dengan umum pula, sehingga tuan-tuan tanah boleh memaksa kulinya menyuruh
memilih dia sendiri, atau konco-konconya. Berapapun besar kota, berapapun luas
daerah (graafschap) tetapi banyak kandidat buat wakil tidak boleh ditetapkan
lebih dari yang akan diangkat sehingga selalu kandidat-kandidat wakil yang
biasanya kanjeng-kanjeng saja itu semuanya dipilih. Demikianlah dengan segala
tipu dan muslihat, kaum atas menjaga supaya semua wakil-wakil asalnya dari kaum
sendiri juga.
Hasil dan wujudnya “Hak Memilih” itu, menyebabkan ada
kira-kira 2/3 dari anggota Parlemen yang diangkat atau ditolong oleh pemerintah
(kaum atas juga). Banyaknya anggota-anggota Parlemen yang mewakili orang kecil,
tiada sekali-kali bertanding dengan wakil-wakil atas, sehingga Parlemen masa
itu, hanyalah semata-mata sidang “hantu-hantu Uang” yang tiada mengetahui hal
ihwal orang banyak.
Tetapi kaum buruh yang mendesak di kota yang besar-besar
itu, tiadalah berserah dan berpangku tangan saja. Ia mengerti, betapa besar
kodratnya sendiri, asal ia sepakat. Dalam hal itupun, dari hari ke hari,
tumbuhlah kesetiaannya satu sama lain, bertambahlah sepakat dan keberaniannya,
sehingga kanjeng-kanjeng gemeletar tulangnya dalam istana-istana mendengar
teriaknya kaum buruh meminta haknya sebagai manusia, dan sebagai rakyat tanah
Inggris.
Mereka itu berusaha, supaya anggota-anggota di Parlemen
ditambah dengan wakilnya yang sejati. Sebab itu dia membatalkan undang-undang
Parlemen, yang melarang dia membuat perkumpulan. Ia percaya bahwa kalau ada
Algemeen Kiesrecht (hak memilih bagi tiap-tiap orang), dia bisa mengadakan wakil
yang sampai kuat akan membela kepentingannya dalam Parlemen, kodratnya kaum
buruh sesungguhnya sanggup membuka pintu Parlemen untuk wakilnya sejati.
Demikianlah keadaan tanah Inggris, ketika raja Willem IV;
memerintah (tahun 1830-1837). Dua kaum yang berlawanan kapitalis dan si buruh.
Yang pertama kuat, yang kedua sedang mengumpulkan kodratnya. Adalah beberapa di
antara kaum bangsawan, yang setelah ia melihat keras desaknya kaum buruh,
mengertilah, bahwa kaum bangsawan dan hartawan tiada akan sanggup melawan musuh
yang begitu besar. Sebab itu mereka tiada berani menahan dan menghalangi lagi
kemajuan itu, melainkan berusaha, supaya itu jangan mendatangkan perselisihan
yang boleh menjadikan celaka besar pada negeri. Kaum yang menolong kaum buruh
itu dalam beberapa hal, dinamai Liberal. Kaum ini serta juga menaikkan
permintaan pada pemerintah, supaya tiap-tiap orang boleh dapat Hak Memilih.
Raja Willem IV pun tiadalah benci pada paham Liberal itu,
sehingga Baginda mengangkat Lord Grey jadi Premier (Menteri Pertama).
Kebetulan pada masa itu di Perancis rakyat merebut hak lagi
(tahun 1830). Sebab itu di tanah Inggris orang hendak mendapat hak pula.
Berhubung dengan itu Lord Grey menaikkan pertimbangan yang mau menambah hak
rakyat tentang pilih-memilih. Majelis Rendah mengabulkan, tetapi Majelis Tinggi
membatalkan. Rakyat berbangkit. Istana-istana orang bangsawan atau pendeta
dirampok atau dibakar. Dimana-mana orang banyak membuat Meeting (mengeluarkan
suara) mengambil Mosi, tanda ia suka akan pertimbangan Lord Grey.
Majelis Tinggi harus mundur. Lebih-lebih bagi kaum tengah
besarlah faedahnya pergerakan itu. Sungguhpun kaum buruh tidak puas akan
kemenangan itu, tetapi teranglah bagi kita, bahwa kuasanya Majelis Tinggi sudah
mulai dipotong. Sesudah perjuangan tahun 1911 kekuasaannya (Majelis Tinggi –
Ed.) tentang membatalkan begrooting sama sekali dihapuskan dan tentang
pertimbangan lain-lain sangat dikurangi.
Dalam sejarah ini kita bisa pelajari, bahwa kalau Premier
ditolong oleh Majelis Rendah, ditunjang oleh Rakyat, maka kedaulatan Majelis
Tinggi menjadi nol. Bagaimanakah kedaulatan raja? Dalam hal tadi kebetulan ia
mengangkat Premier, seorang yang disukai Rakyat dan Majelis Rendah.
Bagaimanakah kejadiannya kelak, kalau Premier kebetulan
tidak disukai Majelis Rendah?
Willem IV sudah mencoba mengangkat Premier dari kaum
konservatif (kuno) sedangkan meerderheid (suara terbanyak) di Majelis
Rendah menyukai seorang dari kaum Liberal. Sebab ingkarnya (tidak mau) Majelis
Rendah mensahkan Premier yang diangkat Baginda itu, maka Parlemen dibubarkan
dan dipilih anggotanya yang baru. Tetapi suara terbanyak tinggal “Liberal”.
Sampai empat kali Majelis Rendah membatalkan pertimbangan dari Premier
konservatif tadi. Sebab itu wajiblah Premier itu meletakkan jabatannya.
Pembesar Peel memutuskan, bahwa kabinet (sidang menteri) tidak dapat (bisa)
memerintah, kalau suara terbanyak tidak setuju, meskipun kabinet itu dipercayai
dan diangkat raja dan dibantu Majelis Tinggi.
Dari semenjak tahun 1835 putusan itu tinggal kekal. Raja dan
Majelis Tinggi mesti menurut suara yang terbanyak. Suara itu keluarnya dari
Majelis Rendah. Sebab itulah Majelis Rendah yang berkuasa, yang memerintah,
yaitu atas suara dan kedaulatannya yang terbanyak. Itulah yang Parlemen.
Supaya arti suara yang terbanyak itu lebih terang bagi kita,
haruslah diambil sedikit sejarah tanah Inggris pada kesudahan abad ke 19. Pada
masa 2 pembesar Inggris berganti-ganti menaiki pangkat Premier, yaitu Cladstone
kepala dari kaum Liberal dan Disraeli kepala dari kaum Konservatif itu,
janganlah kita menyangka, bahwa kaum konservatif selalu menahan kemajuan.
Kebetulan banyak undang-undang yang berwujud kemajuan datangnya dari kaum
konservatif. Itulah kemasyuran Parlemen Inggris, karena beda nama, kedua kaum
itu bukan karena bermusuhan golongan selama-lamanya, melainkan sebab bertukar
paham dan pendapatan, pada suatu ketika, dan tentang suatu hal. Apabila satu
kaum yang membela, baik Liberal, baik konservatif kelihatan kesalahannya atau
sesatnya, maka suara terbanyak tadi pada kaum itu sendiri menjadi kurang, dan
kaum yang lainlah mendapat suara terbanyak, dan boleh membela negeri (naik
kabinet sampai kelihatan pula kesesatannya). Demikianlah dua kaum itu sama-sama
awas mengawasi, menjaga kewajibannya hemat-hemat, supaya ia tinggal tetap
dipercayai orang banyak. Saingan yang suci itu sangat menaikkan tanah Inggris.
Biasanya Gladstone pintar membela politik dalam negeri dan
Disraeli kuat membesarkan tanah Inggris dengan jajahan di luar Eropa. Satu dari
perkara yang merintangi pembesar-pembesar pada masa itu, ialah nasib dan haknya
kaum buruh. Itulah yang menjadi buah percaturan dalam politik negeri. Seperti
sudah juga dikabarkan lebih dulu, kaum itu berusaha supaya wakilnya dalam
Parlemen ditambah sampai cukup kuat akan merebut hak-haknya. Sebab itu haruslah
“Hak Memilih” diubah. Gladstone yang setuju dengan kehendak itu menaikkan
pertimbangan akan mengubah hak pilih memilih itu. Tiadalah dikabulkan oleh
Majelis Rendah.
Sepanjang adat Parlemen haruslah kabinet Galdstone
meletakkan jabatannya.
Demikianlah datang Disraeli mengambil urusan negeri.
Mendengar kabar itu bubarlah kaum buruh pada segenap pihak (tiada mufakat).
Disebabkan topan yang besar itu, maka Disraeli menjatuhkan perubahan besar,
yang betul mendatangkan kebajikan bagi buruh. Sekarang orang yang berhak
memilih berlipat dua banyaknya, dan lantaran itu, maka banyak wakil bertambah
pula.
Tidak beberapa lama antaranya, maka oleh karena pilihan baru
seperti terjadi tempo-tempo kaum Liberal mendapat suara yang terbanyak.
Tentulah pertimbangan yang keluar dari kabinet yang konservatif (Disraeli) akan
kalah oleh kaum Liberal dalam pengambilan suara. Sebab itulah akan percuma saja
Disraeli jadi kepala kabinet. Dia diganti oleh Gladstone.
Buah percaturan politik pada masa itu ialah satu perkumpulan
kaum buruh bernama “Trade Union“, yang sampai masa itu dilihat semacam partai
yang membujuk mogok saja dan mendatangkan celaka bagi negeri. Sesudah disahkan
kebaikannya pada satu pemeriksaan, maka pemerintah mengakui kaum itu. Supaya
kaum buruh merdeka betul, haruslah juga dihapuskan hukuman bagi kuli-kuli yang
membujuk kuli-kuli lain, supaya jangan mengganggu pemogokan; artinya supaya
tempatnya sementara mogok, jangan digantikan orang lain (=oleh si pengecut).
Tetapi Gladstone tiada mau mensahkan hak kuli-kuli itu dan tiada mau
menghapuskan hukuman atas kuli dalam hal yang tersebut. Sebab Disraeli dari
dulu sudah berjanji akan menghapuskan, maka dialah naik kembali menggantikan
Gladstone.
Disraeli sekarang perang dengan Afganistan dan Transvaal,
supaya dengan jalan itu ia meluaskan dan dapat menambah kemasyhuran kerajaan
Inggris. Rakyat asyik dan sayang padanya, sebab jasa yang besar itu, tetapi
ketika mereka sadar, berapa banyak uang yang habis, Disraeli ditewaskan kembali
oleh saingannya (Gladstone).
Pasal 2.
Sifat Dan Keadaan Parlemen Yang Sejati
Berangsur-angsur kita berjalan dari anggota yang dinamai
Dewan, sampai kepada anggota pemerintah di tanah Inggris yang bernama Parlemen,
yang kita ikuti dan amati dari masa lahir dan kecilnya sampai menjadi dewasa
dan bersifat yang teguh-teguh, serta cukup untuk menyempurnai diri dan
keadaannya.
Dalam perjalanan tadi, kita melihat, betapa banyak dan berat
sengsara ditanggungnya. Kita melihat betapa dia mengalahkan segala yang
merintangi dan menghambat tumbuhnya. Tetapi kita saksikan juga kelemahannya,
seperti di tanah Jerman, sehingga dia tiada bisa merebut kemerdekaannya
sendiri, hanyalah tinggal jadi perkakasnya seorang manusia yang bermahkota
(kaisar).
Kita harap perjalanan yang panjang itu tiada mendatangkan
jemu dan bosan bagi pembaca. Berapa bagian di antara Bab atau pasal-pasal yang
sudah lalu, barangkali ada melimpahi yang perlu, yaitu melampui wujud karangan
kita hendak menguraikan apa yang dinamai Parlemen yang sempurna. Betul kalau
bagi seorang bangsa Eropa yang berpengetahuan biasa saja, (karena selalu
hari-hari melihat dan mendengar beberapa hal yang bersangkutan dengan aturan
Parlemen) beberapa dari bagian itu barangkali tiada perlu diceritakan lagi,
tetapi kita menyangka pengetahuan biasa di Eropa itu, tiada boleh kita harapkan
pada bangsa Timur dipukul rata. Dengan menceritakan sejarah Parlemen itu
seperti yang terjadi di tanah asalnya, yaitu tanah Inggris, dengan menunjukkan
kemauannya sendiri dan kemauan musuhnya; kita menyangka boleh sampai pada
maksud yaitu memperlihatkan tubuhnya Parlemen itu sama sekali dengan jelas dan
terangnya.
Berangsur-angsur kita mempelajari dan mendengar hak dan
kuasanya suatu Parlemen dan dengan ilmu yang kita peroleh itu, kita sanggup
menetapkan, apa yang dimaksud pasal ini, ialah menentukan keadaan suatu
Parlemen yang sempurna pada segenap pihaknya.
Seperti kita pelajari dalam sejarah tanah Inggris maka
perselisihan dan peperangan yang berulang-ulang itu, disebabkan oleh
kedaulatannya rakyat hendak memerintah dan mengatur keperluannya sendiri.
Haruslah kita perhatikan benar perkataan “mengatur” dan
memerintah itu, yang maksudnya ialah supaya ia diperintahi dengan undang-undang
yang terbitnya dari Parlemen rakyat, bukan dengan undang-undang yang
disorong-sorongkan saja oleh raja (Sultan) atau siapapun.
Dahulu sudah diterangkan, bahwa satu anggota (wakil) boleh
melakukan pertimbangan; apabila suara yang terbanyak dalam pengambilan suara
mengabulkan, maka pertimbangan itu boleh dijadikan undang-undang. Tetapi jarang
pertimbangan yang datangnya dari wakil boleh menjadi undang-undang. Biasanya
pertimbangan yang akan berjalan (berbuah) datangnya dari pemerintah, yaitu
“kabinet”. Maka biasanya dari satu menterilah terbit sesuatu pertimbangan yang
dinaikkan dalam Parlemen.
Apabila suara yang terbanyak dalam parlemen membenarkan,
maka barulah pertimbangan tadi dijadikan undang-undang dan barulah boleh
dijalankan oleh yang memerintah (kementrian, propinsi kota dan kampung).
Apabila suatu undang-undang lahir (dibetulkan Parlemen),
maka seperti tersebut di atas, undang-undang itu dipulangkan ke tangan menteri
kembali, yang harus menurunkan undang-undang itu pada anggota-anggota
pemerintah yang kecil-kecil. Demikianlah menteri itu satu pusat yang besar dari
segala pemerintahan kota, kampung atau propinsi. Anggota kecil-kecil ini
menjalankan dan menghiaskan pula undang-undang, yang turun dari pusat atau
menteri tadi. Pusat itu bermacam-macam pula, ada menteri pendidikan, ada
menteri dalam negeri, dan luar negeri dan lain-lain sebagainya. Segala
menteri-menteri itu dikumpulkan menjadi pusat yang tersebar, yaitu kabinet,
dari mana segala perintah yang bermacam-macam itu diturunkan. Seperti segala
menteri berpusat di Kabinet, demikian pula segala menteri-menteri berpusat dan
dikepalai oleh seorang Premier
Sungguhpun undang-undang, yang dikabulkan oleh Parlemen itu
sudah dipulangkan kepada pemerintah (Kabinet), tetapi anggota-anggota Parlemen
tiadalah tinggal berdiri berpangku tangan saja, dan percaya, bahwa pemerintah
tadi tiada ada cacatnya (celanya). Parlemen berhak menjaga, supaya
undang-undang itu dengan betul dan adil dijalankan. Kalau seorang wakil dalam
Parlemen curiga atau kurang mengerti dalam sesuatu kelakukan pemerintah, maka
haruslah ia bertanya dan meminta keterangan pada menteri. Dengan jelas dan
terang haruslah menteri menjawab, sampai wakil-wakil pas hatinya, supaya
wakilpun boleh memuaskan hati rakyat yang memilihnya. Inilah suatu senjata
tajam bagi seorang wakil untuk menjaga keselamatan negeri. Menjaga supaya
aniaya dan kelaliman terhindar. Bukan saja diberi hak bertanya kepada
pemerintah, tetapi iapun boleh memeriksa dengan matanya sendiri. Kalau betul
apa yang ditetapkan dalam pemeriksaan itu haruslah pemerintah membuang yang
bersalah.
Satu hak wakil yang terutama ialah kemerdekaannya di dalam
Parlemen. Apa saja yang terasa di hati atau terlihat di matanya bolehlah
dikeluarkannya dan tiadalah akan dituntut atau dihukum oleh barang siapapun.
Tentulah ia tiada akan mengeluarkan omong kosong saja. Hal ini akan memberi
malu dirinya sendiri, dan akan menjauhkan orang yang mengirimnya ke Parlemen.
Bukankah kemerdekaan paham dan perkataan seorang wakil itu
mestinya menjadi cermin (kaca) atas kekuasaannya rakyat yang diawasi hak dan
keperluannya? Apakah guna wakil kalau wakil itu hanyalah boleh mengeluarkan
suara yang nyaman didengar oleh pemerintah seperti saat zaman ketika masih
bersultan atau beraja?
Terkuasanya rakyat itu sudah terbanyak lebih dahulu ketika
mendirikan anggota-anggota Parlemen dengan jalan memilih. Seperti pada masa
Disraeli dan Gladstone, kita ingat lagi beberapa perkara yang penting-penting
yang digemari dan dipeluk oleh semua rakyat. Tiap-tiap paham sendiri tentang
satu perkara umpamanya tentang “hak dan miliknya” kaum buruh. Dia sudah
memutuskan sendiri dalam hatinya, bagaimana patutnya pemerintah meneruskan
keperluannya. Apabila pada masa memilih (yaitu masa kabinet akan dibongkar dan
diganti dengan yang baru) seorang wakil umpamanya dari kaum “liberal” membuat
pidato, maka orang mendengar bolehlah memutuskan setuju atau tidaknya ia dengan
paham wakil itu; kalau tidak pergilah ia mendengar pidato seorang dari kaum konservatif.
Apabila datang waktu pemilu, maka dijatuhkannyalah suaranya pada wakil yang
disukainya. Demikianlah, kalau pemilu itu dirahasiakan, boleh kita putuskan
partai mana yang digemari oleh rakyat pada masa itu, Liberal atau Konservatif.
Perbandingan banyaknya anggota dalam Parlemen itu, bolehlah dinamai ukuran bagi
kegemaran dan kepercayaan orang banyak menghadap kepada kedua kaum yang
terbesar itu. Partai yang kuat sekali itulah sangat disukai, itulah yang kita
namai “kedaulatan orang banyak”. Bukankah perbandingan kekuatan kedua partai
itu menjadi cermin bagi perbandingan kemauan rakyat yang terbagi atas dua kaum
yang besar pula, Kuno dan Liberal?
Tiadalah perlu diuraikan panjang lebar sekali lagi, betapa
wajibnya memilih dan mengangkat kabinet (menteri-menteri) dari kaum yang
terkuat dalam Parlemen itu. Menteri-menteri dipilih dari anggotanya Parlemen,
dan tiadalah boleh dijuadahkan saja sebagai santapan, seperti pada zaman kuno,
atau pada masa Kaisar Wilhem II masih memerintah oleh karena datangnya
pertimbangan biasanya dari menteri tentulah pertimbangan itu tak pernah ada
dikabulkan dalam Parlemen, kalau kabinet diangkat dari kaum yang terkurang.
Wujudnya tentu tiadalah dapat membuat undang-undang sekarang oleh karena
cocoknya kabinet dengan Parlemen (yaitu karena partai menteri-menteri itu yang
terkuat dalam Parlemen dari mana kabinet berasal), maka hampir segala
pertimbangan dan undang-undang dengan lekas dan mudah boleh dilangsungkan,
sampai ………ya, sampai pemerintah khilaf atau salah. Dalam hal itu Parlemen ada
menaruh senjata-senjata, untuk menurunkan Kabinet itu dan mengganti dengan yang
disukai orang banyak.
Demikianlah Parlemen dan pemerintah itu tiada tergantung di
atas kayangan (udara) saja, melainkan berurat dan berakar pada orang banyak dan
kemauan pemerintah ialah kemauan Parlemen, dan kemauan Parlemen ialah kemauan
anak rakyat. Sebab mata pencaharian (sekarang ada pabrik, dan mesin-mesin yang
besar-besar, kereta api dan kastil semacam istana) dan alat memerintah negeri
pada zaman sekarang begitu sukar dan sulit, dan lagi tiap-tiap orang tiada
seperti zaman yang kuno sekali, boleh sambil memerintah, (pada zaman kuno itu
tiap-tiap orang boleh menjahit baju sendiri, memerah dan mengembala lembu,
bertanak nasi dan menumbuk; dalam pada itupun boleh ia menghadiri vergadering
negeri.)
Sekarang orang terpaksa pergi pada tukang jahit, dan
mewakilkan suaranya buat rapat negeri (parlemen) sebab dari pagi sampai malam
ia mesti kerja saja, baik di pabrik atau dimana-manapun. Maka rakyat,
sungguhpun terkuasa sekali, terpaksa memindahkan kuasanya itu atas orang yang
dipercayainya, yaitu seorang wakil. Oleh sebab wakil begitu banyak dan paham
masing-masing berlain-lainan, maka kedaulatan yang diterimanya dari rakyat tadi
diletakkannya pada kabinet, dan sebab kabinet juga banyak beranggota dan banyak
cabang pekerjaannya, maka kabinet tadi harus pula dikepalai oleh satu orang
supaya tujuan menjadi satu. Kepala itu dinamai Premier. Jadi alat memerintah,
yang begitu sulit, digenggam di tangan satu orang saja.
Bukankah aturan semacam itu bertingkah dengan wujud
Demokrasi, yang beralasan pemerintah orang banyak?
“Tidak” kata orang, yang mengandung paham Parlementerisme
(ilmu tentang parlemen) “tidak, kepala yang seorang itu tidak tinggal
turun-temurun seperti raja, karena boleh dinaik dan diturunkan oleh rakyat
sendiri”. Dengan muka yang yakin dan mata yang gilang-gemilang ia akan berkata
terus, mengatakan, bahwa aturan dan partai (Liberal dan Konservatif) seperti di
tanah inggris yang awas-mengawasi, yang selalu masing-masing siap akan ganti
menggantikan dan lantaran terkuasanya Parlemen. Akan bisa ditanggung, supaya
selalu kemauan orang banyak yang menjadi alasan, dan selalu yang terpandai akan
menjadi kepala pemerintah.
BAB III
DARI NEGERI
BELANDA KE BENUA ASIA
Pasal 1. Di
Negeri Belanda
Sebelum kita memeriksa Parlemen atau bakal Parlemen yang ada
di Asia, haruslah juga kita raba sedikit aturan pemerintahan di negeri Belanda.
Pertama, sebab juga di sana ada Parlemen yang tiada berapa ubahnya dengan
Parlemen yang sempurna seperti di tanah Inggris; kedua, sebab pengetahuan yang
sedikit tentang parlemen negeri Belanda bagi kita tidak percuma saja, sebab
kita banyak bersangkutan dengan negeri itu.
Serupa dengan di tanah Inggris, juga di negeri Belanda
pemerintahan dijadikan oleh raja dan Parlemen. Kedua tanah itu boleh kita
namakan negeri yang diperintahi menurut aturan parlemen sejati. Parlemennya
bukan perkakas raja saja, sekali-kali tidak, melainkan raja yang harus
memerintah dengan konstitusi.
Adapun yang dinamai konstitusi, yaitu segala alat dan
perkumpulan segala undang-undang, yang menjadi alasan bagi pemerintah negeri,
undang-undang mana menetapkan hak dan milik, dan kewajiban rakyat. Maka
kesamaannya raja negeri Belanda itu dengan raja negeri Inggris yang terutama
sekali tentang hal memerintah, karena dalam hal itu kedua mahkota tersebut
hampirlah tiada berkuasa suatu apa. Segala aturan atau perintah dipetik dari
Konstitusi yang sudah diakui sahnya ketika naik tahta. Aturan dan perintah itu
mula-mula diperiksa oleh Parlemen dan dijalankan oleh kabinet.
Kita mengerti, bahwa hal ini tiadalah didapat dengan patut
dalam perdamaian saja. Banyaklah pula perselisihan dan perkelahian besar yang
sudah terjadi antara rakyat dan raja di negeri Belanda maka sampai kekuasaan
Parlemen diakui semacam sekarang.
Perkelahian itu tidak akan diulang sekali lagi, tetapi hal
itu bolehlah kita ingatkan untuk menyaksikan dan menetapkan paham kita bahwa
kemauan seorang raja tiada akan cocok dengan kemauan dan keperluan orang banyak
yang terbayang di parlemen.
Seperti biasanya perubahan konstitusi tiada pernah datangnya
disebabkan oleh perubahan paham saja, melainkan lantaran paksaan dari bawah,
rebutan dari orang banyak. Begitu juga huru-hara di Eropa pada tahun 1849
menyebabkan di negeri Belanda raja mesti memberikan sebagian besar haknya dan
mensahkan aturan konstitusi baru. Dalam konstitusi itu ditetapkan bahwa raja
onschendbaar (yaitu tiada bertanggungan, artinya tiada boleh dituntut atau dihukum
kalau salah memerintah).
Rupanya perubahan itu, kalau kita baca begitu saja, tiada
berapa dalam artinya, tetapi yang sebenarnya perubahan itu menjatuhkan segala
kekuasaan atas parlemen dan kabinet (yang berasal dari parlemen juga).
Kita tahu, bahwa sebelum tahun 1849, di negeri Belanda
menteri juga perkakas raja saja, seperti di tanah Jerman, juga Kaisar tanah
Jerman tiada bertanggungan (onverantvoordelijk). Kalah ada salah, tiadalah dia
dituntut, karena tiada berkemauan sendiri, melainkan mendapat perintah dari
kaisar yang boleh bersimaharajalela saja. Sekarang seperti di negeri Belanda
sesudah tahun 1849, menteri itu harus menanggung buruk baiknya perintah yang
diturunkannya. Tentulah dia tiada akan berkata “ya” saja (inggih) kalau raja
berkata karena dia sendiri nanti ikut menanggung kalau parlemen menuntut
keterangan atau kebenaran. Kalau raja hendak memajukan juga apa kehendaknya,
haruslah dan tentulah menteri akan berkata: ”baik, tetapi saya tiada mau
menanggung hasilnya kelak, sebab itu baik saya diperhentikan saja”. Kalau betul
ia sampai diberhentikan, sebab raja hendak berlaku menurut pahamnya sendiri,
tentulah jarang dapat menteri gantinya yang mau menanggung saja kemauan raja
itu. Lebih-lebih kalau sudah tampak kesalahannya oleh orang banyak. Jadi
kemauan raja sejati, mendatangkan pertentangan antara pemerintah
(menteri-menteri) dan Parlemen, artinya melanggar hak Rakyat yang dipercayakan
kepada Parlemen.
Sesungguhnya perubahan tadi “yaitu raja tidak dan menteri
ada bertanggungan” menyebabkan menterilah yang berkuasa. Lahirnya segala
perintah disebutkan datang dari mahkota, tetapi pula perintah itu harus
terkenal tanda tangannya menteri, artinya, kalau turun perintah tentang
pendidikan umpamanya pada propinsi atau kota, haruslah perintah raja itu
disahkan menteri pendidikan itu dengan tanda tangannya. Tiadalah boleh raja
bertitah-titah saja pada siapapun. Sebab itulah boleh dipastikan bahwa yang
sebenar-benarnya pemerintah ialah menteri-menteri.
Adapun menteri itu beruratnya di parlemen juga. Satu kabinet
dipilih dari anggota-anggota parlemen yang disukai orang banyak, yaitu seperti
di tanah inggris dari partai yang terkuat dalam parlemen. Wakil-wakil dalam
parlemen negeri Belanda disebabkan karena “hak memilih” yang sempurna (evenredige
vertegenwoordiging) adalah cukup perbandingan banyaknya dengan kaum-kaum dan
partai-partai rakyat sendiri.
Dahulu “hak memilih” itu bergantung pada banyaknya pajak
yang dibayar. Lantaran itu, orang yang berhasratlah yang berhak memilih; jadi
yang kaya atau setengah kayalah, yang boleh diwakili dalam parlemen, yang
dibela atau diuruskan keperluannya. Tetapi oleh karena usahanya kaum sosialis,
maka pada tahun 1917 pemerintah terpaksa melebarkan hak memilih itu, sampai
kepada tiap-tiap orang, sehingga siapapun orang yang beranggota sempurna, boleh
menentukan sendiri siapa yang direlahinya akan membela nasibnya. Dari masa ini
seorang kuli buruhpun boleh memilih (algemen kisrecht).
Lagi pula pada masa dulu itu tiadalah bebas seorang yang
berhak memilih. Kalau satu daftar dari orang yang akan dipilih (bakal-bakal
wakil) dikirim oleh pemerintah pada seorang yang berhak memilih, maka
berkerumunlah di rumah si Pemilih itu segala yang lebih tinggi dari padanya
umpamanya pendeta-pendeta dan alim-alim yang memaksa memilih orang alim juga;
(kalau tidak masuk neraka nanti, awas!) atau seorang majikan yang menyuruh
memilih konconya pula dan sebagainya. Demikianlah si pemilih jadi perkakas para
kanjeng-kanjeng, santri-santri dan majikan-majikan, pada siapa kaum kromo bersangkutan
nasib dan budi. Sekarang memilih itu terjadinya di muka pegawai pemerintah,
yang menjaga supaya si pemilih bebas memilih yang disukainya. Tiadalah ia perlu
sekarang mengatakan pada siapapun mana wakil yang dipilih (sungguhpun begitu,
tiadalah lazim yang seorang dari kaum khatolik (agama) akan memilih seorang
wakil sosialis, lebih-lebih di daerah yang penuh didiami yang alim-alim itu).
Satu dari “hak memilih” yang terutama juga ialah hak rakyat
sendiri boleh memilih wakil parlemen tadi. Dahulu wakil itu datangnya dari
tingkat yang tertinggi sekali, yang tiada berkenalan lagi dengan orang kecil,
yaitu dari propinsi. Jalannya pilih memilih dulu itu adalah seperti berikut:
“Rakyat memilih wakil untuk pemerintah kota (gemeenteraad). Cemeenterad
menunjukkan orang yang akan jadi wakil di propinsi (daerah). Dan propinsi boleh
baru memilih wakil untuk parlemen. Jadi dahulu adalah tiga tingkat yang mesti
ditempuh supaya sampai di Parlemen, sehingga wakil Parlemen itu bukan datang dari
harta rakyat, melainkan dari propinsi tingkat di atas sekali. Kita mengerti,
bahwa wakil itu tentulah sudah dirusakkan dan digilakan raport-raport, dan
rakest-rakest dan lupa akan rakyat yang di bawah yang harus diwakilinya. Macam
yang begini sekarang sudah diubah pula, sehingga rakyat boleh dengan terus
mengirim wakilnya ke Parlemen. Perasaan rakyat yang dikandungnya ketika masuk
Parlemen bolehlah dikeluarkannya terus terang.
Kalau kita masukkan lagi bahwa wakil-wakil negeri Belanda
berhak seperti temannya di tanah Inggris, yaitu berhak initiatief (menaikan
pertimbangan) berhak Interpelatie (bertanyakan kelakuan pemerintah) berhak
Enqueto (memeriksa kelakukan pemerintah dengan mata kepala sendiri) berhak
amandement (untuk mengubah) satu pertimbangan yang datang dari menteri, maka
bolehlah kita putuskan bahwa kekuasaan Parlemen negeri Belanda cukup dan
sempurna.
Dengan hak memilih yang begitu lebar ia boleh mengadakan
wakil dari segala golongan dalam negeri (golongan alim, kaum buruh, atau
kapitalis dan sebagainya) sehingga Parlemen itu bolehlah dikatakan cermin bagi
“kemauan dan kekuatan” segala golongan dalam negeri. Dari partai yang kuatlah
dipilih kabinet, sehingga kabinet ini boleh mendapat suara lebih, kalau
mengeluarkan pertimbangan untuk mendirikan undang-undang, sehingga Parlemen dan
pemerintah (kabinet) boleh dikatakan cocok.
Sebaliknya, kalau parlemen dan kabinet menjadi bertentangan,
maka adalah hak akan mengeluarkan “mosi tak percaya lagi” suatu senjata akan
penarik kaki menteri dari tempat yang tertinggi itu. Dengan pilihan yang baru,
boleh pula diukur kemauan rakyat. Kemauan itulah yang membayangkan dan ialah
partai yang terkuat dalam Parlemen, yang akan menjadi tumpuan dan urat buat
kabinet baru.
Cerita parlemen negeri Belanda bolehlah kita tutup dengan
peringatan bahwa Eerste Kamer, seperti Majelis Tinggi di tanah Inggris,
sekali-kali tidak menyamai kuasanya Twede Kamer; inilah yang sebenarnya
Parlemen, yakni: “Twede Kamer”.
Pasal 2.
Jepang dan Hindia
A. Jepang.
Tentulah kelak akan terlalu panjang dan tidak berfaedah,
kalau di Asia kita bicarakan segala lembaga-lembaga untuk memerintah negeri.
Sudah cukup rasanya kalau kita ambil lembaga itu dari negeri yang merdeka, dan
kedua dari suatu jajahan (koloni). Segala bakal Parlemen di bagian besar Asia
yang lain bolehlah kira-kira dimasukkan ke dalam kedua macam yang tersebut.
Adapun pemeriksaan kita atas Parlemen tanah Jepang tiadalah
akan panjang, karena lembaga di sana tidak asli, malah tiruan dari Barat juga.
Sebab itu cukuplah sudah, kalau kita sebutkan saja nama segala anggota di situ
sambil memberi di sana-sini sedikit peringatan. Selainnya bolehlah dengan
pengetahuan Parlemen di Barat kita dengan lekas menghargainya.
Seperti keterangan Sen Katayama, maka hal pilih-memilih adalah
sangat kuno. Seorang wakil bukan dipilih karena pahamnya disukai, melainkan
karena malu melalui kepada majikan atau ningrat-ningrat tanah Jepang. Lantaran
itu si Kromo sama sekali menambah kekuasaan yang Hartawan dan Bangsawan saja.
Lagipun cuma sebagian kecil orang yang berhak memilih, karena sudah ditetapkan
bahwa yang berhak itu ialah mereka yang penuh membayar pajak, seperti yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah. Sen Katayama menunjukkan pemilihan tahun 1917
dengan angka-angka dimana kita boleh buktikan berapa kecilnya yang berhak
memilih disebabkan peraturan yang berhubung dengan bayaran pajak itu.
Dan lagi si pemilih banyak kena pengaruh si kaya. Kalau
dipikirkan lagi, bahwa vergadering-vergadering banyak dihalang-halangai oleh
polisi, sehingga kaum buruh tidak bisa berkata terus terang, maka nyatalah bagi
kita bahwa mereka yang masuk ke dalam Parlemen itu ialah wakilnya kaum Hartawan
dan Bangsawan Belaka.
Kekuasaan Parlemen di tanah Jepang bolehlah dikatakan tidak
berapa. Yang berkuasa ialah “Huis der Lords” (semacam Majelis Tinggi di tanah
Inggris. Tempat bersemayamnya kanjeng-kanjeng dan ningrat-ningrat. Tetapi di
Jepang lebih besar kuasanya daripada tanah Inggris), dan lagi suatu anggota
yang bernama “Genro” yaitu sidang pembesar yang tua-tua. Genro inilah berhak
mendirikan “Kabinet” (sidang menteri-menteri) dan mereka itulah pemberi
nasehatnya Mikado. “Huis der Lords” dan “Genro” penuh dengan kaum Militer dan
Hartawan yang menyangka bahwa memerintah negeri tak perlu memperdulikan rakyat
(Parlemen). Asal saja, mereka sudah bertanggungan terhadap kepada Mikado.
Tiadalah perlu kita memakai pengetahuan yang lanjut, untuk
membedakan Parlemen Jepang itu dengan Parlemen di negeri Belanda umpamanya,
dimana segala yang memerintah (kabinet) dan raja harus berakar dan bersitumpu
pada Parlemen.
Menurut kabar bulan Juli tahun 1920 ini, keadaan Parlemen
itu, belumlah berubah, dan pemerintah di negara Jepang masih tinggal
semata-mata dalam tangannya Hartawan dan Ningrat.
B. Di Hindia
Kalau kita hendak mengetahui kedudukannya pemerintahan tanah
Hindia ini, haruslah kita menoleh ke negeri Belanda, dari mana segala peraturan
yang terutama bagi tanah kita dijatuhkan.
Dalam “Kleintjes” (Staatsinstelling van Nederlansch Indie,
aturan pemerintah negeri Hindia) pada muka kira-kira kita membaca:
“……oleh karena menteri jajahan (di negeri Belanda) itulah
yang mempunyai “verantwoordelijkheid” (bertanggungan, terhadap kepada parlemen)
maka pemerintahan Gubenur Jenderal itu jauh sama sekali di bawah toezich (penjagaan)
Parlemen”.
Dari satu kalimat ini saja, sudah boleh kita pelajari bahwa
menteri jajahanlah yang menanggung baik buruknya pemerintah Hindia. Tanggungan
itu menyebabkan maka kekuasaan yang tertinggi jatuh di tangannya G.G (Governer
General – Ed.) tiadalah diberi berhak boleh menjalankan perintah sekehendak
hatinya, karena kalau ia salah kelak akan ditanggung oleh menteri jajahan juga.
Kalau kesalahan menteri ini sah, maka Parlemen di negeri Belanda berhak akan
menganti dengan menteri yang lain. Pendeknya: menteri jajahan adalah seperti
menteri-menteri lain-lain, yakni takluk pada Parlemen.
Sebab menterilah yang menanggung terhadap kepada Parlemen,
dan lantaran seorang G.G sebagai seorang pejabat saja. (Kleintjes muka 245,
dimana diterangkan juga, bahwa G.G itu di bawah menteri jajahan). Maka tentulah
seorang G.G perlu sekali cocok dengan menteri jajahan itu.
Adapun G.G itu di tanah Hindia ini dibantu pula oleh “Raad
Van Indie”. Bersama dengan anggota inilah ia memerintah. Lagi pula adalah suatu
biro tertinggi, yakni “De Alegemeene Secretarie”. Lembaga inilah sebetulnya
yang terkuasa sekali, yang menjalankan correspondentie (surat-surat perintah)
dan yang memeriksa segala persembahan terhadap G.G segala lembaga-lembaga
tersebut, yang memerintah tanah kita ini (menteri jajahan, parlemen, de
Algemeene Secretarie, Raad van Indie dan sebagainya) tidaklah keluar dari – dan
berurat pada Rakyat Hindia sejati.
Hal ini tidak patut mendatangkan keheranan bagi kita, karena
tanah Hindia bukan tanah yang merdeka. Sebab itulah sebetulnya kita tidak perlu
melukiskan bagian fasal ini. Tetapi sebab banyak di antara orang-orang Hindia,
maupun dalam surat-surat kabar, ataupun di lain-lain tempat, yang suka
menyebut-nyebutkan nama Dewan Rakyat akan ganti nama Volsraad maka kita merasa
perlu menoleh sebentar pada Dewan Rakyatnya itu.
Namanya itu adalah tiada cocok dengan keadaannya. Kalimat
ini tidak perlu kita saksikan lagi. Barang siapa sudah paham akan arti dan
keadaan sesuatu Parlemen yang sejati (seperti di negeri Belanda atau Inggris)
anggota-anggota dalam Parlemen mempunyai hak yang cukup, seperti interpellatie,
initiatief, amandement, enquote dan lain-lain; berhak menaik dan menjatuhkan
pemerintah (menteri-menteri yang tiada disukai), lekas ia akan merasa perbedaan
besar antara Dewan Rakyat (Volksraad) itu dengan suatu Parlemen.
BAB IV
KRITIK
(CELAAN) ATAS PARLEMEN
Pasal 1.
Kapitalisme dan Sosialisme
Sebelum kita sampai mengeritik Parlementerisme, haruslah
lebih dahulu kita uraikan keadaan Sosialisme, karena kritik itu datangnya dari
pihak kaum Sosialis. Dan supaya kita mengerti akan sosialisme itu, haruslah
kita pelajari dahulu Kapitalisme, karena sosialisme itu lahirnya dari
Kapitalisme.
Sesungguhnya saya ingat, bahwa uraian kapitalisme dan
sosialisme itu di luar daerah maksud brosur ini, yang hendak memeriksa, apakah
yang baik bagi kita di antara keadaan Soviet. Sebaliknya pula kita tidak boleh
memisahkan yang kita semua dipukul rata paham, tentang kedua ilmu yang
tersebut. Supaya saya jangan menyimpang, haruslah keadaan ilmu itu diterangkan
dengan seringkas-ringkasnya. Sungguhpun saya ingat pula akan bahaya bahwa
ringkasnya itu menyebabkan yang kita tidak akan menduga dalamnya ilmu
Sosialisme.
Sebermula maka yang dinamai kapitalisme itu bukanlah uang yang
bertimbun-timbun saja, melainkan suatu benda yang bersenjata tajam dan yang
membelenggu keperluan lahirnya manusia, dan berhubungan dengan itu juga yang
menetapkan adat dan urusan negeri. Sesuatu negeri baru boleh dinamai sempurna
kalau ia mempunyai beberapa dasar-dasar yang kukuh. Di antaranya ekonomi, adat
dan pengadilan. Di antara yang tiga ini, ekonomilah yang menjadi pusat sebab
itulah kita lebih dahulu memeriksa ekonominya negeri, seperti perusahaan tanah,
perusahaan industri (kereta-kereta, kapal-kapal, pabrik-pabrik dan sebagainya)
perniagaan, bank-bank dan lain-lain. Perusahaan industri yang dijalankan
mesin-mesin yang lebih kuat dari raksasa datangnya pada zaman terakhir sekali,
kira-kira permulaan abad yang lalu (ke 19), yaitu disebabkan oleh beberapa
ditvinding (pendapatan dalam ilmu alam).
Industri itulah pula yang terutama sekali dalam segala
perusahaan zaman sekarang, dan ialah pula yang mendatangkan kedudukan baru
antara suatu manusia dengan manusia yang lain (buruh dan majikan). Sebab itulah
kita ambil dulu pemeriksaan atas industri itu.
Akan memudahkan berpikir, marilah kita ingat saja suatu
pabrik, yang cukup mesinnya dan berpuluh ratus kulinya, pada suatu kota yang
besar umpamanya di Eropa, dimana industri itu sudah dewasa (sempurna tua).
Pembaca akan bertanya: dari manakah datangnya manusia yang
berkumpul sampai 5 atau 6 juta itu pada suatu kota, yakni hampir sama banyak
dengan penduduk pulau Sumatera?
Untuk menjawab pertanyaan itu haruslah kita pergi dulu ke
desa-desa di Eropa, yang dulunya dikepalai oleh bangsawan atau hartawan.
Di bawahnya ada beberapa kuli dan di sekiling kebunnya
adalah kebun-kebun kecil harta orang desa. Apalagi tuan kebun tadi mendengar
kabar bahwa ada terdapat sebuah mesin yang baru, yang bisa membajak di
sawah-sawah begitu lekas dan dalam, maka tentulah ia akan mencoba mengerjakan
tanahnya dengan perkakas baru itu. Biasanya mesin yang baru itu sama kuatnya
dengan berpuluh-puluh tangan. Setelah mesin itu dipakai, maka terpisahlah
kuli-kuli yang berpuluh-puluh tadi, lantara dipecat oleh tuan tanah.
Lagi pula kebun-kebun kecil mengelilingi kebun atau sawah
yang luas, yang dijalankan dengan mesin. Tentu tiiada bisa bersaing dalam
perniagaan hasil tanah. Sebab itu kebun yang kecil-kecil jatuh, dan
kesudahannya dibeli oleh kapitalis tanah, yang selalu berdaya upaya untuk
memperluas tanahnya supaya untungnya berlipat ganda. Tani kecil-kecil yang
jatuh itu terpaksalah pergi kerja pada Kapitalis tani atau terpaksalah
meninggalkan desanya untuk pergi mencari pekerjaan di kota-kota yang besar.
Satu dari permintaan si kapitalis yang terutama sekali,
yaitu, haruslah kuli itu seorang yang merdeka. Ia merasa keberatan kalau
seorang kuli masih terikat oleh sawah ladangnya sendiri, sehingga ia setengah
hari mesti kerja untuknya sendiri, dan cuma setengah hari bisa kerja pada
seorang tuan pabrik. Si kapitalis harus mempunyai kuli yang merdeka betul,
yaitu merdeka segenap waktu untuk mengambil putusan mau tidaknya kerja dalam
sebuah pabrik. Tentulah seorang yang tiada mempunyai harta apa-apapun selalu
merdeka, tidak dirintangi pekerjaan sendiri, artinya yang bathin, yakni selalu
ia terpaksa menjual tenaganya pada sebuah pabrik meskipun dengan harga yang
murah sekali.
Permintaan si kapitalis yang kedua, yaitu haruslah banyak
kaum proletar (yang tak berharta) itu melewati dari yang perlu dipakai. Kalau
sesuatu barang perniagaan tidak mencukupi banyaknya, maka harganya naik, dan
sebaliknya pula kalau barang itu banyaknya melewati permintaan, maka harganya
turun. Demikianlah juga halnya kaum proletar, yang dipandang semacam barang
perniagaan saja oleh kaum modal. Haruslah mereka itu banyaknya melewati
permintaan. Supaya harganya murah. Si buruh pun sudah bersenang hati kalau ia
cuma mendapat sesuap nasi saja.
Sebuah kota yang besar adalah penuh dengan pabrik-pabrik
dari segala rupa yang dijalankan dengan mesin yang kuat-kuat, penuh pula dengan
kaum proletar, mereka yang datang dari segenap pihak disebabkan oleh
kemelaratan. Jikalau kita masuki sebuah pabrik, maka kelihatanlah beribu-ribu
kaum buruh yang dikepalai oleh opzichter, ingenitur dan boekheuder. Sia-sialah
kita di sana mencari yang berhak atas pabrik itu, yakni si Kapitalis, karena ia
biasanya tinggal dalam istananya saja, yang berdiri di tempat yang bagus dan
hawanya sehat, tiadalah dekat pabriknya dimana dikotorkan oleh asap dan
sebagainya.
Segala urusan pabrik diserahkan kepada buruhnya, yang diberi
gaji dan sebagian dari untung. Kalau seorang yang memiliki sebuah pabrik masih
mesti sendiri menguruskan pabrik, menjaga uang masuk dan keluar serta mengatur
mesin-mesin, maka belumlah ia itu boleh dikatakan seorang kapitalis, melainkan
seorang bos saja. Sedemikianlah kaum hartawan yang mempunyai suatu perusahaan
pada zaman dulu biasanya bos saja dan ia masih ikut campur kerja dengan kaum
buruhnya sendiri. Jadi yang si kapitalis tulen itu ialah seorang hartawan yang
cuma tahu akan renten (bunga) uangnya saja, yang sungguhpun ia tidur saja bisa
dapat untuk beribu-ribu atau berjuta-juta.
Dua perkara yang harus dipikirkan dalam daya upaya mencari
keuntungan, yakni pokok yang tidak bernyawa dan pokok yang bernyawa.
Sebagaimana kita tahu, maka pokok itu dipakai untuk membeli rumah,
pabrik,mesin-mesin, gerobak-gerobak dan sebagainya (pokok tak bernyawa) dan
lagi untuk membayar upah kuli (pokok bernyawa). Pokok yang tak bernyawa dan
yang bernyawa itulah yang mendatangkan keuntungan. Pokok yang pertama tiadalah
mendatangkan pusing, karena tiap-tiap tahun mudah dikira berapa harganya
mesin-mesin yang rusak. Yang mendatangkan pusing ialah mesin bernyawa (si
buruh). Seboleh-boleh ia dibayar murah, tetapi kalau terlampau murah tentu ia
mati kelaparan dan tidak bisa lagi mendatangangkan keuntungan.
Itulah kesukarannya, yakni mengira banyaknya upah, sehingga
kuli jangan mati, dan untungnya jangan kurang.
Bukti yang ternyata bagi kita, tentulah haruslah kuli
dibayar murah dan disuruh kerja lama. Makin murah bayaran dan makin lama
kerjanya kuli, maka makin besar untungnya di kapitalis.
Kaum proletar yang dalam pabrik itu tidak lain kerjanya
melainkan putar-memutar sekerup, dan hampirlah tiada ada perubahannya dari
bulan ke tahun. Tiadalah ia boleh memikirkan ini itu, hanyalah menurut
perintahnya mesin pada segenap waktu, sehingga bolehlah dikatakan sebagian dari
mesin. Berlain sekali kerja seorang kuli pada zaman kapitalisme dengan seorang
yang kerja tangan pada zaman dahulu kala. Dahulu si pekerja masih merdeka untuk
menentukan kapan ia mesti bekerja, bagaimana ia mau membikin suatu benda dan
dengan perkakas apa.
Pendeknya perkakaslah yang berhamba pada si pekerja, bukan
sebaliknya. Tiadalah kita akan heran, bahwa mesin zaman sekarang menumpulkan
otaknya kaum proletar. Kita lihat bahwa mesin itu sahabat dari si Kapitalis dan
musuhnya si buruh. Bukankah disini juga kereta api musuh tukang-tukang kereta,
yang ditarik lembu atau kuda dan bukankah pertenunan rakyat di Jawa dan
perusahaan tangan yang lain-lain dijatuhkan oleh mesin-mesin dari Eropa?
Sungguhpun mesin itu musuh dari kaum Proletar, tetapi kaum Hartawan selalu
berikhtiar mencari mesin yang baru, dengan itu bisa mengadakan hasil lebih
banyak dan lebih cepat dari pada saingannya (concurrent) sehingga
barang-barangnya boleh dijual lebih murah. Lantaran ini, maka dalam persaingan
itu banyak pabrik-pabrik yang jatuh, disebabkan oleh pendapatan mesin baru itu
(uitvinding). Kejatuhan pabrik-pabrik itu menyebabkan lepasan beratus dan
beribu kuli mesin baru tadi, tidak saja memisahkan kuli-kuli yang tak perlu
dipakai lagi, tetapi juga menyebabkan Harga barang sangat turun, sehingga
gajinya kaum buruh boleh pula diturunkan. Perkara ini sama sekali menambah
besarnya kaum yang tidak berharta (proletar).
Oleh karena menjalankan sekerup-sekerup mesin itu adalah
enteng, maka pekerjaan ini bolehlah dilakukan oleh anak-anak dan perempuan.
Kemasukan manusia yang lemah ini ke dalam pabrik dipukul rata mendatangkan
celaka besar atas kaum Proletar. Kanak-kanak atau perempuan itu, niscayalah akan
dibayar oleh kaum modal dengan harga lebih murah dari lelaki yang besar-besar.
Sebab itulah kaum buruh itu mendapat saingan (concurrent) dari pihak sanak
saudaranya sendiri, yang terpaksa keluar dari rumah, utnuk panambahan rezeki
hidup. Karena “bapak” saja belum cukup mendapat upah. Tetapi kecelakaan lahir
(merendahkan upah) itu belumlah berapa kalau dibandingkan dengan kerusakan
kebudayaan.
Mesin-mesin pabrik yang besar-besar itu tiadalah perlu
berhenti sejurus juga, untuk mengambil napas, sebab itulah maka dengan sekejab
hasilnya itu boleh memenuhi gudang-gudang perniagaan. Lagi pula apabila suatu
barang sangat laku diperniagakan maka timbullah berpuluh-puluh pabrik yang mau
menghasilkan barang perniagaan yang laku itu, sehingga pada suatu saat, tiba-tiba
barang itu melimpah, yaitu melebihi dari pada permintaannya, sehingga harganya
juga tiba-tiba rurun. Maka terpaksalah pabrik yang kecil-kecil ditutup
(krisis). Hal ini tiap-tiap terjadi dan tiap-tiap kali menyebabkan pemecatan
beribu ya berjuta kuli.
Limpahan barang-barang dan kapital itu mengadakan politik
jajahan.
Kaum modal di tanah yang mempunyai industri mengerti bahwa
barang-barang yang melimpah itu boleh dijualkan dengan harga yang tetap di
tanah-tanah Timur, dimana kemesinan dan industrinya sendiri bolehlah dikatakan
tidak ada. Lagi pula kapital-kapital itu bisa dijalankan dan dibesar-besarkan
karena di Timur ini kekurangan spoor. Sebab itulah berebut-rebut kaum modal
dalam perkara mendirikan spoor, yang boleh ditanggung selalu akan mendatangkan
keuntungan yang besar. Selainnya dari spoor itu adalah Timur ini penuh dengan
hasil-hasil tanah, baik di atas baik di dalamnya. Getah, teh, kopi, gula, dan
sebagainya sangat digemari orang di tanah Eropa dan berapa banyaknya pula
barang logam yang boleh mendatangkan kekayaan. Barang-barang industri
(pabrik-pabrik) dari Eropa ke jajahan dan barang-barang hasil jajahan
(grondstoffen dan sebagainya) dari sini ke Eropa atau Amerika, dibawa oleh
kapal-kapal, sehingga pengangkutan barang-barang dari Eropa atau Amerika ke
Timur ini boleh mengadakan kaum modal transport (kapal kereta). Diringkaskan
saja, bahwa mempunyai jajahan itu, bagi sebuah negeri beralasan kapitalisme,
adalah hal yang penting sekali.
Kapitalisme dan politik memungut jajahan (imperialisme) adalah
sebagai badan dan nyawa, tak boleh bercerai-berai.
Oleh karena tidak satu saja di atas dunia negeri yang
beralasan kapitalisme, maka datanglah perlombaan buat merebut jajahan untuk
indsutri masing-masing.
Perlombaan itu mengadakan politik luar negeri dengan
rahasia, dan mengadakan bala tentara darat dan laut yang menghisap uang tiap
tahun berpuluh juta rupiah, dan mendambakan besarnya pajak (pajak) kaum yang
terbanyak dalam negeri, yaitu kaum proletar. Politik luar negeri yang rahasia
(Geheime diplomatic) beserta dengan perlombaan membesarkan tentara
(militerisme), menyebabkan tiba-tiba saja timbul peperangan yang merugikan uang
beribu juta dan jiwa manusia, lebih-lebih kaum buruh berpuluh juta.
Dalam politik rampas merampas (imperialisme) itu kaum uang
dibantu keras, tidak oleh meriam dan dinamit saja, tetapi juga oleh
sekolah-sekolah, surat-surat kabar, ya, gereja-gereja, segala tipu muslihat
busuk dan baik dipakai, untuk menambah kuatnya kaum sendiri dan membusukkan
kaum pihak musuh.
Buku-buku cerita dalam sekolah, karangan-karangan dalam
surat-surat kabar dan agama-agama pun campur menolong kaum modal mempertahankan
dan memperbesar “hak milik dua tiga orang Hartawan” dalam negeri yang dalam
lembaga apapun juga besar sekali pengaruhnya, lebih-lebih dalam parlemen dan
bank-bank.
Dengan ringkasnya di atas tadi, maka kita boleh saksikan,
bahwa kemajuan mesin itu mengumpulkan orang beribu-ribu kerja pada sebuah
pabrik; menambah banyaknya orang yang tak berharta (kaum proletar); menambah
sengsaranya kaum yang tak berharta itu dan membesarkan perbedaan kekayaan dan
kesenangan antara yang berharta dengan kaum proletar. Kita lihat pula,
bagaimana persaingan (concurentie) dalam perniagaan itu betul mendatangkan
pendapat mesin baru (uitvinding) dan keuntungan bagi dua tiga orang, tetapi
kerap kali menjatuhkan pabrik-pabrik yang lemah dan saudagar kecil-kecil dan
tiap-tiap mendatangkan krisis (harga barang turun) dalam hal-hal mana kaum
proletar dilepaskan beribu-ribu. Kelimpahan modal dan barang dagangan,
mengadakan politik jajahan, mengadakan tentara laut dan darat dan kesudahannya
menyebabkan peperangan, dalam hal-hal mana kaum yang terbesar dan termiskin
juga yang terberat menanggung kesengsaraan.
Dalam mencari keuntungan, baik dengan jalan damai maupun
dengan jalan peperangan, maka kaum modal itu dibantu oleh undang-undang yang
beralasan kapitalisme itu. Sekolah-sekolah pertengahan dan yang tinggi-tinggi
cuma bisa dimasuki oleh anak-anak kaum hartawan juga, dan kaum kromo terpaksa
disebabkan kemiskinannya segera menarik anaknya dari sekolah, supaya
kanak-kanak itu bisa menolong orang tuanya mencari penghidupan. Oleh sebab itu,
maka dalam pabrik-pabrik dan kereta-kereta, kaum Kromolah juga yang jadi kaum
buruh, sedangkan anak-anak hartawan itu bisa menjadi pemimpin atau bisa
memiliki mata pencaharian yang besar-besar (productiemiddelen).
Dalam tentarapun mereka yang keluar dari sekolah rendah itu
akan tinggal jadi serdadu saja, dan mestilah menurut perintah opsir-opsir yang
tinggi-tinggi, yang asalnya dari kaum modal itu. Parlemen yang penuh dengan
biro-biro (kantor) rahasia dan berhubung keras dengan bank-bank pun mempunyai
sifat yang bertentangan dengan kaum buruh. Undang-undang ekonomi, pendidikan,
pengadilan, tentara dan Parlemen, yang sama sekali dinamai Kapitalisme itulah
yang menyebabkan kaum buruh tetap tinggal kaum buruh, tetap tinggal dalam
kemiskinan, kelemahan, sedangkan kaum hartawan tetap dalam kekayaan dan
keselamatan.
Peraturan kapitalisme ini sama sekali dibantah keras oleh
kaum Sosialis, yang menerangkan dengan jelas kemajuan kemesinan, kedatangan
peraturan negeri, yang asalnya terdapat pada peraturan hak diri (particulier
bezit). Hak diri inilah yang menjatuhkan hasil (pabrik kereta, dan tanah dan
sebagainya) ke tangan dua tiga orang dalam negeri. Maka tiadalah akan boleh
didapat keadilan dan keselamatan dalam dunia, apabila perkakas mendapatkan
hasil itu belum dijatuhkan di tangan orang bekerja.
Sesudah maksud ini dilangsungkan, maka barulah segala
peraturan pendidikan, pengadilan dan Soviet (Dewan Rakyat) seperti yang
dikehendaki oleh kaum Komunis, lamban laun, bisa mendatangkan keadilan dan
keselamatan.
Pasal 2.
Parlemen, (kekuasaan Rakyat = Volkssouvereiniteit) memihak pada Kaum Modal.
Rasanya tiada berapa lama kita menyimpang untuk
memperhatikan sedikit perlawanan Kapitalisme dan Sosialisme, sekarang kita akan
semata-mata menentang kepada Parlemen saja.
Dahulu, ketika kita membicarakan kelahiran, kehidupan dan
kemajuan anggota Parlemen itu tiadalah kita sedikit juga mendatangkan kritik.
Dengan sengaja sebab maksud kita bukan hendak menyuruh benci lebih dahulu
melainkan memberi pertimbangan yang adil. Sebab itulah harus diceritakan
Parlemen itu dengan sempurnanya, sehingga tiada bisa orang mengatakan bahwa
kita berat sebelah. Dalam hal itu manusia itu bersifat khilaf.
Sebagaimana pada zaman kuno, seorang raja merasa perlu
memakai suatu benda yang mengetahui hal ihwal suatu negeri (Dewan) demikianlah
adat itu tinggal dipakai dan dilebarkan pula dalam zaman kapitalisme ini.
Kemenangan kapitalisme atas feodalisme (zaman mempunyai raja dan raja-raja
kecil) disertai oleh kemenangan parlemen atas ”Dewan masa kuno” itu.
Perkelahian antara raja dengan kaum Hartawan – yang mau naik itu, membayang
pula dalam Parlemen, dimana partai kaum Hartawan menyerang keras pada partainya
kaum Bangsawan dan raja.
Kita tahu, bahwa zaman raja itu hidupnya terutama pada zaman
pertanian pertukangan, yaitu pada ketika mengadakan produksi itu terutama
dengan tangan dan perkakas kuno, berlainan sekali dengan zaman kapitalisme,
dimana industri itu mengadakan hasil dengan mesin yang besar-besar. Sebab
itulah alatnya memerintah itu (Dewan) begitu gampang kalau kita bandingkan
dengan alatnya memerintah zaman sekarang, yakni dengan Parlemen.
Janganlah kita terperdaya (menjadi bingung) kalau kita
mendengar bahwa dalam suatu Parlemen itu juga ada wakilnya kaum proletar.
Memang ada, tetapi mereka itu sangatlah kecil pengaruhnya atas pemerintahan
negeri (menteri = permusyawaratan menteri-menteri).
Kita lihat maupun masa pemerintahan Disraeli (di tanah
Inggris), maupun masa Gladstone, tidaklah ada dasar-dasar atas azas-azas
pembesar-pembesar itu satu sama lain yang bertentangan betul, sungguhpun yang
pertama memimpin partai konservatif (kuno) dan yang lain memimpin Liberal
(progresif).
Perceraian kedua itu partai itu tidaklah disebabkan
perlawanan Kapital dan upah, atau Kapitalis melawan Proletar, sekali-kali
tidak, malah lantaran perbedaan pikiran tentang cepatnya kemajuan negeri, yang
berdasar Kapitalisme. Apabila kita baca, bahwa Gladstone memihak pada kaum
buruh, maka janganlah hal ini kita artikan bahwa Gladstone itu seorang Sosialis
atau Komunis yang mau menukar ”hak diri” – (Particulier bezit) dengan ”hak
bersama”. Tidak, melainkan dia membujuk kaum Proletar dengan beberapa hak-hak
kecil supaya wakil-wakil kaum buruh yang dalam Parlemen mau menolongnya kalau
ia kelak menaikan voorstel, yang tidak pernah berbantahkan dengan keperluannya
kaum Modal. Sebaliknya pula, kalau partai liberal tidak cukup memberi umpan,
maka kaum buruh tadi larilah pada kaum Konservatif, yang selalu mencari
pertolongan dalam perlawanan melawan kaum liberal.
Perlawanan dua partai itu jangan kita sangkakan perlawanan
nyawa, melainkan perkelahian murid-murid bersilat dalam suatu guru, ialah
pura-pura. Pertentangan yang tiada berapa dalamnya itu tiadalah akan
mendatangkan permusuhan yang hebat, kedua partai itu cuma berkelahi pura-pura
dalam rumah yang beralasan Kapitalisme.
Dalam pada itupun wakil-wakil kaum Proletar memasuki rumah
itu pula dan mencampuri perkelahiannya itu. Sebab itulah ia lupa akan maksud
merubuhkan rumah kapitalisme itu, dan ia semata-mata jadi perkakasnya
partai-partai kaum modal yang dua tadi juga.
Kita tidak akan menghinakan wakil kaum buruh yang dalam
Parlemen itu. Kita ingat juga akan kepintaran, kecakapan dan keberanian dari
setengahnya mereka itu. Kita ingat juga akan hak-haknya semacam ”hak
initiatief” (membikin voorstel) ”hak Interlellatie” dan sebagainya dan tidak
lupa akan kemerdekaan wakil-wakil kaum itu dalam berbicara.
Tetapi kita tahu pula bahwa ”perkataan” itu saja tidak bisa
menaklukkan sifat kemodalan itu. Tidaklah bisa kepintaran dan keberanian
seorang wakil membatalkan kemauan suatu pemerintah (menteri) yang memihak pada
kaum kapitalis.
Kebijakan orang Perancis dalam berpidato sudahlah termasyur
dimana-mana. Acapkali, kalau suatu voorstel (pertimbangan dari pemerintah atau
menteri) datang, voorstel itu boleh dibatalkan oleh seorang wakil dengan
kebijaksanaan. Acap kali wakil itu dapat pujian rahasia dari menteri-menteri
negeri. Tetapi, kalau pemungutan suara datang, wakil yang bijaksana itu akan
kalah suara juga.
Yang menentukan kalah menangnya, dalam hal pemungutan suara,
ialah kuatnya partai, dan partai yang terkuat baik di Eropa, baik di Amerika
(yang termasyur demokrasinya itu) ialah partai kaum Modal juga. Inilah yang
bisa menaikkan voorstel dengan berhasil. Ia inilah yang sebetulnya memerintah.
Bagaimanapun juga aturannya parlemen itu, konon yang kuat
dalam perjuangan ekonomi, itulah juga yang akan berkuasa dalam Parlemen.
Gereja-gereja yang dapat bantuan keras dari kaum Modal juga ikut menjalankan
tipu muslihat kalau waktu pemilihan wakil-wakil di Parlemen itu datang.
Sebagian besar dalam negeri, yakni kaum tani atau buruh masih dengan mudah kena
pengaruh kuat pendeta-pendeta, yang memakai senjata-senjata agama.
Sering-sering si Kromo diancam dengan ”api neraka” kalau ia berani memilih
wakil yang bukan dari partai kaum agama itu. Di pabrik-pabrik, di kereta atau
di sekolahpun tiadalah kurang propaganda kaum modal itu.
Surat-surat kabar yang besar-besar, yang hampir sama sekali
dijalankan oleh atau kena pengaruh kaum Modal, tiada putus berteriak menyuruh
memilih kandidat-kandidatnya, sehingga sungguhpun banyaknya kaum kapitalis
sangat kecil, tetapi wakilnya ada kira-kira ¾ (seperti di negeri
Belanda).
Lebih-lebih pada suatu negeri, yang belum dewasa
Parlemennya, nyata sekali perlawanan satu golongan dengan golongan yang lain,
bukan buruh melawan kapitalis saja, tetapi juga kapitalis besar melawan
kapitalis kecil.
”Eugen Richter” menceritakan dalam buku peringatannya pada
waktu membicarakan voorstel pajak tembakau dalam tahun 1879 di tanah Jerman
seperti berikut:
”Wakil-wakil dari daerah perkebunan tembakau (tuan tanah)
kecil memvoorstel, supaya tembakaunya jangan diberati pajak tetapi meminta
supaya tembakau yang masuk dari negeri asing diberati betul. (Disini kelihatan,
bahwa keperluan tuan tanah kecil dengan keperluan saudagar, yang menjualkan
tembakau tanah asing itu di tanah jerman, adalah bertentangan). Tetapi
wakil-wakil saudagar tembakau asing itu, meminta supaya tembakau masuk jangan
di bea-i berat oleh pemerintah, sedangkan wakil-wakil dari tuan-tuan tembakau
industri (kapitalis sejati), memvoorstel, supaya maupun tembakau tuan tanah
kecil, maupun tembakaunya tuan-tuan saudagar di-bea-i betul-betul. Pengharapan
raja-raja tembakau industri itu, tidak lain malah supaya saingannya sama sekali
jatuh.”
Tembakau saja sudah mendatangkan begitu huru-hara. Apalagi
kalau kaum modal yang lain-lain (besi, tambang, dan sebagainya) masing-masing
meneruskan kemauannya. Kutipan sedikit dari ceritera tuan Von Gerlach itu
memberi keyakinan bagi kita, bahwa Parlemen itu bayang-bayang perkelahian
ekonomi dalam negeri, yakni antara buruh dan kapitalis, Modal kecil melawan
Modal besar.
Dahulu sudah kita terangkan, bahwa voorstel, yang biasa
dikabulkan, yakni yang datangnya dari pemerintah juga (menteri), yang
berhubungan dengan partai yang terkuat dalam Parlemen. Tetapi tiadalah partai
itu saja yang mendatangkan kemenangan.
Menteri yang mau membikin voorstel itu haruslah lebih dahulu
mencari keterangan yang lanjut.
Maka segala keterangan-keterangan itu boleh didapatnya pada
biro-biro, yang penuh dengan ambtenaaar-pejabat yang sudah duduk
bertahun-tahun, yang ahli atas berpuluh-puluh undang-undang dan
statistik-statistik. Apabila seorang menteri kelak dalam Parlemen berdebat
dengan seorang wakil (wakil kaum buruh umpamanya) yang tidak pintar putar
memutar undang-undang, tidak tahu atas statistik yang sudah bertahun-tahun itu,
tentulah si wakil itu akan dipermainkan saja oleh menteri itu, seperti tikus
dipermainakn oleh kucing. Sungguhpun wakil kaum buruh dengan keras dan yakin
menyaksikan kesengsaraan si Kromo, yang tempatnya tinggal tidak berdekatan
dengan biro-biro yang benar-benar itu, tetapi kekerasan dan keyakinan itu akan
mudah dipadamkan oleh angka-angka dari statistik-statistik. Seorang yang
menyaksikan dengan mata sendiri bisa dikalahkan oleh seorang yang pandai
berhitung, sebab itulah maka keperluan kaum buruh itu kerap kali bertentangan
dengan sifatnya pejabat atau biro.
Karena seorang menteri barulah merasa kuat kalau ia sudah
dapat bantuan dari biro (di antaranya ada gehsim bareau = rahasia) (acapkali
pejabat dari suatu biro ikut menolong menteri kalau ia berdebat), maka
beranilah kita memutuskan bahwa sifatnya pemerintah yang berasalan
parlementerisme itu birokratis. Apabila kita pikirkan lagi, bahwa biro-biro itu
keras perhubungannya dengan Bank-bank (benteng kaum uang), maka tiada akan
mendatangkan keheranan bagi kita bahwa sesuatu Parlemen tidak bisa lepas dari
pengaruh kaum Modal.
Dahulu sudah kita tuliskan bahwa menurut ilmu
Parlementerisme itu maka kekuasaan Rakyat (Volsksouvereniteit) dipindahkan pada
Parlemen, dan kekuasaan Parlemen sebagian dipindahkan pada menteri, yang
dikepalai oleh seorang Premier (seperti di tanah Inggris).
Kalimat di atas ini banyak celahnya.
Pertama wakil-wakil dalam Parlemen itu dipilih sekali 4 atau
6 tahun. Dalam waktu mereka itu duduk dalam Parlemen tentulah pikiran Rakyat
yang memilihnya sudah berubah-ubah.
Juga lantaran wakil-wakil itu tidak campur lagi sama Rakyat,
maka tiadalah mereka boleh dikatakan wakil Rakyat lagi, karena seorang wakil
itu mestinya semata-mata orang suruhan saja.
Kedua, pemerintahan diceraikan atas ”yang membikin
undang-undang” (Parlemen) dan ”Yang menjalankan undang-undang” (menteri). Oleh
sebab, seperti diterangkan di atas, menteri itu penuh dengan biro-biro, maka
”pembikin undang-undang” dan ”menjalankan undang-undang” sebenarnya jatuh pada
menteri. Sebab perhubungannya biro-biro dalam menteri dengan Bank-bank dan
sebagainya maka lantaran itulah suatu negeri yang mempunyai Parlemen (kekuasaan
rakyat jangan lupa) mau saja memungut pajak untuk militer darat dan laut, mau
saja merampas tanah atau harta orang-orang, mau saja mengijinkan berperang,
pendeknya mau saja mengikuti kemauannya kaum Modal, yang tidak
kenyang-kenyangnya itu dalam hal mencari keuntungan.
BAB V
BISAKAH
PARLEMEN ITU DIPAKAI UNTUK MENDATANGKAN CITA-CITA SOSIALISME?
Akan menjawab pertanyaan ini dengan sempurna, haruslah lebih
dahulu kita ingatkan, bahwa pada masa kita menulis brosur ini, kaum Buruh
dengan kaum Modal di tanah Eropa tidak saja lagi bertentangan pikiran, tetapi
sudah sampai musuh memusuhi dan berperang-perangan, sungguhpun kaum buruh
terbanyak, sungguhpun serangannya hebat, tetapi kaum Modal lebih menahan
serangannya tu, terutama lantaran bantuannya Parlemen yang berhubungan dengan
balatentara, justisi, dan polisi. Teranglah anggota-anggota ini nyawanya suatu
Negara, karena yang dinamai Negara itu oleh kaum Modal, ialah ”suatu kekuasaan
pada suatu daerah yang dibatasi”. Kaum Modal dan kaum-kaum intelektualnya
(terpelajar) mempunyai keyakinan bahwa dalam suatu Negara haruslah ada
kekuasaan, yaitu buat menguasai sebagian besar dari manusia dalam perkumpulan
tadi. Itulah tandanya bahwa persaudaraan atau kepercayaan manusia yang hidup
dalam Negara zaman kapitalisme ini sama sekali hilang, sehingga apapun juga
korban untuk keperluan bersama, pajak umpamanya, korban itu mengadakan pejabat,
yang tiap-tiap mesti dibantu oleh justisi atau polisi, atau oleh rumah tahanan.
Sedangkan pada zaman kuno, pada zaman familie-Negara umpamanya, seorang kepala
dari familie itu tiada lain kekuasannya melainkan budi baik dan perkataan yang
lemah-lemah saja.
Oleh karena curi-mencuri dan rampas-merampas itu dalam suatu
Negara zaman sekarang terutama merugikan yang kaya-kaya juga, lantaran itulah
maka peraturan negeri itu asalnya dari dan gunanya untuk kaum modal juga.
Dalam sejarah kita boleh buktikan, bahwa makin kaya kaum
Modal, makin miskin pula kaum Buruh. Lantaran itu pertentangan kedua kaum tadi
bertambah-tambah, dan hal ini terbukti pula atas sempurnanya peraturan dan
kekuatan justisi, polisi dan rumah tahanan, benda-benda mana familie Negara
Minangkabau umpamanya pada 100 tahun yang lalu tiada terdapat, tiada susah lagi
kita menahankan arti kalimatnya Karl Marx, yang mengatakan, bahwa ”suatu
Negara, yaitu pengakuan dan hasilnya pertentangan yang besar antara dua
golongan (Buruh melawan Modal).”
Apabila kita perhatikan pertentangan kapital (pokok) dengan
upah, perlawanan si Kapitalis dengan si Buruh, yang tiada akan habis-habisnya
selama ada zaman kapitalisme, maka terbitlah dalam pikiran kita pertanyaan yang
penting, apa bisakah Parlemen itu dipakai untuk mendatangkan cita-cita
Sosialisme?
Berhubung dengan jawabnya, kelak, kita bisa menentukan jalan
dan taktik, yaitu pertama jalan, semata-mata mendidik rakyat supaya bisa
mengatur negeri ”dengan lekas” (haluan revousioner), atau kedua merebut kursi
dalam Parlemen, supaya kaum buruh ”bisa menang suara” (haluan evolusi).
Persoalan itu menyebabkan datangnya beberapa partai di dalam
golongan kaum sosialis sendiri, yang terutama ialah partai Sosial Demokrat dan
Partai Komunis. (Partai anarkis, juga cabang dari partai Sosialis. Mereka
menyangka, kalau tiap-tiap yang berkuasa, dimana bertemu, maka sifat seorang
manusia menguasai manusia lain itu akan hilang dari dunia, dan kesudahannya
keselamatan dan orde itu akan datang sendirinya saja. Anarkis Rusia, maksud
mereka itu sosialisme juga tetapi jalannya mendatangkan tidak dengan organisasi
damai). Kaum Sosial-Demokrat ini, sekarang di tanah Jerman, diakui sebagai
partai yang memimpin, partai mana dikepalai oleh presiden Ebert: di negeri
Belanda namanya SDAP yang dipimpin oleh Troelstra. Partai yang kedua ialah
partai Komunis atau Bolshevik namanya di tanah Rusia, yang dipimpin oleh Lenin
dan Trotsky.
Perselisihan kedua partai yang terbesar itu teranglah tidak
lantaran maksud, karena baik Sosial-Demokrasi maupun Komunisme mau mendatangkan
sosialisme (keselamatan). Tetapi daalm hal caranya berjalan dan lamanya
berjalan, mereka bertukar paham. Pengarang dan juru berpikir kaum Sosial
Demokrat yaitu Karl Kautsky, yang ketika mudanya juga menamai dirinya seorang
Marxis, menyangka bahwa kalau lambat laun kaum buruh mendapat kursi terbanyak,
maka wakil-wakil kaum buruh itu akan bisa mengalahkan suara kaum modal. Dengan
jalan suara itu, maka hak diri (particulier bezit) boleh ditukar dengan hak
bersama sehingga segala ”mata pencaharian” (pabrik, tambang, spoor tanah dan
sebagainya) jatuh di tangan dan diurus oleh orang banyak.
Tetapi Lenin menyangka bahwa Parlemen yang berhubungan
dengan biro-biro, balatentara, Negara, polisi dan justisi dan berhubungan keras
dengan Bank-bank, yakni bentengnya kaum modal itu, tiada bisa akan semata-mata
menaikkan keperluan rakyat yang terbukti bertentangan dengan keperluan dan
sifatnya kaum modal.
Sesungguhnya zaman ini terpenting sekali, kedua partai
tersebut tadi sekarang menjadi pemimpin Rakyat. Zaman inilah juga kelak akan
menjadi hakim, yang memutuskan siapa yang berpaham betul. Tetapi sampai
sekarang belumlah ada kemenangan kaum Buruh Jerman atas kaum Modal. Sebaliknya
kaum Bangsawan dan Hartawan, yang pada tahun 1918 menarik diri dari
pemerintahan negeri, dan mesti mengaku Ebert jadi presiden Rakyat, sekarang
makin lama makin timbul. Pabrik-pabrik, tambang, dan spoor masih tinggal di
tangan dua tiga orang dalam negeri.
Bank-bank masih bersimaharajalela seperti dahulu, pendidikan
masih mencukupi anaknya kaum modal saja, surat-surat kabar yang besar-besar
masih tinggal di tangan dua tiga orang kapitalis, ya, kekuasaan parlemen dan
makin lama makin menjadi seperti ketika di bawah pemerintahnya kaisar Wilhelm
II. Pengaruhnya kaum Modal sekali-kali tidak kurang, malah bertambah-tambah,
dan tiap-tiap ia berusaha supaya kaisar Wilhelm itu dinaikkan kembali dan
supaya ”republik” yang sekarang ini diganti dengan ”Kerajaan”. Hal ini tiada
boleh dilangsungkan, juga disebabkan oleh lasykarnya kaum Sarekat (Inggris,
Perancis, dan lain-lain) yang menjaga supaya kaum-kaum yang membikin peperangan
pada tahun 1914 (kaum militeris Jerman) jangan kembali memerintah.
Oleh karena kaum Komunis di tanah Jerman, yang dipimpin oleh
Almarhum Liebknicht dan Rosa Luxemburg, sama sekali tiada mau campur memerintah
dalam Parlemen kaum modal itu, maupun dengan wakilnya kaum Kapitalis, maupun
dengan wakilnya kaum militer, maka kaum komunis itu menjadi bertentangan dengan
kaum Sosial-Demokrat.
Pertentangan itu menjadikan permusuhan, sehingga kaum Sosial
Demokrat alias kaum buruh itu mesti meminta-minta dan menerima pertolongan dari
kaum Modal dan Militer. Lama-lama kaum ini bisa merebut kembali kekuasaannya
seperti sebelum tahun 1914, sehingga sekarang Parlemen, biro-biro dan
sebagainya penuh pula dengan wakilnya kaum Modal serta militer itu, sehingga
Presiden Ebert itu cuma tinggal semacam bendera merah, yang terkibar di atas
benteng kaum uang saja.
Teranglah sekarang bagi siapapun, bahwa Republik tanah
Jerman cuma namanya saja, Republik Rakyat yang sesungguhnya berkuasa ialah kaum
modal, dan kita bisa meneruskan keyakinan kita, bahwa Parlemen, yang
berhubungan dengan biro-biro, justisi dan balatentara yang bersifat kemodalan
itu tiadalah bisa kita pakai untuk menyampaikan cita-cita sosialisme.
Sebaliknya pula haruslah kaum Buruh sendiri bikin organisasi, kelak kalau
saatnya datang, sanggup mengatur pemerintah, hasil negeri, pengadilan dan
pendidikan
Buanglah sama sekali pengharapan, yang disangkakan datang
dari sesuatu Parlemen!!
BAB VI
SOVIET
Sungguhpun kita menaruh keyakinan, bahwa zaman komunisme
mesti datang, tetapi tidak sekejap juga kita lupa bahwa kita masih hidup dalam
zaman kapitalisme. Sungguhpun kita tidak seperti kaum Sosial- Demokrat
mengandung pengharapan atas suatu parlemen, semacam suatu anggota yang bisa
menyampaikan maksud kita, tetapi kita bukan utopisten (pemimpi) atau anarkis,
yang menyangka bahwa sosialisme itu akan datang saja sesudah segala
lembaga-lembaga yang berkuasa dijatuhkan.
Kita tidak lupa, bahwa sifat-sifat manusia yang buruk itu,
tidak bisa tiba-tiba hilang sama sekali, begitupun sifat-sifat yang baik itu,
tiadalah bisa kita dapat dalam seketika saja. Sejarah pun menyaksikan sudah
bahwa kesempurnaan sifat suatu hewan atau manusia itu datangnya sesudah
beratus-ratus, ya beribu-ribu tahun. Sengaja kita menceritakan Parlemen dengan
jalan historis supaya kita boleh buktikan bahwa Parlemenpun ada mempunyai umur
kanak-kanak, dewasa, dan umur ketuaan.
Oleh karena kita tahu, bahwa komunisme itu, yaitu lahirnya
dari kapitalisme, sebab itulah kita memandang penting sifat-sifatnya
kapitalisme yang mesti kita tambah terus atau disempurnakan itu, tetapi oleh
karena peraturan kapitalisme bertentangan dengan keperluan kaum Buruh, karena
gunanya ialah untuk mengikatkan hidup keburuhan (proletar), maka terpaksalah si
buruh mengambil peraturan lain, yang bertentangan sifatnya dengan peraturan
kemodalan tadi.
Berhubungan dengan keterangan di atas, maka kaum komunis
membagi perjalanannya atas tiga tingkat.
A. Tingkat yang pertama masih
berdiri dalam Kapitalisme.
Artinya itu sebelum datang saatnya itu dimana kaum buruh
bisa menjalankan peraturan sendiri, yang bertentangan dengan peraturan
Kapitalisme tadi, maka ia mesti bersiap supaya kelak semuanya dilakukan dengan
teratur dengan serukun. Dalam zaman Kapitalisme ini ia mesti membangun
lembaga-lembaga, yang bersifat Komunsime, yang tidak bisa dimasuki oleh
pengaruhnya Kapitalisme.
Dua senjatanya kaum buruh yang terutama kelak akan
menyampaikan niatnya yakni serikat buruh dan organisasi politik. Yang pertama
kewajibannya mengangkat senjata ekonomi, yang baru bisa tajam, kalau sudah
dimasuki politik, yaitu politiknya kaum Buruh sendiri. Kalau sesuatu serikat
buruh dicampuri oleh politiknya kaum Sosial Demokrat, yakni kaum yang tidak
berani memutuskan perhubungan sama sekali dengan kaum modal, yang meniru-niru
taktik atau politiknya kaum Modal itu dalam serikat buruhnya, maka maksudnya
kaum Buruh tidak bisa sampai.
Kalau saatnya datang, dimana kaum buruh mesti sendiri
mengatur ekonomi, maka pemimpin-pemimpin dari kaum Sosial Demokrat tadi menarik
dan menakuti hati kaum buruh. Oleh karena urusan orang dan uang dalam tangannya
maka anggota-anggota serikat buruh menyangka pemimpin yang berhaluan Sosial
Demokrat itu semacam seorang pejabat, yang mesti diikuti saja, yang tidak mau
dicela atau dibantahi. Hasilnya pergerakan serikat buruh semacam itu tiadalah
ada cuma untuk tiap-tiap penaikkan gaji dua atau tiga sen, yang menyebabkan
harga barang-barang selalu dinaikkan.
Sebab itu haruslah politiknya serikat buruh itu berdasar
”tidak” menaruh kepercayaan, yakni atas keselamatan hidup, dalam negeri
berdasar kapitalisme. Meskipun ia tiap-tiap mesti bikin aksi untuk penaikkan
gaji, yang kerendahan, tetapi maksudnya yang lebih jauh dan lebih mulia
tiadalah boleh dilupakan yakni: ”Kelak akan mengurus ekonomi negeri untuk semua
yang kerja”.
Lantaran itu sesuatu serikat buruh mesti selalu mengandung
cita-cita yang lebih tinggi dari cita-cita uang saja; ia mesti mengandung
politik komunisme. Sudahlah terang bahwa politiknya kaum komunis itu tidak
politik damai dengan kaum Modal. Selalu ia berkewajiban, baik dalam parlemen
maupun dalam organisasi ataupun dalam Vergadering, memeriksa argumen
(sebab-sebab) kaum Modal dalam politiknya terhadap pada kaum buruh. Begitupun
ia wajib menjaga supaya kelembekannya kaum Sosial Demokrat jangan merusakkan
hati dan keyakinan kaum buruh. Sebab kekerasan itu, dan selalu ia mesti keras,
lagi pula lantaran tidak lekas mendapat hasilnya pergerakan, malah selalu dapat
nistaan dari pihak manapun, maka partai komunis itu dimana-mana kecil saja.
Tetapi tidak banyaknya anggota yang bisa menyampaikan maksud
itu, melainkan isinya tiap-tiap anggota, yakni sifat keberanian, kelurusan dan
kepintaran. Ketahuilah, bahwa tingkat yang kedua itu sukar sekali.
B. Tingkat kedua perlu untuk
melangkah kepada zaman komunisme, dan untuk membatah sifat-sifat kemodalan.
Tingkat ini dinamai juga ”Diktatornya kaum Proletar”.
Artinya itu, pada waktu ini kaum buruh terpaksa mengadakan lembaga dan
undang-undang yang bertentangan dengan keperluannya kaum modal. Karena
sifat-sifatnya peraturan ekonomi, pendidikan, engadilan, militer,
parlementerisme dan sebagainya sama sekali bertentangan dengan keperluannya
kaum buruh, maka haruslah dibangunkan pula lembaga-lembaga yang melawan sifat
kemodalan dan mengandung bibit sosialisme.
Lembaga kaum buruh itu tentulah tidak bisa dibangunkan dalam
zaman kapitalisme, melainkan dalam waktu dimana kekuasaan sama sekali sudah
jatuh di tangan kaum buruh. Jatuhnya itu sekali-kali tidak perlu dengan jalan
pemberontakan (revolusi) saja. Sedangkan di tanah Rusua, revolusi ketika
naiknya kaum Bolshevik itu tiadalah begitu hebat kalau dibandingkan dengan
revolusi di tanah Perancis (1789).
Sebenarnya ialah karena ekonominya tanah Rusia lantaran
peperangan besar tahun 1914 ini jatuh sendiri. Kaisar Rusia tidak bisa perang
terus, sebab uang habis, Rakyat kelaparan, serdadupun kekurangan obat bedil dan
senjata. Kerajaan itu dijatuhkan oleh kaum kapitalis di bawah pimpinan
Milyukof, dan Republik kemodalan ini dijatuhkan pula oleh kaum Sosial Demokrat
yang dipimpin oleh Karenski. Kaum ini tidak bisa memutuskan perhubungan dengan
lembaga-lembaga kaum modal sama sekali, dan tidak bisa memberi makanan,
rumah-rumah dan pakaian pada Rakyat yang dalam kemelaratan sangat, dan terutama
sekali tidak bisa memperhentikan peperangan untuk kaum modal serikat (Inggris,
Perancis dsb). Sebab kemelaratan Rakyat bertambah-tambah, maka tibalah saatnya
bagi kaum Bolshevik untuk mengatur ekonomi negeri.
Adapun peraturan itu bolehlah kita bagi dua yakni peraturan
ekonomi (pabrik, bank, tambang, spoor tanah dan sebagainya) dan peraturan
batin, sebagai politik, pengadilan dan pendidikan. Pada tiap-tiap pabrik
tambang atau spoor, maka kaum buruh sendiri sudah mengadakan komite di lembaga
mana sekarang jatuh kekuasaan. Komite kaum buruh inilah sekarang yang
menggatikan majikan, dialah yang memeriksa produksi satu-satu pabrik, yang
sekarang dijalankan bukan lagi untuk si Kapitalis, yang tahu diuntung saja,
melainkan untuk Rakyat yang bekerja. Dahulunya pemimpin yang terpelajar pada
sebuah pabrik (opzichter, bookhouder dan insinyur) kerja untuk meajikan, tetapi
sekarang terpaksa disuruh kerja untuk Rakyat. Sungguhpun begitu tiadalah
dilupakan yang mereka terpelajar itu mesti mendapat penghidupan yang sempurna.
Karena insinyur, bokkhouder atau opzichter itu asalnya dari kaum kapitalis,
maka tiadalah ia menyetujui haluan kaum Bolshevik. Dengan bermacam-macam
muslihat, (sabotase) ia berdaya upaya supaya produksi pabrik menjadi kurang
supaya peraturan Bolshevik boleh dibilang salah.
Tentulah sabotase itu mudah dilakukannya, karena ia pintar.
Teranglah hal ini mendatangkan permusuhan dengan kaum buruh
yang kerap kali mendatangkan paksaan yang lebih besar.
Berulang-ulang kita sudah bicarakan, bahwa Bank itu pada
masa sekarang besar sekali pengaruhnya. Di mana-mana ia meminjamkan uang sama
satu pabrik atau perusahaan kebun, sehingga industri sesuatu negeri biasanya
takluk pada Bank itu. Pun di Rusia kelihatan kekuasaannya. Pabrik-pabrik yang
sudah jatuh di tangan kaum buruh tiada akan dipinjami uang lagi oleh tuan bank,
kalau masih diadakan kontrolnya kaum Bolshevik. Lantaran ini, maka sesuatu
pabrik niscaya mesti ditutup atau dihapuskan kaum buruh, supaya si Kapitalis
bersimaharajalela kembali seperti dahulu kala.
Tanah-tanahpun banyak jatuh di tangan atau pengaruhnya Bank.
Barangsiapa meminjam uang, maka bank itu meminta jaminan, sehingga dengan jalan
ini banyak tanah dimilikinya. Sungguhpun serdadu-serdadu yang lari atau pulang
dari medan peperangan dan Rakyat dalam kelaparan, tetapi hasil tanah-tanah itu
masih diperniagakan oleh spekulator bank sehingga harga-harganya makin lama
makin naik.
Dalam pemerintahan pun kelihatan pengaruhnya. Sosial
Demokrat Kerenski sudah bisa membikin undang-undang untuk mendirikan
rumah-rumah atau memberi makan dengan harga murah pada Rakyat yang dalam
kemelaratan tadi. Tetapi semua tidak bisa dijalankan sebab menteri keuangan
menjalankan sabotase (halang-halangan) dengan biro-bironya. Apabila menteri itu
dipecat, maka ia dapat pertolongan besar dari Bank.
Bukankah terang perhubungan Bank dengan Pemerintah Negeri?
Pengaruh Bank yang begitu besar yang bisa merusakkan daya upayanya kaum buruh
barulah bisa dihapuskan sesudah bank itu dijadikan Bank Rakyat dan uang-uangnya
dijalankan untuk keperluan Rakyat.
Dahulunya perniagaan itu dijalankan untuk mencari keuntungan
bagi dua tiga orang dalam negeri. Kalau barang banyak, maka harganya jatuh.
Sebab itulah barang itu ditahan-tahan oleh orang yang bermodal besar supaya ia
bisa mendapat untung berlipat ganda. Sekarang perniagaan itu dalam negeri
dihilangkan sehingga harga turun naik itu pada hal mana Rakyat juga yang dapat
celaka, hilang pula. Perniagaan cuma terjadi dengan negeri luaran, yaitu dalam
barang-barang yang perlu dipakai dalam pabrik. Dan yang tidak didapat di tanah
Rusia.
Demikianlah ringkasnya peraturan ekonomi yang dilakukan oleh
kaum Bolshevik, yaitu menjatuhkan segala perkakas mengadakan hasil (tanah,
tambang, pabrik dsb) atas tangan Rakyat atau wakilnya sendiri. Segala
politiknya, berasal dari peraturan itu juga, yaitu menjaga, supaya kaum Modal
dalam negeri dan musuh di luar negeri jangan merusakkan peraturan itu baik
lahir (dengan jalan berperang) maupun batin (sabotase). Demikianlah lahirnya
peraturan Soviet, yang bukan baru atau buah pikiran saja, melainkan pendapatan
Rakyat sendiri dalam pergerakannya. Peraturan Soviet itu sudah dilakukan juga
pada tahun 1870 (di tanah Perancis), sungguhpun tidak bisa berdiri beberapa
lama, sifat-sifat Soviet itu bertentangan dengan sifat-sifat Parlemen.
Seperti Parlemen mempunyai sifat untuk mengekalkan si Buruh,
demikianlah sifat Soviet itu untuk menghilangkan kemodalan. Seperti wakil dalam
Parlemen terutama mewakili harta benda, begitulah Soviet itu mewakili Rakyat
dan datangnya wakil bukan dari atas melainkan dari Rakyat sendiri.
Yang terutama sekali harus dihilangkan sifat birokratis itu.
Sebab itulah, maka wakil itu tidak mesti membikin undang-undang saja
(Parlemen), tetapi haruslah membikin dan menjalankan undang-undang sama sekali.
Seperti dalam suatu Kongres, maka yang memvoorstel itulah pula yang biasanya
menjalankan. Bukanlah seperti dalam negeri beralasan Parlementerisme, yang
membikin undang-undang itu dipisahkan dengan yang menjalankan, sehingga
biro-birolah yang berkuasa. Lagi pula, haruslah wakil yang tiada sanggup atau
kelihatan tidak sanggup, atau curang, dalam segenap waktu boleh dipecatkan.
Sebab itu, waktu memilih itu jangan sekali dalam 3 atau 6
tahun umpamanya. Dengan jalan ini, wakil itu bisa sekali campur dengan Rakyat
dan Rakyat selalu bisa memeriksa pekerjaannya, dan tiadalah sempat ia menjadi
pejabat yang percaya sama laporan-laporan saja, sehingga ia menjadi
bertentangan dengan Rakyat.
Peraturan Soviet itu, tiadalah sukar melukiskan:
Keterangan:
Sebuah negeri ada mempunyai desa-desa, yang biasanya
menghasilkan padi atau gandum, dan kota-kota, dimana terkumpul pabrik
bermacam-macam barang dan spoor. Di desa tinggal pak tani, dan di kota tinggal kaum
buruh.
Sekarang tiap-tiap desa haruslah mengadakan Soviet sendiri.
Anggotanya dipilih oleh desa itu dengan ”hak pilihan” yang cukup.
Anggota-anggota itu sering-sering dikirim ke kota untuk membicarakan ini itu.
Umpamanya berapa ia harus mengadakan gandum, supaya kelebihan gandumnya itu
boleh ditukarkan dengan barang-barang pabrik (barang-barang besi, minyak tanah,
kertas dan sebagainya).
Di kota bolehlah ia bertemu dengan wakil-wakil desa lain,
dan wakil-wakil buruh kota itu sendiri. Pendeknya wakil-wakil desa A, B, dan C
seringkali datang menghardiri Kongres di Kota D (Lihat Gambar). Kembali dari
Kongres ia menceritakan pendapatnya pada kaum tani di desanya, dan sesudahnya
”vergadering Desa” ia turut campur kerja bertani dan campur bergaul-gaul seperti
orang bersaudara.
Di kota pun sendiri sering-sering diadakan kongres untuk
kaum buruh pabrik atau spoor pada seluruh kota itu. Perkara wakil-wakil adalah
seperti dalam Kongres juga dan sesudah Kongres, maka kaum buruh tadi kembali di
pabrik dan sebagainya.
Oleh karena satu daerah (distrik) berbeda keperluan dan
hasilnya dengan daerah lain dan juga untuk mempersatukan seluruh negeri, maka
perlu diadakan kongres negeri pada ibu kota. Di sana berkumpul wakil-wakil dari
segala kota-kota. Di sana dibicarakan pertukaran hasil suatu kota dengan kota
yang lain, di sana dibicarakan politik umum.
Di tanah Rusia Soviet negeri itu mempunyai 2500 wakil.
Inilah anggota pengganti Parlemen pada zaman Kapitalisme. ”Soviet Negeri” ini
membikin kongres 2 kali satu tahun. Di antara wakil-wakil itu juga dipilih
untuk menjalankan undang-undang, yang sudah ditetapkan dalam kongres tadi. Jadi
pekerjaannya hampir sama dengan ”Dagelijksech Bestuur” pada suatu Vereeniging.
Dia kerja sampai kongres dimuka.
Sesudah kaum Bolshevik berkuasa sendiri, maka barulah ia
dapat mengadakan ”Pengadilan” yang berdasar lain daripada pengadilan zaman
kapitalisme. Oleh karena dalam zaman kapitalisme, hakim-hakim itu asalnya dari
kaum uang juga, dan didikannya kemodalan, maka tiadalah kita heran kalau
perasaannya bertentangan dengan perasaan kaum buruh.
Lagipula yang miskin dalam negeri tiadalah mampu membayar
hakim yang pintar, sehingga dalam perlawanannya dengan kaum modal tentu akan
kalah saja. Bagaimana pengaruhnya uang kita boleh ingat perkara Caillieux di
tanah Perancis kira-kira 1914. Sungguhpun isterinya membunuh seorang redaktur,
yang ternama pandai, tetapi kecerdikan hakim mempertahankan istrinya itu bisa
membebaskan dia sama sekali. Misal itu kita boleh tambah dengan seberapa saja.
Kita boleh pastikan bahwa yang kaya atau kuasa dalam negeri itu kerap kali bisa
dapat bebas, sedangkan si buruh yang mencuri barang sedikit saja sebab
kelaparan hampir selalu kena hukuman. Sungguhpun suatu ”teori hukum dan hakim”
(dalam cita-cita) ada sempurna, tetapi karena peraturan Kapitalisme, maka yang
miskin dan bodoh itu juga yang kena timpa.
Kita yakin, yang Rakyat sama sekali bisa pandai sendiri
menimbang apa yang dinamai adil dan apa yang tidak. Kalau pengadilan itu
sebelah-sebelahnya dijadikan umum, dan artinya umum itu, yaitu kalau siapapun
boleh turut bicara mempertahankan diri atau dirinya orang lain, niscaya
perasaan Rakyat akan bertambah-tambah. Begitu juga keberanian dan kepintarannya
berbicara. Hal ini bolehlah disaksikan dengan sejarah juga.
Di minangkabau, dimana famili Negara itu kira-kira 100 tahun
lalu berdasar demokrasi, tiap-tiap orang tahu undang-undang, dan tahu
menjalankan undang-undang. Pada masa itu baik laki-laki, baik perempuan, ya
kanak-kanak gemar bicara gemar mengunjungi suatu perkara (rechtszaak) dimana
tiap-tiap orang merdeka berbicara. Seorang yang paling miskin pun boleh
menuduh, boleh menjadi saksi.
Pengadilan pada ”masa adat” itu adalah umum sekali, dan
termasuk sekali pada hati dan pikiran seluruh Rakyat Minangkabau. Beberapapun
sukarnya perkara, selalu ia dilakukan Rakyat sendiri. Tetapi sesudah
”Pengadilan Rakyat” itu diganti dengan anggota ”Pengadilan Pemerintah zaman
sekarang”, maka segala pengetahuan Rakyat dalam hal undang-undang itu hampir
sama sekali hilang, begitu juga kepandaian dan bijak berbicara. Sisa peraturan
yang kuno itu sekarang di Mingangkabau masih didapat pada orang-orang tua baik
laki-laki, baik perempuan; mereka masih kenal adat dan undang-undang di luar
kepala.
Daya upaya kaum Bolshevik, juga hendak membangunkan
Pengadilan Rakyat. Sungguhpun cita-citanya itu tidak besok atau lusa boleh
didapat, tetapi peraturannya sekarang lambat laun bisa menaikkan dan
menyempurnakan persamaan keadilan seluruh Rakyat. Maka cara-caranya pengadilan
kaum Buruh Rusia hampir seperti di Minangkabau juga. Segala Rakyat dalam satu
pergaulan, baik di desa baik di pabrik turut campur, dan putusannya jatuh pada
vergadering juga. Kalau mereka yang hadir tidak tahu jalan, barulah di tolong
hakim-hakim yang terpelajar. Tentulah maksudnya akan menghilangkan hukuman yang
menghinakan, karena hukuman yang berat bagi seorang manusia ialah peringatannya
(kesadaran) sendiri. Bahwa segala teman-temannya melihat dia seperti orang
bersalah. Malu itu lebih berat dari ”tutupan” atau ”perantaian” (sungguhpun
dulu di Minangkabau seorang pembunuh boleh didenda saja. Tetapi pembunuh adalah
jarang sekali. Perkara-perkara biasanya tidak disebabkan oleh curi-mencuri).
Juga perkara pendidikan tiadalah disia-siakan. Pendidikan
pada zaman kaum Modal, yang mengekalkan kemodalan juga, ditukar dengan didikan
yang betul-betul mendidik segala Rakyat. Barang siapa pandai dalam suatu hal,
maka kepandaian itu akan diteruskan. Umpamanya seorang anak kaum buruh pabrik
yang pintar berhitung dan suka pada mesin-mesin akan diajar menjadi insinyur.
Sebaliknya pula, meskipun ia anak seorang majikan atau pembesar negeri, tetapi,
kalau ia menjadi kaum buruh pabrik saja, atau menjadi pengarang atau yang
lain-lain, yang semuanya perlu dalam sesuatu pergaulan hidup. Dengan jalan
semacam itu, maka tiap-tiap orang ditaruh pada tempatnya sendiri, sehingga
tiap-tiap orang gemar kerja, dan lantaran ini orang kerja dengan sekehendak
hatinya, juga sebab ia dapat didikan yang cukup. Apalagi kalau kesehatannya
dijaga, tentulah ia tiada bisa malas, sehingga ekonomi negeri boleh berlipat
ganda dari sekarang.
Pada zaman kapitalisme, anak si kaya itu, meskipun otak
tiada jalan (encer), tetapi ia mau mesti ke sekolah tinggi juga. Kesudahannya
ia menjadi insinyur dan sebagainya yang kurang cakap dan kurang rajin,
sedangkan anak kromo, tinggal kromo juga, meskipun seribu kali encer otaknya.
Sebab itulah hasil negeri zaman Kapitalisme tidak bisa menyamai hasil negeri zaman
Komunisme.
Lagi pula anak-anak dalam didikan Komunisme itu tiadalah
sehari-hari diajarkan pekerjaan otak saja, sehingga otaknya jadi lembek, dan ia
jadi benci pada pekerjaan tangan. Inilah juga kecelakaan didikan zaman
kapitalisme. Pendidikan yang tinggi-tinggi itu, dimana kerja tangan tidak
diindahkan, sudah mengandung bibit kemodalan, yakni membenci pada pekerjaan,
yang tidak dijalankan dengan otak saja. Pemuda-pemuda keluaran sekolah,
menyangka 10 kali lebih baik dari magang (klerk) daripada jadi tani atau tukang
kayu. Pada sebuah sekolah berdasar Komunisme, segala anak-anak dicampurkan,
tidak memandang asal. Lagi pula pekerjaan otak (sekolah) dicampur dengan kerja
tangan (yang memang mesti dengan otak juga). Barang siapa pintar dalam suatu
bidang, berhitung umpamanya, maka anak itulah yang dididik betul-betul dalam
hal berhitung. Pendeknya maksud pendidikan itu bukan untuk menetapkan kemodalan
untuk satu pihak dan keburuhan untuk pihak yang miskin, melainkan untuk
mengeluarkan segala yang mulia yang tersembunyi pada tiap-tiap manusia, dan
untuk menyenangkan pergaulan hidup.
Segala peraturan ekonomi, (tambang, pabrik, spoor dan
sebagainya) Soviet, pengadilan dan Pendidikan kita ambil ringkasan saja,
sungguhpun kita tahu, bahwa percobaan kaum Bolshevik ada penuh dengan
kepandaian dan sifat-sifat yang bisa menambah pengetahuan. Maksud kita yang
terutama untuk menceritakan bahwa sesudah Soviet berdiri (yakni anggotanya
memerintah buat kaum buruh), maka Soviet maupun peraturan yang lain-lain itu
gunanya untuk:
1. Penjaga supaya kaum Modal berpengaruh
besar itu jangan bangun kembali.
2. Pelawan musuh baik dari dalam baik dari
luar.
3. Penanam bibit Komunisme.
Zaman yang mengandung ketiga daya-upaya ini dinamai
”Ditaktornya kaum Proletar”, dalam zaman mana kaum buruh menghilangkan segala
sifat kemodalan. Bukanlah zaman ini zaman komunisme, karena manusianya sama
sekali masih baru datang dari neraka kemodalan. Zaman ini perlu datang sebelum
tingkat yang ketiga datang.
C. Tingkat yang ketiga yakni zaman
Komunisme atau Sosialisme, dimana tiap-tiap orang kerja sekuatnya dan mendapat
hasil dengan secukupnya.
Kita bukan kaum utopis yang berseru-seru saja dalam doa
supaya komunisme itu datang. Kita yakin bahwa keselamatan dan kesempurnaan
manusia itu datangnya mesti dengan daya upaya juga. Sebab itulah maka
”Diktatornya kaum Proletar” itu diadakan. Dalam pergaulan ini orang boleh
berusaha mencapai yang kita maksud lebih tinggi.
Segala hasil pekerjaan yang baik bisa melaksanakan kita
sampai dan kesalahan kita boleh menjadi pengajaran.
Oleh karena baru keluar dari Neraka Kapitalisme dan
tiap-tiap kita dalam zaman kediktatoran mengadakan undang-undang untuk
sementara, yakni: ”Barang siapa tidak bekerja, tiadalah dapat makanan” bukanlah
undang-undangnya Komunisme sejati. Dalamnya ada terlintas sedikit paksaan,
yakni atas orang yang malas. Sebenarnya kemalasan itu tiadalah sama sekali
sifat seorang manusia, malah berhubung juga dengan sifat-sifat kemodalan dan
berhubung juga dengan kesehatan badan atau dengan didikan yang diterima pada
masa kecil.
Pada zaman Kapitalisme, tidak bisa seorang Proletar cinta
pada pekerjaannya, maupun pada majikannya, karena sebagian besar dari pada
hasil yang diadakannya dimiliki oleh yang mempunyai modal. Lagi pula hampir
tiap-tiap si Buruh terpaksa mengambil sembarang pekerjaan saja, yang bisa
memberi sesuap nasi dan sepotong kain, karena ia tiada mempunyai perkakas
mengandalkan hasil lagi seperti zaman kuno (tani) (Pada zaman tani orang masih
mempunyai tanah dan cangkul sendiri, Pada zaman Kapitalisme sama sekali pabrik
dan mesin kepunyaan kaum Modal). Makin lanjut umurnya Kapitalisme, makin kurang
banyaknya orang yang mempunyai harta, makin keras kemelaratan, dan makin besar
”hak milik” seorang yang bermodal besar. Berhubung dengan hal-hal ini, maka
hampir tiap-tiap orang dalam negeri berdasarkan kemodalan kerja untuk mencari
upah atau untung saja. Sebab itulah maka ”zaman Diktatornya kaum Proletar”
sementara mesti memakai undang-undang yang tersebut di atas.
Undang-undang yang lain yang juga sementara mesti dilakukan,
yakni: ”Bayaran yang sama buat pekerjaan yang sama”.
Ditilik dengan cermin kemodalan, undang-undang ini tiada ada
cacatnya, karena memanglah 2 orang yang sama banyak mengadakan hasil, mesti
sama mendapat bayaran. Tetapi kalau kita pikirkan dalam-dalam, maka kehasilan
yang sama banyak itu hampir tiada pernah didapat dengan tenaga atau daya upaya
yang sama berat. Seorang yang kuat dan pintar tentulah dengan segera bisa
mengadakan hasil itu sedangkan si bodoh dan lemah, meskipun ia rajin, lama dan
sukar sekali bisa mendatangkan hasil yang sebanyak itu juga. Jikalau kedua
pekerja tadi dibayar sama banyak, bukankah pembayaran itu memberatkan pihak
yang lemah-lemah?
Menurut dasar Komunisme juga tiada ada halangan kalau yang
kuat itu umpamanya mendapat makanan yang tidak sama banyak dengan seorang kecil
dan lemah, karena memanglah badannya yang kuat itu juga mempunyai keperluan
yang lebih. Kalau kita ingatkan lagi bahwa satu manusia dengan manusia lain
berbeda perasaan dan keperluannya lahir dan batin, maka tiadalah sukar bagi
kita akan mengambil misal-misal untuk membuktikan bahwa undang-undang yang
kedua tadi memang belum sempurna. Seperti undang-undang yang pertama tadi, kita
terpaksa memakainya, ialah disebabkan oleh sifat-sifat yang kita peroleh
lantaran kemodalan, yang dibelakang kita juga.
Undang-undang yang nyata mengandung bibit Komunisme dalam
”zaman Dikator” ialah ”Satu buat semua dan semua buat satu”. Sesudah perkakas
mengadakan hasil jatuh di tangan Rakyat, maka undang-undang ini betul-betul
dilakukan. Dalam Pabrik, tambang atau pun pertanian (Kommune) maka
undang-undang ini dijadikan dasar. Yang jelas buahnya tentulah dalam pendidikan
(didikan). Anak-anak yang hidup dalam Kommune itu tentulah lebih mudah
dihinggapi sifat-sifat yang mulia, lebih mudah dari orang yang sudah dewasa
yang sudah sama sekali dirusakkan oleh kemodalan. Seperti sudah kita ceritakan,
maka maksud pendidikan itu untuk kerukunan kerja otak dengan kerja tangan,
untuk menghilangkan persangkaan bahwa bekerja itu membuat mencari upah atau
untung saja. Pada anak-anak yang dijaga betul-betul kesehatannya, dan sifat itu
tentu akan mudah hinggap kegemaran kerja, yakni bekerja sebab badan kita mau,
dan untuk bersama. Sebab itulah, maka Komunisme yang betul-betul itu datangnya
baru sesudah satu atau dua keturunan. Kelak tiap-tiap desa atau pergaulan akan
cukup mempunyai kesenian (lagu, gambar, karangan, buku-buku dan syair) dan
ilmu-ilmu, yang sama sekali menambahkan perasaan halus manusia.
Sama sekali kelak harta buah perasan atau pikiran itu bukan
mencari untung bagi satu atau dua orang, melainkan untuk menyenangkan pergaulan
hidup.
Sebagaimana partai politiknya kaum komunis dalam zaman
Diktator memegang kekuasaan negeri, begitulah juga serikat buruh memegang
ekonomi. Jalan mewakili seperti dalam Soviet juga yakni dari bawah ke atas dan
dilakukan oleh si pekerja atau kepercayaannya. Supaya segala cabang Industri
(pabrik kain, pabrik besi, pabrik kulit dan lain-lain) jangan berpisah-pisahan,
jadi supaya segala cabang-cabang merasa satu keperluan segenap Rusia, maka
tiap-tiap cabang itu mengirim wakil ke Moskow.
Disana duduk wakil-wakil dari sekalian serikat buruh,
seperti wakil-wakil yang terkumpul pada Pusat Kontrol dalam zaman Kapitalisme
juga. Dia berhak masing-masing dengan mufakatnya wakil lain-lain industri akan
menentukan upah dan lamanya kerja.
Oleh karena beratnya kerja dan juga harganya tiap-tiap macam
hasil barang, besi, sepatu berlain-lainan, tentulah juga lama kerja dan upahnya
untuk bermacam-macam si pekerja itu dilain-lainkan pula.
Buktinya, seorang yang kerja pada sebuah tambang (di bawah
tanah) tentulah dilainkan upah dan lamanya kerja dengan pekerja dalam pabrik
sepatu umpamanya. Perkara lama kerja, upah liburan, obat mengobat
(geneeskundige behandeling) dirembuk ditetapkan oleh kaum pekerja sendiri dalam
Pusat Kontrol tadi dan tiadalah ia dalam hal itu bisa ditindas-tindas lagi.
Supaya hasil yang bermacam-macam itu (pakaian, mesin-mesin,
makanan dan sebagainya) jangan kekurangan atau kelimpahan, maka mestilah pula
diadakan satu lembaga yang bisa menentukan berapa tiap-tiap cabang industri
mesti mengadakan hasil. Kalau sampai hasil pakaian kelimpahan, tetapi
mesin-mesin misalnya untuk seluruh Rusia kekurangan, maka haruslah
pabrik-pabrik pakaian sementara ditutup, dan pabrik-pabrik mesin ditambah.
Pendeknya mesti ada pimpinan pusat. Pusatnya itu didapat pada anggota yang
boleh dinamakan Dewan Ekonomi. Dalam Dewan ini duduk wakilnya si pekerja
Industri dan tani dan duduk juga orang-orang pandai hal ekonomi dan
mesin-mesin. Dewan Ekonomi, tiadalah perkakas pemerintah, melainkan untuk
menentukan hasil, untuk membeli barang-barang dari luar negeri (karet, besi
dsb), membagikan barang-barang itu di pabrik-pabrik di Rusia, mengumpulkan
hasil-hasil segala pabrik di Rusia dan membagikan hasil itu pada tiap-tiap kota
atau desa. Bagaimana kerja dalam pabrik, seperti upah, dan lama kerja
seboleh-bolehnya dipulangkan pada kaum pekerja sendiri, yang mempunyai anggota
seperti Pusat Kontrol tadi. Dengan jalan ini dihindarkan penindasan atas kaum
pekerja, dan faedahnya Dewan Ekonomi tadi terutama buat mempersatukan
cara serta banyaknya produksi untuk segenap Rakyat.
Menilik kepala karangan kita, dan nama Bab ini (Soviet),
maka orang bisa menyangka bahwa kita menyimpang dari peraturan yang mau kita
bicarakan, karena sedikit saja kita menyebutkan nama-nama Soviet.
Supaya hal ini jangan bisa mendatangkan ragu, maka kita
merasa perlu memberi keterangan yang bisa menghilangkan keraguan itu.
Pertama sifat Soviet itu tidak terdapat pada anggota
pemerintah saja, baik dalam desa, pabrik, kota ataupun negeri, tetapi dasar
”satu untuk semua, dan semua untuk satu” itu juga ditanam pada Pusat Kontrol, pendidikan
dan sebagainya yang sama sekali gunanya untuk pendatangkan Komunisme. Begitulah
juga dasar-dasar yang lain, seperti mewakili sepanjang kaum pekerja
(Industriele vergenwoordiring) ”Kekuasaan Rakyat” terdapat dalam sekalian
anggota-anggotanya zaman Diktator.
Kedua, umur Soviet di Rusia baru dua atau tiga tahun, adalah
muda sekali kalau dibandingkan dengan umur Parlemen yang sudah beratus-ratus
tahun (tanah Inggris). Segala hak-hak (pilih-memilih, hak initiatief,
interpellatie dan sebagainya) sesuatu Parlemen, yang juga dipakai dalam
”vereeniging” biasa, yang juga menjadi Haknya sesuatu Soviet, tentulah tidak
perlu kita ceritakan lagi panjang lebar. Sebab itulah cukup mudah kalau
disebutkan saja sifat-sifat yang terutama bertentangan.
Pertentangan maksud yang mesti kita ingat antara Soviet
(sebagai anggota pemerintah) dengan Parlemen, yakni: Suatu Parlemen gunanya
untuk mengekalkan keburukan dan kapitalisme, tetapi Soviet perkakas sementara untuk menghilangkan kemodalan dan
mendatangkan Sosialisme.
Dua sifat Soviet itu, (yakni ”penghilangan kemodalan dan
menanam bibit Sosialisme), jangan kita lupakan! Apabila lembaga-lembaga
ekonomi, pendidikan dan pengadilan kelak menjadi sempurna, maka Soviet itu akan
hilang, atau dihilangkan. Dalam hal in zaman Diktator berganti dengan zaman
Komunisme sejati (Sosialisme). Zaman Komunisme sejati (tingkat no.3) yang sama
(cocok) dengan Sosialisme itu, boleh kita gambarkan dengan keadaan pergaulan
hidup, yang berdasar: Tiap-tiap orang kerja sekuatnya dan mendapat hasil
secukupnya. (Artinya seorang yang sehat, yang kena didikan sempurna, dan
mengerjakan pekerjaan yang disukainya, bisa rajin. Inilah namanya kemerdekaan,
karena kerja itu bukan paksaan lagi, melainkan menurut sifat manusia. Lagi pula
tiap-tiap orang akan dapat rezeki cukup karena hasil negeri akan
bertambah-tambah). Jadi maksud Komunisme itu, sama dengan maksud Sosialisme,
tetapi sedangkan Sosialisme mempunyai bermacam-macam jalan (yakni kaum
Sosial-Demokrat dengan jalan Parlemen, kaum Anarkis dengan bom dan dinamit),
maka Komunisme menetapkan jalan dari 3 tingkat-tingkat, yang sudah kita
terangkan. Ringkasnya: Arti kata Sosialisme itu ada lebih umum dan lebar dari
perkataan Komunisme, dan sebab umumnya itu mudah mendatangkan keliru.
Berapa lamanya zaman Diktator dan berhubung dengan itu,
berapa lamanya Soviet mesti dipakai, tiadalah bisa kita tentukan. Meskipun
lembaga-lembaga ekonomi, pendidikan ada sempurna, tetapi kalau kaum Modal dalam
dan luar negeri yang berpengaruh begitu besar, lagi bisa menipu-nipu Rakyat dan
bisa menghalang-halangi daya upaya kaum Komunis, tentulah perdamaian masih
jauh. Kita melihat bahwa kaum Modal di Rusia tidak saja mengadakan sabotase dan
pemberontakan dalam negeri tetapi bisa memanggil pertolongan dari negeri-negeri
luar yang berdasar kemodalan. Berapa sudah tentara yang dikirim oleh kemodalan
dunia untuk menjatuhkan kaum Bolshevik. Berikut-ikut tentara-tentara itu
ditewaskan, meskipun Rusia kelaparan, kekurangan obat bedil dan senjata,
sedangkan tentara-tentara kaum yang berkecukupan serdadu, senjata dan makan.
Bagi kita kaum Komunis kemenangan atas musuh yang berlipat ganda besar dan
kayanya itu adalah suatu bukti bahwa peraturan Soviet betul kukuh dan betul
senyawa dengan Rakyat. Tetapi sebaliknya kita tidak lupa yang Rusia sendiri
tentu tidak akan bisa melawan terus musuh yang beratus kali kuat itu.
Negeri-negeri lain di Eropa juga mesti mempunyai Soviet, yakni Diktatornya kaum
Proletar. Barulah boleh serdadu-serdadu yang berhaluan komunis itu menukar
senapan dengan perkakas pengadaan hasil.
Barulah bisa segala lembaga-lembaga ekonomi hidup dengan
sempurna. Tetapi seperti sekarang ini semua kaum Komunis yang berani, lurus dan
yakin, mesti saban-saban tampil di medan peperangan, mesti saban-saban menahan
pelor meriamnya kaum modal
BAB VII
PENGHABISAN
Sepanjang persangkaan kita sendiri, cukuplah rasanya kita
memperlihatkan sifat, asal dan lembaga-lembaga Barat, yang salah satunya mesti
kita pilih, kalau kita mendapat kemerdekaan buat mengatur negeri sendiri.
Sebagai seorang berhaluan Komunis, tentulah kita tidak mendoa hati lagi akan
keburukan Parlemen dan kebaikannya Soviet, seperti juga kita tidak mendua hati
akan kebusukannya kapitalisme dan perlunya datang Komunisme. Bagi kita buruk
baiknya itu tiadalah bergantung pada kalau menangnya Soviet –Rusia. Kalau
negeri-negeri beralasan Kapitalisme, yang di luar Rusia (Jerman, Inggris,
Jepang, Amerika dan sebagainya) belum bisa melawan musuh kemodalan itu, atau
masih tertipu oleh taktiknya kaum Sosial Demokrat, maka adalah lagi sifat
kemodalan yang mesti akan membuka mata kaum Buruh seluruh dunia, dan memaksa
dia menuju berjalan ke padang Komunisme.
Sifat Imperialisme, yakni nyawanya kemodalan, akan segera
kembali menimbulkan peperangan, dan akhirnya sifatnya itu juga akan meracun
dirinya sendiri.
Bahwasanya, maka sejarah dunia ini sudah menyaksikan, bahwa
sesuatu benda yang mengandung kebenaran itu mesti akan timbul, berapapun juga
halangan dan musuhnya, berapapun juga propagandanya kaum Bolshevik pada masa
Tsar memerintah dihalangi, berapapun sengsaranya yang ditanggung oleh Lenin dan
Trotsky sendiri tetapi konon cita-cita yang suci itu mesti akan memancarkan
cahayanya. Lupakah kita sengsara nista dan maki yang ditanggung oleh Nabi
Muhammad dalam 10 tahun itu, ialah sebelum ia berpindah ke Madinah? Lupakah
kita, bahwa 2000 tahun dahulu, kebenaran dalam agama Nasrani mesti dibayar oleh
Nabi Isa dengan darah dan nyawanya? Bukankah kaum segala nabi-nabi yang lain,
sama sekali dalam awalnya kecil, dan baru sesudah sepuluh, ya, sampai beratus
tahun maka berarti? Sebab bukti-bukti dunia kita sendiri itulah, maka Komunis
atau tidaknya kita ini, bukan bergantung pada kalah atau menangnya kaum kita
yang sedikit di tanah Rusia itu.
Lagi pula kaum Modal, yang dengan surat-surat kabarnya tak
putus membusuk-busukan kaum Komunis di Rusia, boleh membaca sejarahnya sendiri.
Lebih kurang 60 tahun dia mesti berperang, sampai baru bisa mengalahkan partai
raja dengan bangsawannya. Kekuasaan Monarki (memerintah dengan raja dan
Ningrat) mulai dibongkar oleh kaum modal pada tahun 1789 pertama di negeri
Perancis. Pemberontakan itu begitu besar artinya, sehingga tahun 1789 itu
dinamai batasnya sejarah yang baru. Negeri-negeri yang lain di tanah Eropa
(Jerman, Inggris, dan lain-lain) juga mengambil contoh. Dalam
pemberontakan-pemberontakan itu, maka kaum Modal, yang dibantu oleh Rakyat,
kerap kali mendapat kalah sehingga saban-saban raja-raja yang sudah diusir dulu
bisa timbul kembali. ”Menang” dan kalah, begitulah nasibnya kaum Modal yang
pada masa itu berhaluan revolusioner, dari tahun 1789 sampai 1848, sesudahnya
mana kaum Monarkis semuanya kalah, dan kekuasan jatuh sama sekali atas
Parlemennya kaum Modal. Enampuluh tahun kaum Kapitalis mesti berperang, supaya
maksudnya sampai. Sekarang dia mau, supaya kaum Bolshevik bisa mengalahkan kaum
kemodalan Dunia dalam 2 atau 3 tahun!!!
Siapa yang berpikiran suci serta adil, dan tidak berhati
dengki atau takut, tentulah segera akan mengerti tipu muslihatnya politik kaum
Modal dunia sekarang.
Apabila hati dan pikiran kita dengan azas-azas yang sudah
kita terangkan, sudah yakin akan kebaikannya Komunisme, maka tinggallah atas
kita lagi kewajiban untuk memeriksa dan menunjukkan apa bisa dan mestikah
negeri Hindia ini diatur menurut aturan Komunisme.
A. Asal partai-partai politik di Hindia, serta sifat dan
keadaan partai-partai itu.
Menurut sejarahnya tanah Jawa, dan menilik sisa-sisa
peraturan pemerintah zaman kuno, dan menilik adat istiadat rakyat, maka
bolehlah kita katakan bahwa peraturan pemerintah berkasta-kasta dan berhubung
dengan itu adat dan perasaan berkasta-kasta sangat termasuk dalam darah daging
penduduk pulau Jawa dan Bali. Peraturan itu asalnya dari tanah Hindustan,
dimana penduduk negeri dibagi atas 4 kasta, yakni kasta Brahma (pendeta),
Ksatria (bangsawan), Waisa (hartawan dan kaum tukang-tukang) dan kasta Sudra
(budak). Tiap-tiap kasta itu tiada boleh campur-bercampur; brahma itu bolehlah
dikatakan perhubungan manusia dengan Tuhan, dunia dan akhirat; dari Ksatria
datangnya raja-raja, sedangkan kaum Sudra lain tidak gunanya malah untuk
bekerja buat 2 kasta yang terutama (Brahma dan Ksatria) sungguhpun ia tidak
dipandang semacam manusia. Pendeknya yang mengadakan hasil, tetapi menghisap
dan berkuasa ialah 3 kaum yang lain-lain itu. Cita-cita baik dalam ilmu-ilmu,
maupun dalam agama, ialah berhubung dengan cara mengadakan hasil negeri itu
juga. Kromo haruslah rajin, hormat, sabar, dan syukur, serta kekuasaan dan
kekayaan memang sudah dinasibkan Tuhan untuk kaum Ningrat dan Pendeta saja.
Sungguhpun tanah Jawa dimasuki oleh agama-agama Budha dan
Islam, yang ada berdasar demokratis, sungguhpun sudah lebih kurang 300 tahun
bangsa Jawa campur dengan bangsa Barat, tetapi perasaan Kromo terhadap kepada
keningratan itu tiadalah hilang.
Tiadalah kita heran, bahwa suatu partai keningratan sejati
yakni Budi Utomo bisa menarik hati sebagian besar dari penduduk Jawa,
lebih-lebih juga dari pihak kaum yang terpelajar. Apa-apa yang mempunyai
sejarah sebegitu lama tentulah tidak mudah hilang. Tidak perlu kita periksa
lagi benar apa salahnya keyakinan semacam itu, bahwa manusia itu mesti
dibagi-bagi atas beberapa golongan (untuk memerintah dan bekerja) karena penuh
misal akan menerangkan di segenap dunia, bahwa manusia itu sama, yakni akan
pendeta pun bisa juga jadi penjahat sedangkan sebaliknya pula cukuplah
anak-anak si Kromo yang bisa jadi apapun.
Pendeknya, tiadalah bisa ditentukan lebih dahulu (kaum dan
turunannya) mana yang wajib memerintah. Tetapi disebabkan kelobaan manusia dan
Harta Pusaka mesti turun pada anak jugalah, maka adat negeri menetapkan lebih
dahulu bahwa kaum memerintah (ningrat) mesti tingkal kekal, atau sudah
dikabulkan Tuhan.
Disebabkan oleh contoh-contoh di tanah eropa, baik di tanah
Amerika, dimana satu-satu bangsa meninggikan kemerdekaan tanah airnya sendiri,
disebabkan oleh persangkaan bahwa yang menyebabkan sengsara rakyat Hindia ini
ialah pemerintahan suatu bangsa atas bangsa lain, maka timbullah di Hindia ini
suatu vereeniging (NIP) yang mau mengadakan pemerintah dari orang Hindia
sendiri. Pun dasar ini ada berhak buat dihormati, karena memanglah sesuatu
bangsa, mesti pun bangsa apapun juga tidak akan bisa mengharuskan keperluan
bangsa asing lahir dan batin! Segala lembaga-lembaga dalam negeri yang tidak
berdasar kebangsaan, tentulah akan merusakkan bangsa itu juga. Jadi meskipun
suatu bangsa tidak berhayat hendak menindas atau menghisap, melainkan
semata-mata hendak mendidik bangsa yang berbeda sifat dan wataknya itu, adalah
sesuatu pekerjaan yang amat berbahaya, apalagi kalau bangsa lain itu cuma
terutama datang lantaran kelobaan saja. Sebab itulah kita mengerti betul akan
haluannya kaum NIP.
Tetapi, karena yakin, bahwa bangsa yang memerintah tanah
Hindia sekarang bukan dsebabkan kebangsaan atau merasa berkewajiban untuk
mengembangkan ilmu dan kebudayaannya sebagai bangsa, malah disebabkan sifat
kemodalan yang menjadi sendi bagi pencaharian hidupnya, maka kita tidak bisa
mengadakan dan membetulkan politik yang cuma bertentangan dengan bangsa Belanda
semacam bangsa saja. Kita sebaliknya tahu, bahwa nama Belanda itu dengan
sekejap boleh kita tukar dengan Inggris, Jepang, Amerika dan sebagainya, yang
memang sama sekali sudah menaruh besar di tanah Hindia, lebih-lebih di
negeri-negeri yang baru dibuka untuk industri. Tidak akan lama lagi maka di
kepulauan Sumatera, Sulawesi dan sebagainya yang penuh dengan barang-barang
logam dan tumbuh-tumbuhan yang perlu untuk industrinya negeri-negeri yang
beralasan kapitalisme akan didesaki oleh modalnya berjenis-jenis bangsa,
sehingga, ”bendera kebangsaan” itu akan percuma saja berkibar. Negeri kita yang
tidak bermodal dan sifat Rakyat Hindia lebih, bangsa Jawa yang tidak bersifat
kemodalan serta kebodohan Rakyat Hindia sendirilah menyebabkan, yang kita tidak
akan bisa kelak mengadakan modal yang cukup besar untuk mengalahkan modal-modal
tanah asing. Karena bangsa-bangsa asing itu kebanyakan merdeka dan datangnya
dari hawa yang sejuk, lantaran mana ia mesti rajin, kuat, tahan dan pintar
mesti memikirkan dan mengadakan bermacam-macam mesin maka mereka itu dengan
gampang saja bisa mengalahkan bangsa Hindia ini dalam dunia industri dan
perniagaan.
Sedangkan bangsa Hindustan yang lebih kuat, pintar berasa
dan kaya dari bangsa kita, tidak bisa melawan kemodalan bangsa Inggris, yang
memang dibantu oleh undang-undang dan bermacam-macam hal lain-lain.
Bangsa Hindustan tentulah tidak akan sampai begitu bodoh dan
sesat, sampai ia mau meminta pertolongan pada kaum Modal Jepang dan Amerika.
Bangsa Hindustan tentu tidak lupa akan cerita katak-katak dalam sebuah kolam,
yang sebab takut pada seekor burung bangau, lantas minta pertolongan pada
seekor ular, sesudahnya mana ular tadi menjadi raja Kolam, dan menghabiskan
segala katak-katak dalam kolam tadi.
Kita Rakyat juga mesti sadar akan isi dan artinya cerita
itu. Kalau minta pertolongan janganlah pada orang yang bisa jadi musuh. Kalau
tidak bisa mencari pertolongan pada kaum yang senasib dan satu keperluaan,
baiklah tidak minta pertolongan. Buktinya cerita tadi boleh kita lihat di
kiri-kanan, dimana bangsa-bangsa kecil baik di Eropa, Asia ataupun Amerika
Selatan, yang merebut kemerdekaan dengan pertolongan kaum Modal yang dipercaya,
kesudahannya dihimpit oleh yang menolong tadi juga.
Keyakinan hendak melawan Modal Asing itu dengan modal
sendiri, terang sekali terbukti pada permulaan gerakan Sarekat Islam beberapa
tahun dahulu yang mulanya bernama Sarekat Dagang Islam dan didirikan oleh Haji
Samanhudi. Adalah suatu ketika, yang kita hampir percaya, bahwa daya upaya
pemimpin-pemimpin Sarekat Islam itu akan berhasil. Rakyat cukup menaruh
gembira, pengharapan dan kepecayaan. Kehinaan dan kemelaratan yang
beratus-ratus tahun itu disangka akan hilang.
Bermacam-macam toko didirikan untuk menentang toko-toko
bangsa asing. Pergerakan perniagaan (ekonomi) itu dicampuri oleh pergerakan
poitik yang berdasarkan agama dan kebangsaan. Semuanya ini tiada mengherankan
kita. Malah kita juga komunis harus memuji jasa pemimpin-pemimpin semacam
Samanhudi, Cokroaminoto, Semaun dan lain-lain yang sekurang-kurangnya sudah
membangunkan Rakyat berjuta-juta dari tidurnya yang nyenyak dan pertama sekali
membuka mata yang beratus-ratus tahun tertutup. Menurut keterangan kita di atas
tadi, yakni lantaran kekuatan modal, watak dan kepintaran bangsa kita dalam
perkara perniagaan, niscayalah kita akan kalah. Sampai sekarang kita dalam
dunia industri dan perniagaan, masih tinggal pada tingkat paling rendah. Belumlah
kelihatan bukti-bukti dan keterangan yang bisa mendatangkan keyakinan buat
kita, bahwa dalam beberapa tahun dimuka ini, bangsa Jawa bisa merebut
golongan tengah dan atas dalam dunia perniagaan dan industri. Cumalah ada di
sana sini kaum Muslimin, yang memegang perniagan kecil-kecil seperti di kota
yang besar-besar, tetapi sebagian besar dari Rakyat yang menaruh perasaan
Sarekat Islam masih sama melarat.
Kaya miskinnya dalam Sarekat Islam itu serta perbedaan
pekerjaan anggota-anggotanya, yakni separuhnya kaum berniaga, separuhnya
bertani dan memburuh, tentulah pula mesti mendatangkan perbedaan paham dan rasa
tentang politik negeri.
Sudahlah tentu kaum saudagar tinggal berpikiran
kesaudagaran, karena ia sekarang masih saudagar bangsa Cina dan Eropa, dan
tindasan yang dirasa oleh si Kromo, terutama datangnya dari kaum Modal asing,
maka lantaran itulah kaum Saudagar dan kaum Buruh dalam Sarekat Islam boleh
begerak bersama-sama menentang musuh yang terbesar tadi.
Tetapi kalau kelak sampai saatnya akan mengatur negeri
sendiri, maka teranglah bahwa sifat kesaudagaran kecil itu akan menjadi sifat
kemodalan seperti yang biasa juga.
Hal pengadilan akan terpaksa memihak pada yang kaya juga
dalam negeri, seperti di negeri Turki dan negeri-negeri lain yang ”merdeka
kemodalan”. Perkakas memerintah tentulah juga buat Parlemen, yakni sidangnya si
Kaya saja. Pendidikannya hanyalah untuk pendidikan yang mampu membayar juga.
Pendeknya tiadalah akan ada bedanya dengan negeri merdeka, yang berdasarkan
kemodalan, yang sudah kita tunjukkan kedustaan dan kemurkaannya.
PARLEMENTERISME (Kekuasaan Rakyat).
Isi negeri yang 4 golongan, yang terbanyak kaum buruh
KETERANGAN:
1. Gambaran I : melukis isi negeri yang boleh kita bagi atas
4 bagian, yakni:
a) kaum ningrat, BU;
b) kaum nasionalis NIP;
c) kaum Muslimin yang kaya;
d) kaum Kromo.
Gambaran II: Parlemen (2e. Kamer di negeri Belanda), kemana
isi negeri yang 4 golongan itu mengirimkan wakilnya.
Gambaran III : Menteri, sidang menteri-menteri, yang dipilih
dan biasanya keluar dari Parlemen, wakil mana mesti mempunyai partai yang kuat.
Minister itu penuh dengan biro-biro (birokrasi).
Gambaran IV: Bank, yakni benteng ketiga golongan yang kaya,
yang keras pengaruhnya juga dalam biro-bironya menteri
2. Pergerakan yang berdasar:
a) keningratan,
b) nasionalisme,
c) agama – kebangsaan – religieusch nationalistisch.
(Turki sesudah revolusi 1908 dan cita-cita Mesir).
Mesti akan mengalir kepada pemerintahan yang kita lukiskan
di atas, Ketiga dasar itu (a, b, d) tidak bertentangan dalam hal ekonomi.
Ketinya mengaku hak milik dan undang-undang-undang-undang negeri melindungi hak
Milik itu.
3. Kaum ningrat, nasionalis dan muslimin yang kaya raya dan
berkuasa bisa masing-masing mengadakan wakil yang mengemukakan keperluan
masing-masing di dalam Parlemen. Dengan propaganda di desa-desa, di pabrik
spoor, tambang dan kebun, dengan surat kabar besar-besar, kepunyaan yang
bermodal dalam negeri, bisa ditarik hati sebagian besar dari Rakyat buat
memilih wakil yang disukai oleh kaum Modal. Pun Masjid-masjid, santri-santri
dan sekolah-sekolah yang tinggi masing-masing dengan politiknya tidak akan
ketinggalan. Sehingga dengan jalan yang begitu paling banyak kaum buruh bisa
dapat cuma ¼ bagian dari segala wakil-wakil dari Parlemen. (Perhitungan ini
juga salah, Sebab dimanapun negeri yang berdasarkan kemodalan tiadalah sampai
seperempat bagian dapat wakil dalam Parlemen. Lebih-lebih di desa-desa si Kromo
takut sama ilmu keningratan, dan takut akan ancaman neraka, kalau tidak kaum
Muslimin yang dipilih jadi wakil memerintah negeri).
4. Oleh karena Parlemen dipisahkan dengan Kementerian (lihat
II dan III) dan yang pertama namanya saja berhak ”membikin undang-undang” dan
yang kedua ”menjalankan undang-undang” maka arti Parlemen itu buat kaum Buruh
tidak ada. Yang memerintah yakni Menteri yang penuh dengan biro-biro yang
berhubungan keras dengan Bank (Lihat IV) yakni benteng kaum uang.
5. Sehingga buat Kromo tidak ada perubahan dan keentengan
sifat-sifat dan kemurkaan kemodalan (krisis jatuhnya harga barang concurentie –
persaingan, berhubungan dengan itu kemelaratan, dan kesengsaraan buat Kromo)
Cuma dipindahkan dari bangsa asing pada bangsa Hindia.
Tetapi tidak sekejap juga kita percaya, bahwa cita-cita
Republik yang berdasar demokratis (yakni demokrasinya buat kaum Modal) itu di
Hindia ini bisa dijalankan. Tidak saja lantaran kekurangan sifat dan
watak-watak yang berguna buat kemodalan rakyat disini seperti sudah kita
sebutkan di atas, tetapi terutama sekali lantaran kekurangan keyakinan,
ketetapan dan keberanian hatinya kaum-kaum nasionalis baik dalam BU, baik dalam
golongan Sarekat Islam ataupun dalam NIP. Kalau kita pisahkan dua tiga pemuka-pemuka
yang betul-betul nasionalis di mulut dan di hati, maka kelihatanlah bahwa
nasionalis kita dipukul rata jauh bedanya dengan nasionalis di tanah Mesir,
Hindustan ataupun Irlandia.
Marilah kita periksa sebentar, apakah dengan politik
Pan-Islamisme (seperti kata pemuka-pemukanya sendiri, yakni untuk mempersatukan
segala kaum Muslimin di seluruh dunia) Hindia ini bisa merdeka atau dijadikan
sebagian dari suatu kerajaan yang di bawah perintah seorang Khalifah? (nama
Khalifah itu di dunia Muslimin penting sekali. Kita mesti tahu, bahwa ”Khalif
dan Jihad” yaitu nyawanya ”Darul Salam”).
Sebetulnya disini kita mesti lebih dahulu mengadakan kritik
untuk pembersihan pemeriksaan kita.
Sesungguhnya nama Khalif itu sudah mendatangkan kekalutan
pada kalangan kaum Muslimin sendiri. Sesudah wafat Nabi Muhammad SAW, maka
berikut-ikut Khalif-khalif yang menggantikan yakni: ”Abu Bakar, Umar, Usman dan
Ali”.
Sesungguhnya negeri diperintahi betul-betul dengan keadilan
dan sama rata, tetapi adalah timbul sudah pertanyaan pada kaum Muslimin,
siapakah yang sebenarnya berhak menggantikan Nabi Muhammad, yang mesti
memerintah, dan membesarkan kaum Islam, maupun dengan jalan damai, maupun
dengan jalan perang.
Pertanyaan tadi mendatangkan dua partai, yakni:
Partai yang mengatakan bahwa Ali sebagai saudara (kemenakan)
dari Nabi Muhammad (kaum Qurais) juga boleh menggantikan. Partai-partai tadi
mengadakan pertentangan yang amat keras dan peperangan yang hebat. Kira-kira
100 tahun sesudah Nabi wafat, maka terjadilah pemberontakan yang besar. Dalam
pemberontakan ini maka keturunan Umar Umaiyah, yang pada masa itu berhak
menjadi Khalif hampir sama sekali dibunuh oleh partai Ali. Cuma seorang
keturunan Umar Umaiyah boleh melarikan diri ke tanah Spanyol dan di sana
mendirikan Khalifah baru, yang bertentangan dengan Khalifah keturunan Ali yang
bertahta di Bagdad.
Dua Khalif tadi tentu masing-masing mengaku berhak
memerintah kaum Muslimin. Pendeknya kekalutan lantaran pertanyaan itu tiadalah
perlu kita bongkar lagi. Cuma kita mau peringatkan sedikit, bahwa perselisihan
itu sekarangpun belum hilang. Masih berlain-lain paham di antara bangsa Turki,
Arab, Moroko, Mesir, Persia, dll, tentang yang berhak untuk memerintah negeri
Islam sendiri (dari Al-Islam). Dalam peperangan yang baru lalu, maka kaum Modal
Jerman sudah menggerakkan bangsa Turki mengibarkan bendera Nabi Muhammad,
supaya segala Muslimin di atas dunia sekarang memerangi si Kafit. Tetapi apa
hasilnya?
Kerajaan Inggris dapat pertolongan dari kaum Muslimin di
Hindustan, untuk memerangi Jerman dan Turki. Kaum uang Perancis, Rusia dan
lain-lain bisa membujuk kaum Muslimin, yang di bawah perintahnya untuk
memerangi kaum Uang Jerman dan Turki. Oleh karena peperangan tadi, maka kaum
Muslimin yang merdeka di dunia ini hampir tidak ada lagi. Sebelumnya perang
tahun 1914 Rakyat Turki ada kurang lebih 5 % dari semua kaum Muslimin; maka
sekarang lantaran kekalahan, tanah Arab, Mesopotamia, Syria, Mesir, dan
sebagian besar dari Turki di tanah Eropa, sudah jatuh dari tangannya.
Jadi Pan Islamisme Turki tadi, meskipun dengan pertolongan
kaum Modal, yang terkuasa atas dunia (Jerman) tiadalah bisa dilakukan. Jalan
yang kedua yakni, kalau semua kaum Muslimin mau bersatu dengan tidak menunggu
perintah dari satu Khalif, malah dengan cara serukun (kita umpamanya yang Arab,
Hindu, Persia, Turki, Jawa, Moroko dan lain-lain mengerti, yakni mau serukun).
Dalam hal ini musuhnya lebih besar lagi. Kaum Muslimin yang di mana-mana
dihisap oleh kaum uang, miskin, dan terpencar-pencar niscaya akan mesti
bertentangan dengan negeri-negeri yang memerintahinya. Kita jangan lupa
Perancis memerintah Tunis, Aljazair, dan Maroko; Italia memerintah Tripoli,
Maroko di bawah Spanyol dan sebagian besar dunia Islam di bawah Inggris dan Belanda.
Pendeknya untuk mempersatukan kaum Islam di dunia, haruslah melawan kapital
dunia. Sedangkan kaum buruh yang terbanyak sekali di atas dunia belum bisa
melawan kaum Modal. Apalagi 200 s/d 300 juta kaum Muslimin yang tidak
berkepintaran cukup, senjata dan lain-lain.
Perkara ini tidak perlu kita dalamkan. Kita boleh putuskan
bahwa sungguhpun kaum Muslimin dalam agama bisa satu kepercayaan (Hambali,
Maliki, Syafi’i dan Hanafi, sungguhpun berlain-lainan mazhab tetapi sama
percaya sama Tuhan Allah), tetapi dalam hal politik negeri sudah beratus-ratus
tahun berpecah-pecahan, dan rasanya tidak akan bisa disatukan, jangankan lagi
akan menambah lebarnya ”Dar el Salam” dan mengurangi ”Dar el Harb” di atas
dunia baik dengan propaganda halus, maupun dengan melakukan ”jihad”.
Kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW insyaf betul akan
pokok-pokok sifat manusia yang mendatangkan racun dalam sesuatu pergaulan,
yakni ”nafsu atas kekuasaan” dan nafsu kekayaan. Juga nafsu yang dua itulah
yang mau dihilangkan oleh Komunisme tetapi dengan peraturan-peraturan negeri.
Kita lihat, bagaimana Nabi Muhammad SAW dan keempat Khalif
yang menggantikan masih bisa menjalankan kemurahan keadilan dan persaudaraan.
Kita yakin bahwa peraturan negeri ketika itu betul cocok dengan cara mengadakan
hasil di tanah Arab (bertani, bergembala, dan berniaga) tetapi sesudah kerajaan
Muslimin (kira-kira tahun 709) bertambah besar, sesudah pembesar-pembesar
bangsa Arab yang dulu tinggal di negeri miskin sekarang memerintahi negeri yang
kaya dan makmur, maka peraturan negeri seperti pada mulanya tadi tidak bisa
lagi membunuh nafsu-nafsu yang dua tadi.
Khalif tidak hidup dengan enteng lagi seperti orang kecil,
malah memakai istana yang besar-bear, kereta dan kuda yang indah-indah serta
memakai dayang-dayang dan biduanda seperti raja di lain-lain negeri juga.
Khalif tadi tiada campur lagi dengan Rakyat dan menjadi pemberi nasehat Rakyat
seperti mulanya, malah menjadi wakil Tuhan yang hampir tidak keluar dari Istana
lagi dan tidak boleh disanggah katanya.
Pemuda-pemuda di tanah Turki ”Yong Turken” sudah merasa
perlu mengubah peraturan memerintah negeri, sehingga pada tahun 1908 sudah
dilakukan peraturan baru yaitu mengadakan Parlemen dengan mengambil contoh di
Eropa Barat. Sultan Turki harus memerintah sepanjang Konstitusi (azas
memerintah) dan menunggu putusan dari Parlemen. Inilah suatu bukti bagi kita
bahwa peraturan negeri itu mesti cocok dengan cara mengadakan hasil. Sebab itu,
kalau seandainya kaum Muslimin di seluruh dunia ini bisa bersatu, dan mesti
memakai pabrik, spoor dan tambang tentulah sesuatu Khalifah atau Republik kaum
Muslimin itu akan tepaksa memakai peraturan Kapitalisme juga, yang jauh bedanya
dengan cara memerintah ketika zaman kebesaran kaum Muslimin (kira-kira Tahun
700 – 1908) (Jadi tahun 1908 yaitu pemberontakan yang dibela oleh ”Komite
persatuan dan kemajuan” adalah berarti besar buat dunia Muslimin.) Anwar dan
Talaat (yang terutama) mencoba merubah peraturan-peraturan Islam yang beralasan
monarkisme dan mengganti dengan alasan Parlementerisme dengan contoh dari tanah
Perancis. Kita tidak heran, yang dunia Muslimin, baru sesudah plm. 1300, maka
bisa bergerak keras menukar ”peraturan Khalifah” (monarki) dengan
Parlementerisme. Disebabkan perang 1914 – 1918 teranglah bahwa tanah Turki tak
bisa lagi menunggu buatnya daya upaya pemuda-pemuda ”Yong Turken”).
Tetapi menurut kehendaknya zaman, kita tidak bisa percaya
lagi, bahwa 200 s/d 300 juta kaum Muslimin, yang diantaranya lebih dari 90 %
dalam kegelapan dan kemelaratan atau mau ditarik-tarik saja untuk makanan
meriam, lahirnya untuk persatuan Islam, tetapi hasilnya cuma buat kaum Islam
yang hartawan. Persatuan Islam dalam kepercayaan agama selamanya bisa,
bagaimana pun juga peraturan negeri, tetapi persatuan keselamatan dan
kemerdekaan di atas dunia ini tidak bisa kalau tidak dengan jalan peraturan
Komunisme.
Mana haluan yang kelak akan dijalankan oleh Sarekat Islam
tidak dalam Statusnya belumlah boleh kita putuskan. Kalau saatnya datang yang
Sarekat Islam sendiri mesti mengatur negeri, maka undang-undang pergerakan
Rakyat seperti di tanah-tanah lain niscayalah disini juga akan berlaku.
Sepanjang undang-undang itu maka kaum tengah yang sekarang juga ada dalam
Sarekat Islam tentu akan berkeyakinan tengah, dan yang paling miskin dan
melarat akan berkeyakinan keras dan belum akan puas sebelum peraturan negeri
diubah sampai bisa mendatangkan keselamatan baginya. Pada suatu ketika,
tentulah akan datang perselisihan antara kaum tengah (saudagar kecil-kecil
sekarang dll) itu dengan kaum Proletar. Mana yang mesti mundur tentu bergantung
pada banyaknya orang dan kuatnya organisasi. Oleh karena kaum yang paling
miskin dan tertindaslah yang paling banyak disini serta yang paling suka bergerak,
maka oleh sebab itulah kaum Komunis di Hindia tak perlu sekejappun juga ragu
atau mendua hati akan kemenangan kaum Proletar. Meskipun di sana sini, atau
sementara beberapa tahun dapat kekalahan, tetapi kita boleh yakinkan bahwa
akhirnya sekali Komunisme juga yang bisa memadamkan dahaga si Kromo atas
keselamatan, kemanusiaan dan derajat yang tinggi-tinggi.
Ringkasnya: Bagaimana juga agama, tetapi dalam peraturan
negeri kita tidak boleh lari dari 3 peraturan sepeti di bawah ini:
1. Zaman kuno, dimana mata pencaharian
dijalankan dengan tangan saja (tidak dengan mesin), yakni bertani dan
bertukang, seperti dahulu di benua Cina, kerajaan Islam, Hindustan dan Eropa
sebelum tahun 1789. Cara pemerintah ialah menurut peraturan kerajaan dan
keningratan (monarkisme).
2. Kaum Kemodalan, Eropa sesudah tahun
1789 dan Amerika mengadakan hasil terutama dilakukan dengan pertolongan mesin
yang besar-besar. Peraturan negeri ialah Parlementerisme.
3. Zaman antara kapitalisme dan
sosialisme. Disini diadakan Soviet, yakni buahnya pergerakan Rakyat dan
gambarnya kekuasaan Rakyat, untuk mendatangkan Sosialisme.
B. Menjalani Sejarah Hindia 300 tahun yang akhir ini dengan
langkah Raksasa
Disebabkan oleh sangat lakunya barang Hindia ini di tanah
Eropa, maka kira-kira tahun 1600 kaum Modal Belanda melayarkan beberapa buah
kapal ke negeri kita ini. Sungguhpun kapal-kapal itu belum tahu jalan,
sungguhpun sudah pernah terperosok di lautan es kutub utara dan penuh dengan
musuhnya bangsa Spanyol di kiri-kanan, tetapi dahaganya kaum Modal yang
tersebut atas keuntungan dan kekayaan tiadalah bisa padam. Akhirnya mereka itu
sampai juga di tanah Hindia ini, dimana ia mengusir kaum-kaum modal bangsa
Portugis dan Spanyol dan memaksa Rakyat Hindia berniaga dengan dia. Pala dan
cengkeh mesti kita jual dengan harga yang paling murah pada VOC (Vereeniging
Oost Indiche Compagnie) saja. Tiadalah boleh bangsa asing mengambil untung dan
tiadalah boleh Rakyat Hindia berniaga dengan kaum Modal bangsa Portugis atau
Spanyol, meskipun ia ini mau membayar lebih banyak. Dengan pertolongan
raja-raja Hindia sendiri, maka VOC (Kompeni) serta sama bedil dan meriamnya
menjalankan perniagaan monopoli itu.
Untung yang berlipat ganda itu sama sekali mengalir ke
Eropa, sehingga faedah perniagaan itu buat Hindia ini bolehlah dikatakan akan
nihil. Lagipun apakah guna pendidikan umpamanya?
Asal saja Rakyat bisa mengangkat cangkul dan menanam
cengkeh, untung besar itu mesti bisa kekal. Yang mendatangkan pusing kepalanya
VOC tiadalah kepandaian budi atau adat rakyat disini, melainkan jatuh harga
barang-barang itu ialah lantaran melimpah banyaknya juga. Supaya harganya naik
kembali, haruslah hasil pala dan cengkeh dikurangi. Maka rakyat di sebelah
kepulauan Ambon dipaksa merusakkan sendiri kebun dan tanamannya dengan jalan
mana hasil boleh berkurang-kurang. Rakyat melanggar perintah VOC itu diusir
dari negerinya sendiri. Bangsa siapa yang mempunyai hati kemerdekaan dan
kemanusiaan, maka perasaan itu didenda dengan pelor meriam atau kelewang
serdadu VOC. Demikianlah sering terjadi pemberontakan, dalam hal mana yang
tiada berkepandaian dan bersenjata cukup juga yang akan tewas .Untuk
menyusutkan hasil pala dan cengkeh, maka Kompeni menetapkan supaya pulau Ambon
saja menanam cengkeh dan pulau Banda saja menanam pala. Setiap waktu Kompeni
berlayar ke pulau-pulau yang lain dari yang 2 tadi untuk merusakkan pokok-pokok
pala dan cengkeh. Oleh sebab itu rakyat kehilangan pencaharian hidupnya
terutama sekali, dan larilah mereka itu meninggalkan negerinya. Banyak pulau-pulau
yang menjadi sunyi senyap, dan ditumbuhi hutan belukar. Inilah artinya
Hongietechten yang masyhur dalam sejarah di kepulauan sebelah Ambon itu.
Pemberontakan-pemberontakan dihukum dengan keras. Satu di
antara pahlawan dari bangsa Ambon yang tertindas itu bernama Tulu Kabessi, yang
lama sungguh mempertahankan bentengnya. Kemudian Kompeni mengetahui jalan-jalan
masuk ke benteng itu. Pada suatu malam tiba-tiba serdadu Kompeni perlahan-lahan
masuk, membunuh orang-orang Ambon yang menjaga bentengnya, sesudah mana
pahlawan Tulu Kabessi terpaksa melarikan diri.
Setelah ia mendengar kaba, bahwa Gubenur Dummer menangkap
dan menuduh beberapa kepala-kepala Ambon dalam perkara pemberontakan itu maka
Tulu Kabessi sendiri pergi mendapatkan Gubenur itu akan menerangkan bahwa
kepala-kepala yang tertuduh itu tiada berdosa sedikit juga.
Gubenur Demmer memerintahkan menangkap dan memancung
kepalanya Tulu Kabessi.
Demikianlah balasnya kesatrian dan kemuliaan hati pada zaman
Kompeni itu! Politik dan kelakuan semacam itu rupanya dulu lazim sekali.
Bacalah sejarah Minangkabau dan Diponegoro kira-kira satu abad yang lalu!
Demikianlah buasnya kaum Modal itu, ketika 300 tahun yang lalu.
Kira-kira 200 tahun lamanya VOC itu bersimaharajelela.
Akhirnya ia mendapat rugi, sebab besarnya ongkos untuk kapal perang,
benteng-benteng dan serdadu-serdadu. Pada tahun 1800, maka negeri Belanda
sendiri (Negara) mengambil hak milik VOC atas kepulauan Hindia ini.
Baru saja bertukar pertuanan, maka Rakyat Hindia ini
mendapat tindasan yang lain macam pula dari G.G Daendels memaksa mendirikan
jalan raya dari Anyer ke Panarukan, dengan apa tentara pemerintah mudah
dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang perlu ditaklukkan. Jalan
yang penting itu mesti dibayar oleh Rakyat tanah jawa dengan beribu-ribu jiwa
yang melayang, lantaran penyakit dan kerja keras. Seperti rupanya bala itu
belum lagi cukup menimpa kepalanya si Kromo, maka G.G van Den Bosch tiadalah
lama lagi sesudah itu menjatuhkan sistem tanam paksa.
Kromo mesti menanam sebagian besar dari sawahnya dengan
tanaman yang besar untungnya di benua Eropa, yakni kopi, kemudian kina, gula
dan sebagainya, barang-barang yang mana mesti dijual dengan harga paling murah
pada Pemerintah Belanda. Berapa beratnya sengsara Rakyat, bagaimana jalannya
hisapan dan tindasan tidaklah perlu kita periksa disini. Namanya saja
Culturstelsel itu bisa memanaskan darah tiap-tiap manusia yang tidak
didinginkan oleh setan kemodalan.
Keringat dan darah si Kromo yang terumpat lantaran peratuan
dalam abad ke 19 itu mengalirkan harta yang bertimbun-timbun menuju ke negeri
Belanda. Dengan untung itu kaum Modal Belanda bisa mendirikan Spoor dinegerinya
dan bisa membayar sebagian besar dari hutangnya negeri Belanda (tersebab oleh
peperangan Napoleon) dan bisa mengadakan pencaharian-pencaharian baru.
Oleh karena untung Culturstelsel itu tiada seperti pada
permulannya lagi maka di negeri Belanda dijatuhkan buat tanah Hindia ini (tahun
1875) suatu undang-undang, dalam mana ditentukan bahwa seorang Eropa boleh
menyewa tanah kita lamanya 75 tahun.
Sekarang nyatalah, bahwa undang-undang ini memberi
kesempatan bergerak pada kaum modal yang zaman akhir sekali. Keuntungan yang
bisa dipungut oleh raja-raja, pala, tembakau, minyak tanah dan lain-lain. Zaman
sekarang berlipat ganda besarnya dari keuntungan kaum Modal masa VOC maupun
Cultruurstelsel.
Sebab sifat dan keadaan kemodalan pada zaman Kompeni (VOC)
dan sistem tanam paksa berbeda dengan sifat dan keadaan dalam sesudah tahun
1875, maka politik negeri sekarangpun menjadi berubah sedikit.
Politik ”paksaan terus terang” saja menanam kopi, gula, dan
sebagainya, paksaan terus terang membikin jalan raya untuk lasykarm dan
merusakkan kebun dan tanaman sendiri (Hongi-techten) sesudah tahun 1875 ditukar
dengan politik yang berdasarkan etika. Anak Hindia haruslah dididik. Di Hindia
haruslah didirikan bermacam-macam sekolah. Beginilah nyanyinya
pemimpin-pemimpin bangsa Hindia yang kena asap candunya politik etika.
Karena kita seorang Komunis, dan kedua kaki kita berdiri
atas dasar Ekonomi, maka kita mesti memberi keterangan yang cocok dengan haluan
kita. Buat kita etika-etikan-an dalam politik itu tiadalah lantaran menyesal
atau tiba-tiba cinta pada bangsa Hidia. Kita yakin bahwa buasnya kaum Modal pada
zaman sekarang tiadalah kurang dari zaman Kompeni atau sistem tanam paksa.
Yang berubah ialah cara mengadakan hasil untuk perniagaan
kaum uang. Untuk cengkeh, pala dan kopi pada zaman dulu, tiadalah perlu pandai
bookhouden (pembukuan – Ed.) atau menjalankan mesin. Lain sekali pabrik gula,
yang perlu memakai kaum buruh kasar dan halus, yang mesti keluar dari sekolah
rendah, tengah dan sekolah tinggi. Kalau segala klerk-klerk, mechinist dan
opzichter-opzichter sama sekali mesti didatangkan dari negeri Belanda, tentu
kaum Modal tidak bisa dapat untung besar.
Sebab itulah mesti diadakan disini sekolah-sekolah HIS,
MULO, HBS, middelbare technische scholen dll, dari sekolah-sekolah mana bisa
dipungut bermacam-macam buruh halus, untuk mengadakan hasil gula. Begitu juga
kebun-kebun teh, tembakau, karet dan lain-lain yang diuruskan dengan ilmu-ilmu
model baru tidak bisa lagi dijalankan dengan cangkul saja seperti dahulu kala.
Hasil pabrik dan kebun-kebun yang bergudang-gudang itu tentulah tidak bisa
dimuatkan dipunggungnya kuda beban saja.
Kaum modal perlu memakai kereta api dan kapal api dengan
perkakas mana segala hasil dunia dengan lekas boleh di bawah ke pasar-pasar
Eropa, Jepang, dan Amerika. Berhubung dengan hasil yang diadakan dengan mesin,
berhubungan dengan perkakas pengangkutannya model baru (kereta api) serta
keadaan perniagaan zaman sekarang yang menimbulkan toko-toko, post, telgraf,
kantoran seperti Bank-bank, maka perlu sekali dipakai kaum terpelajar bangsa
Hindia sendiri, yang lebih tahan kerja di panas, lebih jinak, dan lebih murah
bayarannya daripada bangsa Belanda.
Haruslah kita memuji-muji kaum etika? Perlukah kita meminta
sedekah sekolah-sekolah? Kita yakin, bahwa kalau kepulauan Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya yang subur dan penuh dengan industri, maka
di Hindia ini terpaksa mesti lebih banyak didirikan bermacam-macam sekolah yang
tersebut, sehingga sampai cukup menutup keperluan kaum Modal.
Keperluan memakai kaum terpelajar Hindia itu tidak bisa lagi
dibatasi oleh sekolah pertengahan. Pun insinyur-insinyur seperti juga dokter
dan hakim mesti ditimbulkan dari penduduk Hindia sendiri.
Negeri Belanda yang penduduknya kira-kira 7 x lebih kecil
dari Hindia ini masakan bisa mengadakan kaum terpelajar yang cukup. Lagi pula
kalau kita pikirkan, berapa ongkosnya seorang insinyur dengan anak isterinya ke
Hindia ini, yang saban-saban 6 tahun dapat verlof, yang dapat gaji, taniteme
dan pensiun besar, tentulah kita tidak heran akan berdirinya ”technische
Hoogeschool” di Bandung (yang bisa masuk tentulah anak-anak bangsa Belanda dan
Cina yang kaya-kaya juga).
Seperti dimana-mana kaum Modal meracun dirinya sendiri. Ia
tidak sebentar juga lupa bahwa sekolah-sekolah yang tinggi-tinggi itu dalam
sesuatu koloni (jajahan) bisa mendatangkan bahaya kesentosaan dan kekuasaannya.
Sebagai nasionalis ia sadar akan kodratnya alam bahwa sesuatu bangsa yang
berkepandaian itu akhirnya akan berdaya upaya untuk melepaskan belenggunya
bangsa asing. Tetapi sebab mereka terpaksa memakai kaum Buruh halus, yang jinak
dan murah harganya, maka tiadalah lain jalan lagi dari memberi didikan
associatie (berdamai).
Bangsa Hindia yang terpelajar, janganlah kelak mengingat
bangsanya lagi. Dengan buku-buku dalam sekolah, dengan contoh dari guru-guru
bangsa yang memerintah, haruslah ditanam perasaan kemodalan Belanda, sehingga
lupa pertentangan kebangsaan. Oleh karena keras teriaknya kebudayaan kemodalan
itu, dan beserta jinaknya bangsa kita, maka perdamaian (associatie) yang perlu
itu bisa didapat. Kaum terpelajar bangsa kita, yang sudah membuang pakaian,
adat dan pikiran Kromo sama sekali, tentulah akan menyerahkan badan dan dirinya
kepada kaum Modal, yang bisa memenuhi keperluannya hidup, seperti yang menjadi
cita-citanya ketika masih bersekolah. Karena satu keperluannya dengan dan
karena terpaksa ia memperhambakan diri kepada kaum Modal bangsa asing, maka
kaum yang terpelajar bangsa kita pukul rata mesti bertentangan dengan Rakyat.
Sebaliknya pula bangsa kita, yang sudah kena ”didikan
associatie” dan kena pengaruh politik etika itulah yang bisa mengekalkan
perhambaan bangsa Hindia, kalau tidak ada racun yang ditanam oleh kaum Modal
sendiri.
Kegopoh-gopohan dalam industri dan perniagaan zaman
kemodalan sekarang menyebabkan haruslah dengan segera didirikan sekolah-sekolah
yang perlu supaya dengan lekas mesin, correspondentie, (surat-menyurat) telgram
dll, dalam hal kecepatan kirim mengirim menghasilkan dan menjualkan barang,
jangan kalah oleh kaum Modal bangsa apapun juga di atas dunia. Pendeknya
supaya keuntungan tinggal besar. Tetapi dengan segera pula kaum terpelajar itu
melimpah (kebanyakan). Pabrik, tambang, spoor dan lain-lain tidak bisa lagi
menerima pemuda-pemuda yang saban tahun mengalir dari berbagai bermacam-macam
sekolah itu. Tidak akan berapa lama lagi, maka Hindia kita ini niscaya seperti
kejadian di Hindustan, akan penuh dengan kaum terpelajar (intellectueel) yang
tidak bisa dan tidak mau memegang cangkul lagi, dan tidak bisa dapat pekerjaan
pada kaum Modal.
Ini racunnya kemodalan pada tiap-tiap koloni. Kaum buruh
terpelajar ini, yang sama nasibnya dengan kaum buruh kasar, akan terpaksa
memikirkan peraturan negeri, dan kalau hatinya suci dan pikirannya jernih mesti
ia akan memihak pada Rakyat dan memihak pada peraturan Rakyat: Komunisme.
Sebelum kaum terpelajar bangsa kita kena pukul dari gurunya
itu, yakni kemodalan, tentulah Rakyat Hindia ini mesti akan berjalan sendiri
dan mestilah syukur dengan pemimpin-pemimpin seadanya saja.
Bahwasanya, maka kedesakan Rakyat di Hindia ini tiadalah
kurang dari pada desakan Rakyat di benua kemodalan yang lain-lain. Seperti
kejadian di tanah Inggris, maka kemudian itu di desa-desa di sini sudah
melakukan kemurkaannya. Sawah dan ladang yang di-erfpacht (sewakan – Ed.) buat
pabrik gula menyebabkan beribu-ribu rakyat yang terlantar.
Beribu-ribu kaum Kromo terpaksa lari ke kota-kota, terpaksa
berhamba pada kaum Modal gula, terpaksa lari ke Deli, Kalimantan dan sebagainya
untuk mencari sepotong kain dan sesuap nasi. Lebih-lebih kalau sebentar lagi
mesin-mesin yang ditunjukkan di jaarmarkt (pasar raya) di Bandung kelak dipakai
untuk pemotongdan pengangkut tebu dan padi, sekarang dilakukan dengan tangan,
tentulah ribuan pula kuli mesti dilepas lantaran tidak berguna lagi.
Oleh karena negeri Hindia tidak saja subur, tetapi juga
tanahnya penuh dengan bermacam-macam barang logam (arang, timah, emas, minyak
tanah, dsb), maka negeri kita menarik hati kaum Modal dunia yang berbagai-bagai
itu. Bermacam-macam tambang sudah didirikan dan diantaranya adalah
tambang-tambang (minyak tanah) yang tiap-tiap tahun mengadakan keuntungan yang
tiada terpermanai banyaknya. Bagaimana nasibnya kaum buruh tambang (umpamanya
arang, emas) yang setiap-tiap hari tak putus kerja dalam gelap dan bahaya, yang
mesti mengeruk kekayaan dari lubang-lubang buat kaum Modal, tiadalah perlu kita
ceritakan lagi.
Sedangkan rakyat kita, yang selamanya hidup dengan adatnya
sendiri, tidak bisa hidup lagi dengan sentosa kalau tanahnya kaya. Kita masih
ingat bahwa adanya minyak tanah di Jambi mendatangkan peraturan heerendiesnst,
peraturan mana memaksa rakyat yang tiada semena-mena itu mendirikan jalan-jalan
raya, supaya bisa hasil minyak diangkut ke pinggir laut, dan supaya mudah
serdadu bergerak kalau ada perlu. Paksaan yang keras tadi menyebabkan
peperangan yang baru lalu, lantaran mana yang bodoh dan tiada bersenjata juga
yang mati beribu-ribu.
Adakah bedanya Hongietochten (pembunuhan di kepulauan Ambon
lantaran pala dan cengkeh) pada masa kompeni dengan kebudayaan kemodalan pada
abad yang ke 20 ini?
Pada zaman sebelum VOC (Kompeni) maka barang-barang produksi
pulau Jawa, Sumatera dll, diangkut ke pesisir-pesisir dengan kuda beban atau
pedati (kereta yang ditarik kerbau).
Dari pelabuhan-pelabuhan barang-barang itu diangkut dengan
kapal-kapal bangsa Hindia sendiri ke bandar-bandar benua Cina, negeri Siam atau
tanah Hindustan dan Parsi. Teranglah buat kita bahwa segala keuntungan
perusahaan, upah mengangkut barang, untung perniagaan sama sekali di tangan
penduduk Hindia. Pada zaman VOC maka kapal-kapal rakyat dan perusahaan
(industri) membuat kapal sama sekali jatuh lantaran hasil negeri diangkut ke
negeri Belanda dengan kapalnya Kompeni sendiri yang dijalankan oleh angin saja.
Sebab sesudah 1875 hasil-hasil diadakan dengan mesin, yang
beribu-ribu kali cepat dan kuatnya dari pada tangan, maka haruslah pengangkutan
barang itu dikencangkan pula. Kereta api yang cepatnya seperti halilintar
(kilat) tiap-tiap jam melarikan teh, kopi, minyak, gula, dan sebagainya dari desa-desa
atau gunung-gunung sampai ke pelabuhan. Disini barang-barang tadi dimuatkan ke
dalam kapal-kapal api yang dengan segera bisa menaburkan hasil negeri kita yang
mulia-mulia itu di pasar-pasar seluruh dunia. Dari pasar-pasar seluruh dunia
terutama dari negeri Belanda kapal-kapal tadi membawa barang-barang pabrik
(kain, barang-barang besi dsb) ke Hindia ini, dimana barang-barang tadi bisa
dijual dengan tetap dan mahal.
Begitulah sentosanya mempunyai koloni itu buat kaum Modal.
Hasil tanah Hindia yang tiada terpermanai harganya itu setiap menit bisa
menambah modalnya kaum Hartawam, yang tinggal di negeri Belanda dalam istananya
saja. Modal yang berjuta-juta dimasukkan pada Mastchappij-mastchappij Spoor,
tram, kapal dan lain-lain mesti saja bisa anak beranak. Pabrik-pabrik di tanah
airnya sendiri, mesti saja cukup grondstof (umpamanya karet untuk membuat ban
mobil), dan hasil pabrik itu niscaya bisa dijualkan di tanah kita ini. Post dan
Telegraafic, Firma-firma dan Bank-bank, yang memperhubungkan negeri Hindia
dengan negeri Belanda dan lain-lain dalam perniagaan, mudah saja mendapat
untung. Besar faedahnya berkoloni itu buat kaum Hartawan!!!
Sifat dan watak Rakyat Hindia tidaklah pula tinggal membantu
kekal hidupnya sesuatu modal.
Sungguhpun di tanah Eropa perkakas-perkakas pabrik lebih
murah dan pekerjanya lebih banyak dan pintar dari pada di Hindia ini, tetapi
tumbuhnya kemodalan di sana tidaklah bisa begitu subur seperti di sini. Di sana
kaum Modal mesti membayar kulinya lebih mahal karena keperluan hidup kuli-kuli
di sana lebih tinggi dari di Hindia. Meskipun sengsara dan tindasannya tiada
berapa bedanya dengan disini, tetapi kaum Proletar di Eropa, lantaran ada musim
sejuk mesti memakai pakaian tebal, makanan gemuk-gemuk dan rumah-rumah batu.
Kaum Modal terpaksa membayar lebih! Lagi pula pergerakan kaum Buruh yang
teratur dan keras itu, sebab merebut bermacam-macam hak lahir dan batin,
sehingga kaum Buruh Eropa tidak boleh lagi dibalik-balikkan saja.
Bagaimana disini?
Karena kita tidak perlu memakai pakaian tebal dan mahal,
rumah-rumah batu serta makanan yang gemuk-gemuk, maka senanglah kita dengan
upah yang sedikit. Lagi pula watak-watak kesederhanaan (perhambaan), seperti
sabar, menerima serta syukur, yang sudah beratus-ratus tahun kita terima dari
Ratu-ratu, Pujangga dan pendeta-pendeta, pendeknya kebudayaan pada tiap-tiap
negeri yang berdasar keningratan, menyebabkan maka kaum Modal Eropa bisa di
sini membayar upah dengan sekehendak hatinya saja.
Bagus hawa negeri Hindia, kaya dan subur tanahnya, sabar dan
syukur penduduknya, kekurangan watak dan kepintaran buat kemodalan. Inilah
sifat-sifat yang terutama sekali yang menyehatkan, membesarkan, dan mengekalkan
kemodalan bangsa asing di negeri kita ini.
Menurut keterangan kita yang pendek tadi dalam hal ekonomi
(bermacam-macam perusahaan) maka beranilah kita memutuskan bahwa kemesinan itu
di negeri kita ini sudah cukup besar pengaruhnya. Tetapi oleh karena datang dan
majunya sangat baru, maka kaum Proletar tanah kita masih setengah paham
pertanian, yang bercampur dengan berbagai pengetahuan dan kepercayaan kuno.
Tetapi lambat launnya tentulah paham dan sifat-sifat pertanian itu akan hilang
juga.
Hilangnya itu niscayalah akan diperkencangkan oleh
pergerakan kaum Buruh di segenap dunia, terutama di dunia Eropa. Kemenangan
kaum Buruh di tanah Rusia atas kaum Modal, majunya pergerakan kaum buruh di
negeri-negeri yang lain-lain di Eropa menyebabkan maka kaum Proletar di benua
Asia mulai membuka mata dan membuka selimut kekunoannya yang sudah beribu-ribu
tahun itu.
Perubahan itu nyata sekali di tanah Hindia kita ini. Juga
propagandanya komunis disini, maka sudah tertanam bibit-bibit yang bisa
melanjutkan pergerakan-pergerakan, baik dalam hal serikat buruh maupun dalam
hal politik.
Bermacam-macam kaum buruh yang kita lukiskan di atas tadi
(pabrik, spoor dll) sudah mencoba memakai dan merasa gunanya senjata-senjata
Barat dalam pergerakan untuk mengubah nasibnya hidup.
Kekayaan, kepintaran, dan kerukunan kaum Modal di Hindia ini
boleh kita kalahkan kalau kita serukan pula karena meskipun kita tidak kaya
tetapi kita beribu-ribu kali lebih banyak. Tetapi kita mesti jangan memandang
bangsa (Jawa-Sunda-Melayu dsb) dan jangan memandang agama atau pekerjaan kaum
buruh yang terpencar-pencar dalam pabrik, kebun, tambang, spoor dll. Itu
haruslah mendirikan sebuah anggota yang mengikat segala serikat buruh-serikat
buruh yaitu Vakcentrale. Vakcentrale inilah saja yang bisa melawan Syndicatnya
(semacam vakcentrale juga) kaum Modal yang selalu siap tolong-menolong kalau
dapat serangan dari pihak kaum buruh. Oleh karena kemodalan di Hindia ini
internasional (Hindia ini sudah penuh dengan modal bangsa-bangsa Belanda,
Swiss, Amerika, Inggris, Cina, Jepang dsb. Minyak tanah umpamanya sudah bisa mendatangkan
pergaduhan antara Belanda dengan Amerika, yang lantaran kekurangan minyak tanah
mesti kesana sini merebut dan merampaas. Oleh karena kemodalannya maka
cita-cita Amerika untuk orang Amerika mesti ditukarnya dengan cita-cita
imperialisme: Dunia minyak untuk Amerika), maka kaum buruh terpaksa pula mesti
berhaluan internasional karena keperluannya kepada Modal sama, meskipun agama
dan bangsanya bermacam-macam.
Kaum Modal sudah mendirikan Liga Bangsa-Bangsa. Tetapi yang
berkuasa dalam Liga Bangsa itu ialah yang bertentara dan berkoloni banyak juga
(Inggris, Perancis dsb). Liga Bangsanya kaum Modal itu sudah diakui dan dibantu
oleh kaum Sosial Demokrat. Artinya itu, kaum Sosial Demokrat itu setuju
haluannya Modal yang mau menetapkan hidupnya keburuhan di Eropa dan menetapkan
hidupnya koloni (perhambaan bangsa Timur).
Kaum buruh Eropa sudah yakin bahwa tambah gaji dua atau tiga
tadi artinya di dunia kemodalan ini nihil.
Dengan segera naik harga beras, garam, kain yang sama sekali
di tangan kaum Modal. Sebab harga barang-barang ini naik, maka sebentar lagi
kaum Buruh mesti minta tambah gaji pula. Demikianlah nasib si Buruh itu dalam
dunia kemodalan. Gaji bertambah harga naik; harga barang naik minta tambah
gaji.
Disebabkan oleh aksi tambah gaji itu dalam dunia kemodalan
tak ada gunanya, oleh sebab krisis-krisis, peperangan-peperangan sama sekali
menimpa kaum Buruh dunia juga; oleh sebab dunia kemodalan dengan Liga Bangsanya
mau menetapkan keburukan di Eropa dan perbudakan bangsa Timur dan Afrika, maka
oleh sebab itu haruslah segala kaum Buruh dan Tani di atas dunia mengumpulkan
sekalian lasykarnya di bawah bendera internasionalisme dengan berhaluan
revolusioner.
C. Jatuhnya Kapitalisme dan Lahirnya Komunisme.
Dahulu sudah kita terangkan (dalam fasal Kapitalisme dan
Sosialisme) bahwa menghasilkan barang dengan cara Kapitalisme buat perniagaan
yang bersifat concurentie (persaingan) itu mendatangkan berbagai penemuan mesin
baru. Penemuan mesin baru itu membesarkan hasil, sehingga melimpah (over productie).
Kelimpahan itu mengadakan politik jajahan (rebut merebut rabat atau koloni)
terhadap keluar negeri, dan politik dan membesarkan tentara darat dan luat
terhadap ke dalam negeri sendiri. Pajak senantiasa bertambah-tambah, supaya
kapal dan meriam juga senantiasa bertambah kukuh dan kencang. Perlombaan dalam
bikin membikin kapal dan meriam yang besar-besar itu menimbulkan curiga dan
takut di antara satu negeri dengan negeri yang lain. Tiada satupun negeri yang
percaya atas yang lain, tiada satu negeri yang merasa sentosa hidupnya. Curiga
dan ketakutan masing-masing itu menyebabkan satu mencari teman pada yang lain
sehingga mendatangkan perserikatan. Demikianlah sebelumnya perang yang baru
lalu ini (dari tahun 1914 – 1918) didapati perserikatan Jerman, Austria,
Hongaria, dan Italia (ketika perang Italia bercedera dan masuk sama Serikat
Inggris), dari satu pihak serta serikat Inggris, Rusia dan Perancis dari pihak
yang lain. Lama sungguh kedua serikat yang besar-besar itu bertentangan,
sungguhpun baru dalam politik saja.
Akhirnya pertentangan politik ekonomi itu melahirkan
peperangan.
Selama dunia berkembang, yakni selama sejarah dikenal,
belumlah ada peperangan yang bisa menyamai hebatnya peperangan yang baru ini,
berjuta-juta harta yang lenyap. Berjuta-juta jiwa melayang di medan peperangan
di kota-kota lantaran bom dan dinamit yang dijatuhkan oleh kapal udara,
berjuta-juta yang patah kaki dan tangannya, yang melarat dan mati kelaparan.
Wabah penyakit atau kolera yang kadang-kadang menyerang kita manusia, belumlah
1/10-nya dari wabah yang disebabkan oleh sifat kerakusannya kaum Modal zaman
sekarang.
Tetapi, seperti guntur dan petir itu mendahului udara yang
bersih, demikianlah juga ribut dan topan di tanah Eropa itu mendahului zaman
yang mesti datang, yang sekarang sudah merentangkan fajarnya di tanah Rusia.
Tanah Rusialah yang pertama sekali sadar. Dialah kaum
Buruh yang pertama kali mengetahui bahwa dia dipakai oleh Kaum Modal semacam
perkakas untuk pemuasan nafsunya atas kekayaan saja. Segala senjata-senjata
yang maksudnya mula-mula mengekalkan dan membesarkan kemodalan, sekarang
berbalik haluan dan melenyapkan dirinya kaum Kapitalis sendiri.
Bagaimanakah di bagian tanah Eropa dan dunia yang lain?
Baikpun serikat yang kalah, konon nasibnya serupa saja.
Dalam hal ekonomi dan politik keduanya jatuh. Negeri yang satu menarik yang
lain, akhirnya jatuhnya makin lama makin kencang.
Tanah jerman yang kerugian tanah, kapal-kapal, kereta-kereta
pendeknya kerugian bermacam-macam perkakas pengadaan hasil mesti membayar
ongkos perang beribu juta rupiah. Saban-saban diganggu oleh pemogokan dan
pemberontakan yang ngeri. Seperti kita uraikan dahulu politiknya kaum Sosial
Demokrat sama sekali bocor. Berdirinya sekarang tidak lain karena belum ada
partai yang lebih kuat dari partai-partai yang lain-lain. Sesungguhnya partai
Monarkis atau partai raja makin lama makin besar dan kuat, tetapi partai ini
belum berani keluar sekarang, juga sebab ada gandengannya yakni partai Komunis.
Dan partai Komunis ini belum pula bisa naik, lantaran pengaruhnya partai-partai
Monarkis, pendeta, Sosial Demokrat dan lain-lain. Tetapi teranglah bahwa partai
yang tiada lama lagi mesti naik ialah salah satu dari yang dua tadi yakni: Partai
Monarkis atau Komunis.
Boleh jadi partai Sosial Demokrat, yang rasanya mesti akan
jatuh sama sekali, mula-mula akan diganti oleh partai Monarkis, yang mau
mendirikan Kaisar seperti sebelumnya tahun 1918. Alasan persangkaan ini adalah
cukup. Politiknya kaum Modal Perancis sangat membangunkan hati kebangsaan,
(sehingga bangsa Jerman, juga kaum Buruhnya benci sama bangsa dan kaum Buruh
Perancis), sehingga perasaan ini boleh dipakai oleh kaum Modal Jerman untuk
politiknya sendiri. Oleh karena kaum Monarkis itu bisa menarik hati Rakyat
dengan membangunkan hati kebangsaan itu, maka kaum Komunis tidak bisa berjalan
cepat. Kehinaan yang setiap-tiap waktu mesti ditanggung oleh Jerman dari pihak
Perancis – ingatlah saja kedudukan tentara Perancis di sebelah barat tanah
Jerman dan perhatikanlah politik Polandia di Opper-Silecie, politik mana
dibantu keras pula oleh Perancis – besok atau lusa akan mendatangkan huru-hara
juga. Tetapi kita tidak percaya yang peraturan Monarkis itu akan bisa kembali
dengan kekal.
Sebaliknya kita yakin, bahwa kekusutan ekonomi dan
pergerakannya akan membuka mata kaum Buruh, juga akan membongkar Kapitalisme di
sana dengan pokok dan akarnya.
Meskipun Perancis menang berperang, tetapi hutangnya kepada
bangsa-bangsa lain, yang lebih kurang 300 billiun frans (300 billiun =
300.000.000.000.000,-) itu tentu tiada akan terpikul olehnya. Bagian sebelah
utara, yakni pusatnya industri hampir rata-rata hancur, lantaran pelurunya
meriam-meriam dalam peperangan yang sebelumnya. Kota-kota, desa-desa, ladang
dan tambang besar-besar, yang rusak haruslah didirikan kembali, supaya
perjalanan ekonomi bisa terus lagi.
Tetapi dengan apa kalau sebagian besar dari anak-anak muda
yang kuat sudah meninggal di peperangan, dan kalau masih beribu-ribu anak muda
sudah mesti sudah dipakai untuk membantu Polandia dan menjaga negeri-negeri
yang baru dirampas kaum Modalnya sesudah perdamaian ini? (banyak serdadu
Perancis yang sekarang mesti dipakai untuk menjaga di sebelah barat tanah
Jerman, di Syria dan sebagainya). ”Lengang dan sunyi tanah Perancis”, inilah
yang mengerikan pembesarnya. Lagi pula jiwa yang lahir makin berkurang-kurang.
Kemenangan atas bangsa Jerman sangat mengganggu pergerakan kaum Buruh tanah
Perancis. Bangsa yang berdarah panas dan berhati kembang ini mudah dihinggapi
nafsu kemasyhuran. Tetapi kegirangan itu tentulah tidak akan kekal. Karena
ekonominya jatuh, dan sebab hatinya yang gembira dan dipukul rata berani serta
suci itu mudah pula dihinggapi oleh suaranya Komunis, maka partai Komunis di Perancis
itu makin lama makin mendesak. Tiadalah percuma saja bahwa hampir semua buah
pikiran manusia (begitu peraturan negeri dari persatuan Monarkis (kerajaan)
sampai dengan kapitalisme dan dari Kapitalisme sampai Komunisme) yang
dikemukakan zaman sekarang hampir sama sekali berasal dari Tanah Perancis,
sehingga terang pengaruhnya dalam 300 tahun ini atas bangsa-bangsa di Eropa dan
dunia yang lain-lain.
Meskipun tanah Ingrgis masuk serikat yang beroleh
kemenangan, walaupun tanahnya kaya, isi negerinya pintar, serta jajahannya di
atas dunia ini terbesar sekali, tetapi hal-hal yang tersebut tiadalah bisa
mengindahkan bala-bala yang dijatuhkan oleh peperangan baru-baru ini atas
dirinya. Dunia Inggris tergoncang. Sejak dari waktu perdamaian (tahun 1918) sampai
sekarang tiadalah putus pemogokan yang besar-besar dan tegas. Pemerintah mesti
campur, mesti mengeluarkan tentara, mesti mengeluarkan uang untuk memelihara
tentara itu, pendeknya pemerintah terhadap kaum Buruh sudah berlaku seperti
suatu negeri yang siap untuk berperang. Nyatalah disini bahwa pergerakan
ekonomi akhirnya mesti berdasar politik, karena pemerintah sendiri terpaksa
tampil membantu kaum Modal, yakni dengan polisi, justisi, dan serdadunya. Makin
lanjut kemodalan sesuatu negeri, makin keras dan tajam pertentangan buruh
dengan kapitalis dan mesti terang sikapnya pemerintah terhadap para kaum
pekejra. Dalam hal ini kaum Proletar tak bisa curiga atau ragu-ragu, siapa yang
kawan atau lawan.
Sudah tentu pemogokan-pemogokan itu menambah mundurnya ekonomi
Inggris. Hasil berkurang-kurang Inggris kehilangan pasar (sebab ia tiada
menghasilkan orang-orang umpamanya lantaran pemogokan, maka langganannya mesti
membeli orang pada bangsa lain sehingga kaum Modal orang Inggris kehilangan
langganan dan pasar) perdamaian dalam ekonomi negerinya hilang sehingga barang
masuk dan keluar dalam perniagannya makin lama makin susut pula.
Penyakit yang lain yang tidak kurang kerasnya ialah
perlawanan besar yang dilakukan oleh isi rumahnya sendiri, yakni daya upaya
lahir dan batin dari pihak bangsa Mesir, Hindu dan Irlandia, untuk melepaskan
belenggunya yang berpuluh atau beratus tahun itu. Peperangan dengan
bangsa-bangsa yang saban-saban memberontak itu memakan uang berjuta-juta dan
menambah kalutnya dunia Albino dan seterusnya. Kalau jajahan itu bisa merdeka,
tentulah hal itu tak kecil tamparannya atas kemodalan Inggris.
Sungguhpun tanah Inggris, sebagai Kapitalisme yang tertua
dan sempurna atas dunia masih bisa menahan serangan-serangan baik dalam hal
ekonomi (pemogokan) ataupun kebangsaan yang baiknya ekonomi juga. Tetapi
penyakit-penyakit yang selalu mengorek kesehatan badannya itu tentu akhirnya
akan menjatuhkan dirinya juga, ialah dari kemodalan tadi.
Bagaimana hal negeri-negeri yang lain dari yang lima
tersebut ada di tanah Eropa tiadalah perlu kita uraikan panjang lebar. Bahkan
tinggal kalut seperti sebelum perang. Austria – Hongaria dahulu di bawah
seorang kaisar, serta sesudah berdamai tahun 1918 dipecahkan oleh serikat
sehingga menjadi dua, sekarang sudah sampai bermusuh-musuhan satu dengan lain.
Austria, yang dahulu begitu besar dan masyhur, sekarang sangat mundur dalam hal
ekonomi, politik ataupun dalam banyaknya cacah jiwa. Wina ibu negeri yang
termasyhur di Eropa, sekarang rumahnya dan gedung yang besar-besar habis dibeli
orang asing, anak-anak yang kelaparan hidupnya dengan bantuan dari luar,
kelaparan senantiasa mencari mangsanya, pendeknya kota Paris tanah Eropa yang
kedua ini (Weenon) bolehlah dinujumkan untuk jatuh. Italia ribut, disebabkan
permusuhan antara kaum Modal dengan kaum Komunis makin lama makin kuat, dan
dimana-mana kaum Proletar bertambah sadar dan mengerti akan betulnya Komunis.
Tidak saja dalam negeri yang dirusakkan peperangan, tetapi juga negeri-negeri
yang semasa perang tinggal netral (Swedia, Denmark, Belanda, Belgia, dan
lain-lain) mesti melihat timbul dan majunya pergerakan kaum Komunis.
Ringkasnya, kemodalan Eropa sama sekali condong dan pada tiap-tiap saat boleh
ditunggu rubuhnya.
Kalau kita memandang pada negeri yang cuma tahu pada
keuntungan saja ketika watku peperangan seperti Jepang dan Amerika, maka juga
di sana kita melihat keadaan-keadaan yang tiada berapa bedanya dengan Eropa.
Di Tanah Jepang pergerakan Rakyat makin lama makin keras.
Sesudah tahun 1868, maka Jepang melompat dari zaman kuno sekali (sebelum tahun
1868 di tanah Jepang masih ada berkasta-kasta seperti pada zaman kuno sekali di
tanah Jawa ini) sampai kepada zaman Kapitalisme, dengan melampaui beberapa
tingkat-tingkat yang mesti dinaiki oleh bangsa Barat lebih dahulu. Tetapi
perlompatan itu tidak disebabkan tajamnya otak bangsa Jepang saja, tetapi
lebih-lebih oleh pertolongan teknik Barat (ilmu-ilmu mesin dsb) yang didapat
oleh bangsa Barat dalam beratus-ratus tahun, dan bagi bangsa Jepang sebagai
sudah tersedia saja. Oleh karena lompatan itu, tentulah pikiran bangsa Jepang
tidak bisa sama sekali pikiran kemodalan. Mikado masih disangka sebagai
wakilnya Tuhan di atas dunia. Pemerintah negeri mesti tinggal pada tangan
bangsawan dan hartawan-hartawan. Pada masa ini kasta Militer sangat terkuasa,
tiada berapa bedanya dengan Jerman di bawah perintah Wilhem II. Nama-nama
negeri dalam politik luar kerajaan Jepang seperti: Syantung, Manchuria, Korea,
Formosa, dsb. adalah menjadi tanda bagi kebuasan dan ganasnya kata Militer dan
kaum Modal bangsa Jepang. Meskipun Mikado masih dipandang semacam Tuhan,
sungguhpun keuntungan yang didapat lantaran perang di Eropa tiada ternilai,
baik dalam perniagaan, politik, walaupun lebarnya jajahan, tetapi Rakyat tanah
Jepang terpaksa bergerak, disebabkan kemelaratan juga. Tak kurang pula kita
baca pemogokan-pemogokan yang keras, tidak saja untuk minta tambah gaji, tetapi
juga untuk politik buat Hak Memilih umpamanya (tahun 1920).
Ilmu Komunisme mulai diperhatikan betul-betul oleh Rakyat
dan murid-murid sekolah tinggi. Baru-baru ini kita baca bahwa ada seorang
profesor (kalau tidak salah namanya Kimura) yang ditangkap karena mengembangkan
biji Komunisme. Siapa tahu apa kelak akhirnya Rakyat matahari naik (Jepang)
yang berotak tajam dan berwatak keras itu.
Tetapi dipukul rata kerajaan Jepang dan Amerika bolehlah
dikatakan sendi kemodalan.
Negeri Amerika didiami oleh bangsa Eropa juga. Tanah sangat
subur dan masih luas. Orang yang masuk yang biasanya semata-mata hendak mencari
kekayaan saja masih bisa dengan mudah memuaskan nafsunya itu. Sebab itulah
kemodalan kuat sekali. Tetapi Komunisme tentu akan berdusta kalau ada tempat di
dunia ini yang berdasarkan kapitalisme bisa memberi keselamatan bagi seluruh
Rakyat, atau sebagian besar dari Rakyat. Kita tahu bahwa Amerika negerinya
raksasa-raksasa uang (millioner). Perniagaan, landbouw (perusahaan tanah dengan
mesin) dan industrinya jauh lebih besar dari negeri-negeri manapun juga di
benua Eropa. Amerika Serikat yang selang belum berapa lama banyak kececeran
oleh dan banyak berhutang pada Eropa sekarang menjadi kreditornya benua Eropa.
Negeri-negeri di Eropa, maupun yang terkaya, terpintar serta terkuasa sekali,
seperti Inggris, ngeri melihat kemajuannya tanah Amerika. Tetapi sungguhpun
begitu sekarang ini tidak kurang dari 5.000.000 (kalau tiap-tiap si buruh itu
mempunyai satu istri dan satu anak jadi adalah kira-kira 15 juta manusia dari
penduduk kurang-lebih 100 juta yang dalam kesengsaraan dalam negeri yang
terkaya) kaum buruh yang dipecat atau tak dapat kerja lantaran adanya krisis
(kekalutan perniagaan). Angka ini sudah cukup untuk menggambarkan kemurkaan
Kapitalisme dimanapun juga tumbuhnya.
Sebaliknya pula tak perlu diwartakan bahwa juga di Amerika
mesti timbul dan majunya pergerakan Komunsime walaupun ketika ini beribu-ribu
pemimpin-pemimpin yang ditahan dalam penjara.
Pergerakan politik di Benua Cina tidak bisa kita uraikan
panjang lebar. Bukan saja lantaran kabar-kabar yang datang dari sana kurang
terang, tetapi terutama sebab kalutnya benua yang mempunyai kurang-lebih 450
juta jiwa itu. Utara dengan Selatan masih tidak serukun. Sesungguhpun Peking
namanya ibu negeri, tetapi kota besar yang lain-lain biasanya berbuat
sekehendak hatinya saja. Lebih-lebih kota yang terbesar di sebelah selatan,
yakni Kanton, hampir tak kurang kuasa dan pengaruhnya dari kota manapun juga di
benua Cina. Karena kekalutan politik di benua Cina itu, maka tiadalah kita akan
heran kalau kadang-kadang kita mendengar kabar yang jenderal ini atau itu sudah
berlaku sekehendak hatinya saja. Pendeknya, tak ada pemerintah sentral, yang
diakui sah, baik untuk menjalankan undang-undang atau untuk menghukum orang
atau kata yang melanggar undang-undang.
Negeri yang belum bisa mengurus rumah tangganya sendiri itu
tentulah tiada bisa menetapkan sikap terhadap keluar negeri. Kabar-kabar
telegram membuktikan betapa lemahnya benua Cina terhadap Jepang yang sembilan
atau sepuluh kali lebih kecil itu. Shantung, Manchuria, dll menjadi negeri
rebutan Jepang saja. Jepang sudah boleh menjalanlan kontrol (kontrol itu
diperoleh Jepang ketika dunia kalut karena Perang Dunia Pertama, kabarnya ada
kira-kira 20 juta manusia yang ditimpa bahaya itu) atas ekonomi, spoor dan
tentaranya benua Cina, sehingga pergerakan ekonomi dan politik terhambat
sekali.
Kabar-kabar yang datangnya dari pihak kaum modal, yang
mengatakan bahwa di benua Cina maju sekali pergerakan Bolshevismenya, tiada
kita berani mensahkan, cuma boleh percaya bahwa benua besar yang dalam
huru-hara sendiri, diancam bahaya kelaparan, dan diperebut-rebutkan oleh kaum
Modal Inggris, Jepang, Amerika dsb. itu akan terpaksa memangku Komunsime dan
memihak pada kaum Bolshevik, dengan jalan mana ia bisa kelak menghindarkan
bahaya perbudakan terhadap kaum Imperialisme dunia.
Seberapa bisanya saja kita sudah menunjukkan pergerakan
ekonomi dan politik di Eropa, Amerika, Jepang dan benua Cina (yakni dengan
kabar-kabar eficiel, maupun dalam organnya kaum Modal, maupun dalam maklumatnya
kaum Komunis dari Moskow sendiri).
Kita merasa perlu berbuat semacam ini, bukan saja karena
kita mau memperhatikan gegap gempitanya dunia kapitalisme semasa dan sesudahnya
peperangan tahun 1914 ini dan memperlihatkan keras majunya pergerakan
Komunisme. Adalah lagi sebagian besar dari dunia ini yang perlu kita taruh di
bawah pelita merah yang tidak kurang pentingnya buat Komunsime dari benua
Eropa, yakni Hindustan.
Sebetulnya kita belum puas, cuma memberi keterangan sedikit
saja atas pergerakan di sana.
Pertama : Sebab Hindustan begitu penting dalam hal ekonomi
dan politik dunia, karena penduduk negerinya saja ada kira-kira 300 juta, yakni
kira-kira 1/5 dari penduduk seluruh dunia.
Kedua : Sebab Hindustan, yang dahulunya ternyata guru dari
Hindia kita ini dalam beberapa ilmu-ilmu, sesudah tahun 1600, yakni sesudah
berdirinya OIC (Kompeni Inggris) nasibnya tiada berapa bedanya dengan kita,
karena dalam politik, ekonomi, Kompeni Belanda banyak mengambil contoh dari
politik ekonomi Kompeni Inggris.
Ketiga : Sebab Hindustan sekarang semakin hari semakin keras
nafsu dan aksinya buat kemerdekaan; dan kalau sekiranya maksudnya sampai, maka
perubahan politik dunia tiada akan sedikit.
Inilah alasan-alasan kita, maka sepatutnya kita mau
menceritakan tanah Hindsutan dengan sejarahnya yang jelas. Tetapi karena kita
takut akan membawa pembaca menyimpang, maka kita terrpaksa dengan
seringkas-ringkasnya melukiskan hal ihwal tanah Hindsutan.
Kita tidak perlu membaca sejarah untuk menyaksikan bahwa
kepandaian dan kebudayaan kita disini banyak sekali diperoleh dari benua
Hindustan. Pun benua yang lain-lain, baik pun Eropa atau Asia (Ingat saja
ilmu-ilmu di Eropa dan agama Budha di seluruh Asia) banyak menerima buah
perasaan dan pikiran yang halus-halus itu, sehingga tiadalah jauh dari
kebenaran kalau kita berkata bahwa Hindia muka semenjak beratus-ratus tahun
sebelum nabi Isa sudah menjadi asalnya kebudayaan dunia.
Pada masa OIC (Kompeni Inggris) didirikan (tahun 1600), maka
benua Hindustan masih dipuncak kepandaian dan kekayaan di atas dunia ini.
Bangsa Inggris yang masuk itu jauh ketinggalannya dalam berbagai hal. Cuma ia
melebihi dalam politik dan perkakas senjata perang.
Dengan tentara yang lebih sempurna bedil dan meriamnya, ia
menewaskan kerajaan-kerjaaan yang di pesisir laut. Tetapi meriam itu masakan
bisa menaklukkan Hindustan sama sekali. Senjata yang lebih tajam ialah: Politik
menghasut raja ini dengan raja yang lain, menghasut kaum Muslimin dengan kaum
beragama Hindu, menolong pihak yang sudah kena hasut melawan seterunya.
Pendeknya dengan politik seperti dalam cerita Galilah dan Daminah, atau seperti
kata orang Romawi politik devide et empera (hasut dan kalahkan), maka yang
kecil bisa menewaskan musuh yang berpuluh-puluh lebih kuat dan besar.
Serta dengan politik membatalkan perjanjian-perjanjian
dengan raja Hindustan, maka Inggris bisa menaklukkan manusia yang kurang lebih
7 kali lebih besar itu.
Dalam 300 tahun di bawah perintah Inggris, maka sejarahnya
penuh dengan pemberontakan-pemberontakan, sebab penindasan, serta kelaparan
(sepanjang sejarah Digby, ahli sejarah Inggris), bahaya-bahaya kelaparan di
Hindustan dari tahun 1891 – 1900 mengubahkan 19 juta manusia. Padi dan dan
gandum sampai cukup tetapi ditahan oleh kaum uang supaya boleh dijual mahal.
Kaum Proletar yang bergaji kecil tak sanggup membeli, kata E. Macdonald.
Baru-baru ini Lord Curzon menetapkan bahwa gaji orang Hindustan dipukul rata
lebih kurang f 1,50 sebulan.
Lord Clive, warren Hastings, dan baru-baru ini Jenderal
O’Deyer, semuanya pembesar-pembesar Inggris, yang terutama sekali menjadi
gambaran untuk banjir-banjir darah yang disebabkan pemberontakan-pemberontakan
tadi. Jadi berbeda benar sifat pergaulan bangsa Inggris sekarang dengan bangsa
Hindustan, sungguhpun kedua bangsa tadi memasuki negeri orang lain sama-sama
dengan niat hendak berniaga. Kemodalan zaman sekarang mesti berlaku lebih buas,
dari sebab itu politiknya Inggris terhadap pada jajahannya mesti lebih kasar
pula.
Bagaimana politik perniagaan OIC di sana, kita sudah
merasakan politik perniagaan Kompeni, disini tiadalah perlu lagi diberi cerita
panjang lebar.
Bangsa Hindustan harus membeli barang pabrik yang datang
dari Eropa, seperti kain, perkakas-perkakas, dll. Sebab itulah maka pertukangan
dan perusahaan bangsa Hindustan sendiri mati sama sekali. Begitu juga
kepandaian Rakyat dalam hal bertukang dan berhubung dengan itu pendidikannya
sendiri menjadi jatuh. Pendeknya Rakyat Hindustan mesti jadi bodoh, sepanjang
Maz.T.Muller, maka sebelumnya Inggris datang ada di Benggala saja 80.000
sekolah rendah, sehingga untuk tiap-tiap 400 penduduk negeri ada 1 sekolah.
Karena Inggris menghancurkan peraturan desa, maka pendidikan cara Hindu itu
hancur pula, sehingga sekarang cuma 50 persen anak lelaki dan 5 persen anak
perempuan bersekolah. Di negeri yang masih di bawah raja sendiri, Baroda
umpamanya, ada 100 persen anak lelaki dan 30 persen anak perempuan bersekolah.
Bandingkan saja di Jawa ini Solo dengan keresiden yang di bawah perintah
Gouvernement!
Keningratan Hindustan, yang sudah tentu mau merdeka di
negerinya sendiri harus diganti dengan pejabat-pejabat bangsa Inggris.
Pemberontakan-pemberontakan, lantaran kerasnya nafsu kemerdekaan tadi, terpaksa
mengadakan tentara yang kuat, yang setiap waktu bisa melawan pergerakan
nasionalisme yang timbul.
Pejabat dan militer, politik dan rechercheur yang
beribu-ribu itu menelan uang berjuta-juta rupiah. Ongkos yang sebesar itu
datangnya dari pajak juga, yang sangat menekan (menindas) rakyat.
Pemerintah tak berani mengadakan leerplicht (tiap-tiap anak
mesti bersekolah), karena takut kalau rakyat jadi pintar dan bisa kelak
mengalahkan Kapitalisme Inggris lahir dan batin.
Politik kemodalan Inggris niscaya membunuh politik rakyat.
Hak buat berkumpul, dan hak surat-surat kabar harus dipotong-potong dan rakyat
yang cinta pada tanah airnya serta memperlihatkan kecintaan itu dengan
perkataan atau kelakuan tentulah tiada boleh campur menimbang keperluan rakyat dalam
pemerintah negeri. Pemuda-pemuda yang keluar dari sekolah tinggi di Eropa, yang
berperasaan kemerdekaan tentulah terlantar hidupnya. Pemuda-pemuda yang
mengunjungi sekolah-sekolah tinggi di Hindustan sendiri niscayalah dapat
halangan dalam ujian atau dalam mencari pekerjaan kalau dia tidak bersifat
budak.
Demikianlah keadaan politik jajahan itu. Inggris tidak bisa
mengubahnya lagi. Karena Hindustan sudah jadi kemodalannya sendiri, sehingga
perubahan itu kalau dilakukan bisa menjatuhkan dirinya sendiri. Kapitalis
Inggris mesti terus memakai pejabat, politik, tentara yang besar itu, terus
memungut pajak. Dunia Hindustan yang terkaya dan termulia sebelum tahun 1600
itu sekarang menjadi termiskin di atas dunia, karena segala kekayaan mengalir
menuju ke tanah Inggris. Rakyat yang tidak mendapat pendidikan mesti membayar
pajak berat yang tak putus didatangi penyakit, tak putus didatangi bahaya
kelaparan itu, maka rakyat yang kira-kira 300 juta itu bolehlah kita katakan
kaum kita sejati, yang satu nasib satu niat di atas dunia ini.
Sekarang ini di Hindustan ada berbagai pergerakan yang
berdasarkan agama, kebangsaan, dan sosialisme. Dalam hal agama lama sungguh
Muslimin (kira-kira 60 juta) bertentangan atau dipertentangkan oleh Inggris
dengan agama Hindu. Walaupun pergerakan sosialsime tak kurang hebatnya,
sehingga saudara Roy (komunis) tak boleh masuk di Hindustan, tetapi yang jadi
suluh pergerakan pada ketika ini ialah Nasionalisme yang bertubuh pada dirinya
Mahatma Gandhi.
Pahlawan ini sudah kita kenal, baik cita-cita ataupun watak
dan kesatriaannya. Menurut persangkaan kita semacam komunis, yang tiada mau
melompat berpikir, haruslah tingkat yang pertama ini kita akui sahnya. Haluan
nasionalisme seperti di Hindustan itu di mulut dan di hati tiada boleh kita
hinakan atau kecilkan harganya. Tetapi keyakinan kita juga bahwa rakyat yang
300 juta dalam kemelaratan itu kelak kalau sekiranya negeri merdeka, niscaya
tak dapat tidak akan meminta keperluan dalam pertama sekali buat sesuatu
manusia. Yakni terutama keperluan hidup dan tiada akan bisa kenyang lagi dengan
cita-cita kebangsaan atau agama saja.
Gandhi mesti kelak terpaksa memilih: ”Kapitalisme atau
Komunisme” dan peraturan negeri Parlemen atau Soviet. Artinya yang terus dalam
praktek, atau ia harus memihak pada kaum Modal bangsa sendiri, atau pada
rakyat. Zaman sekarang seorang pemimpin, yang sudah mengajak rakyat mencari
kemerdekaan, tidak akan bisa berdiri di tengah-tengah lagi, sebab kaum Proletar
dimanapun juga sudah sadar, dan lagi pula pertentangan Komunisme dan
Kapitalisme tidak tinggal dalam teori lagi seperti beberapa tahun dahulu.
Kita tentu tidak bisa memberi putusan. Bagaimana kelak nasib
tanah Hindustan, tidak boleh ditetapkan oleh pengharapan kita sebagai Komunis,
atau pengharapan Gandhi sebagai nasionalis. Kodrat alam berlaku seperti
kehendaknya sendiri saja. Tetapi Komunisme bisa menunjukkan dengan sejarah alam
sendiri, bahwa akhirnya Kodrat alam itu (keadaan ekonomi) akan menarik
pergerakan sesuatu nasionalisme itu kepada peraturan rakyat yakni Komunisme.
Kalau kepercayaan kita ini benar, maka ”Hindia Muka” entah
mana yang penting dengan Eropa. Selama ini Eropa (negeri-negeri di luar Rusia)
disangka sebagai pintu masuk ke zaman Komunisme. Artinya, kalau negeri-negeri
Eropa yang di luar Rusia sama sekali mempunyai Soviet – yakni gambar
Diktatornya kaum Proletar – maka dunia lain mesti mengikut. Tetapi juga kalau
Hindustan lepas dari bangsa Inggris, niscaya kaum Proletar Rusia bisa
berhubungan betul dengan rakyat Hindustan, perhubungan mana sekarang sangat
dihalang-halangi oleh pemerintah Inggris. Dengan Persia, Afghanistan, Turkistan
dan dunia Muslim yang lain-lain, perhubungan itu sudah bertambah-tambah keras
(sehinga sudah sampai dua kali pemerintah Inggris mencegah kaum Bolshevik
meneruskan persahabatannya itu) sehingga kalau perhubungan terus dengan
Hindustan juga terdapat, maka tiadalah kurang dari kurang-lebih 500 juta
manusia yang berlindung di bawah bendera merah.
Kelepasan Hindustan dari tangan Inggris adalah suatu
dorongan yang keras, dan kalau kaum Proletar tanah Inggris melihat musuh kaum
modalnya sendiri itu sudah lemah, tentulah segera ia akan mendirikan kekuasaan
rakyat. Kalau Kapitalisme Inggris jatuh, tentulah kemodalan negeri lain-lain di
Eorpa tidak bisa berdiri.
Inilah alasan-alasan kita buat menerangkan persangkaan bahwa
Hindustan tak sedikit pentingnya buat Komunisme. Inilah artinya buat kita
pergerakan kebangsaan atau agama di Hindustan sekarang, seterusnya pula inilah
artinya Mahatma Gandhi buat zaman Komunisme yang mesti datang itu.
Tiadalah percuma saja kita menguraikan keadaan ekonominya
dunia sekeliling tanah Hindia, karena ekonomi itulah jadi sendi pergaulan hidup
yang terutama sekali, dan karena ekonomi itulah pula maka datang perhubungan
negeri-negeri di atas dunia ini. Pada zaman Kapitalisme ini, tiadalah ada lagi
negeri yang tiada terkenal atau terpencar letaknya. Dahulu kala, beribu dan
beratus tahun yang lalu, maka kerajaan-kerajaan Mesir, Yunani, Romawi atau
Islam hidup sendiri-sendiri. Hampir tidak ada perhubungan dengan Amerika
ataupun benua Cina, yang dipagari dengan batu tembok yang tebal, panjang dan
tinggi itu. Begitu juga bangsa Jepang, belum lama rakyatnya ini dilarang
meninggalkan negerinya sendiri, dan melarang bangsa asing memasuki tanahnya. Lautan-lautan
besar beserta gunung yang tinggi-tinggi menjadi halangan besar dalam pergaulan
satu bangsa dengan bangsa yang lain, sehingga bolehlah dikatakan dunia dahulu
dibagi atas beberapa dunia, yang satu dengan lainnya hampir tiada tahu-menahu.
Tetapi pada zaman sekarang, tak ada lagi lautan yang lebar,
atau gunung yang tinggi bisa menghambat pergaulan satu bangsa dengan yang lain.
Kapal dan kereta api mempertalikan negeri-negeri di dunia ini dengan lekasnya.
Tak ada gunung yang tinggi yang tidak bisa dilampaui oleh kapal terbang, serta
tak ada laut yang dalam yang tidak bisa diduga oleh kapal selam. Telegraf dan
telephone boleh menyebarkan kabar di alam kita ini dalam satu atau dua menit
saja.
Sifat ekonomi zaman kemodalan ini sudah internasional (seluruh
dunia). Meskipun baru-baru ini umpamanya, bangsa Eropa yang berperang-perangan,
tetapi rakyat Hindia disini tak kurang menanggung kecelakaan disebabkan
peperangan tadi. Ingatlah saja berapa naiknya harga bermacam-macam
barang-barang yang perlu kita pakai disini. Ringkasnya: Hindia ini adalah
sebagian dari rumah ekonominya Kapitalisme dunia. Tiadalah bangsa Hindia bisa
mengatakan: ”Saya tak perduli akan hal ihwal politik negeri sekeliling saya”.
Demikianlah juga kaum Modal bangsa apapun juga, tidak akan
berkata: ”Saya tak perduli hal ihwalnya politik di Hindia”. Teh, beras dan gula
kita masyhur dimana-mana. Amerika umpamanya, yang tahu akan artinya karet dan
minyak tanah buat industrinya sendiri, ingin melihat negeri kita yang penuh
dengan benda-benda yang tersebut.
Apabila kita sekejap memandang pada peta bumi, maka
kelihatanlah bahwa selat-selat Sunda dan Malaka laksana menjadi pintu ke benua
Cina, Jepang dan seterusnya Amerika, yang sama sekali di diami oleh kurang
lebih ½ dari penduduk dunia. Di sebelah barat pintu tadi kita dapati
benua Hindustan dan Eropa, yang juga mempunyai kurang lebih ½ dari
penduduk bumi. Berapa pentingnya pintu-pintu tadi dalam perniagaan antara
bangsa Cina dan Jepang dengan Hindustan dan Eropa, ahli-hali ekonomilah yang lebih
maklum. Istimewa pula kalau kelak bangsa Cina atau Hindustan bertambah maju
maka niscayalah Hindia kita seperti suatu pasar dimana bangsa-bangsa tadi
bertemuan. Memangnya hal ini pada zaman dahulu kala sudah terjadi.
Negeri Malaka (di selat Malaka), negeri Banten (di selat
Sunda) pada masa kompeni belum datang, adalah bandar-bandar yang dikunjungi
oleh bangsa-bangsa tadi.
Lebih-lebih kalau peperangan timbul (antara bansga-bangsa
yang sebelah Barat melawan modal Jepang dan Amerika), maka niscayalah mereka
itu akan rebut-merebut pintu tadi, yang penting sekali artinya untuk satu-satu
pihak.
Peperangan itu segenap waktu bisa terjadi (pada masa ini
negeri-negeri Inggris, Jepang dan Amerika berlomba-lomba membuat kapal perang
yang besar-besar, sungguhpun mereka itu berlomba-lomba pula menyanyikan
perkataan perdamaian). Bagaimana kelak kombinasinya (serikat-serikatnya)
peperangan, tentulah tiada bisa kita putuskan.
Cuma kita tahu, yang Jepang dan Amerika sedang
berlomba-lomba membuat kapal perang yang besar-besar. Dalam rebut-merebut
”Lautan Teduh” niscaya Hindia kita tak akan bisa ”netral”.
Lagi pula Eropa dan Hindustan makin lama makin kusut. Kalau
sekiranya benua yang dua ini menjadi merah sama sekali, maka peperangan yang
akan datang itu bukanlah untuk rampas merampas tanah atau laut buat kemodalan,
melainkan untuk menghancurkan Kapitalisme. Eropa – Hindustan, niscaya akan
berlawanan dengan Jepang – Amerika (sebagai benteng kemodalan dunia).
Juga dalam hal ini kita akan terbawa-bawa. Kita tak perlu
seorang ahli ekonomi atau peperangan untuk menyaksikan bahwa dalam peperangan
antara merah (Eropa – Hindustan) melawan putih (Jepang – Amerika) Hindia ini
terpenting sekali.
Berhubung dengan kepercayaan kita, bahwa Kapitalisme itu
boleh jadi lekas jatuh, dan berhubung dengan kehendak rakyat disini atas
kemerdekaan, maka kita bertanya:
1. Apakah kita mesti tinggal pasif
(menerima) seperti beribu-ribu tahun yang sudah ini?
2. Apakah kelak kita mesti berserah saja
kepada kemodalan Amerika, Australia, Jepang atau Inggris yang kalau peperangan
tadi datang kelak akan berdaya upaya menduduki negeri kita?
3. Apakah mesti kita biarkan saja rakyat
berjuta-juta itu dalam nafsu dan pengharapan yang keras itu buat keselamatan
hidup?
Berhubung dengan pertanyaan-pertanyaan itu, maka kita
meminta, kita berseru pada pemuda-pemuda bangsa Hindia ini, yang suci, adil dan
berani. Kita meminta, supaya dipikirkan betul-betul persoalan-persoalan yang
berguna buat keperluan hidup.
Kita ada yakin bahwa tiap-tiap pemuda di Hindia ini yang
tahu akan kehinaan dan kemiskinan rakyat akan cocok dengan paham kita, yakni:
Kekuasaan Sovietlah yang akan disukai rakyat disini dan hanya dialah yang kelak
bisa memerdekakan rakyat yang terhina dalam beribu-ribu tahun ini.
Tetapi, kalau seseorang sudah mendapat keyakinan itu, maka
haruslah pula ia berdaya upaya untuk menjalankan dan mendatangkan cita-cita
itu, artinya itu haruslah ia menceburkan diri pada pergerakan rakyat. Kalau
tidak, maka cita-cita itu akan tinggal cita-cita (kenang-kenangan) saja, dan
tiada menambah kekuatan rakyat.
Bahwasanya Hindia ini penuh dengan kekuatan (kodrat) yang
tersembunyi. Beribu-ribu kaum Proletar yang belum mempunyai organisasi yang
teguh. Belum pula ada perkumpulan politik yang boleh dikatakan sempurna. Tetapi
kita percaya bahwa kerukunan dan ketetapan paham dalam serikat buruh dan
Perkumpulan Politik itu juga disini bisa didapat, asal kita sama sekali
berpikir dan berusaha mencari sesuatu kerukunan, yang sepadan (cocok) dengan
kemelaratan dan kemauan rakyat disini. Kita yakin bahwa harganya lasykar
Perkumpulan Vak atau Politik yang berdasar kerakyatan itu lebih besar dari 5
Universiteit (sekolah tinggi). Karena kalau lasykar-lasykar seperti cita-cita
komunisme disini sudah siap, maka apa saja yang kita kehendaki dalam pergaulan
hidup mesti akan kita dapat, juga Universiteit. Kekuasaan Soviet (kekuasaan
Rakyat) bisa membangun hati dan pikiran merdeka, tidak saja di Hindia ini,
tetapi juga di seluruh dunia.
Syahdan maka jikalau kita Hindia ini sudah sampai mempunyai
organisasi Rakyat itu, maka kita bukan hanya memperoleh senjata yang sangat
tajam untuk mengubah nasib hidup disini saja, tetapi dengan senjata itu,
bolehlah dengan girang kita menunggu nasibnya Kapitalisme. Jika sekira-kiranya
Kapitalisme Eropa dan Hindustan betul jatuh, maka disinipun kita sudah siap
untuk mengatur negeri dengan cara semestinya, sehingga kemurkaan kemodalan
lenyap dengan segera, serta bergantian dengan perdamaian dan keselamatan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar