Sabtu, 03 Oktober 2015

Sosialisme Islam

Antara tahun 1950an dan awal 1970an, suatu ideologi kuat di dunia Muslim melahirkan diri dari pikiran dan praktik intelektualisme Islam serta meretas jalannya ke arena politik. Namun ideologi ini tidak memiliki muasal tunggal. Akar-akarnya bisa ditemukan dari karya-karya para pemikir dan ideolog Muslim di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan di berbagai negara Timur Tengah (Arab). Selain itu, saat ideologi ini diadopsi oleh para pemimpin dan politik arus utama, ideologi ini diekspresikan dengan berbagai nama. Namun hari ini, nama-nama dan istilah-istilah tersebut ditempatkan di bawah satu payung defisional tunggal: Sosialisme Islam.

Akar dan Pohon

Meskipun sulit untuk menunjuk mana titik mula persisnya dari mana berbagai pemikiran terkait Sosialisme Islam namun Sami A. Hanna dan Hanif Ramay, sejarawan dan intelektual—yang berspesialisasi dalam mengkritik serta menyusun suatu sejarah dialektis Sosialisme Islam—memberikan pandangan yang menganggap bahwa ekspresi-ekspresi paling awal dari Sosialisme Islam sesungguhnya muncul di Rusia pada akhir abad 19 dan awal abad 20.

Ia muncul dari gerakan kaum tani, tani hamba, dan borjuasi kecil di negara bagian Tatartan Rusia. Mereka menentang monarki Tsar Rusia dan digilas dengan brutal. Awal abad 20, gerakan tersebut bergerak di bawah tanah dan mulai bekerja dengan angkatan-angkatan komunis, sosialis, dan sosial demokratis yang beroperasi di Rusia untuk menggulingkan Monarki.

Para pemimpin gerakan Muslim tersebut yang kemudian dikenal sebagai Waisi kemudian mulai menjelaskan diri sebagai kaum Sosialis Islam saat revolusi kiri melawan monarki Rusia meletus di tahun 1905. Kemudian saat revolusi Bolshevik tahun 1917 berhasil menggulingkan dan menghapuskan monarki Rusia serta mendirikan kekuasaan komunis di negeri itu, gerakan Waisi ikut berpihak dengan kaum Bolshevik serta mendukung program dan kebijakan-kebijakan sosialis yang menyeluruh dari Vladimir Lenin, sang pemimpin revolusi Rusia. Bagaimanapun juga setelah Lenin meninggal pada tahun 1924, gerakan Waisi mulai menegaskan bahwa jemaah Muslim dan sosialismenya di Tatartan merupakan entitas otonom. Gerakan Waisi yang mendirikan komune-komunenya sendiri ini kemudian menjadi korban pembersihan besar-besaran Stalin atau yang dikenal sebagai The Great Purge pada tahun 1930an.

Belum ada penelitian yang mengungkap secara terperinci bagaimana Gerakan Waisi mendefinisikan sosialismenya di suatu negeri yang kemudian menerapkan atheisme sebagai kredo paksaan negara. Dalam perkembangannya, kemudian sekelompok pemikir dan ideolog berpengaruh di Asia Selatan serta Timur Tengah yang di kemudian hari memberikan bentuk yang lebih koheren dan doktrinal terhadap Sosialisme Isla.

Ubaidullah Sindhi, seorang cendekiawan Islam, yang terlahir dari keluarga Sikh (di Sialkot dan kemudian menjadi mualaf atau memeluk Islam) juga merupakan seorang agitator melawan rezim kolonial Britania di India. Ia dikejar-kejar oleh aparat selama Perang Dunia I dan kemudian melarikan diri ke Kabul. Dari Kabul ia mengunjungi Rusia dan menyaksikan Revolusi Bolshevik 1917. Ubaidullah Sindhi tinggal di Rusia sampai tahun 1923 dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mendiskusikan politik dan ideologi dengan para revolusioner komunis serta mempelajari sosialisme. Karena terkesan dengan slogan-slogan kesetaraan ekonomi dan keadilan sosial selama revolusi Oktober tersebut, Sindhi yang masih sepenuhnya merupakan seorang Muslim Sunni Deobandi mengadopsi Marxisme dengan mengesampingkan penekanan Marxisme atau Komunisme terhadap ateisme. Dari Rusia, Sindhi kemudian pergi ke Turki dan di Istanbul, lah, ia kemudian mulai membentuk pemikiran-pemikirannya mengenai Sosialisme Islam melalui serangkaian tulisan yang ditujukan kepada umat Muslim di India. Ia mendorong umat Muslim ‘untuk mentransforasikan diri dengan landasan relijius untuk mencapai keadilan ekonomi yang merupakan tujuan-tujuan komunisme yang belum sepenuhnya bisa tercapai’. Alasannya menurutnya adalah ia memandang baik filosofi Islam maupun Komunis serupa dalam hal penekanan terhadap distribusi kekayaan yang adil. Menurutnya sosialisme bila diterapkan dengan bantuan yang lebih teistis dan dengan dimensi spiritual, bisa lebih bermanfaat bagi kaum tani dan kelas buruh daripada komunisme yang ateistis.

Sementara itu pada periode yang sama (1920an sampai 1930an) seorang cendekiawan Islam lainnya di India juga terpikat oleh Marxisme dan Revolusi Oktober 1917. Ia adalah Hafiz Rahman Sihwarwl yang memandang Islam dan Marxisme memiliki lima elemen yang sama: (1) Larangan menumpuk kekayaan di tangan kelas-kelas berprevilese. (2) Pengorganisiran struktur ekonomi negara untuk menjamin kesejahteraan sosial. (3) Kesetaraan kesempatan bagi seluruh umat manusia. (4) Prioritas bagi kepentingan sosial kolektif yang lebih tinggi daripada kepentingan individu berprevilese. (5) Pencegahan permanenisasi sruktur kelas melalui revolusi sosial.

Dorongan dari banyak tema ini diambilnya dari Al-Qur’an, yang dipahaminya bertujuan untuk menciptakan suatu tatanan ekonomi dimana yang kaya membayar kelebihan hartanya melalui pajak-pajak sukarela yaitu Zakat untuk meminimalisir kesenjangan dalam hajat hidup.

Sedangkan di sisi lain Sihwarwl memangdang Islam dan komunisme berbeda paham soal kepemilikan pribadi atas alat produksi dimana Islam memberikan batasan-batasan dan sanksi-sanksi tertentu terhadap kepemilikan pribadi sementara Komunisme menghendaki masyarakat tanpa kelas dimana kepemilikan pribadi atas alat produksi dihapuskan dan diganti menjadi kepemilikan bersama. Inilah aspek fundamental Komunisme yang ditolak Sihwarwl. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa Islam mengandung larangan-larangan atas penumpukan kekayaan. Larangan ini, menurutnya, cukup untuk mengontrol struktur kelas melalui kesetaraan kesempatan. Sehingga pada dasarnya pemikiran Sosialisme Islam, baik dari Sindhi dan Sihwarwl lebih mendekati pemikiran sosial demokratis (Sosdem).

Pemikiran-pemikiran awal Sindhi dan Sihwarwl ini kemudian dikembangan tokoh-tokoh Sosialisme Islam berikutnya: Ghulam Ahmed Parvez dan Dr. Khalifa Abdul Hakim. Parvez adalah seorang ‘Qur’anis’ terkemuka atau seorang cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agar umat Muslim bisa maju di dunia modern, maka pemikiran dan hukum Islam perlu sepenuhnya berdasarkan penafsiran-penafsiran modern Al-Qur’an dan penolakan sepenuhnya terhada[ hadis. (Ia mengatakan bahwa ucapan-ucapan atau perkataan Nabi dan Para Sahabat berdasarkan ujaran dari mulut ke mulut dan disusun lebih dari seratus tahun setelah Nabi meninggal dunia). Setelah mempelajari naskah-naskah tradisional Muslim, termasuk mempelajari Sufisme, Parvez mengklaim bahwa hampir seluruh hadis adalah rekayasa oleh pihak-pihak yang menginginkan agar Islam tampak sebagai kepercayaan yang tidak toleran dan oleh raja-raja Muslim kuno yang menggunakan hadis-hadis tersebut untuk memberikan legitimasi ilahiah bagi kekuasaan tirani mereka. Parvez juga menegaskan bahwa umat Muslim perlu mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan modern daripada menghabiskan daya upaya mereka untuk memerangi konflik-konflik sektarian lama atau mengabaikan semangat kesetaraan dan pencerahan Al-Qur’an dengan berkutat dalam berbagai ritual yang diturunkan oleh ulama-ulama kuno. Bisa dipahami selanjutnya Parvez langsung diserang oleh para cendekiawan Islam dan para politisi Muslim konservatif.

Namun ini tidak menghintakan Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan penyair Muslim, untuk berteman dengan sang intelektual muda dan memperkenalkannya kepada Muhammad Ali Jinnah, yang di kemudian hari menjadi pendiri negara Pakistan. Jinnah kemudian menunjuk Parvez menjadi editor majalah Talu-e-Islam. Majalah yang didirikan untuk mendorong pembentukan suatu negara Muslim tersendiri yang terpisah dari India dan untuk menjawab serangan-serangan yang mulai dihadapi Liga Muslim Seluruh India dari pihak-pihak dan ulama-ulama Islam konservatif yang menuduh Liga Muslim tersebut sebagai organisasi Muslim gadungan serta menuduh Jinnah terlalu kebarat-baratan dan ‘kurang memiliki kelakuan Islami yang patut’.

Selain terus menulis buku dan tafsir-tafsir Al-Qur’an, Parvez juga menulis rangkaian artikel di Talu-e-Islam yang mempropagandakan pandangan Kitab Suci secara lebih sosialistis. Dalam rangkaian esai di majalah itu, ia menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, peristiwa-peristiwa dari sejarah agama Islam, dan pandangan-pandangan dari tulisan-tulisan Muhammad Iqbal yang mengklaim: Pertama, para pejabat agama dan ulama telah membajak Islam. Kedua, mereka adalah agen-agen orang kaya raya yang mempromosikan Kapitalisme tanpa kendali. Ketiga, sosialisme adalah sistem terbaik yang menerapkan ajaran-ajaran Al-Qur’an mengenai kepemilikan, keadilan, dan distribusi kekayaan. Keempat, misi utama Islam adalah penghapusan semua kezaliman dan kekejian dari masyarakat. Ini adalah gerakan sosio-ekonomi,, dan Nabi adalah seorang pemimpin yang berjuang mengakhiri eksploitasi para saudagar Quraysh serta birokrasi korup Bizantium dan Persia. Kelima, menurut Al-Qur’an, umat Muslim punya tiga tanggung jawab utama: melihat, mendengar, dan merasakan agensi pikiran. Konsekuensinya, pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang berdasarkan observasi yang bisa diverifikasi secara empiris atau melalui peran sains. Keenam, kemiskinan adalah hukuman Allah dan pantas dialami oleh mereka yang mengabaikan sains. Ketujuh, di masyarakat-masyarakat Muslim/Islam, ilmu pengetahuan dan reforma agraria perlu memainkan peran kepemimpinan dalam membangun ekonomi industri. Kedelapan, jalan sosialis adalah koreksi terhadap pendistorsian Islam lewat Syariah di abad pertengahan.

Parvez bergabung dengan pemerintah setelah pendirian negara Pakistan di tahun 1947. Namun setelah Jinnah meninggal di tahun 1948 ia dipinggirkan sampai kemudian mengundurkan diri dari jabatannya di tahun 1956.

Seorang cendekiawan lainnya di masa itu yang juga menggunakan tulisan-tulisan Iqbal tentang Islam dan Al-Qur’an untuk merumuskan Sosialisme Islam di Asia Selatan adalah Dr. Khalifa Abdul Hakim. Sebagai seorang filsuf, penulis, dan penggemar besar Muhammad Iqbal, Khalifa lebih menjelajahi teritori ideologis Sosialisme Islam daripada Ghulam Parvez. Khalifa, yang merupakan pelajar Islam penuh semangat, memperoleh gelar S3nya dari Universitas Heidelberg di Jerman. Ia menulis sejumlah buku mengenai filsafat Iqbal, pemikiran Islam, Jallaluddin Rumi (seorang penyair dan penulis Sufi), serta menerjemahkan kitab suci Hindu, Bhaqwat Gita, ke dalam bahasa Urdu. Baru setelah Pakistan didirikan, Khalifa mulai mempelajari Marxisme secara serius dan apa maknanya bagi negara ‘dunia ketiga’ seperti Pakistan. Dalam buku-bukunya yang terbit tahun 1951 yaitu ‘Islam dan Komunisme’ dan ‘Iqbal Aur Mullah’, Khalifa memandang Sosialisme Islam sebagai pendorong kebebasan berpikir, bertindak, dan berusaha yang merupakan ciri-ciri demokrasi Barat dengan menciptakan kesempatan bagi semua pihak. Dalam ‘Islam dan Komunisme’, Khalifa memandang bumi sebagai sumber pokok kesejahteraan ekonomi dan karenanya menjadi landasan moral atas reforma-reforma agraria di Pakistan.

Selain Ghulam Ahmad Parvez, sebagian besar pemikir Sosialis Islam di atas, meskipun mengkritik Marxisme/Sosialisme secara menyeluruh dengan landasan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan mendaftar persamaan dan perbedaan di antara keduanya, hanya bicara sangat sedikit mengenai bagaimana peran pemerintah dan negara terkait persoalan agama di masyarakat yang berlandaskan ideologi dan sistem ekonomi yang disebut sebagai Sosialisme Islam.

Parvez cukup jelas menyatakan bahwa masyarakat Sosialis Islam berjalan dengan hukum-hukum dan ekonomi berdasarkan penafsiran rasional Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan modern akan secara inheren bertanggung jawab, mematuhi hukum, menjunjung tinggi kesetaraan dan pecerahan serta tidak memerlukan negara untuk memainkan peran pemandu moral. Dengan kata lain kebijakan-kebijakan Sosialis Islam menjamin suatu negara mayoritas Muslim yang progresif dan non-teokratis (kalau tidak sepenuhnya sekuler) dimana para warga negaranya cukup tercerahkan untuk mengambil pilihan-pilihan moralnya sendiri, dan dimana negara hanya mengurusi kepentingan ekonomi rakyatnya dan menegakkan keadilan. Dalam dua ranah inilah dimana negara menerapkan penafsiran-penafsiran rasional dan modernistis terhaap Al-Qur’an khususnya terhadap ayat-ayat tentang hak-hak milik, Zakat, keadilan, dan hak-hak kaum perempuan.

Berikutnya di Timur Tengah, Sosialisme Islam menjelma menjadi suatu pemikiran revolusioner yang lebih bercorak nasionalistis. Terutama akibat pendirian negara Israel di tahun 1948 dan pengusiran ribuan rakyat Palestina dari daerah itu. Michel Aflaq, seorang filsuf Kristen Suriah dan nasionalis Arab, merupakan salah satu orang yang dicatat sejarah sebagai perumus Sosialisme Islam versi Timur Tengah yang mewujudkan diri sebagai Sosialisme Arab dan Sosialisme Ba’ath. Ia lahir dari keluarga Kristen Arab dan menjadi seorang komunis saat menjadi mahasiswa namun ia pecah dengan para komunis untuk merumuskan suatu filsafat radikal dan nasionalisme Arab baru dengan pemuda Suriah lainnya, yaitu Salah Ad-Din Al-Bitar. Setelah mempelajari kebuntuan ekonomi dan kemerosotan politik rakyat Arab di seluruh dunia, Aflaq dan Bitar mengusung gagasan pedirian suatu negara persatuan Arab. Dengan ini mereka mendirikan kembali nasionalisme Arab dengan menyuntikkan dosis tinggi pemikiran-pemikiran ekonomi sosialis, kebudayaan progresif, dan pandangan sosial, serta mengerjakan kembali pemikiran Islam yang inheren di dalamnya dengan membangkitkan ‘semangat revolusioner Al-Qur’an’ untuk menangkal kezaliman dan kesenjangan namun memisahkan Islam (sebagai agama) dari urusan kenegaraan. Aflaq dan Bitar mengklaim bahwa hal ini akan mengantarkan pada renaissance atau pencerahan di dunia Arab, dan membuatnya menjadi kekuatan ekonomi dan politik dunia.

Penekanan mereka pada kata renaissance (yang dalam bahasa Arab adalah ‘Al-Ba’ath’) kemudian melahirkan istilah ‘Sosialisme Ba’ath’, baik Aflaq dan Bitar bergegas untuk mendefinisikan bagaimana kerja persisnya sosialisme bentuk ini. Sosialisme Ba’ath menyerukan persatuan pada seluruh bangsa Arab di atas landasan bahasa/kebudayaan (Arab) dan agama yang dipeluk mayoritas Arab (Islam). Menurutnya bangsa-bangsa Arab digempur lima kekuatan: kolonialisme Eropa (yang dikendalikan kapitalisme); Komunisme Soviet; ‘monarki-monarki dekaden’ di negara-negara Arab; konservatisme Islam di masyarakat-masyarakat Arab; dan para pejabat agama serta ulama yang membuat masyarakat-masyarakat ini terus terbelakang.

Sosialisme Ba’ath menawarkan suatu jalan di antara kapitalisme Barat dan komunisme Soviet dengan menyerukan agar semua bangsa Arab bersatu dalam satu negara di bawah ‘partai pelopor’ nasionalis-nasionalis Arab yang akan menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi sosialis, memodernisasi masyarakat melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, memisahkan agama dari negara namun terus terinspirasi konsep-konsep kesetaraan Islam yang tetap akan menjadi agama mayoritas masyarakat di negara persatuan Arab. Meskipun Sosialisme Ba’ath terang-terangan sekuler namun ia merayakan Islam sebagai bukti ‘kearifan Arab’, dan pernyataan kebudayaan, nilai, dan pemikiran Arab.

Tarian Sosialisme Timur Tengah dan Afrika

Tampaknya Sosialisme Ba’ath tiba pada momen yang matang di sejarah Arab modern karena sejak tahun 1940an ke depan sejumlah gerakan anti-kolonial meletus di Irak, Mesir, Aljazair, Yemen, dan Suriah, serta semuanya dipimpin oleh pihak-pihak yang menyatakan diri sebagai pendukung Sosialisme Arab. Tahun 1948, seorang Kolonel militer muda Mesir, Jamal Abdul Nasser, membentuk ‘Free Officers Movement’ atau ‘Gerakan Perwira Merdeka’ yang klandestin. Kelompok tersebut terdiri dari para perwira militer Mesir yang terdorong oleh pemikiran Sosialisme Arab/Sosialisme Ba’ath. Tahun 1952 gerakan itu menggulingkan monarki Mesir yang pro Britania dalam suatu kudeta dan mendeklarasikan Mesir sebagai Republik Sosialis Arab. Menariknya, Gerakan Perwira Merdeka dan kudeta tersebut awalnya didukung oleh kelompok agama sayap kanan, yaitu Ikhwanul Muslimin (IM). Namun begitu Nasser mulai menerapkan kebijakan-kebijakannya ‘untuk memodernisasi ekonomi dan masyarakat Mesir’, serta menyatakan sebaik-baiknya Islam adalah yang dipraktikkan di ruang pribadi, maka IM mulai berbalik melawan rezim Nasser. Tahun 1954 IM mencoba membunuh Nasser yang membalasnya dengan represi besar-besaran terhadap IM dan para ulama konservatif.

Terilhami oleh Nasser, sekelompok perwira muda di Irak melancarkan kudeta dan berhasil menggulingkan monarki Irak di tahun 1958. Meskipun rezim baru di Irak mendeklarasikan Irak sebagai republik namun mereka tidak membentuk Partai Sosialis Arab seperti Nasser. Ini kemudian berubah saat terjadi kontra-kudeta tahun 1963 dimana sekelompok perwira lainnya merebut kekuasaan dan mendirikan Partai Sosialis Ba’ath Irak. Situasinya tetap rawan dan tahun 1966 kaum Sosialis Ba’ath dikudeta juga namun merebut kekuasaan kembali pada tahun 1968. Sosialisme Ba’ath kemudian menjadi ideologi sentral Irak dan Partai Sosialis Ba’ath menjadi instrumen politik kekuasaan Irak. Partai dan Ideologi di Irak ini bertahan sampai tahun 2003 dimana Saddam Hussein dan kelompoknya kemudian digulingkan oleh invasi Imperialis AS.

Sedangkan di Suriah, semenjak kemerdekaannya di tahun 1949, Suriah terus mengalami pergolakan dan menjadi saksi sejumlah kudeta yang kebanyakan dibeking dan direncanakan oleh Partai Sosialis Ba’ath Suriah. Tahun 1956, Suriah juga menjadi negara Arab pertama yang masuk ‘kubu Soviet’ dan bertentangan dengan ‘kubu Amerika’. Rezim Nasser di Mesir kemudian segera mengikuti Suriah dan menandatangani berbagai perjanjian militer, ekonomi, dan kebudayaan dengan Uni Soviet. Kelak di tahun 1958 Suriah dan Mesir bergabung untuk membentuk Republik Arab Serikat (UAR) demi sepenuhnya merealisasikan salah satu doktrin Sosialisme Arab/Ba’ath yang menghendaki persatuan bangsa Arab. Eksperimen ini merupakan malapetaka bagi pihak Suriah karena Nasser dianggap mengesampingkan kepentingan-kepentingan Suriah. Perserikatan ini kemudian dibubarkan saat Partai Ba’ath Sosialis di Suria melancarkan kudeta lain di tahun 1961. Sampai tahun 1970, perpolitikan Suriah terjebak dalam ketegangan dan perseteruan antara faksi radikal dan faksi moderat Partai Sosialis Ba’ath sampai Hafizul Assad, seorang Jenderal Angkatan Darat, mengambil alih partai dan pemerintah. Assad, seorang Muslim Alawi—pecahan aliran Syiah—akan terus menstabilisasikan Suriah dan berkuasa sebagai diktator sampai ia meninggal di tahun 2000. Di bawah kekuasaannya, Partai Sosialis Ba’ath dan rezimnya menjadi negara yang paling stabil dan radikal di antara negara-negara Arab.

Sedangkan di Aljazair, seama perjuangan anti-kolonial melawan Imperialisme Prancis yang mulai memuncak di tahun 1950an, organ utama gerakan pembebasan nasional tersebut, yaitu Organisation SpĂ©ciale (Organisasi Spesia) mulai tertarik ‘filsafat pembebasan’ Sosialisme Arab/Ba’ath. Tahun 1954, Organisation Spesial kemudian berfusi dengan berbagai organisasi gerilya dan kelompok nasionalis sayap kiri untuk membentuk de LibĂ©ration Nationale (FLN) atau Front Pembebasan Nasional yang menjadi organ nasionalis terbesar bagi gerakan pembebasan nasional Aljazair melawan penjajahan Prancis. Ribuan rakyat Aljazair dan Prancis tewas antara tahun 1954 dan 1962 dalam perang. Saat Prancis bersedia meninggalkan Aljazair pada tahun 1962, FLM menjadi partai penguasa pertama negara Aljazair merdeka. Namun tegangan segera muncul antara pimpinan radikal FLN, Ahmed Ben Bella, dan Houari Boumedienne yang lebih moderat. Tahun 1956 Boumedienne dengan bantuan tentara Aljazair yang baru terbentuk menggulingkan Ben Bella dalam kudeta dan menjadi kepala negara kedua Aljazair. Ia kemudian melarang dan membubarkan semua partai politik lainnya, membuat FLN menjadi satu-satunya partai resmi yang berkuasa di Aljazair, mengawali sejumlah kebijakan ekonomi sosialis, dan memburu kelmpok-kelompok Islamis dan konservatif. Namun berbeda dengan Sosalis-sosialis Arab di Irak, Suriah, dan Mesir, Boumedienne tidak mendorong Aljazair masuk kubu dan pengaruh Soviet. Ia sama-sama mengkritik monarki-monarki Arab pro-AS, Israel, kaum Islamis, dan kapitalisme.

Sementara itu di Yemen, selama perang sipil (antara kaum nasionalis yang didukung Mesir dan kaum monarkis yang didukung Saudi) serta gerakan anti-kolonial (melawan Imperialis Inggris) di bagian utara Yemen, terdapat dua organ utama yang memimpin gerakan nasionalis. Front Pembebasan Nasional Yemeni (NLF) dan Front Pembebasan Yemen Selatan yang Terjajah (FLOSY). Kedua kelompok politik dan gerilya ini sama-sama mengikuti Sosialisme Arab dan dipimpin orang-orang yang mengaku sebagai Marxis. Saat pertempuran mencapai Selatan Yemen, pertikaian demikian sengit, sampai-sampai NLF dan FLOSY mulai menyerang satu sama lain meskipun kenyataannya kedua-duanya terinspirasi Sosialisme Arab Nasser. Tahun 1967, NLF dan FLOSY mengalahkan kaum monarkis dan mengusir Britania dari selatan. NLF kemudian menghancurkan FLOSY dan mendeklarasikan selatan sebagai suatu republik merdeka. Tahun 1970, NLF menamai Yemen Selatan sebagai Republik Demokratik Rakyat Yemen dan mendirikan partai tunggalnya: Partai Sosialis Yemeni. Partai ini kemudian menandatangani perjanjian-perjanjian militer, kebudayaan, dan ekonomi dengan Uni Soviet, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan Kuba. Sedangkan Yemen Utara jatuh ke tangan pasukan-pasukan yang dibeking dan didanai oleh Arab Saudi dan AS.

Belahan Arab lainnya, yaitu Libya, terdapat Kolonel Muammar Qadhafi, seorang pengagum Sosialisme Arab dan pengagum Nasser. Ia meniru Gerakan Perwira Merdeka Mesir dan menggulingkan monarki Libya dalam suatu kudeta di tahun 1969. Tahun 1971 ia membentuk Perhimpunan Sosialis Arab yang menjadi partai tunggal di Libya dan menerapkan berbagai kebijakan sosialis radikal serta menandatangani perjanjian-perjanjian militer dan ekonomi dengan Uni Soviet. Meskipun ia menentang monarki-monarki Arab pro-AS (khususnya Arab Saudi) dan menjadi sekutu dekat Uni Soviet, rezim Qadhafi, tidak seperti rezim-rezim Sosialis Arab lainnya di saat itu. Ia mulai membentuk Sosialisme Islam versinya sendiri dengan membarengkan kebijakan-kebijakan anti-Islamis dengan kebijakan-kebijakan puritan seperti melarang penjualan dan konsumsi alkohol, penutupan klab-klab malam, dan pemburuan terhadap kaum Marxis di berbagai kampus dan universitas. Tahun 1976, ia menerbitkan buku berjudul ‘Green Book’ atau Buku Hijau dimana di dalamnya ia mendeskripsikan pemahamannya mengenai Sosialisme Islam. Buku ini dijadikan bacaan wajib bagi para pelajar sekolah dan mahasiswa.

Setelah melanda Mesir, Suriah, Irak, dan Libya, Sosialisme Arab/Ba’ath juga mencapai negara-negara berpenduduk Muslim lainnya seperti Sudan dan Somalia. Sudah meraih kemerdekaannya dari Britania di tahun 1956. Antara 1957 dan 1969, negeri itu mengalami periode pergolakan antara pemerintah-pemerintah koalisi sayap kanan yang terpilih melalui Pemilu dan satu kudeta militer (1958). Tahun 1969, suatu kudeta militer dengan bentuk dinamika yang menyerupai Gerakan Perwira Merdeka Nasser merebut kekuasaan. Gerakan dan kudeta tersebut dipimpin oleh Gaafar Nimeiry, yang mengaku sebagai Sosialis Arab dan pengagum Nasser. Saat merebut kekuasaan, Nimeiry mengumumkan rencananya untuk mendasarkan masyarakat politik, dan ekonomi berasarkan ‘Sosialisme Sudan Independen’. Kabinet rezim Nimeiry pertama menyertakan sejumlah komunis yang membantunya merumuskan dan menerapkan serangkaian kebijakan-kebijakan ekonomi sosialistis. Ia juga merumuskan kebijakan-kebijakan yang membatasi intervensi dan pengaruh elemen-elemen Islam konservatif di kerja-kerja Masjid dan institusi-institusi pendidikan, dan menyiratkan bahwa Islam sebaiknya dipraktikkan di ranah pribadi. Nimeiry kemudian membuat hubungan erat dengan rezim-rezim Sosialis Arab di Libya, Mesir, Suriah, dan Irak, serta juga Uni Soviet.

Berbagai kelompok Islamis sayap kanan yang menentang orientasi sosialis dan sekuler Nimeiry kemudian membentuk Ansar. Setelah gagal menggantikan rezim Nimeiry, Ansar kemudian angkat senjata di tahun 1971 dan berperang melawan tentara pemerintah. Dalam suatu pertempuran berdarah-darah, Ansar kemudian dikalahkan dan pemimpinnya kabur ke luar negari. Tahun 1971 Nimeiry membentuk Perhimpunan Sosialis Sudah (SSU) yang menjadi partai tunggal Sudan. Ia menyebut Sudah sebagai negara ‘Sosialis Demokrasi’ dimana Islam memainkan peran sentral namun di ranah pribadi dan tidak dicampur dengan politik dan pemerintahan.

Ted Sprague menulis mengenai perkembangan di Sudan merupakan akibat kegagalan Partai Komunis Sudan yang menganut teori revolusi dua tahap dan bersekutu dengan borjuasi nasional. “Di Sudan, proses yang sama terjadi bukan sekali saja, tetapi dua kali. Pada tahun 1967, Partai Komunis Sudan (PKS) mampu memanggil demonstrasi 2 juta orang di Khartoum. Tetapi para pemimpin PKS mengadopsi kebijakan “Aliansi Patriot” dengan kaum borjuis “progresif”. Apa hasil dari aliansi ini? Hasilnya adalah kediktaturan Nimeiri, pembantaian PKS dan kemenangan kaum reaksioner di Sudan dengan konsekuensi-konsekuensi yang tragis.”

Sedangkan Somalia meraih kemerdekaan dari penjajahan kolonial Eropa di tahun 1960. Tahun 1969 militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Mohamed Siad Barre melancarkan kudeta dan membubarkan parlemen serta membekukan Mahkamah Agung. Barre kemudian menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi sosialis dan program melek aksara yang mengurangi tingkat buta huruf Somalia secara drastis. Selain menarik Somalia ke ‘kubu Soviet’, Barre juga membuat hubungan erat dengan negara-negara Sosialis Arab. Ia kemudian membentuk Partai Sosialis Revolusioner Somalia dan mendasarkan manifestonya pada ‘sosialisme ilmiah dan nilai-nilai kesetaraan Islam’. Barre kemudian menerapkan industri dan agraria luas di tangan negara sekaligus mengontrol masjid-masjid dan mendorong secara aktif pemisahan Islam dan politik.

Suatu Tendensi Sosialis Islam juga muncul di perpolitikan Iran. Ini mulai berkembang sejak tahun 1950 dan sesudahnya. Front Nasional demokratis dan sekuler didirikan oleh Mohammad Mossadegh dan melibatkan sejumlah Sosialis Islam. Tahun 1951, Front Nasional yang memenagkan pemilu sebagai partai terbesar di parlemen Iran (Iran saat itu adalah negara monarki konstitusional), berhasil membentuk suatu kabinet pemerintahan, menasionalisasi industri minyak Iran, dan akhirnya menurunkan Syah Iran, serta mendeklarasikan Iran sebagai republik demokratis. Bagaimanapun juga tahun 1953, Syah, dengan bantuan dinas-dinas intelijen Britania (SAS) dan AS (CIA) serta beberapa kelompok ulama Iran, mengorganisir kudeta dan menggulingkan pemerintahan Mossadegh. Setelah Mossadegh jatuh, Sosialisme Islam di Iran mengambil belokan radikal. Tahun 1965, sekelompok mahasiswa kiri di Universitas Teheran mebentuk Mujahidini Khalq (MK). MK menarik inspirasi dari penulis dan intelektual Iran, Ali Syariati, dan memperjuangkan ideologi yang menggabungkan ajaran-ajaran Islami dengan konsep-konsep Marxis. Syariati sendiri adalah seorang sosiolog yang belajar di Paris dan dipenjara saat kembali ke Iran pada tahun 1964 karena kuliah-kuliah serta tulisan-tulisan anti-Syahnya. Tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah Ali Syariati kemudian menjadi terkenal di antara para mahasiswa saat ia mulai mengekspresikan konsep-konsep Marxis revolusioner dengan bantuan bahasa dan ilustrasi Muslim Syiah tradisional, serta dengan gencar menyerang bukan hanya monarki Iran namun juga ulama-ulama Syiah dan komunis. Tahun 1971 rezim Syah mulai mencapnya sebagai seorang ‘Marxis Islam’ dan agen Soviet. Ia kemudian ditahan dan diasingkan di tahun 1975 dimana kemudian pada tahun 1977 ia meninggal akibat serangan jantung pada usia 43 tahun. MK memperjuangkan gagasan dan pemikiran Syariati dengan mengangkat senjata dan memulai kampanye gerilya bersenjata melawan Syah. Organisasi ini juga memainkan peran aktif dalam Revolusi Iran 1979 untuk menggulingkan Syah—sedemikian besar sampai angkatan-angkatan pendukung Ayatullah Khomeini bergantung banyak pada kader-kader bersenjata MK untuk menghadapi aparat militer dan kepolisian MK. Namun pasca revolusi, kaum Islamis Iran dan para ulama berhasil merebut pemerintahan dan menerapkan ‘hukum-hukum Islam’ secara ketat dan keras. MK kemudian berbalik dan mengobarkan perang gerilya kota melawan rezim Islamis Iran. MK menyatakan rezim baru ini sebagai otokratis dan otoriter kemudian memerangi garda-garda revolusi Islam. Ratusan orang mati dalam pertempuran dan lusinan anggota MK dieksekusi.

Langgam Sosialisme Asia Tenggara

Indonesia

Pemikiran Sosialisme Islam di Indonesia lahir akibat dinamika dalam Sarekat Islam (SI). Teori, pandangan, dan seruan-seruan berdasarkan Marxisme mengakar dan menuai banyak dukungan dari rakyat jelata termasuk yang bergabung dalam organisasi pergerakan SI. Cabang-cabang SI yang dipengaruhi Marxisme, khususnya SI Semarang tidak hanya menerapkan analisis kelas namun juga mendasarkan diri pada gerakan perjuangan kelas. Aksi massa, demonstrasi, mogok kerja, vergadering atau rapat akbar menjadi taktik-taktik yang juga dipakai cabang-cabang SI ini. Banyak anggota Marxis di SI juga memiliki keanggotaan dengan Perhimpunan Sosial Demokratik Hindia Belanda (ISDV) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tarik-menarik antara sayap radikal progresif revolusioner (disebut SI Merah) dengan sayap konservatif reformis dalam SI (disebut SI Putih) kemudian membuat Central Sarekat Islam (CSI) mengeluarkan keputusan melarang keanggotaan ganda, dengan sasaran utama memecat seluruh anggota PKI di dalam SI. Demi meminimalisir semakin banyaknya anggota-anggota SI yang tertarik Sosialisme yang di hadapan ancaman pemecatan lebih memilih PKI, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto kemudian mengembangkan pemikiran Sosialisme Islam. Sosialisme Islam yang dikembangkan HOS Tjokroaminoto jelas berbeda dengan pemikiran Marxisme dan Komunisme yang banyak dianut tokoh-tokoh SI Merah.

Dalam situasi pergolakan ini, Tan Malaka, salah satu tokoh SI dan PKI, berupaya melawan pemecatan CSI yang mengakibatkan perpecahan di antara SI Merah dan SI Putih. Ia menyampaikan pandangan bahwa komunisme dan Islam tidak perlu dipertentangan. Keduanya perlu berjuang bersama. Pandangannya kemudian tidak hanya disampaikan di hadapan para pimpinan SI Putih namun juga dibawa ke Komintern. Disana Tan Malaka menyatakan perlunya persekutuan antara Komunis dengan Pan Islamisme.

Pandangan yang kurang lebih serupa dengan hal itu, dimiliki oleh Sukarno. Ia membuat tulisan bertajuk “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” Kelak di kemudian hari ia mengembangkan konsep “NASAKOM” kependekan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, yang diterapkannya dalam rezim Demokrasi Terpimpin.

Pakistan

Negara Asia lain yang menjadi ladang persemaian pemikiran Sosialisme Islam lainnya adalah Pakistan. Sebagaimana dicantumkan sebelumnya, terdapat dua intelektual yang mengembangkan teori Sosialisme Islam di Asia Selatan yaitu Ghulam Ahmad Parvez dan Dr. Khalifa Hakim. Namun selain itu, pemikiran ini juga dianut beberapa orang di Liga Muslim yang didirikan Muhammad Ali Jinnah, yang kemudian menjadi partai penguasa pertama setelah proklamasi pakistan di tahun 1947. Bagaimanapun juga kelompok Sosialis Islam ini tidak punya kekuatan signifikan dan berada di pinggiran.

Awal tahun 1960 di masa kediktatoran militer Ayub Khan yang sekuler dan pro AS, sekelompok intelektual yang dipimpin Hanif Ramay, seorang penyair, pelukis, sekaligus penulis, muncul di Lahore. Mereka mulai membentuk pandangan yang lebih terfokus terhadap pemikiran Sosialis Islam Parvez dan Khalifa serta menyuntikkan beberapa elemen dari Sosialisme Ba’ath dalam konteks negeri Muslim non-Arab seperti Pakistan. Proyek tersebut juga menyertakan penerbitan majalah sastra bulanan dalam bahasa Urdu berjudul ‘Nusrat’. Majalah ini selain menerbitkan puisi, cerita pendek (cerpen), kritik sastra dalam bahasa Urdu, juga menulis artikel mengenai karya-karya Ghulam Ahmad Parvez, Dr. Khalifa, dan Michal Aflaq.

Setelah perang Pakistan-India 1965 berakhir dalam kebuntuan, Ayub Khan memecat Zulfikar Ali Bhutto dari jabatan Menteri Luar Negerinya karena menunjukkan penentangannya. Bhutto kemudian berkawan dengan J.A. Rahim, seorang pensiunan dan ideolog Marxis. Keduanya memutuskan mendirikan partai populis kiri untuk menentang kediktatoran Ayub Khan. Tahun 1966 Bhutto berinteraksi dengan Hanif Ramay yang kemudian menunjukkan karya-karyanya mengenai Sosialisme Islam. Bhutto dan Rahim kemudian mendirikan Partai Rakyat Pakistan (PPP) di tahun 1967. Sejumlah Marxis dan intelektual progresif, jurnalis, aktivis mahasiswa, serta aktivis serikat buruh kemudian juga turut bergabung. Namun kelompok Sosialis Islam Ramay yang kemudian menang dan di masa itu kemudian menulis manifesto partai.

Dalam suatu rangkaian artikel karya Ramay dan Safdar Mir di majalah ‘Nusrat’, mereka menjelaskan bahwa Sosialisme Islam yang diusung PPP bermakna: Penghapusan feodalisme, penghapusan kapitalisme yang tak terkendali serta pendorongan suatu sistem berdasarkan kemerdekaan kesempatan dan atau sistem ekonomi yang diawasi secara ketat oleh negara dan pemerintah, nasionalisasi bank-bank, sekolah-sekolah, dan industri-industri utama (mendorong para buruh untuk berpartisipasi dalam menjalankan pabrik-pabrik, mempromosikan demokrasi dan membangun institusi-institusi demokratis).

Semua ini kemudian mereka jelaskan sebagai suatu versi modern dan abad ke-20 dari prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan yang dipraktikkan rezim Muslim pertama di Madinah dan Mekah yang dikepalai oleh Rasulullah dan banyak ajaran kesetaraan ekonomi dan sosial dalam Al-Qur’an.

Sosialisme Islam PPP mengkritik kelompok-kelompok keagamaan konservatif dan para ulama sebagai agen-agen kapitalis-kapitalis monopoli, tuan tanah-tuan tanah feodal, diktator-diktator militer, dan ‘kekuatan imperialis kapitalisme’, sekaligus agen-agen keterbelakangan serta kebuntuan sosial dan spiritual. Terlepas dari kenyataan bahwa Jamaah Islamiah, kelompok Islam sayap kanan, berhasil menghimpun ratusan ulama dan pejabat keagamaan untuk menyatakan bahwa sosialisme PPP adalah ‘ateistis’ dan ‘anti-Islam’, PPP tetap berhasil memenangkan Pemilu 1970 di Pakistan Barat dengan kemenangan sapu bersih.

Tahun 1972 setelah Pakistan Timur memisahkan diri dan mendeklarasikan negara baru yaitu Bangladesh, PPP kemudian menjadi partai pertama yang menang Pemilu secara demokratis dan berkuasa di parlemen.

Afghanistan

Afghanistan adalah negeri terakhir yang mendapatkan gaung Sosialisme Islam. Tahun 1978 Partai Demokratis Rakyat (PDP) menggulingkan kediktatoran nasionalistis Muhammad Daoud Khan dengan bantuan para perwira simpatisan di militer Afghan. Peristiwa itu disebut ‘Revolusi Saur’, atau ‘Revolusi Musim Semi’ (Saur berarti musim semi). PDP kemudian menerapkan sejumlah kebijakan sosial dan ekonomi yang komunistis. Namun saat rezim PDP mulai menghadapi permusuhan dan perlawanan dari para ulama Afghan dan tuan tanah pedesaan, sekutu PDP yaitu Uni Soviet, meminta rezim PDP melambatkan reforma-reforma Marxisnya. PDP kemudian segera menghilangkan ekses-ekses Marxis revolusioner dan menggantinya dengan retorika yang saat itu dipakai oleh kaum Sosialis Islam dan Sosialis Ba’ath. Misalnya daripada terus-menerus mengutip Marx dan Lenin, pemerintahan PDP juga mulai bicara mengenai kemiripan antara sistem ekonomi yang dirumuskan Marxisme/Sosialisme dengan Islam. Meskipun demikian pada Desember 1979, pertikaian sengit di PDP kemudian berujung pada undangan terhadap intervensi pasukan-pasukan Soviet ke Afghanistan dan berkuasanya rezim yang lebih moderat pimpinan Babrak Karmal dan faksinya di PDP.

Kemerosotan dan Kehancuran Sosialisme Islam

Meletusnya berbagai gerakan, kudeta, dan revolusi yang terkait dengan berbagai versi Sosialisme Islam di Asia, Afrika, dan Timur Tengah tidak hanya menimbulkan kekhawatiran besar dari monarki-monarki Arab namun juga dari Imperialis AS. Meskipun demikian manuver-manuver yang diambil oleh rezim-rezim yang mencampur sosialisme dengan berbagai aspek Islam sebagian besar gagal mencapai kestabilan ekonomi yang mereka janjikan. Salah satu contohnya di Indonesia. Soekarno mengakhiri rezim Demokrasi Liberal dan menyatakan memulai Demokrasi Terpimpin sekaligus mempromosikan konsep persatuan kekuatan revolusioner yang disebutnya NASAKOM. Singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Namun ia menghadapi penentangan dan perlawanan keras dari berbagai kelompok Islam serta Angkatan Darat yang menghendaki persekutuan dengan AS dan Blok Barat.

Sejak tahun 1960 situasi ekonomi Indonesia memburuk. Tahun 1965 para pendukung komunis Sukarno dari PKI kecewa dengan lambatnya reforma-reforma di bawah rezim Soekarno. Setelah mendengar adanya isu rencana kudeta dari Angkatan Darat, Biro Chusus PKI kemudian memobilisasi faksi pro PKI di Militer Gerakan 30 September (G30S) untuk menculik para Jenderal, menghadapkannya ke Sukarno, dan TNI AD menggagalkan kudeta tersebut. Manuver itu kemudian berbuah malapetaka. Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto melalui Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) kemudian mengerahkan faksi pro-Barat dalam militer untuk menghancurkan bukan hanya G30S namun juga PKI dan melakukan kontra-kudeta terhadap Sukarno. Dalam pembantaian yang diarahkan terhadap PKI, lebih dari 50.000 orang dijagal, khususnya oleh militer dan ormas-ormas Islam. Tahun 1967 melalui bantuan DPR yang berpihak padanya, Suharto kemudian menurunkan Sukarno dan meraih kekuasaan sampai 32 tahun berikutnya.

Kemunduran besar-besaran terhadap gagasan Sosialisme Islam terjadi di Mesir. Nasser berkuasa sebagai Kepala negara di Mesir sejak Kudeta Para Perwira Merdeka di tahun 1952 dan menjalankan sejumlah reforma sosialis yang menyeluruh. Rezim Nasser kemudian tidak hanya mengilhami namun juga mendukung berbagai gerakan Sosialis Arab di Timur Tengah. Rezim Nasser di Mesir menawarkan alternatif Muslim sekuler dan sosialis terhadap rakyat yang berada di bawah penindasan monarki-monarki Arab puritan namun pro Imperialis AS. Bagaimanapun juga Nasser kehilangan banyak pengaruhnya dan kekuatannya semenjak militer Mesir dikalahkan oleh militer Israel di tahun 1967. Meskipun demikian rezim Nasser tetap populer sampai ia meninggal karena serangan jantung di tahun 1970.

Penerusnya dan mantan kawannya, Anwar Sadat, kemudian menjadi Kepala Perhimpunan Sosialis Arab sekaligus kepala negara yang baru. Sadat selama beberapa saat meneruskan kebijakan sosialis Nasser serta menjaga dukungan finansial dan moral Mesir terhadap rezim-rezim Sosialis Arab, gerakan-gerakan radikal, dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Meskipun demikian pasca Perang Mesir-Israel berakhir dalam kebuntuan, ekonomi Mesir kemudian merosot akibat dampak-dampak perang. Arab Saudi kemudian menawarkan dana talangan terhadap ekonomi Mesir melalui bantuan dan minyak dengan nilai jutaan dolar AS. Sadat kemudian menerima tawaran Saudi tersebut.

Dengan demikian Sadat telah secara resmi memulihkan hubungan dengan monarki Saudi yang sebelumnya diputus Nasser dan gerakannya yang memang menghendaki penggulingan monarki dan feodalisme tidak hanya di Mesir namun seluruh Timur Tengah. Monarki Saudi kemudian meminta Sadat melepaskan dan merehabilitasikan ribuan anggota kelompok Islamis sayap kanan: Ikhwanul Muslimin (IM) yang telah dipenjarakan atau diasingkan rezim Nasser (dimana sebagian besar anggota IM melarikan diri ke Arab Saudi). Sadat kemudian menghapuskan larangan aktivitas terhadap IM.

Tahun 1974 Sadat kemudian memutuskan menarik Mesir keluar dari kubu Soviet dan mengusir para penasihat militer, teknisi, dan warga negara Uni Soviet yang saat itu berada di Mesir. Tahun 1976, Sadat akhirnya mengumumkan secara resmi diakhirinya eksperimen sosialis Mesir dan mengubah nama partai yang berkuasa di Mesir dari Perhimpunan Sosialis Arab menjadi Partai Demokratis Nasional. Sadat memberantas sisa-sisa Sosialisme Arab dari partai tersebut dan memerintahkan perburuan serta pembersihan besar-besaran terhadap para anggota dari kalangan mahasiswa maupun intelektual yang menentang manuver ini. Meskipun Mesir sebagian besar tetaplah sekuler namun Sadat berhasil meraih dukungan IM yang kemudian digunakannya untuk membantunya memburu para anggota dari kaum mahasiswa dan intelektual kiri. Ironisnya IM akhirnya berbalik memusuhi Sadat saat Sadat memutuskan membuka hubungan diplomatik dan mengakui negara Israel. Sayap militan IM kemudian membunuhnya pada tahun 1981. Namun Hosni Mubarak, penerusnya, melanjutkan kebijakan-kebijakannya selama tiga dekade berikutnya sampai Mubarak digulingkan tahun 2011 dalam revolusi demokratis besar-besaran yang dikenal luas bernama Musim Semi Arab (Arab Spring).

Sementara itu di Pakistan, Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dikepalai oleh Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto memenangkan Pemilu tahun 1970 dengan seruan platform sosialis dan yel-yel Sosialisme Islam. Meskipun demikian akibat krisis ekonomi yang menerpa dunia pasca Perang Mesir-Israel, rezim Bhutto kemudian memelankan retorika-retorika dan reforma-reforma sosialisnya. Bahkan akhirnya rezim PPP menjalin pakta-pakta dan perjanjian-perjanjian dengan monarki-monarki di negara-negara teluk yang kaya minyak meskipun awalnya mereka menyatakan menentang monarki dan feodalisme. Kemudian Bhutto mulai melakukan perburuan dan pembersihan besar-besaran terhadap faksi-faksi kiri radikal dalam PPP dan memberikan sejumlah konsesi konstitusional terhadap kelompok-kelompok dan partai-partai Islamis sayap kanan yang dekat dengan Arab Saudi. Menjelang

Pemilu 1977, kata sosialisme dan Sosialisme Islam diminimalisir sesedikit mungkin dalam manifesto barunya PPP. Bagaimanapun juga upaya Bhutto membangun kedekatan terhadap monarki-monarki Timur Tengah berserta pembersihan besar-besaran terhadap kaum kiri ditambah konsesi-konsesinya kepada banyak kelompok dan partai Islamis malah sia-sia. Ia gagal membendung kebangkitan gerakan sayap kanan yang menentang rezimnya pada tahun 1977. Bhutto dan rezim PPP akhirnya digulingkan kudeta militer reaksioner pimpinan Jenderal Zia ul Haq dan ia digantung pada tahun 1979 melalui pengadilan rekayasa.

Sedangkan Aljazair mulai mencampakkan jalan “sosialisme” pada tahun 1978 atau di saat matinya Houari BoumĂ©dienne yang telah berkuasa di negeri itu semenjak tahun 1965. Setelah itu Kolonel Chadli Bendjedid mulai pelan-pelan membalikkan reforma-reforma sosialis Boumedienne dan mulai membuka negosiasi-negosiasi dengan lawan-lawan Islamis FLN yang sebelumnya menentang sekulerisme dan Sosialisme Arab FLN. Meskipun Bendjedid berhasil berkuasa di Aljazair sampai tahun 1991, reforma-reforma ekonomi yang membuka ekonomi Aljazair tidak bisa menahan memburuknya ekonomi Aljazair dan mengakibatkan pergolakan serta kerusuhan yang sebagian besar dipimpin kelompok-kelompok Islamis garis keras Aljazair. Tahun 1987, Bendjedid hampir sepenuhnya membalikkan agenda FLN dan mulai berhubungan baik dengan AS, Barat, dan monarki-monarki di negara-negara teluk. Tahun 1991, pemerintah Aljazair memutuskan menggelar Pemilu multi-partai yang pertama. Militer menyalahkan Bendjedid yang tanpa sadar telah memperkuat kaum Islamis dan membahayakan landasan-landasan sekuler Aljazair. Bendjedid kemudian diturunkan tahun 1991.

Antara tahun 1992 hingga 2002, Aljazair menjadi medan pergolakan antara militer dan kaum Islamis yang mengakibatkan tewasnya ribuan warga Aljazar. Kekejaman dilakukan kedua belah pihak. Militer membunuh ratusan Islamis dan simpatisannya di satu sisi serta di sisi lain kaum Islamis membantai sejumlah warga sipil melalui serangan bunuh diri, pembunuhan, dan pemancungan. Pemberontakan Islamis kemudian berhasil dikendalikan dan ditundukkan (kalau bukan sepenuhnya digilas) militer pada tahun 2002.

Salah satu negeri mayoritas Muslim dimana Sosialisme cukup berhasil sebagai inisiatif ekonomi dan sosial adalah negara Somalia. Rezim sosialis di Somalia yang berkuasa pada tahun 1969 berhasil menjamin ekonomi yang relatif stabil dan menurunkan angka buta huruf secara dramatis. Namun pada tahun 1977 Somalia mengalami konflik teritorial dengan Ethiopia. Ini membuat Uni Soviet, sekutu ekonomi dan politik utamanya berada dalam posisi sulit. Karena saat itu rezim di Ethiopia juga berada di kubu Soviet. Setelah gagal meredakan konflik antara Somalia dengan Ethiopia, akhirnya Uni Soviet berpihak pada Ethiopia. Manuver itu kemudian membuat Siad Barre, presiden Somalia, tersinggung. Ia kemudian memutuskan hubungan dengan Uni Soviet dan menerima bantuan ekonomi dan milter Amerika. Tahun 1980 ia membubarkan Partai Sosialis Revolusioner Somalia dan membalikkan reforma-reforma sosialisnya. Ia juga melonggarkan tekanan yang dulu diberikan pemerintahnya terhadap aktivitas-aktivitas kelompok-kelompok demokratis liberal dan kelompok-kelompok Islamis. Dengan bantuan Amerika, Barre berhasil membangun salah satu angkatan darat terbesar di Afrika. Namun pertengahan 1980an Barre mulai menghadapi rangkaian pergolakan dan dakwaan korupsi serta totalitarianisme. Tahun 1986 Barre mengalami cidera akibat kecelakaan mobil dan saat perjalanan kembali ia tidak bisa menghentikan terjerumusnya Somalia ke dalam kekacauan. Tahun 1991 rezimnya ambruk dan Somalia terjerumus dalam perang sipil antara berbagai faksi politik dan suku yang saling bertikai satu sama lain hingga kini.

Dukungan Uni Soviet terhadap Ethiopia di tahun 1977 juga menyinggung Sudan yang saat itu juga mengalami perselisihan teritorial dengan Ethiopia. Rezim Gaafar Nimeiry memotong hubungan dengan Uni Soviet dan bergerak pindah kubu ke kubu Tiongkok. Ansar, kelompok Islamis militan yang mengetahui goyahnya pemerintah dan ekonomi Aljazair akhirnya mengobarkan pemberontakan bersenjata berikutnya. Mereka mencoba mengerahkan faksi-faksi anti-Nimeiry di dalam militer untuk melancarkan kudeta tapi gagal. Bagaimanapun juga saat itu Nimeiry setuju menggelar negosiasi-negosiasi dengan Ansar yang menuntut agar ia membalikkan kebijakan-kebijakan sosialisnya, mencampakkan Sosialisme Islam dan mencelanya sebagai oplosan ateistis, serta menggantikan kekuasaan Sosialisme Islam dengan Syariah Islam. Nimeiry kemudian membebaskan ratusan anggota Ansar, mendekatkan Sudan ke AS, dan di tahun 1981 mengumumkan pemberlakuan serangkaian Syariah Islam. Ia akhirnya digulingkan kudeta militer tahun 1985 yang dibeking oleh kelompok-kelompok Islamis bekerjasama dengan kelompok-kelompok anti-Nimeiry.

Hampir semua negara yang mengklaim menjalankan Sosialisme Islam kemudian buyar atau mencampakkan Sosialisme Islam. Mulai dari Yaman, tahun 1989 saat Uni Soviet sedang berada di ambang kehancuran dan Stalinisme berada dalam kemunduran besar-besaran, rezim sosialis di Yaman Selatan membubarkan diri dan bergabung dengan Yaman Utara menjadi satu negara Yaman. Kemudian di Afghanistan, tahun 1989 rezim PDP digulingkan oleh kaum Mujahidin yang dibeking AS, Arab Saudi, dan Pakistan. Sedangkan rezim Sosialis Ba’ath di Irak dan pemerintahan Sosialis Islam rezim Qadhafi di Libya sudah mulai membalikkan kebijakan-kebijakan sosialisnya dari tahun 1990an. Keduanya kemudian digulingkan pada tahun 2000an. Saddam Hussein digulingkan akibat invasi Imperialis AS pasca Peristiwa 11 September. Sedangkan Qadhafi terbunuh dalam Perang Sipil dan invasi NATO di Libya menyusul Musim Semi Arab.

Dari Revisionisme Kiri Hingga Utopisme Kanan

Pemikiran dan gerakan Sosialisme Islam yang berkembang di pertengahan abad 20 serta melanda banyak negara-negara mayoritas Muslim sebagian besar sangatlah dipengaruhi Marxisme. Meskipun menyerap banyak pandangan, analisis, dan seruan revolusioner dari Marxisme, mulai dari tujuan penghapusan feodalisme, cita-cita modernitas dan pencerahan, hingga penentangan terhadap Imperialisme, Sosialisme Islam pada dasarnya merupakan idealisme dengan sentuhan Marxisme yang telah mengalami revisi fundamental secara besar-besaran. Salah satu revisionisme Sosialisme Islam terhadap Marxisme adalah penolakannya terhadap prinsip penghapusan alat kepemilikan pribadi. Bagi kaum Marxis, penghapusan kepemilikan pribadi dan pendirian kepemilikan bersama adalah salah satu prinsip fundamental dalam gerakan perjuangan kelas. Alat-alat produksi yang sebelumnya dikuasai oleh kapitalis dan kelas penindas lainnya, diambil alih dan diletakkan di bawah kontrol demokratis kelas buruh. Penghapusan kepemilikan pribadi (yang sebenarnya berarti kepemilikan kapitalis atas alat-alat produksi) bukan merupakan penghapusan kepemilikan perorangan. Kepemilikan pribadi adalah penguasaan terhadap aset-aset seperti pabrik-pabrik, tambang-tambang, perkebunan-perkebunan, rumah sakit dan klinik, dan lainnya, yang mana pengambilalihannya menjadi kepemilikan bersama justru akan menaikkan hajat hidup kelas buruh dan rakyat pekerja serta meningkatkan kepemilikan perorangan (seperti makanan bergizi, pakaian layak, perumahan berkualitas, dan sebagainya).

Sosialisme Islam, dengan demikian, juga tidak menghendaki penghapusan masyarakat kelas. Perlawanan Sosialisme Islam terhadap kapitalisme sesungguhnya bukan berarti penghapusan kapitalisme sepenuhnya melainkan penghapusan terhadap salah satu jenis kapitalisme, yaitu kapitalisme laissez-fairre, atau kapitalisme berdasarkan kompetisi pasar bebas. Sebaliknya Sosialisme Islam, sebagaimana yang ditunjukkan oleh praktik rezim Nasser, Assad, Qadhafi, dan sebagainya, menjalankan suatu bentuk kapitalisme yang sangat didominasi oleh negara. Tanpa adanya kontrol buruh, tanpa adanya kekuasaan buruh dan rakyat pekerja dalam dewan-dewan, tanpa adanya revolusi buruh, kekuasaan terhadap perusahaan-perusahaan negara ini berada di tangan pejabat-pejabat sipil, militer, dan pejabat partai penguasa. Ini menyuburkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Tidak heran kalau hubungan internasional dan kebijakan politik negara-negara yang mengaku menerapkan Sosialisme Islam akhirnya sepenuhnya tergantung pada kepala negara dan atau kepala pemerintahannya. Tanpa melalui proses demokrasi yang sejati dari massa rakyat di bawah.

Kenyataannya Sosialisme Islam lebih merupakan idealisme yang menawarkan utopisme. Ia menawarkan ilusi adanya suatu “jalan ketiga” di antara Kapitalisme dan Imperialisme Barat pimpinan AS di satu sisi serta Komunisme—atau lebih tepatnya Stalinisme Uni Soviet dan Blok Timur di sisi lain. Sebagai suatu reaksi terhadap populernya pemikiran Marxisme, Sosialisme Islam berusaha bangkit sebagai alternatif sekaligus tandingan terhadap Marxisme yang ditawarkan kepada orang-orang yang terpikat cita-cita keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, kebebasan, dan pembebasan.

Demi memenangkan tawaran ini, Sosialisme Islam berusaha melepaskan citra revivalisme dan romantisme masa lalu agar bisa dikukuhkan sebagai suatu teori “ilmiah”. Ini dilakukan dengan pergulatan para intelektual Muslim dalam penafsiran aspek-aspek sosio-politik Islam secara progresif. Dengan demikian mereka secara langsung berhadapan bahkan seringkali bergesekan dan bertentangan dengan kaum Islamis radikal kanan, muslim-muslim fundamentalis, dan ulama-ulama konservatif. Sosialisme Islam, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mempersatukan umat Muslim di bawah panji sosialisme versinya sendiri, pada akhirnya tidak pernah bisa sepenuhnya mempersatukan Muslim. Slogan “kelas buruh sedunia, bersatulah” yang diserukan Marxisme, jelas tidak bisa dijiplak dan diganti Sosialisme Islam menjadi “Umat Muslim sedunia, bersatulah”. Persis karena umat Muslim, sebagaimana umat agama-agama lainnya, juga terbelah ke dalam kelas penindas dan kelas tertindas serta sebagai konsekuensinya juga punya kepentingan-kepentingan yang berbeda.

Karenanya sangat wajar bahwa upaya Sosialisme Islam yang juga ingin membangun modernisasi dan sekulerisasi melalui pembenaran tafsir versinya terhadap ajaran-ajaran Islam juga gagal memenangkan dukungan yang signifikan dari kalangan agamis. Ironisnya justru revisionisme dan utopisme Sosialisme Islam malah berhasil mengooptasi berbagai orang dari kaum Marxis, sosialis, dan progresif di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Kontribusi positif Sosialisme Islam bukanlah pada gerakan sosialis atau perjuangan kelas itu sendiri. Sebaliknya kontribusi Sosialisme Islam lebih banyak kepada Islam. Patut diakui bahwa para intelektual dan penganjur Sosialisme Islam membantu mempromosikan konsep-konsep sosial, politis, dan kultural Islam ke dalam konteks modern. Mempromosikan pemberantasan buta huruf dan penanaman ilmu pengetahuan modern. Selain itu juga membangkitkan kembali gagasan mengenai ijtihad atau diskusi independen mengenai iman dan hukum Islami yang sekian lama ditekan di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Sosialisme Islam juga berkontribusi dalam menggali dan mempromosikan keimanan yang dinamis, rasional, dan progresif. Pemikiran ini menjauhkan penyalahgunaan ajaran Islam dari pembenaran dominasi atau pertikaian SARA berdasarkan klan, sekte, dan suku-suku tertentu. Selain itu Sosialisme Islam juga mendorong emansipasi dan partisipasi perempuan di masyarakat-masyarakat Muslim. Baik dalam ambil bagian dalam kehidupan ekonomi, kultural, maupun politik. Sesuatu yang ditentang habis-habisan di monarki-monarki Timur Tengah yang berkolaborasi dengan kekuasaan para pejabat keagamaan seperti di Arab Saudi.

Sedangkan bagi perjuangan kelas buruh dan gerakan sosialisme, Sosialisme Islam tidak memberikan banyak kontribusi. Malahan dalam berbagai kasus dan peristiwa sejarah, rezim-rezim Sosialisme Islam bahkan cenderung bersikap reaksioner serta menindas perjuangan rakyat pekerja. Mulai dari rezim Nasser di Mesir, Qadhafi di Libya, Nimeiry di Sudan, semuanya bersifat otoriter dan anti-demokrasi. Para pembela rezim-rezim ini—yang seringkali mencapnya sebagai rezim populis atau kerakyatan—seringkali berdalih bahwa mereka hanya menolak demokrasi liberal ala Barat dan AS. Namun kenyataannya memang tidak ada kebebasan berpendapat dan berserikat bagi rakyat pekerja di sana. Dari Mesir, Libya, Suriah, Sudan, dan sebagainya kaum Marxis diintimidasi, direpresi, ditangkap, dibui, disiksa, dieksekusi, dikejar-kejar, sampai melarikan diri ke luar negeri. Ini tidak hanya menimpa kaum Marxis namun juga buruh, pengkritik pemerintah, bahkan termasuk aktivis perempuan seperti Nawal el Sadawi di Mesir.

Meskipun melakukan pemburuan besar-besaran terhadap kaum Marxis di negeri masing-masing, Ironisnya rezim-rezim tersebut hampir semuanya pernah menjalin hubungan dan persekutuan dengan Uni Soviet. Ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena kepentingan kaum birokrat yang berkuasa di Uni Soviet dan juga menindas serta mengeksploitasi kaum buruh di Eropa Timur juga bertemu kepentingan kaum birokrat yang berkuasa di Timur Tengah dan juga menindas serta mengeksploitasi rakyat pekerja di sana. Kebetulan mereka punya musuh bersama yaitu Imperialisme Barat yang punya sejarah panjang menjajah Asia Afrika. Namun tentu saja mereka tidak punya cita-cita pembebasan rakyat pekerja. Sosialisme Islam dalam hal ini lebih merupakan nasionalisme dunia ketiga atau acap disebut Third Worldism.

Nasionalisme, baik nasionalisme Imperialis maupun nasionalisme negara dunia ketiga, pada dasarnya merupakan utopisme sayap kanan. Sebab ia bersandar pada ilusi bahwasanya mereka yang berkebangsaan sama punya kepentingan yang sama, terlepas ia bagian dari kelas buruh, kaum tani, atau kaum borjuis, dan tuan tanah. Padahal kenyataannya kelas penindas, apapun kebangsaannya, pada akhirnya berkepentingan mempertahankan penindasannya. Nasionalisme negara dunia ketiga, yang sering mengaku sebagai nasionalisme kiri, seperti Sukarno, pada dasarnya berusaha menggalang borjuasi nasional pribumi dalam perlawanan anti-Imperialis, dengan motif sebenarnya dari kaum borjuasi nasional adalah untuk memiliki porsi industri, pasar, atau jatah penindasannya sendiri yang selama ini didominasi borjuasi Imperialis.

Rezim-rezim Sosialisme Islam yang berkuasa bukan hanya bersandar pada idealisme, revisionisme, dan utopisme, namun juga dalam suatu titik tertentu bersedia berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan reaksioner, termasuk dengan kaum fundamentalis Islam. Meskipun banyak diktator rezim Sosialisme Islam awalnya merepresi kaum Islamis dan fundamentalis namun dalam sejarahnya mereka di kemudian hari berbalik bersekutu dengan mereka. Seperti yang dilakukan Sadat dengan IM di Mesir, Bhutto dengan Jamaah Islamiah di Pakistan, Bendjedid di Aljazair, Barre di Aljazair, Nimeiry dengan Ansar di Sudan, dan sebagainya. Semua ini dilakukan seiring dengan manuver membalik reforma-reforma, mencampakkan cita-cita dan pemikiran kiri “Sosialis”, hingga membuka diri dan berkolaborasi dengan Imperialisme Barat pimpinan AS. Dari segi ekonomi ini beriringan dengan gelombang privatisasi, pemotongan subsidi, dan neoliberalisme.

*diterjemahkan dari tulisan Nadim F.Paracha. dengan tambahan data

Tidak ada komentar:

Posting Komentar