Antara tahun 1950an dan
awal 1970an, suatu ideologi kuat di dunia Muslim melahirkan diri dari pikiran
dan praktik intelektualisme Islam serta meretas jalannya ke arena politik.
Namun ideologi ini tidak memiliki muasal tunggal. Akar-akarnya bisa ditemukan dari
karya-karya para pemikir dan ideolog Muslim di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan
di berbagai negara Timur Tengah (Arab). Selain itu, saat ideologi ini diadopsi
oleh para pemimpin dan politik arus utama, ideologi ini diekspresikan dengan
berbagai nama. Namun hari ini, nama-nama dan istilah-istilah tersebut
ditempatkan di bawah satu payung defisional tunggal: Sosialisme Islam.
Akar dan Pohon
Meskipun sulit untuk
menunjuk mana titik mula persisnya dari mana berbagai pemikiran terkait
Sosialisme Islam namun Sami A. Hanna dan Hanif Ramay, sejarawan dan
intelektual—yang berspesialisasi dalam mengkritik serta menyusun suatu sejarah
dialektis Sosialisme Islam—memberikan pandangan yang menganggap bahwa
ekspresi-ekspresi paling awal dari Sosialisme Islam sesungguhnya muncul di
Rusia pada akhir abad 19 dan awal abad 20.
Ia muncul dari gerakan
kaum tani, tani hamba, dan borjuasi kecil di negara bagian Tatartan Rusia.
Mereka menentang monarki Tsar Rusia dan digilas dengan brutal. Awal abad 20,
gerakan tersebut bergerak di bawah tanah dan mulai bekerja dengan
angkatan-angkatan komunis, sosialis, dan sosial demokratis yang beroperasi di
Rusia untuk menggulingkan Monarki.
Para pemimpin gerakan
Muslim tersebut yang kemudian dikenal sebagai Waisi kemudian mulai menjelaskan
diri sebagai kaum Sosialis Islam saat revolusi kiri melawan monarki Rusia
meletus di tahun 1905. Kemudian saat revolusi Bolshevik tahun 1917 berhasil
menggulingkan dan menghapuskan monarki Rusia serta mendirikan kekuasaan komunis
di negeri itu, gerakan Waisi ikut berpihak dengan kaum Bolshevik serta
mendukung program dan kebijakan-kebijakan sosialis yang menyeluruh dari
Vladimir Lenin, sang pemimpin revolusi Rusia. Bagaimanapun juga setelah Lenin
meninggal pada tahun 1924, gerakan Waisi mulai menegaskan bahwa jemaah Muslim
dan sosialismenya di Tatartan merupakan entitas otonom. Gerakan Waisi yang
mendirikan komune-komunenya sendiri ini kemudian menjadi korban pembersihan
besar-besaran Stalin atau yang dikenal sebagai The Great Purge pada tahun
1930an.
Belum ada penelitian yang
mengungkap secara terperinci bagaimana Gerakan Waisi mendefinisikan
sosialismenya di suatu negeri yang kemudian menerapkan atheisme sebagai kredo
paksaan negara. Dalam perkembangannya, kemudian sekelompok pemikir dan ideolog
berpengaruh di Asia Selatan serta Timur Tengah yang di kemudian hari memberikan
bentuk yang lebih koheren dan doktrinal terhadap Sosialisme Isla.
Ubaidullah Sindhi, seorang
cendekiawan Islam, yang terlahir dari keluarga Sikh (di Sialkot dan kemudian
menjadi mualaf atau memeluk Islam) juga merupakan seorang agitator melawan
rezim kolonial Britania di India. Ia dikejar-kejar oleh aparat selama Perang
Dunia I dan kemudian melarikan diri ke Kabul. Dari Kabul ia mengunjungi Rusia
dan menyaksikan Revolusi Bolshevik 1917. Ubaidullah Sindhi tinggal di Rusia
sampai tahun 1923 dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mendiskusikan
politik dan ideologi dengan para revolusioner komunis serta mempelajari
sosialisme. Karena terkesan dengan slogan-slogan kesetaraan ekonomi dan keadilan
sosial selama revolusi Oktober tersebut, Sindhi yang masih sepenuhnya merupakan
seorang Muslim Sunni Deobandi mengadopsi Marxisme dengan mengesampingkan
penekanan Marxisme atau Komunisme terhadap ateisme. Dari Rusia, Sindhi kemudian
pergi ke Turki dan di Istanbul, lah, ia kemudian mulai membentuk
pemikiran-pemikirannya mengenai Sosialisme Islam melalui serangkaian tulisan
yang ditujukan kepada umat Muslim di India. Ia mendorong umat Muslim ‘untuk
mentransforasikan diri dengan landasan relijius untuk mencapai keadilan ekonomi
yang merupakan tujuan-tujuan komunisme yang belum sepenuhnya bisa tercapai’.
Alasannya menurutnya adalah ia memandang baik filosofi Islam maupun Komunis
serupa dalam hal penekanan terhadap distribusi kekayaan yang adil. Menurutnya
sosialisme bila diterapkan dengan bantuan yang lebih teistis dan dengan dimensi
spiritual, bisa lebih bermanfaat bagi kaum tani dan kelas buruh daripada
komunisme yang ateistis.
Sementara itu pada periode
yang sama (1920an sampai 1930an) seorang cendekiawan Islam lainnya di India
juga terpikat oleh Marxisme dan Revolusi Oktober 1917. Ia adalah Hafiz Rahman
Sihwarwl yang memandang Islam dan Marxisme memiliki lima elemen yang sama: (1)
Larangan menumpuk kekayaan di tangan kelas-kelas berprevilese. (2) Pengorganisiran
struktur ekonomi negara untuk menjamin kesejahteraan sosial. (3) Kesetaraan
kesempatan bagi seluruh umat manusia. (4) Prioritas bagi kepentingan sosial
kolektif yang lebih tinggi daripada kepentingan individu berprevilese. (5)
Pencegahan permanenisasi sruktur kelas melalui revolusi sosial.
Dorongan dari banyak tema
ini diambilnya dari Al-Qur’an, yang dipahaminya bertujuan untuk menciptakan
suatu tatanan ekonomi dimana yang kaya membayar kelebihan hartanya melalui
pajak-pajak sukarela yaitu Zakat untuk meminimalisir kesenjangan dalam hajat
hidup.
Sedangkan di sisi lain
Sihwarwl memangdang Islam dan komunisme berbeda paham soal kepemilikan pribadi
atas alat produksi dimana Islam memberikan batasan-batasan dan sanksi-sanksi
tertentu terhadap kepemilikan pribadi sementara Komunisme menghendaki
masyarakat tanpa kelas dimana kepemilikan pribadi atas alat produksi dihapuskan
dan diganti menjadi kepemilikan bersama. Inilah aspek fundamental Komunisme
yang ditolak Sihwarwl. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa Islam mengandung
larangan-larangan atas penumpukan kekayaan. Larangan ini, menurutnya, cukup
untuk mengontrol struktur kelas melalui kesetaraan kesempatan. Sehingga pada
dasarnya pemikiran Sosialisme Islam, baik dari Sindhi dan Sihwarwl lebih
mendekati pemikiran sosial demokratis (Sosdem).
Pemikiran-pemikiran awal
Sindhi dan Sihwarwl ini kemudian dikembangan tokoh-tokoh Sosialisme Islam
berikutnya: Ghulam Ahmed Parvez dan Dr. Khalifa Abdul Hakim. Parvez adalah
seorang ‘Qur’anis’ terkemuka atau seorang cendekiawan Islam yang menegaskan
bahwa agar umat Muslim bisa maju di dunia modern, maka pemikiran dan hukum
Islam perlu sepenuhnya berdasarkan penafsiran-penafsiran modern Al-Qur’an dan
penolakan sepenuhnya terhada[ hadis. (Ia mengatakan bahwa ucapan-ucapan atau
perkataan Nabi dan Para Sahabat berdasarkan ujaran dari mulut ke mulut dan
disusun lebih dari seratus tahun setelah Nabi meninggal dunia). Setelah
mempelajari naskah-naskah tradisional Muslim, termasuk mempelajari Sufisme,
Parvez mengklaim bahwa hampir seluruh hadis adalah rekayasa oleh pihak-pihak
yang menginginkan agar Islam tampak sebagai kepercayaan yang tidak toleran dan
oleh raja-raja Muslim kuno yang menggunakan hadis-hadis tersebut untuk memberikan
legitimasi ilahiah bagi kekuasaan tirani mereka. Parvez juga menegaskan bahwa
umat Muslim perlu mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari ilmu-ilmu
pengetahuan modern daripada menghabiskan daya upaya mereka untuk memerangi
konflik-konflik sektarian lama atau mengabaikan semangat kesetaraan dan
pencerahan Al-Qur’an dengan berkutat dalam berbagai ritual yang diturunkan oleh
ulama-ulama kuno. Bisa dipahami selanjutnya Parvez langsung diserang oleh para
cendekiawan Islam dan para politisi Muslim konservatif.
Namun ini tidak
menghintakan Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan penyair Muslim, untuk berteman
dengan sang intelektual muda dan memperkenalkannya kepada Muhammad Ali Jinnah,
yang di kemudian hari menjadi pendiri negara Pakistan. Jinnah kemudian menunjuk
Parvez menjadi editor majalah Talu-e-Islam. Majalah yang didirikan untuk
mendorong pembentukan suatu negara Muslim tersendiri yang terpisah dari India
dan untuk menjawab serangan-serangan yang mulai dihadapi Liga Muslim Seluruh
India dari pihak-pihak dan ulama-ulama Islam konservatif yang menuduh Liga
Muslim tersebut sebagai organisasi Muslim gadungan serta menuduh Jinnah terlalu
kebarat-baratan dan ‘kurang memiliki kelakuan Islami yang patut’.
Selain terus menulis buku
dan tafsir-tafsir Al-Qur’an, Parvez juga menulis rangkaian artikel di
Talu-e-Islam yang mempropagandakan pandangan Kitab Suci secara lebih
sosialistis. Dalam rangkaian esai di majalah itu, ia menggunakan ayat-ayat
Al-Qur’an, peristiwa-peristiwa dari sejarah agama Islam, dan pandangan-pandangan
dari tulisan-tulisan Muhammad Iqbal yang mengklaim: Pertama, para pejabat agama dan ulama telah membajak Islam. Kedua, mereka adalah agen-agen orang
kaya raya yang mempromosikan Kapitalisme tanpa kendali. Ketiga, sosialisme adalah sistem terbaik yang menerapkan
ajaran-ajaran Al-Qur’an mengenai kepemilikan, keadilan, dan distribusi
kekayaan. Keempat, misi utama
Islam adalah penghapusan semua kezaliman dan kekejian dari masyarakat. Ini
adalah gerakan sosio-ekonomi,, dan Nabi adalah seorang pemimpin yang berjuang
mengakhiri eksploitasi para saudagar Quraysh serta birokrasi korup Bizantium
dan Persia. Kelima, menurut
Al-Qur’an, umat Muslim punya tiga tanggung jawab utama: melihat, mendengar, dan
merasakan agensi pikiran. Konsekuensinya, pengetahuan sejati adalah pengetahuan
yang berdasarkan observasi yang bisa diverifikasi secara empiris atau melalui
peran sains. Keenam, kemiskinan
adalah hukuman Allah dan pantas dialami oleh mereka yang mengabaikan sains. Ketujuh, di masyarakat-masyarakat
Muslim/Islam, ilmu pengetahuan dan reforma agraria perlu memainkan peran
kepemimpinan dalam membangun ekonomi industri. Kedelapan, jalan sosialis adalah koreksi terhadap pendistorsian
Islam lewat Syariah di abad pertengahan.
Parvez bergabung dengan
pemerintah setelah pendirian negara Pakistan di tahun 1947. Namun setelah
Jinnah meninggal di tahun 1948 ia dipinggirkan sampai kemudian mengundurkan
diri dari jabatannya di tahun 1956.
Seorang cendekiawan
lainnya di masa itu yang juga menggunakan tulisan-tulisan Iqbal tentang Islam
dan Al-Qur’an untuk merumuskan Sosialisme Islam di Asia Selatan adalah Dr.
Khalifa Abdul Hakim. Sebagai seorang filsuf, penulis, dan penggemar besar
Muhammad Iqbal, Khalifa lebih menjelajahi teritori ideologis Sosialisme Islam
daripada Ghulam Parvez. Khalifa, yang merupakan pelajar Islam penuh semangat,
memperoleh gelar S3nya dari Universitas Heidelberg di Jerman. Ia menulis
sejumlah buku mengenai filsafat Iqbal, pemikiran Islam, Jallaluddin Rumi
(seorang penyair dan penulis Sufi), serta menerjemahkan kitab suci Hindu,
Bhaqwat Gita, ke dalam bahasa Urdu. Baru setelah Pakistan didirikan, Khalifa
mulai mempelajari Marxisme secara serius dan apa maknanya bagi negara ‘dunia
ketiga’ seperti Pakistan. Dalam buku-bukunya yang terbit tahun 1951 yaitu
‘Islam dan Komunisme’ dan ‘Iqbal Aur Mullah’, Khalifa memandang Sosialisme
Islam sebagai pendorong kebebasan berpikir, bertindak, dan berusaha yang
merupakan ciri-ciri demokrasi Barat dengan menciptakan kesempatan bagi semua
pihak. Dalam ‘Islam dan Komunisme’, Khalifa memandang bumi sebagai sumber pokok
kesejahteraan ekonomi dan karenanya menjadi landasan moral atas reforma-reforma
agraria di Pakistan.
Selain Ghulam Ahmad
Parvez, sebagian besar pemikir Sosialis Islam di atas, meskipun mengkritik
Marxisme/Sosialisme secara menyeluruh dengan landasan ajaran-ajaran Al-Qur’an
dan mendaftar persamaan dan perbedaan di antara keduanya, hanya bicara sangat
sedikit mengenai bagaimana peran pemerintah dan negara terkait persoalan agama
di masyarakat yang berlandaskan ideologi dan sistem ekonomi yang disebut
sebagai Sosialisme Islam.
Parvez cukup jelas
menyatakan bahwa masyarakat Sosialis Islam berjalan dengan hukum-hukum dan
ekonomi berdasarkan penafsiran rasional Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan modern
akan secara inheren bertanggung jawab, mematuhi hukum, menjunjung tinggi
kesetaraan dan pecerahan serta tidak memerlukan negara untuk memainkan peran
pemandu moral. Dengan kata lain kebijakan-kebijakan Sosialis Islam menjamin
suatu negara mayoritas Muslim yang progresif dan non-teokratis (kalau tidak
sepenuhnya sekuler) dimana para warga negaranya cukup tercerahkan untuk
mengambil pilihan-pilihan moralnya sendiri, dan dimana negara hanya mengurusi
kepentingan ekonomi rakyatnya dan menegakkan keadilan. Dalam dua ranah inilah
dimana negara menerapkan penafsiran-penafsiran rasional dan modernistis terhaap
Al-Qur’an khususnya terhadap ayat-ayat tentang hak-hak milik, Zakat, keadilan,
dan hak-hak kaum perempuan.
Berikutnya di Timur
Tengah, Sosialisme Islam menjelma menjadi suatu pemikiran revolusioner yang
lebih bercorak nasionalistis. Terutama akibat pendirian negara Israel di tahun
1948 dan pengusiran ribuan rakyat Palestina dari daerah itu. Michel Aflaq,
seorang filsuf Kristen Suriah dan nasionalis Arab, merupakan salah satu orang
yang dicatat sejarah sebagai perumus Sosialisme Islam versi Timur Tengah yang
mewujudkan diri sebagai Sosialisme Arab dan Sosialisme Ba’ath. Ia lahir dari
keluarga Kristen Arab dan menjadi seorang komunis saat menjadi mahasiswa namun
ia pecah dengan para komunis untuk merumuskan suatu filsafat radikal dan
nasionalisme Arab baru dengan pemuda Suriah lainnya, yaitu Salah Ad-Din
Al-Bitar. Setelah mempelajari kebuntuan ekonomi dan kemerosotan politik rakyat
Arab di seluruh dunia, Aflaq dan Bitar mengusung gagasan pedirian suatu negara
persatuan Arab. Dengan ini mereka mendirikan kembali nasionalisme Arab dengan
menyuntikkan dosis tinggi pemikiran-pemikiran ekonomi sosialis, kebudayaan
progresif, dan pandangan sosial, serta mengerjakan kembali pemikiran Islam yang
inheren di dalamnya dengan membangkitkan ‘semangat revolusioner Al-Qur’an’
untuk menangkal kezaliman dan kesenjangan namun memisahkan Islam (sebagai
agama) dari urusan kenegaraan. Aflaq dan Bitar mengklaim bahwa hal ini akan
mengantarkan pada renaissance atau pencerahan di dunia Arab, dan membuatnya
menjadi kekuatan ekonomi dan politik dunia.
Penekanan mereka pada kata
renaissance (yang dalam bahasa Arab adalah ‘Al-Ba’ath’) kemudian melahirkan
istilah ‘Sosialisme Ba’ath’, baik Aflaq dan Bitar bergegas untuk mendefinisikan
bagaimana kerja persisnya sosialisme bentuk ini. Sosialisme Ba’ath menyerukan
persatuan pada seluruh bangsa Arab di atas landasan bahasa/kebudayaan (Arab)
dan agama yang dipeluk mayoritas Arab (Islam). Menurutnya bangsa-bangsa Arab
digempur lima kekuatan: kolonialisme Eropa (yang dikendalikan kapitalisme);
Komunisme Soviet; ‘monarki-monarki dekaden’ di negara-negara Arab;
konservatisme Islam di masyarakat-masyarakat Arab; dan para pejabat agama serta
ulama yang membuat masyarakat-masyarakat ini terus terbelakang.
Sosialisme Ba’ath
menawarkan suatu jalan di antara kapitalisme Barat dan komunisme Soviet dengan
menyerukan agar semua bangsa Arab bersatu dalam satu negara di bawah ‘partai
pelopor’ nasionalis-nasionalis Arab yang akan menerapkan kebijakan-kebijakan
ekonomi sosialis, memodernisasi masyarakat melalui pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan, memisahkan agama dari negara namun terus
terinspirasi konsep-konsep kesetaraan Islam yang tetap akan menjadi agama
mayoritas masyarakat di negara persatuan Arab. Meskipun Sosialisme Ba’ath
terang-terangan sekuler namun ia merayakan Islam sebagai bukti ‘kearifan Arab’,
dan pernyataan kebudayaan, nilai, dan pemikiran Arab.
Tarian Sosialisme Timur Tengah dan Afrika
Tampaknya Sosialisme
Ba’ath tiba pada momen yang matang di sejarah Arab modern karena sejak tahun
1940an ke depan sejumlah gerakan anti-kolonial meletus di Irak, Mesir,
Aljazair, Yemen, dan Suriah, serta semuanya dipimpin oleh pihak-pihak yang
menyatakan diri sebagai pendukung Sosialisme Arab. Tahun 1948, seorang Kolonel
militer muda Mesir, Jamal Abdul Nasser, membentuk ‘Free Officers Movement’ atau
‘Gerakan Perwira Merdeka’ yang klandestin. Kelompok tersebut terdiri dari para
perwira militer Mesir yang terdorong oleh pemikiran Sosialisme Arab/Sosialisme
Ba’ath. Tahun 1952 gerakan itu menggulingkan monarki Mesir yang pro Britania
dalam suatu kudeta dan mendeklarasikan Mesir sebagai Republik Sosialis Arab.
Menariknya, Gerakan Perwira Merdeka dan kudeta tersebut awalnya didukung oleh
kelompok agama sayap kanan, yaitu Ikhwanul Muslimin (IM). Namun begitu Nasser
mulai menerapkan kebijakan-kebijakannya ‘untuk memodernisasi ekonomi dan
masyarakat Mesir’, serta menyatakan sebaik-baiknya Islam adalah yang
dipraktikkan di ruang pribadi, maka IM mulai berbalik melawan rezim Nasser.
Tahun 1954 IM mencoba membunuh Nasser yang membalasnya dengan represi
besar-besaran terhadap IM dan para ulama konservatif.
Terilhami oleh Nasser,
sekelompok perwira muda di Irak melancarkan kudeta dan berhasil menggulingkan
monarki Irak di tahun 1958. Meskipun rezim baru di Irak mendeklarasikan Irak
sebagai republik namun mereka tidak membentuk Partai Sosialis Arab seperti
Nasser. Ini kemudian berubah saat terjadi kontra-kudeta tahun 1963 dimana
sekelompok perwira lainnya merebut kekuasaan dan mendirikan Partai Sosialis
Ba’ath Irak. Situasinya tetap rawan dan tahun 1966 kaum Sosialis Ba’ath
dikudeta juga namun merebut kekuasaan kembali pada tahun 1968. Sosialisme
Ba’ath kemudian menjadi ideologi sentral Irak dan Partai Sosialis Ba’ath
menjadi instrumen politik kekuasaan Irak. Partai dan Ideologi di Irak ini
bertahan sampai tahun 2003 dimana Saddam Hussein dan kelompoknya kemudian
digulingkan oleh invasi Imperialis AS.
Sedangkan di Suriah,
semenjak kemerdekaannya di tahun 1949, Suriah terus mengalami pergolakan dan
menjadi saksi sejumlah kudeta yang kebanyakan dibeking dan direncanakan oleh
Partai Sosialis Ba’ath Suriah. Tahun 1956, Suriah juga menjadi negara Arab
pertama yang masuk ‘kubu Soviet’ dan bertentangan dengan ‘kubu Amerika’. Rezim
Nasser di Mesir kemudian segera mengikuti Suriah dan menandatangani berbagai
perjanjian militer, ekonomi, dan kebudayaan dengan Uni Soviet. Kelak di tahun
1958 Suriah dan Mesir bergabung untuk membentuk Republik Arab Serikat (UAR)
demi sepenuhnya merealisasikan salah satu doktrin Sosialisme Arab/Ba’ath yang
menghendaki persatuan bangsa Arab. Eksperimen ini merupakan malapetaka bagi
pihak Suriah karena Nasser dianggap mengesampingkan kepentingan-kepentingan
Suriah. Perserikatan ini kemudian dibubarkan saat Partai Ba’ath Sosialis di
Suria melancarkan kudeta lain di tahun 1961. Sampai tahun 1970, perpolitikan
Suriah terjebak dalam ketegangan dan perseteruan antara faksi radikal dan faksi
moderat Partai Sosialis Ba’ath sampai Hafizul Assad, seorang Jenderal Angkatan
Darat, mengambil alih partai dan pemerintah. Assad, seorang Muslim
Alawi—pecahan aliran Syiah—akan terus menstabilisasikan Suriah dan berkuasa
sebagai diktator sampai ia meninggal di tahun 2000. Di bawah kekuasaannya,
Partai Sosialis Ba’ath dan rezimnya menjadi negara yang paling stabil dan
radikal di antara negara-negara Arab.
Sedangkan di Aljazair,
seama perjuangan anti-kolonial melawan Imperialisme Prancis yang mulai memuncak
di tahun 1950an, organ utama gerakan pembebasan nasional tersebut, yaitu
Organisation SpĂ©ciale (Organisasi Spesia) mulai tertarik ‘filsafat pembebasan’
Sosialisme Arab/Ba’ath. Tahun 1954, Organisation Spesial kemudian berfusi
dengan berbagai organisasi gerilya dan kelompok nasionalis sayap kiri untuk
membentuk de Libération Nationale (FLN) atau Front Pembebasan Nasional yang
menjadi organ nasionalis terbesar bagi gerakan pembebasan nasional Aljazair
melawan penjajahan Prancis. Ribuan rakyat Aljazair dan Prancis tewas antara
tahun 1954 dan 1962 dalam perang. Saat Prancis bersedia meninggalkan Aljazair
pada tahun 1962, FLM menjadi partai penguasa pertama negara Aljazair merdeka.
Namun tegangan segera muncul antara pimpinan radikal FLN, Ahmed Ben Bella, dan
Houari Boumedienne yang lebih moderat. Tahun 1956 Boumedienne dengan bantuan
tentara Aljazair yang baru terbentuk menggulingkan Ben Bella dalam kudeta dan
menjadi kepala negara kedua Aljazair. Ia kemudian melarang dan membubarkan
semua partai politik lainnya, membuat FLN menjadi satu-satunya partai resmi
yang berkuasa di Aljazair, mengawali sejumlah kebijakan ekonomi sosialis, dan
memburu kelmpok-kelompok Islamis dan konservatif. Namun berbeda dengan
Sosalis-sosialis Arab di Irak, Suriah, dan Mesir, Boumedienne tidak mendorong
Aljazair masuk kubu dan pengaruh Soviet. Ia sama-sama mengkritik
monarki-monarki Arab pro-AS, Israel, kaum Islamis, dan kapitalisme.
Sementara itu di Yemen,
selama perang sipil (antara kaum nasionalis yang didukung Mesir dan kaum
monarkis yang didukung Saudi) serta gerakan anti-kolonial (melawan Imperialis
Inggris) di bagian utara Yemen, terdapat dua organ utama yang memimpin gerakan
nasionalis. Front Pembebasan Nasional Yemeni (NLF) dan Front Pembebasan Yemen
Selatan yang Terjajah (FLOSY). Kedua kelompok politik dan gerilya ini sama-sama
mengikuti Sosialisme Arab dan dipimpin orang-orang yang mengaku sebagai Marxis.
Saat pertempuran mencapai Selatan Yemen, pertikaian demikian sengit,
sampai-sampai NLF dan FLOSY mulai menyerang satu sama lain meskipun
kenyataannya kedua-duanya terinspirasi Sosialisme Arab Nasser. Tahun 1967, NLF
dan FLOSY mengalahkan kaum monarkis dan mengusir Britania dari selatan. NLF
kemudian menghancurkan FLOSY dan mendeklarasikan selatan sebagai suatu republik
merdeka. Tahun 1970, NLF menamai Yemen Selatan sebagai Republik Demokratik
Rakyat Yemen dan mendirikan partai tunggalnya: Partai Sosialis Yemeni. Partai
ini kemudian menandatangani perjanjian-perjanjian militer, kebudayaan, dan
ekonomi dengan Uni Soviet, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan Kuba. Sedangkan
Yemen Utara jatuh ke tangan pasukan-pasukan yang dibeking dan didanai oleh Arab
Saudi dan AS.
Belahan Arab lainnya,
yaitu Libya, terdapat Kolonel Muammar Qadhafi, seorang pengagum Sosialisme Arab
dan pengagum Nasser. Ia meniru Gerakan Perwira Merdeka Mesir dan menggulingkan
monarki Libya dalam suatu kudeta di tahun 1969. Tahun 1971 ia membentuk
Perhimpunan Sosialis Arab yang menjadi partai tunggal di Libya dan menerapkan
berbagai kebijakan sosialis radikal serta menandatangani perjanjian-perjanjian
militer dan ekonomi dengan Uni Soviet. Meskipun ia menentang monarki-monarki
Arab pro-AS (khususnya Arab Saudi) dan menjadi sekutu dekat Uni Soviet, rezim
Qadhafi, tidak seperti rezim-rezim Sosialis Arab lainnya di saat itu. Ia mulai
membentuk Sosialisme Islam versinya sendiri dengan membarengkan
kebijakan-kebijakan anti-Islamis dengan kebijakan-kebijakan puritan seperti
melarang penjualan dan konsumsi alkohol, penutupan klab-klab malam, dan
pemburuan terhadap kaum Marxis di berbagai kampus dan universitas. Tahun 1976,
ia menerbitkan buku berjudul ‘Green Book’ atau Buku Hijau dimana di dalamnya ia
mendeskripsikan pemahamannya mengenai Sosialisme Islam. Buku ini dijadikan
bacaan wajib bagi para pelajar sekolah dan mahasiswa.
Setelah melanda Mesir,
Suriah, Irak, dan Libya, Sosialisme Arab/Ba’ath juga mencapai negara-negara
berpenduduk Muslim lainnya seperti Sudan dan Somalia. Sudah meraih
kemerdekaannya dari Britania di tahun 1956. Antara 1957 dan 1969, negeri itu
mengalami periode pergolakan antara pemerintah-pemerintah koalisi sayap kanan
yang terpilih melalui Pemilu dan satu kudeta militer (1958). Tahun 1969, suatu
kudeta militer dengan bentuk dinamika yang menyerupai Gerakan Perwira Merdeka
Nasser merebut kekuasaan. Gerakan dan kudeta tersebut dipimpin oleh Gaafar
Nimeiry, yang mengaku sebagai Sosialis Arab dan pengagum Nasser. Saat merebut
kekuasaan, Nimeiry mengumumkan rencananya untuk mendasarkan masyarakat politik,
dan ekonomi berasarkan ‘Sosialisme Sudan Independen’. Kabinet rezim Nimeiry
pertama menyertakan sejumlah komunis yang membantunya merumuskan dan menerapkan
serangkaian kebijakan-kebijakan ekonomi sosialistis. Ia juga merumuskan
kebijakan-kebijakan yang membatasi intervensi dan pengaruh elemen-elemen Islam
konservatif di kerja-kerja Masjid dan institusi-institusi pendidikan, dan
menyiratkan bahwa Islam sebaiknya dipraktikkan di ranah pribadi. Nimeiry
kemudian membuat hubungan erat dengan rezim-rezim Sosialis Arab di Libya,
Mesir, Suriah, dan Irak, serta juga Uni Soviet.
Berbagai kelompok Islamis
sayap kanan yang menentang orientasi sosialis dan sekuler Nimeiry kemudian
membentuk Ansar. Setelah gagal menggantikan rezim Nimeiry, Ansar kemudian
angkat senjata di tahun 1971 dan berperang melawan tentara pemerintah. Dalam
suatu pertempuran berdarah-darah, Ansar kemudian dikalahkan dan pemimpinnya
kabur ke luar negari. Tahun 1971 Nimeiry membentuk Perhimpunan Sosialis Sudah
(SSU) yang menjadi partai tunggal Sudan. Ia menyebut Sudah sebagai negara
‘Sosialis Demokrasi’ dimana Islam memainkan peran sentral namun di ranah
pribadi dan tidak dicampur dengan politik dan pemerintahan.
Ted Sprague menulis
mengenai perkembangan di Sudan merupakan akibat kegagalan Partai Komunis Sudan
yang menganut teori revolusi dua tahap dan bersekutu dengan borjuasi nasional.
“Di Sudan, proses yang sama terjadi bukan sekali saja, tetapi dua kali. Pada
tahun 1967, Partai Komunis Sudan (PKS) mampu memanggil demonstrasi 2 juta orang
di Khartoum. Tetapi para pemimpin PKS mengadopsi kebijakan “Aliansi Patriot” dengan
kaum borjuis “progresif”. Apa hasil dari aliansi ini? Hasilnya adalah
kediktaturan Nimeiri, pembantaian PKS dan kemenangan kaum reaksioner di Sudan
dengan konsekuensi-konsekuensi yang tragis.”
Sedangkan Somalia meraih
kemerdekaan dari penjajahan kolonial Eropa di tahun 1960. Tahun 1969 militer di
bawah pimpinan Mayor Jenderal Mohamed Siad Barre melancarkan kudeta dan
membubarkan parlemen serta membekukan Mahkamah Agung. Barre kemudian menerapkan
kebijakan-kebijakan ekonomi sosialis dan program melek aksara yang mengurangi
tingkat buta huruf Somalia secara drastis. Selain menarik Somalia ke ‘kubu
Soviet’, Barre juga membuat hubungan erat dengan negara-negara Sosialis Arab.
Ia kemudian membentuk Partai Sosialis Revolusioner Somalia dan mendasarkan manifestonya
pada ‘sosialisme ilmiah dan nilai-nilai kesetaraan Islam’. Barre kemudian
menerapkan industri dan agraria luas di tangan negara sekaligus mengontrol
masjid-masjid dan mendorong secara aktif pemisahan Islam dan politik.
Suatu Tendensi Sosialis
Islam juga muncul di perpolitikan Iran. Ini mulai berkembang sejak tahun 1950
dan sesudahnya. Front Nasional demokratis dan sekuler didirikan oleh Mohammad
Mossadegh dan melibatkan sejumlah Sosialis Islam. Tahun 1951, Front Nasional
yang memenagkan pemilu sebagai partai terbesar di parlemen Iran (Iran saat itu
adalah negara monarki konstitusional), berhasil membentuk suatu kabinet
pemerintahan, menasionalisasi industri minyak Iran, dan akhirnya menurunkan
Syah Iran, serta mendeklarasikan Iran sebagai republik demokratis. Bagaimanapun
juga tahun 1953, Syah, dengan bantuan dinas-dinas intelijen Britania (SAS) dan
AS (CIA) serta beberapa kelompok ulama Iran, mengorganisir kudeta dan
menggulingkan pemerintahan Mossadegh. Setelah Mossadegh jatuh, Sosialisme Islam
di Iran mengambil belokan radikal. Tahun 1965, sekelompok mahasiswa kiri di
Universitas Teheran mebentuk Mujahidini Khalq (MK). MK menarik inspirasi dari
penulis dan intelektual Iran, Ali Syariati, dan memperjuangkan ideologi yang
menggabungkan ajaran-ajaran Islami dengan konsep-konsep Marxis. Syariati
sendiri adalah seorang sosiolog yang belajar di Paris dan dipenjara saat
kembali ke Iran pada tahun 1964 karena kuliah-kuliah serta tulisan-tulisan
anti-Syahnya. Tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah Ali Syariati kemudian menjadi
terkenal di antara para mahasiswa saat ia mulai mengekspresikan konsep-konsep
Marxis revolusioner dengan bantuan bahasa dan ilustrasi Muslim Syiah
tradisional, serta dengan gencar menyerang bukan hanya monarki Iran namun juga
ulama-ulama Syiah dan komunis. Tahun 1971 rezim Syah mulai mencapnya sebagai
seorang ‘Marxis Islam’ dan agen Soviet. Ia kemudian ditahan dan diasingkan di
tahun 1975 dimana kemudian pada tahun 1977 ia meninggal akibat serangan jantung
pada usia 43 tahun. MK memperjuangkan gagasan dan pemikiran Syariati dengan
mengangkat senjata dan memulai kampanye gerilya bersenjata melawan Syah.
Organisasi ini juga memainkan peran aktif dalam Revolusi Iran 1979 untuk
menggulingkan Syah—sedemikian besar sampai angkatan-angkatan pendukung
Ayatullah Khomeini bergantung banyak pada kader-kader bersenjata MK untuk
menghadapi aparat militer dan kepolisian MK. Namun pasca revolusi, kaum Islamis
Iran dan para ulama berhasil merebut pemerintahan dan menerapkan ‘hukum-hukum
Islam’ secara ketat dan keras. MK kemudian berbalik dan mengobarkan perang
gerilya kota melawan rezim Islamis Iran. MK menyatakan rezim baru ini sebagai
otokratis dan otoriter kemudian memerangi garda-garda revolusi Islam. Ratusan
orang mati dalam pertempuran dan lusinan anggota MK dieksekusi.
Langgam Sosialisme Asia
Tenggara
Indonesia
Pemikiran Sosialisme Islam
di Indonesia lahir akibat dinamika dalam Sarekat Islam (SI). Teori, pandangan,
dan seruan-seruan berdasarkan Marxisme mengakar dan menuai banyak dukungan dari
rakyat jelata termasuk yang bergabung dalam organisasi pergerakan SI.
Cabang-cabang SI yang dipengaruhi Marxisme, khususnya SI Semarang tidak hanya
menerapkan analisis kelas namun juga mendasarkan diri pada gerakan perjuangan
kelas. Aksi massa, demonstrasi, mogok kerja, vergadering atau rapat akbar menjadi taktik-taktik yang juga
dipakai cabang-cabang SI ini. Banyak anggota Marxis di SI juga memiliki
keanggotaan dengan Perhimpunan Sosial Demokratik Hindia Belanda (ISDV) dan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Tarik-menarik antara sayap radikal progresif
revolusioner (disebut SI Merah) dengan sayap konservatif reformis dalam SI
(disebut SI Putih) kemudian membuat Central Sarekat Islam (CSI) mengeluarkan
keputusan melarang keanggotaan ganda, dengan sasaran utama memecat seluruh
anggota PKI di dalam SI. Demi meminimalisir semakin banyaknya anggota-anggota
SI yang tertarik Sosialisme yang di hadapan ancaman pemecatan lebih memilih
PKI, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto kemudian mengembangkan pemikiran
Sosialisme Islam. Sosialisme Islam yang dikembangkan HOS Tjokroaminoto jelas
berbeda dengan pemikiran Marxisme dan Komunisme yang banyak dianut tokoh-tokoh
SI Merah.
Dalam situasi pergolakan
ini, Tan Malaka, salah satu tokoh SI dan PKI, berupaya melawan pemecatan CSI
yang mengakibatkan perpecahan di antara SI Merah dan SI Putih. Ia menyampaikan
pandangan bahwa komunisme dan Islam tidak perlu dipertentangan. Keduanya perlu
berjuang bersama. Pandangannya kemudian tidak hanya disampaikan di hadapan para
pimpinan SI Putih namun juga dibawa ke Komintern. Disana Tan Malaka menyatakan
perlunya persekutuan antara Komunis dengan Pan Islamisme.
Pandangan yang kurang
lebih serupa dengan hal itu, dimiliki oleh Sukarno. Ia membuat tulisan bertajuk
“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” Kelak di kemudian hari ia mengembangkan
konsep “NASAKOM” kependekan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, yang
diterapkannya dalam rezim Demokrasi Terpimpin.
Pakistan
Negara Asia lain yang
menjadi ladang persemaian pemikiran Sosialisme Islam lainnya adalah Pakistan.
Sebagaimana dicantumkan sebelumnya, terdapat dua intelektual yang mengembangkan
teori Sosialisme Islam di Asia Selatan yaitu Ghulam Ahmad Parvez dan Dr.
Khalifa Hakim. Namun selain itu, pemikiran ini juga dianut beberapa orang di Liga
Muslim yang didirikan Muhammad Ali Jinnah, yang kemudian menjadi partai
penguasa pertama setelah proklamasi pakistan di tahun 1947. Bagaimanapun juga
kelompok Sosialis Islam ini tidak punya kekuatan signifikan dan berada di
pinggiran.
Awal tahun 1960 di masa
kediktatoran militer Ayub Khan yang sekuler dan pro AS, sekelompok intelektual
yang dipimpin Hanif Ramay, seorang penyair, pelukis, sekaligus penulis, muncul
di Lahore. Mereka mulai membentuk pandangan yang lebih terfokus terhadap
pemikiran Sosialis Islam Parvez dan Khalifa serta menyuntikkan beberapa elemen
dari Sosialisme Ba’ath dalam konteks negeri Muslim non-Arab seperti Pakistan.
Proyek tersebut juga menyertakan penerbitan majalah sastra bulanan dalam bahasa
Urdu berjudul ‘Nusrat’. Majalah ini selain menerbitkan puisi, cerita pendek
(cerpen), kritik sastra dalam bahasa Urdu, juga menulis artikel mengenai
karya-karya Ghulam Ahmad Parvez, Dr. Khalifa, dan Michal Aflaq.
Setelah perang
Pakistan-India 1965 berakhir dalam kebuntuan, Ayub Khan memecat Zulfikar Ali
Bhutto dari jabatan Menteri Luar Negerinya karena menunjukkan penentangannya.
Bhutto kemudian berkawan dengan J.A. Rahim, seorang pensiunan dan ideolog
Marxis. Keduanya memutuskan mendirikan partai populis kiri untuk menentang
kediktatoran Ayub Khan. Tahun 1966 Bhutto berinteraksi dengan Hanif Ramay yang
kemudian menunjukkan karya-karyanya mengenai Sosialisme Islam. Bhutto dan Rahim
kemudian mendirikan Partai Rakyat Pakistan (PPP) di tahun 1967. Sejumlah Marxis
dan intelektual progresif, jurnalis, aktivis mahasiswa, serta aktivis serikat
buruh kemudian juga turut bergabung. Namun kelompok Sosialis Islam Ramay yang
kemudian menang dan di masa itu kemudian menulis manifesto partai.
Dalam suatu rangkaian
artikel karya Ramay dan Safdar Mir di majalah ‘Nusrat’, mereka menjelaskan
bahwa Sosialisme Islam yang diusung PPP bermakna: Penghapusan feodalisme,
penghapusan kapitalisme yang tak terkendali serta pendorongan suatu sistem
berdasarkan kemerdekaan kesempatan dan atau sistem ekonomi yang diawasi secara
ketat oleh negara dan pemerintah, nasionalisasi bank-bank, sekolah-sekolah, dan
industri-industri utama (mendorong para buruh untuk berpartisipasi dalam
menjalankan pabrik-pabrik, mempromosikan demokrasi dan membangun
institusi-institusi demokratis).
Semua ini kemudian mereka
jelaskan sebagai suatu versi modern dan abad ke-20 dari prinsip-prinsip
kesetaraan dan keadilan yang dipraktikkan rezim Muslim pertama di Madinah dan
Mekah yang dikepalai oleh Rasulullah dan banyak ajaran kesetaraan ekonomi dan
sosial dalam Al-Qur’an.
Sosialisme Islam PPP
mengkritik kelompok-kelompok keagamaan konservatif dan para ulama sebagai
agen-agen kapitalis-kapitalis monopoli, tuan tanah-tuan tanah feodal,
diktator-diktator militer, dan ‘kekuatan imperialis kapitalisme’, sekaligus
agen-agen keterbelakangan serta kebuntuan sosial dan spiritual. Terlepas dari
kenyataan bahwa Jamaah Islamiah, kelompok Islam sayap kanan, berhasil
menghimpun ratusan ulama dan pejabat keagamaan untuk menyatakan bahwa
sosialisme PPP adalah ‘ateistis’ dan ‘anti-Islam’, PPP tetap berhasil
memenangkan Pemilu 1970 di Pakistan Barat dengan kemenangan sapu bersih.
Tahun 1972 setelah
Pakistan Timur memisahkan diri dan mendeklarasikan negara baru yaitu
Bangladesh, PPP kemudian menjadi partai pertama yang menang Pemilu secara
demokratis dan berkuasa di parlemen.
Afghanistan
Afghanistan adalah negeri
terakhir yang mendapatkan gaung Sosialisme Islam. Tahun 1978 Partai Demokratis
Rakyat (PDP) menggulingkan kediktatoran nasionalistis Muhammad Daoud Khan
dengan bantuan para perwira simpatisan di militer Afghan. Peristiwa itu disebut
‘Revolusi Saur’, atau ‘Revolusi Musim Semi’ (Saur berarti musim semi). PDP
kemudian menerapkan sejumlah kebijakan sosial dan ekonomi yang komunistis.
Namun saat rezim PDP mulai menghadapi permusuhan dan perlawanan dari para ulama
Afghan dan tuan tanah pedesaan, sekutu PDP yaitu Uni Soviet, meminta rezim PDP
melambatkan reforma-reforma Marxisnya. PDP kemudian segera menghilangkan
ekses-ekses Marxis revolusioner dan menggantinya dengan retorika yang saat itu
dipakai oleh kaum Sosialis Islam dan Sosialis Ba’ath. Misalnya daripada
terus-menerus mengutip Marx dan Lenin, pemerintahan PDP juga mulai bicara
mengenai kemiripan antara sistem ekonomi yang dirumuskan Marxisme/Sosialisme
dengan Islam. Meskipun demikian pada Desember 1979, pertikaian sengit di PDP
kemudian berujung pada undangan terhadap intervensi pasukan-pasukan Soviet ke
Afghanistan dan berkuasanya rezim yang lebih moderat pimpinan Babrak Karmal dan
faksinya di PDP.
Kemerosotan dan Kehancuran
Sosialisme Islam
Meletusnya berbagai
gerakan, kudeta, dan revolusi yang terkait dengan berbagai versi Sosialisme
Islam di Asia, Afrika, dan Timur Tengah tidak hanya menimbulkan kekhawatiran
besar dari monarki-monarki Arab namun juga dari Imperialis AS. Meskipun
demikian manuver-manuver yang diambil oleh rezim-rezim yang mencampur
sosialisme dengan berbagai aspek Islam sebagian besar gagal mencapai kestabilan
ekonomi yang mereka janjikan. Salah satu contohnya di Indonesia. Soekarno
mengakhiri rezim Demokrasi Liberal dan menyatakan memulai Demokrasi Terpimpin
sekaligus mempromosikan konsep persatuan kekuatan revolusioner yang disebutnya
NASAKOM. Singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Namun ia menghadapi
penentangan dan perlawanan keras dari berbagai kelompok Islam serta Angkatan
Darat yang menghendaki persekutuan dengan AS dan Blok Barat.
Sejak tahun 1960 situasi
ekonomi Indonesia memburuk. Tahun 1965 para pendukung komunis Sukarno dari PKI
kecewa dengan lambatnya reforma-reforma di bawah rezim Soekarno. Setelah
mendengar adanya isu rencana kudeta dari Angkatan Darat, Biro Chusus PKI
kemudian memobilisasi faksi pro PKI di Militer Gerakan 30 September (G30S)
untuk menculik para Jenderal, menghadapkannya ke Sukarno, dan TNI AD menggagalkan
kudeta tersebut. Manuver itu kemudian berbuah malapetaka. Angkatan Darat di
bawah pimpinan Suharto melalui Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD)
kemudian mengerahkan faksi pro-Barat dalam militer untuk menghancurkan bukan
hanya G30S namun juga PKI dan melakukan kontra-kudeta terhadap Sukarno. Dalam
pembantaian yang diarahkan terhadap PKI, lebih dari 50.000 orang dijagal,
khususnya oleh militer dan ormas-ormas Islam. Tahun 1967 melalui bantuan DPR
yang berpihak padanya, Suharto kemudian menurunkan Sukarno dan meraih kekuasaan
sampai 32 tahun berikutnya.
Kemunduran besar-besaran
terhadap gagasan Sosialisme Islam terjadi di Mesir. Nasser berkuasa sebagai
Kepala negara di Mesir sejak Kudeta Para Perwira Merdeka di tahun 1952 dan menjalankan
sejumlah reforma sosialis yang menyeluruh. Rezim Nasser kemudian tidak hanya
mengilhami namun juga mendukung berbagai gerakan Sosialis Arab di Timur Tengah.
Rezim Nasser di Mesir menawarkan alternatif Muslim sekuler dan sosialis
terhadap rakyat yang berada di bawah penindasan monarki-monarki Arab puritan
namun pro Imperialis AS. Bagaimanapun juga Nasser kehilangan banyak pengaruhnya
dan kekuatannya semenjak militer Mesir dikalahkan oleh militer Israel di tahun
1967. Meskipun demikian rezim Nasser tetap populer sampai ia meninggal karena
serangan jantung di tahun 1970.
Penerusnya dan mantan
kawannya, Anwar Sadat, kemudian menjadi Kepala Perhimpunan Sosialis Arab
sekaligus kepala negara yang baru. Sadat selama beberapa saat meneruskan
kebijakan sosialis Nasser serta menjaga dukungan finansial dan moral Mesir
terhadap rezim-rezim Sosialis Arab, gerakan-gerakan radikal, dan Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO). Meskipun demikian pasca Perang Mesir-Israel
berakhir dalam kebuntuan, ekonomi Mesir kemudian merosot akibat dampak-dampak
perang. Arab Saudi kemudian menawarkan dana talangan terhadap ekonomi Mesir
melalui bantuan dan minyak dengan nilai jutaan dolar AS. Sadat kemudian
menerima tawaran Saudi tersebut.
Dengan demikian Sadat
telah secara resmi memulihkan hubungan dengan monarki Saudi yang sebelumnya
diputus Nasser dan gerakannya yang memang menghendaki penggulingan monarki dan
feodalisme tidak hanya di Mesir namun seluruh Timur Tengah. Monarki Saudi
kemudian meminta Sadat melepaskan dan merehabilitasikan ribuan anggota kelompok
Islamis sayap kanan: Ikhwanul Muslimin (IM) yang telah dipenjarakan atau
diasingkan rezim Nasser (dimana sebagian besar anggota IM melarikan diri ke
Arab Saudi). Sadat kemudian menghapuskan larangan aktivitas terhadap IM.
Tahun 1974 Sadat kemudian
memutuskan menarik Mesir keluar dari kubu Soviet dan mengusir para penasihat
militer, teknisi, dan warga negara Uni Soviet yang saat itu berada di Mesir.
Tahun 1976, Sadat akhirnya mengumumkan secara resmi diakhirinya eksperimen sosialis
Mesir dan mengubah nama partai yang berkuasa di Mesir dari Perhimpunan Sosialis
Arab menjadi Partai Demokratis Nasional. Sadat memberantas sisa-sisa Sosialisme
Arab dari partai tersebut dan memerintahkan perburuan serta pembersihan
besar-besaran terhadap para anggota dari kalangan mahasiswa maupun intelektual
yang menentang manuver ini. Meskipun Mesir sebagian besar tetaplah sekuler
namun Sadat berhasil meraih dukungan IM yang kemudian digunakannya untuk
membantunya memburu para anggota dari kaum mahasiswa dan intelektual kiri.
Ironisnya IM akhirnya berbalik memusuhi Sadat saat Sadat memutuskan membuka
hubungan diplomatik dan mengakui negara Israel. Sayap militan IM kemudian
membunuhnya pada tahun 1981. Namun Hosni Mubarak, penerusnya, melanjutkan kebijakan-kebijakannya
selama tiga dekade berikutnya sampai Mubarak digulingkan tahun 2011 dalam
revolusi demokratis besar-besaran yang dikenal luas bernama Musim Semi Arab
(Arab Spring).
Sementara itu di Pakistan,
Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dikepalai oleh Perdana Menteri Zulfikar Ali
Bhutto memenangkan Pemilu tahun 1970 dengan seruan platform sosialis dan
yel-yel Sosialisme Islam. Meskipun demikian akibat krisis ekonomi yang menerpa
dunia pasca Perang Mesir-Israel, rezim Bhutto kemudian memelankan retorika-retorika
dan reforma-reforma sosialisnya. Bahkan akhirnya rezim PPP menjalin pakta-pakta
dan perjanjian-perjanjian dengan monarki-monarki di negara-negara teluk yang
kaya minyak meskipun awalnya mereka menyatakan menentang monarki dan
feodalisme. Kemudian Bhutto mulai melakukan perburuan dan pembersihan
besar-besaran terhadap faksi-faksi kiri radikal dalam PPP dan memberikan
sejumlah konsesi konstitusional terhadap kelompok-kelompok dan partai-partai
Islamis sayap kanan yang dekat dengan Arab Saudi. Menjelang
Pemilu 1977, kata
sosialisme dan Sosialisme Islam diminimalisir sesedikit mungkin dalam manifesto
barunya PPP. Bagaimanapun juga upaya Bhutto membangun kedekatan terhadap
monarki-monarki Timur Tengah berserta pembersihan besar-besaran terhadap kaum
kiri ditambah konsesi-konsesinya kepada banyak kelompok dan partai Islamis
malah sia-sia. Ia gagal membendung kebangkitan gerakan sayap kanan yang
menentang rezimnya pada tahun 1977. Bhutto dan rezim PPP akhirnya digulingkan
kudeta militer reaksioner pimpinan Jenderal Zia ul Haq dan ia digantung pada
tahun 1979 melalui pengadilan rekayasa.
Sedangkan Aljazair mulai
mencampakkan jalan “sosialisme” pada tahun 1978 atau di saat matinya Houari
Boumédienne yang telah berkuasa di negeri itu semenjak tahun 1965. Setelah itu
Kolonel Chadli Bendjedid mulai pelan-pelan membalikkan reforma-reforma sosialis
Boumedienne dan mulai membuka negosiasi-negosiasi dengan lawan-lawan Islamis
FLN yang sebelumnya menentang sekulerisme dan Sosialisme Arab FLN. Meskipun
Bendjedid berhasil berkuasa di Aljazair sampai tahun 1991, reforma-reforma
ekonomi yang membuka ekonomi Aljazair tidak bisa menahan memburuknya ekonomi
Aljazair dan mengakibatkan pergolakan serta kerusuhan yang sebagian besar
dipimpin kelompok-kelompok Islamis garis keras Aljazair. Tahun 1987, Bendjedid
hampir sepenuhnya membalikkan agenda FLN dan mulai berhubungan baik dengan AS,
Barat, dan monarki-monarki di negara-negara teluk. Tahun 1991, pemerintah
Aljazair memutuskan menggelar Pemilu multi-partai yang pertama. Militer
menyalahkan Bendjedid yang tanpa sadar telah memperkuat kaum Islamis dan
membahayakan landasan-landasan sekuler Aljazair. Bendjedid kemudian diturunkan
tahun 1991.
Antara tahun 1992 hingga
2002, Aljazair menjadi medan pergolakan antara militer dan kaum Islamis yang
mengakibatkan tewasnya ribuan warga Aljazar. Kekejaman dilakukan kedua belah
pihak. Militer membunuh ratusan Islamis dan simpatisannya di satu sisi serta di
sisi lain kaum Islamis membantai sejumlah warga sipil melalui serangan bunuh
diri, pembunuhan, dan pemancungan. Pemberontakan Islamis kemudian berhasil
dikendalikan dan ditundukkan (kalau bukan sepenuhnya digilas) militer pada
tahun 2002.
Salah satu negeri
mayoritas Muslim dimana Sosialisme cukup berhasil sebagai inisiatif ekonomi dan
sosial adalah negara Somalia. Rezim sosialis di Somalia yang berkuasa pada
tahun 1969 berhasil menjamin ekonomi yang relatif stabil dan menurunkan angka
buta huruf secara dramatis. Namun pada tahun 1977 Somalia mengalami konflik
teritorial dengan Ethiopia. Ini membuat Uni Soviet, sekutu ekonomi dan politik
utamanya berada dalam posisi sulit. Karena saat itu rezim di Ethiopia juga
berada di kubu Soviet. Setelah gagal meredakan konflik antara Somalia dengan
Ethiopia, akhirnya Uni Soviet berpihak pada Ethiopia. Manuver itu kemudian
membuat Siad Barre, presiden Somalia, tersinggung. Ia kemudian memutuskan
hubungan dengan Uni Soviet dan menerima bantuan ekonomi dan milter Amerika.
Tahun 1980 ia membubarkan Partai Sosialis Revolusioner Somalia dan membalikkan
reforma-reforma sosialisnya. Ia juga melonggarkan tekanan yang dulu diberikan
pemerintahnya terhadap aktivitas-aktivitas kelompok-kelompok demokratis liberal
dan kelompok-kelompok Islamis. Dengan bantuan Amerika, Barre berhasil membangun
salah satu angkatan darat terbesar di Afrika. Namun pertengahan 1980an Barre
mulai menghadapi rangkaian pergolakan dan dakwaan korupsi serta
totalitarianisme. Tahun 1986 Barre mengalami cidera akibat kecelakaan mobil dan
saat perjalanan kembali ia tidak bisa menghentikan terjerumusnya Somalia ke
dalam kekacauan. Tahun 1991 rezimnya ambruk dan Somalia terjerumus dalam perang
sipil antara berbagai faksi politik dan suku yang saling bertikai satu sama
lain hingga kini.
Dukungan Uni Soviet
terhadap Ethiopia di tahun 1977 juga menyinggung Sudan yang saat itu juga
mengalami perselisihan teritorial dengan Ethiopia. Rezim Gaafar Nimeiry
memotong hubungan dengan Uni Soviet dan bergerak pindah kubu ke kubu Tiongkok.
Ansar, kelompok Islamis militan yang mengetahui goyahnya pemerintah dan ekonomi
Aljazair akhirnya mengobarkan pemberontakan bersenjata berikutnya. Mereka
mencoba mengerahkan faksi-faksi anti-Nimeiry di dalam militer untuk melancarkan
kudeta tapi gagal. Bagaimanapun juga saat itu Nimeiry setuju menggelar
negosiasi-negosiasi dengan Ansar yang menuntut agar ia membalikkan
kebijakan-kebijakan sosialisnya, mencampakkan Sosialisme Islam dan mencelanya
sebagai oplosan ateistis, serta menggantikan kekuasaan Sosialisme Islam dengan
Syariah Islam. Nimeiry kemudian membebaskan ratusan anggota Ansar, mendekatkan
Sudan ke AS, dan di tahun 1981 mengumumkan pemberlakuan serangkaian Syariah
Islam. Ia akhirnya digulingkan kudeta militer tahun 1985 yang dibeking oleh
kelompok-kelompok Islamis bekerjasama dengan kelompok-kelompok anti-Nimeiry.
Hampir semua negara yang
mengklaim menjalankan Sosialisme Islam kemudian buyar atau mencampakkan
Sosialisme Islam. Mulai dari Yaman, tahun 1989 saat Uni Soviet sedang berada di
ambang kehancuran dan Stalinisme berada dalam kemunduran besar-besaran, rezim
sosialis di Yaman Selatan membubarkan diri dan bergabung dengan Yaman Utara
menjadi satu negara Yaman. Kemudian di Afghanistan, tahun 1989 rezim PDP
digulingkan oleh kaum Mujahidin yang dibeking AS, Arab Saudi, dan Pakistan.
Sedangkan rezim Sosialis Ba’ath di Irak dan pemerintahan Sosialis Islam rezim
Qadhafi di Libya sudah mulai membalikkan kebijakan-kebijakan sosialisnya dari
tahun 1990an. Keduanya kemudian digulingkan pada tahun 2000an. Saddam Hussein
digulingkan akibat invasi Imperialis AS pasca Peristiwa 11 September. Sedangkan
Qadhafi terbunuh dalam Perang Sipil dan invasi NATO di Libya menyusul Musim
Semi Arab.
Dari Revisionisme Kiri
Hingga Utopisme Kanan
Pemikiran dan gerakan
Sosialisme Islam yang berkembang di pertengahan abad 20 serta melanda banyak
negara-negara mayoritas Muslim sebagian besar sangatlah dipengaruhi Marxisme.
Meskipun menyerap banyak pandangan, analisis, dan seruan revolusioner dari
Marxisme, mulai dari tujuan penghapusan feodalisme, cita-cita modernitas dan
pencerahan, hingga penentangan terhadap Imperialisme, Sosialisme Islam pada
dasarnya merupakan idealisme dengan sentuhan Marxisme yang telah mengalami
revisi fundamental secara besar-besaran. Salah satu revisionisme Sosialisme
Islam terhadap Marxisme adalah penolakannya terhadap prinsip penghapusan alat
kepemilikan pribadi. Bagi kaum Marxis, penghapusan kepemilikan pribadi dan
pendirian kepemilikan bersama adalah salah satu prinsip fundamental dalam
gerakan perjuangan kelas. Alat-alat produksi yang sebelumnya dikuasai oleh
kapitalis dan kelas penindas lainnya, diambil alih dan diletakkan di bawah
kontrol demokratis kelas buruh. Penghapusan kepemilikan pribadi (yang
sebenarnya berarti kepemilikan kapitalis atas alat-alat produksi) bukan
merupakan penghapusan kepemilikan perorangan. Kepemilikan pribadi adalah
penguasaan terhadap aset-aset seperti pabrik-pabrik, tambang-tambang,
perkebunan-perkebunan, rumah sakit dan klinik, dan lainnya, yang mana
pengambilalihannya menjadi kepemilikan bersama justru akan menaikkan hajat
hidup kelas buruh dan rakyat pekerja serta meningkatkan kepemilikan perorangan
(seperti makanan bergizi, pakaian layak, perumahan berkualitas, dan
sebagainya).
Sosialisme Islam, dengan
demikian, juga tidak menghendaki penghapusan masyarakat kelas. Perlawanan
Sosialisme Islam terhadap kapitalisme sesungguhnya bukan berarti penghapusan
kapitalisme sepenuhnya melainkan penghapusan terhadap salah satu jenis
kapitalisme, yaitu kapitalisme laissez-fairre,
atau kapitalisme berdasarkan kompetisi pasar bebas. Sebaliknya Sosialisme
Islam, sebagaimana yang ditunjukkan oleh praktik rezim Nasser, Assad, Qadhafi,
dan sebagainya, menjalankan suatu bentuk kapitalisme yang sangat didominasi
oleh negara. Tanpa adanya kontrol buruh, tanpa adanya kekuasaan buruh dan rakyat
pekerja dalam dewan-dewan, tanpa adanya revolusi buruh, kekuasaan terhadap
perusahaan-perusahaan negara ini berada di tangan pejabat-pejabat sipil,
militer, dan pejabat partai penguasa. Ini menyuburkan korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan.
Tidak heran kalau hubungan
internasional dan kebijakan politik negara-negara yang mengaku menerapkan
Sosialisme Islam akhirnya sepenuhnya tergantung pada kepala negara dan atau
kepala pemerintahannya. Tanpa melalui proses demokrasi yang sejati dari massa
rakyat di bawah.
Kenyataannya Sosialisme
Islam lebih merupakan idealisme yang menawarkan utopisme. Ia menawarkan ilusi
adanya suatu “jalan ketiga” di antara Kapitalisme dan Imperialisme Barat
pimpinan AS di satu sisi serta Komunisme—atau lebih tepatnya Stalinisme Uni Soviet
dan Blok Timur di sisi lain. Sebagai suatu reaksi terhadap populernya pemikiran
Marxisme, Sosialisme Islam berusaha bangkit sebagai alternatif sekaligus
tandingan terhadap Marxisme yang ditawarkan kepada orang-orang yang terpikat
cita-cita keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, kebebasan, dan pembebasan.
Demi memenangkan tawaran
ini, Sosialisme Islam berusaha melepaskan citra revivalisme dan romantisme masa
lalu agar bisa dikukuhkan sebagai suatu teori “ilmiah”. Ini dilakukan dengan
pergulatan para intelektual Muslim dalam penafsiran aspek-aspek sosio-politik
Islam secara progresif. Dengan demikian mereka secara langsung berhadapan
bahkan seringkali bergesekan dan bertentangan dengan kaum Islamis radikal
kanan, muslim-muslim fundamentalis, dan ulama-ulama konservatif. Sosialisme
Islam, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mempersatukan umat Muslim di bawah
panji sosialisme versinya sendiri, pada akhirnya tidak pernah bisa sepenuhnya
mempersatukan Muslim. Slogan “kelas buruh sedunia, bersatulah” yang diserukan
Marxisme, jelas tidak bisa dijiplak dan diganti Sosialisme Islam menjadi “Umat
Muslim sedunia, bersatulah”. Persis karena umat Muslim, sebagaimana umat
agama-agama lainnya, juga terbelah ke dalam kelas penindas dan kelas tertindas
serta sebagai konsekuensinya juga punya kepentingan-kepentingan yang berbeda.
Karenanya sangat wajar
bahwa upaya Sosialisme Islam yang juga ingin membangun modernisasi dan
sekulerisasi melalui pembenaran tafsir versinya terhadap ajaran-ajaran Islam
juga gagal memenangkan dukungan yang signifikan dari kalangan agamis. Ironisnya
justru revisionisme dan utopisme Sosialisme Islam malah berhasil mengooptasi
berbagai orang dari kaum Marxis, sosialis, dan progresif di negara-negara
berpenduduk mayoritas Muslim.
Kontribusi positif Sosialisme
Islam bukanlah pada gerakan sosialis atau perjuangan kelas itu sendiri.
Sebaliknya kontribusi Sosialisme Islam lebih banyak kepada Islam. Patut diakui
bahwa para intelektual dan penganjur Sosialisme Islam membantu mempromosikan
konsep-konsep sosial, politis, dan kultural Islam ke dalam konteks modern.
Mempromosikan pemberantasan buta huruf dan penanaman ilmu pengetahuan modern.
Selain itu juga membangkitkan kembali gagasan mengenai ijtihad atau diskusi
independen mengenai iman dan hukum Islami yang sekian lama ditekan di
negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Sosialisme Islam juga berkontribusi
dalam menggali dan mempromosikan keimanan yang dinamis, rasional, dan
progresif. Pemikiran ini menjauhkan penyalahgunaan ajaran Islam dari pembenaran
dominasi atau pertikaian SARA berdasarkan klan, sekte, dan suku-suku tertentu.
Selain itu Sosialisme Islam juga mendorong emansipasi dan partisipasi perempuan
di masyarakat-masyarakat Muslim. Baik dalam ambil bagian dalam kehidupan
ekonomi, kultural, maupun politik. Sesuatu yang ditentang habis-habisan di
monarki-monarki Timur Tengah yang berkolaborasi dengan kekuasaan para pejabat
keagamaan seperti di Arab Saudi.
Sedangkan bagi perjuangan
kelas buruh dan gerakan sosialisme, Sosialisme Islam tidak memberikan banyak
kontribusi. Malahan dalam berbagai kasus dan peristiwa sejarah, rezim-rezim
Sosialisme Islam bahkan cenderung bersikap reaksioner serta menindas perjuangan
rakyat pekerja. Mulai dari rezim Nasser di Mesir, Qadhafi di Libya, Nimeiry di
Sudan, semuanya bersifat otoriter dan anti-demokrasi. Para pembela rezim-rezim
ini—yang seringkali mencapnya sebagai rezim populis atau kerakyatan—seringkali
berdalih bahwa mereka hanya menolak demokrasi liberal ala Barat dan AS. Namun
kenyataannya memang tidak ada kebebasan berpendapat dan berserikat bagi rakyat
pekerja di sana. Dari Mesir, Libya, Suriah, Sudan, dan sebagainya kaum Marxis
diintimidasi, direpresi, ditangkap, dibui, disiksa, dieksekusi, dikejar-kejar,
sampai melarikan diri ke luar negeri. Ini tidak hanya menimpa kaum Marxis namun
juga buruh, pengkritik pemerintah, bahkan termasuk aktivis perempuan seperti
Nawal el Sadawi di Mesir.
Meskipun melakukan
pemburuan besar-besaran terhadap kaum Marxis di negeri masing-masing, Ironisnya
rezim-rezim tersebut hampir semuanya pernah menjalin hubungan dan persekutuan
dengan Uni Soviet. Ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena kepentingan
kaum birokrat yang berkuasa di Uni Soviet dan juga menindas serta
mengeksploitasi kaum buruh di Eropa Timur juga bertemu kepentingan kaum
birokrat yang berkuasa di Timur Tengah dan juga menindas serta mengeksploitasi
rakyat pekerja di sana. Kebetulan mereka punya musuh bersama yaitu Imperialisme
Barat yang punya sejarah panjang menjajah Asia Afrika. Namun tentu saja mereka
tidak punya cita-cita pembebasan rakyat pekerja. Sosialisme Islam dalam hal ini
lebih merupakan nasionalisme dunia ketiga atau acap disebut Third Worldism.
Nasionalisme, baik
nasionalisme Imperialis maupun nasionalisme negara dunia ketiga, pada dasarnya
merupakan utopisme sayap kanan. Sebab ia bersandar pada ilusi bahwasanya mereka
yang berkebangsaan sama punya kepentingan yang sama, terlepas ia bagian dari
kelas buruh, kaum tani, atau kaum borjuis, dan tuan tanah. Padahal kenyataannya
kelas penindas, apapun kebangsaannya, pada akhirnya berkepentingan
mempertahankan penindasannya. Nasionalisme negara dunia ketiga, yang sering
mengaku sebagai nasionalisme kiri, seperti Sukarno, pada dasarnya berusaha
menggalang borjuasi nasional pribumi dalam perlawanan anti-Imperialis, dengan
motif sebenarnya dari kaum borjuasi nasional adalah untuk memiliki porsi
industri, pasar, atau jatah penindasannya sendiri yang selama ini didominasi
borjuasi Imperialis.
Rezim-rezim Sosialisme
Islam yang berkuasa bukan hanya bersandar pada idealisme, revisionisme, dan
utopisme, namun juga dalam suatu titik tertentu bersedia berkolaborasi dengan
kekuatan-kekuatan reaksioner, termasuk dengan kaum fundamentalis Islam.
Meskipun banyak diktator rezim Sosialisme Islam awalnya merepresi kaum Islamis
dan fundamentalis namun dalam sejarahnya mereka di kemudian hari berbalik
bersekutu dengan mereka. Seperti yang dilakukan Sadat dengan IM di Mesir,
Bhutto dengan Jamaah Islamiah di Pakistan, Bendjedid di Aljazair, Barre di
Aljazair, Nimeiry dengan Ansar di Sudan, dan sebagainya. Semua ini dilakukan
seiring dengan manuver membalik reforma-reforma, mencampakkan cita-cita dan
pemikiran kiri “Sosialis”, hingga membuka diri dan berkolaborasi dengan
Imperialisme Barat pimpinan AS. Dari segi ekonomi ini beriringan dengan
gelombang privatisasi, pemotongan subsidi, dan neoliberalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar