Sabtu, 03 Oktober 2015

Ghassan Kanafani – Seorang Pemimpin, Penulis, dan Pejuang Sahid Palestina

Rakyat Palestina mengenangnya sosok besarnya sebagai seorang penulis, pemimpin, juru bicara, novelis, revolusioner, dan seorang laki-laki yang mendedikasikan hidupnya di jalan pembebasan. Ghassan Kanafani adalah inspirasi bagi mereka yang terus berlawan dalam tiap tingkatan. Dia adalah seorang Palestina, seorang Arab, seorang pejuang internasional, seorang singa, sekaligus perlambang perlawanan, pengorbanan, dan keteguhan.

Karena komitmennya memperjuangkan agar suara rakyat Palestina didengar, baik melalui novel-novel dan cerita-cerita pendeknya dimana dia mengekspresikan perlawanan kreatif dan kekuatan revolusioner sastrawi, maupun melalui kerja politiknya sebagai juru bicara PFLP, dia menjadi sasaran pembunuhan Mossad (agen rahasia Israel) yang ingin membungkam suara Kanafani sekaligus membungkam suara rakyat Palestina dan seruan-seruan revolusi Palestina yang selalu disuarakannya.

Meskipun perangkap bom mobil Mossad berhasil merenggut nyawa Ghassan Kanafani, namun tulisan dan visinya terus hidup, berlipat ganda, dan menginspirasi visi-visi baru revolusi Palestina di tangan para penulis dan aktivis Palestina, Arab, dan seluruh penulis dan aktivis di dunia yang bersimpati dan bersolidaritas dengan perjuangan rakyat Palestina dalam menyorot kejahatan Zionisme dan Imperialisme, sembari mengkritik komprador-komprador Palestina dan rezim-rezim Arab lainnya. Negara Zionis tidak pernah mampu membungkam suaranya, tidak mampu menghapus keindahan kata-kata Kanafani, dan tidak mampu menghancurkan warisannya yang terus hidup dan bersemi dimanapun, baik dimana rakyat Palestina terus hidup maupun dimana ada kreativitas dan perlawanan.

41 tahun sudah berlalu sejak kemartiran Ghassan Kanafani, sudah merupakan tanggung jawab kita untuk membangun budaya perlawanan, untuk memperkuat kejernihan politik dan kejernihan visi kita, serta untuk membangun gerakan yang mampu meraih kemenangan, pembebasan, kepulangan rakyat Palestina. Kita berjanji kita akan mengemban tugas ini sampai tertunaikan.

Ghassan Kanafani dan Budaya Perlawanan

Ghassan Kanafani lahir di Acre 9 April 1936. Keluarganya terusir dari Palestina pada tahun 1948 akibat terror Zionis sehingga mereka akhirnya berdiam di Damaskus, Suriah. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Ghassan Kanafani bekerja sebagai guru dan wartawan, pertama di Damaskus, kemudian di Kuwait. Selanjutnya ia pindah ke Beirut dan menulis untuk beberapa koran sebelum akhirnya menerbitkan koran Al-Hadaf (Sasaran), koran mingguan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina pada 1969. Dia kemudian menjadi juru bicara PFLP sekaligus anggota Politbiro sembari terus berkarya sebagai seniman dan novelis yang kontribusinya tidak bisa diremehkan.

Awalnya, Kanafani adalah seorang anggota aktif Gerakan Nasionalis Arab, gerakan yang ada sebelum PFLP, namun di kemudian hari bersama kawannya George Habash, Kanafani menjadi seorang Marxis, meyakini bahwa solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang dialami Palestina tidak bisa dicapai tanpa revolusi sosial di seluruh tanah Arab.

Saat Kanafani dibunuh akibat mobilnya yang dipasangi bom oleh agen-agen Zionis meledak pada 8 Juli 1972, saudarinya menulis:

“Pada Sabtu Pagi, 8 Juli 1972, sekitar jam 10.30, Lamees (keponakan Kanafani) dan pamannya berencana pergi bersama ke Beirut. Selang semenit setelah keberangkatan mereka, kami mendengar suara ledakan sangat keras yang mengguncang seluruh gedung. Kami sontak merasa takut, namun ketakutan kami tertuju pada Ghassan dan bukan pada Lamees karena kami lupa bahwa Lamees sedang bersamanya sementara kami menyadari bahwa Ghassan tengah diincar. Kami lantas berhamburan keluar, kami semua memanggili Ghassan dan tidak satupun yang memanggil Lamees. Lamees masih berusia 17 tahun. Usia remaja yang masih haus dan penuh kehidupan. Kami sadar bahwa Ghassan lah yang telah memilih jalan ini dan memutuskan menjalaninya. Baru kemarin Lamees meminta pamannya untuk mengurangi kegiatan-kegiatan revolusionernya dan lebih berkonsentrasi untuk menulis cerita. Dia berkata pada Ghassan ‘Cerita-ceritamu sungguh indah,’ lantas Ghassan menjawab “Kembali menulis cerita? Aku bisa menulis dengan baik karena aku percaya pada suatu hal, pada prinsip-prinsip perjuangan. Kalau aku mencampakkan prinsip-prinsip ini, maka ceritaku akan hampa. Kalau aku membuang prinsip-prinsipku, percayalah, kau pun akhirnya tak akan menghargaiku.’, ujar Ghassan yang akhirnya berhasil meyakinkan keponakan perempuannya bahwa perjuangan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip perjuangan lah yang akhirnya mendatangkan sukses dalam segala hal.”

Dalam memoar yang diterbitkan oleh Istri Ghassan Kanafani setelah kematiannya, ia menulis:

“Inspirasinya untuk menulis dan bekerja tanpa henti adalah perjuangan Palestina-Arab…dia adalah salah satu orang yang berjuang dengan teguh demi pengembangan gerakan perlawanan dari gerakan nasionalis pembebasan Palestina hingga menjelma menjadi gerakan sosialis revolusioner pan-Arab dimana pembebasan Palestina adalah komponen vital di dalamnya. Dia selalu menekankan bahwa permasalahan Palestina tidak bisa dipecahkan dalam isolasi dari situasi sosial dan politik dunia Arab”.

Sikap ini berkembang secara alami dari pengalaman Kanafani sendiri. Kanafani kecil yang berusia 12 tahun mengalami trauma saat menjadi pengungsi dan sejak saat itu hidup sebagai pelarian di berbagai negara arab, bahkan seringkali tanpa izin resmi. Rakyat Palestina tercerai berai, banyak diantaranya yang hidup di kamp-kamp pengungsian atau berjuang bertahan hidup dengan kerja yang sangat hina; harapan mereka hanya ada di masa depan dan di anak-anak mereka. Kanafani sendiri, menulis pada anaknya, dan merangkum apa maknanya menjadi seorang Palestina:

“Kudengar kau di ruang lain bertanya pada ibu, ‘Mama, apakah aku orang Palestina?’ Saat ia menjawab ‘Ya’ suatu keheningan yang berat jatuh menimpa rumah. Seakan-akan sesuatu yang tergantung di atas kepala kita akhirnya jatuh, bunyinya keras menggelegar, lalu-hening. Setelah itu…kudengar kau menangis. Aku tak bisa bergerak sama sekali. Ada sesuatu yang lebih besar dari kesadaranku yang lahir di ruang lain melalui isak tangismu. Seakan-akan pisau bedah membelah dadamu dan menaruh jantung disana…aku tak mampu bergerak untuk menengok dan melihat apa yang terjadi di ruang lain. Aku tahu, bagaimanapun juga, bahwa suatu tanah air yang jauh telah terlahir kembali: perbukitan, pohon-pohon zaitun, orang-orang yang mati, bendera yang koyak moyak, bendera yang terlipat, semua memintas ke masa depan darah daging yang dilahirkan di jantung hati seorang anak-anak…Apakah kau percaya bahwa bocah laki-laki tumbuh perlahan-lahan menjadi pria dewasa? Tidak. Ia lahir dengan seketika-satu kata, satu momen, menusuk hatinya dan membawa detak baru. Satu peristiwa bisa melemparkannya dari puncak kanak-kanak ke atas kerasnya jalanan.”

“Kepada kawanku yang telah pergi dan yang masih tinggal: kau tahu bahwa ada dua jalan dalam kehidupan, dan hanya salah satu jalan yang bisa ditempuh. Kau jumpai jalan ketundukan dan kau menampikknya. Dan kau jumpai jalan perlawanan dan kau susuri. Jalan ini dipilih untukmu untuk kau jalani. Kawan-kawanmu pun tengah menjalaninya bersamamu.”

Kemampuan Kanafani untuk menggambarkan bayangan keraguan, kemiskinan, dan penderitaan kaumnya, sebagaimana kemampuannya menerjemahkan ideologi dan garis politik ke dalam sastra menjadikannya ancaman besar bagi keberadaan Zionis.

Perjuangan Kaum Tertindas Sedunia

Ghassan Kanafani  juga melihat, kontradiksi pokok yang dialami oleh Palestina dan negara-negara Arab, juga bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin, adalah imperialisme. Karena itu, ia menyerukan perlawanan berskala internasional terhadap imperialisme.

“Imperialisme telah membaringkan tubuhnya di seluruh dunia, kepalanya di Asia Timur, jantungnya di Timur Tengah, urat nadinya mencapai Afrika dan Amerika Latin. Dimanapun kau menyerangnya, kau merusaknya, dan kau sudah mengabdi pada Revolusi Dunia.”

Imperialisme bukanlah mitos atau kata yang diulang-ulang oleh media berita, oleh gambar diam yang tidak mempengaruhi kenyataan manusia. Dalam konsepsi Ghassan Kanafani, imperialisme adalah tubuh bergerak dari seekor gurita yang menjajah, mengisap, dan memperluas penindasannya ke seluruh penjuru dunia melalui perusahaan-perusahaan monopoli barat.

Imperialisme mengerahkan berbagai bentuk agresi melawan kebangkitan massa rakyat sedunia, khususnya di negara-negara terbelakang.

Berdasarkan slogan: ”Semua Fakta untuk Massa” yang diserukan di Al Hadaf, Ghassan Kanafi mengabdikan intelektualitasnya untuk melayani massa dan kepentingan kelas mereka, serta menyatakan “hasrat untuk suatu perubahan yang tengah menerpa massa rakyat Arab, harus didorong oleh kejelasan ideologis dan politik yang absolut. Dengan demikian, Al Hadaf, mengabdi untuk melayani alternatif revolusioner tersebut karena kepentingan kelas tertindas sama dengan tujuan revolusi. Al Hadaf adalah kawan seperjuangan bagi mereka yang melakukan perjuangan bersenjata maupun perjuangan politik-ideologis untuk mewujudkan negara progresif yang dimerdekakan.”

Landasan alami kerja intelektual dan artistik Ghassan adalah mengangkat dan mempertahankan kepentingan massa yang bekerja keras membanting tulang, bukan saja untuk rakyat Palestina namun juga rakyat Arab dan kelas-kelas tertindas di seluruh dunia. Karena landasan fundamental terhadap semua kerjanya, Ghassan Kanafani, sebagai seorang Marxis, akhirnya mengadopsi jalan perjuangan bersenjata sebagai satu-satunya cara untuk membela kaum tertindas.

Dia sendiri bagian dari mereka: Ghassan Kanafani hidup dan mengalami kemiskinan akibat kapitalisme dan imperialisme serta dia tetap hidup di tengah massa rakyat tertindas, meskipun godaan-godaan kapitalis dan upaya mereka dalam mengepung kehidupan jurnalistiknya. Ghassan tetaplah seorang pria sederhani yang bekerja siang malam untuk membangkitkan dan mengembangkan kualitas hidup manusia keluar dari kesengsaraan yang dipaksakan sejarah.

Dia pernah menyatakan pada sekelompok siswanya:

”Tujuan dari pendidikan adalah untuk mengoreksi alur sejarah. Demi inilah kita perlu mempelajari sejarah dan memahami dialektikanya demi membangun era bersejarah yang baru dimana kaum tertindas akan hidup setelah pembebasan mereka melalui kekerasan revolusioner, dari kontradiksi yang menjerat mereka.”

Ghassan Kanafani tidak hanya memahami pengetahuan materialisme historis namun juga menerapkannya dalam karya-karyanya. Konsep yang diyakininya ditunjukkan dengan jelas dalam apa yang dikatakan dan dituliskannya. Kontradiksi utama adalah kontradiksi dengan imperialisme, zionisme, rasisme. Kontradiksi tersebut adalah kontradiksi internasional dan satu-satunya solusi adalah menghancurkan ancaman-ancaman demikian dengan persatuan perjuangan bersenjata yang teguh, ungkapnya dalam mendorong dan membangkitkan semangat internasionalisme di antara orang-orang yang ia kenal dan temui.

Keyakinan ini membuatnya menolak segala kompromi, menolak semua solusi borjuis dan solusi pecah-belah, yang tidak mencakup tesis dan perkembangan revolusi serta jalan panjangnya menuju pembebasan. Keyakinan ini pula yang membuatnya terus-terusan menyerang kepentingan-kepentingan imperialisme di satu sisi serta berkonsolidasi dengan massa di sisi lainnya. Dalam suatu komentarnya terhadap martir Patrick Arguello ia mengatakan:

”Martir Patrick Arguello adalah lambang suatu misi yang luhur dan perjuangan untuk mewujudkan misi tersebut, suatu perjuangan tanpa batas. Dia adalah lambang massa yang tertindas dan sengsara, diwakili oleh Oum Saad dan banyak lainnya dari kamp-kamp serta dari seluruh penjuru Lebanon, yang bergabung dalam arak-arakan prosesi pemakamannya.”

Saat mendiskusikan tentang rencana reaksioner Imperialis terhadap kaum revolusioner, dia menyatakan:

“Hasil-hasil dari serangan Imperialis akan diarahkan pada massa tertindas demi mencegah mereka bergerak dan berlawan.”

Posisi ini berdasarkan analisis pendirian rezim-rezim Arab dan rezim-rezim negara dunia ketiga pada umumnya, yang mundur akibat hantaman imperialisme.

Sedangkan dalam konteks revolusi internasional, ia berkata:

“Kaum revolusioner Vietnam telah berjuang melawan imperialisme selama puluhan tahun lamanya. Mereka akan menyebarkan revolusi mereka ke tempat-tempat lainnya; pertama, karena revolusi mereka tengah berlangsung, kedua, karena mereka adalah kaum internasionalis…”

“Perjuangan Palestina bukanlah perjuangan hanya bagi rakyat Palestina, namun juga bagi setiap revolusioner, dimanapun mereka berada, karena perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan massa yang dihisap dan ditindas di zaman kita”

Karena perjuangan proletar internasional melawan imperialisme adalah isu utama bagi Ghassan kanafani, maka para konspirator di balik pembunuhannya takut terhadap pendirian konfrontasi yang logis dan jelas, yang terungkap dalam berbagai karyanya dan melalui banyak media. Hal ini mendorong imperialisme dan sektu-sekutu reaksioernya untuk menghentikan pena yang menolak menyerah baik pada godaan maupun peringatan. Ghassan Kanafani mengubah perjuangan Palestina dan Arab menjadi suatu perjuangan kaum terhisap dan kaum tertindas di dunia.

Komitmen Ghassan akan tetap menjadi monumen peringatan bagi massa yang berjuang. Dalam suatu rapat dengan staf Al Hadaf, Ghassan Kanafani menyatakan:

 “Segala sesuatu di dunia ini bisa dirampas dan dicuri kecuali cinta dan kasih sayang yang mendorong manusia memiliki komitmen solid atas suatu keyakinan atau suatu perjuangan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar