Orang
Sariak berasal dari daerah Pagaruyung Batusangkar. Mereka datang dengan tujuan
untuk memperluas wilayah Pagaruyung. Orang Pagaruyung tersebut berjalan ke
barat bersama dengan niniak mamak Datuak Tumangguang dan Datuak Parpatiah Nan
Sabatang. Sekelompok masyarakat tersebut sampai kira-kira di Lereng Gunung
Merapi. Hasil penglihatan tersebut menurut pendapat mereka ada sumber kehidupan
di daerah itu. Maka mereka menelusurinya, sampailah disebuah tempat dimana
mereka menemui serumpun Batang Sariak. Batang sariak tersebut memiliki “miang”
kalau kita menyentuhnya kita akan gatal-gatal. Dalam membersihkan batang sariak
itu kelompok masyarakat tersebut mengalami kegatal-gatalan sehingga mereka
pergi kesebuah kolam yang telah mereka temui sebelumnya untuk membersihkan
badan yang kena miang tersebut, yang sampai sekarang kolam itu msih ada yang di
kenal dengan Tabek Sariak.
Setelah
selesai mandi, sekelompok masyarakat tersebut mengadakan rapat dan
dihasilkan kesepakatan bahwa daerah yang
mereka temui itu diberi nama dengan SARIAK, pada abad ke-15.
Masyarakat
Sariak membangun sebuak masjid yang megah bertingkat dua dengan cara bergotong
royong. Masjid berdiri dengan megah di tepi mata air yang bersih yaitu Tabek
Sariak. Kira-kira pada tahun 1800 (Sumber Profil Nagari Sariak Tahun 2002).
Berikut
adalah penjelasan dari Angku Ono Dt. Palindih, mengenai sejarah berdirinya
masjid Sarik di atas tanah wakaf di lingkungan tanah pusako milik kaumnya:
Alkisah
di tahun 1800-an hiduplah tiga perempuan bersaudara, Tuo (nenek) Labu, Tuo Upik
dan Tuo Tarimin di desa Sarik, Sungai Puar yang berhawa sejuk.Tuo Labu
dikaruniai dua putra, Haji Sulaiman bergelar Sutan Sulaiman (di kemudian hari
lebih dikenal dengan panggilan Inyiak Imam) dan adiknya, Haji Rasyad gelar
Sutan Pasia yang belakangan lebih sering disebut Inyiak Pasia.
Tuo
Upik mempunyai 6 anak, Latief, Sawiyah, Saribanun, Isam, Abbas dan Insah.
Sementara Tuo Tarimin hanya dikaruniai anak tunggal, Ajo yang bergelar Dt
Palindih.Setelah menikah, Tuo Upik bersama sang suami pergi merantau dan
menetap di Padang Panjang.
Namun
kepergiannya itu tidak berlangsung lama karenaTuo Upik sekeluarga didatangi
oleh Inyiak Pasia dan dibujuk untuk pulang ke kampung halamannya, Sarik. Maklum
dari ketiga bersaudara, hanya Tuo Upik lah yang memiliki anak perempuan yang
diakui dan punya hak terhadap harta pusako kaum Dt. Palindih. Bisa dimaklumi,
karena penduduk Minangkabau menganut prinsip matrilinial.
Diantara
harta pusako yang dimiliki kaum Dt. Palindih adalah areal tanah/sawah dan
sebuah tabek (kolam) dengan mata air jernih yang konon tidak pernah kering.
Menurut
keterangan dari salah seorang Niniak mamak dari suku Sikumbang (Ono.E Dt
Palindih) , Inyiak Pasia lah yang mulai membangun masjid Sarik dengan
sepersetujuan Ajo Dt. Palindih. Persetujuan itu menjadi penting karena bangunan
masjid didirikan diatas tanah wakaf pemberian keluarga Dt. Palindih. Inyiak
Pasia (yang juga dipanggil Buya Angku Pasia) dulunya adalah guru sekolah agama
sebuah pesantren di Kecamatan IV Angkat Candung (Tarbiyah Pasir). Kapan
persisnya masjid ini dibangun, tidak ada yang
ingat. Tetapi yang jelas, ketika gunung Krakatau meletus di tahun 1883,
masjid ini telah lama ada.
Inyiak
Pasia, sang pendiri masjid Sariak telah lama tiada. Demikian pula Ajo Dt.
Palindih yang tongkat penghulunya digantikan oleh sepupunya, Latief (Dt.
Palindih). Ketika gelar Dt. Palindih dipegang oleh Johan (anak Sawiyah, cucu Tuo
Upik yang kini juga telah almarhum) di tahun 70 an, beliau mendirikan sebuah
surau bergonjong disamping bangunan masjid yang utama. Sekarang ini telah
berdiri pula gedung sekolah MDA (diniyah) disamping masjid Sarik. Masjid Sarik
sebagai salah satu masjid tertua di kabupaten Agam di jaman penjajahan cukup
sering disebut dalam tulisan dan dokumentasi. Buku Tourism in the Netherlands
Indies terbitan Batavia tahun 1938 memuat dua foto masjid tua di Sumatera
Tengah yang salah satunya adalah Masjid Syuhada' Sariak. (keterangan ini
penulis ambil dari tulisan Aswil Nazir di FB Urang Sariak).
Informasi
mengenai Masjid Sarik ini bisa kita temui di buku “Masdjid dan Makam Doenia
Islam”, cetakan Balai Poestaka–Weltevreden tahun 1926 yang memuat foto serta
komentar singkat sebagai berikut: “Inilah seboeah lagi masdjid jang didirikan
menoeroet matjam baroe. Masdjid Sarik ini boekan boeatannja sadja jang bagoes,
tetapi letaknja djoega, disisimata air jang besar, di lereng goenoeng Merapi,
berpemandangan bagoes ke kaki goenoeng Singgalang dan ke Fort de Kock.
Menaranja jang tjantik itoe soedah roboh tatkala gempa boemi jang terdjadi
dengan takdir Toehan di Soematera Barat”.
Informasi
tambahan tentang masjid Sarik dapat pula kita temui di website
rizalbustami.blogspot.com yang menuliskan sebagai berikut: Didirikan pertama
kali tahun 1800-an. Semula bangunannya terbuat dari kayu kemudian diganti
dengan tembok. Meski masjid ini berlantai dua, namun tidak menggunakan kerangka
besi. Bahan perekatnya bukan pula semen, melainkan dari kapur sirih yang
dicampur dengan pasir. Seperempat abad
setelah berdirinya masjid, tahun 1926 gempa bumi vulkanik dengan kekuatan 6,5
SR, yang terkenal dengan gempa Padang Panjang, menggoncangkan seluruh bangunan
di sekitar Gunung Merapi. Ajaibnya, bangunan masjid tersebut tidak mengalami
apa – apa, kecuali menara masjid yang mirip dengan menara masjid Kudus roboh
separohnya. Pada sisa bangunan menara, dibangun saja kuncup atap seperti
sebelumnya. Sehingga tinggi menara tidak lagi setinggi pertama sekali dibuat.
Kubah baru tanpa menggunakan pipa besi untuk penyangganya. Untuk perekat tembok
masih menggunakan kapur sirih. Masjid lama berarsitektur asli dengan bentuk atap
punden berundak.
Bentuk asli dari awal pembangunan tahun 1800
Kemudian berubah bentuk bangunan diperkirakan pada tahun 1915
Peruibahan bentuk bangunan setelah terjadi gempa tahun 1926
Renovasi bangunan setelah gempa di Sumatera Barat tahun 2007
Inilah Masjid Jami Syuhada Tabek Nagari Sariak - Kabupaten Agam Sumatera Barat sebagai tempat tujuan wisata religi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar