Kamis, 29 Oktober 2015

Mazhab Fiqih Zaidiyah



Kalau mendengar fiqih syiah, mungkin yg terlintas di pikiran kita nikah mut’ah. Memang benar bahwa umumnya fiqih syiah mengakui adanya kawin kontrak alias nikah mut’ah. Menarik untuk dicatat, ternyata dalam litelatur fiqih Zaidiyah (salah satu dari golongan syiah) nikah mut’ah justru ditentang dan tidak dibenarkan. Dan penting juga untuk diketahui, bahwa syiah tidak hanya satu kelompok saja melainkan terdiri dari banyak kelompok, mazhab fiqih dan juga golongannya. Salah satunya mazhab fiqih Zaidiyah yg akan kita bahas ini.

Mazhab Fiqih Zaidiyah adalah mazhab Fiqih para pengikut Imam Zaid bin Ali Zainal-Abidin. Beliau adalah salah satu imam ahli bait (keluarga Nabi), yg merupakan cucu dari Sayyidina Ali bin Abi thalib dari jalur Husain.

Keberadaan fiqih mazhab Zaidiyah ini secara keseluruhan diakui dan diterima para ulama ahlussunnah sebagai mazhab fiqih resmi. Artinya mazhab fiqih Zaidiyah adalah mazhab fiqih yg diterima dan boleh diamalkan oleh muslim dimana saja, karena sudah mendapat pengakuan.

Mazhab fiqih Zaidiyah adalah mazhab fiqih syiah yg paling dekat dengan ahli sunnah, sebagaimana umumnya pengakuan banyak ulama. Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik dalam kitabnya Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, menyebutkan alasan kenapa mazhab Zaidiyah banyak diterima oleh Ahlussunnah.

Alasan yg paling utama karena mazhab ini tidak sama sekali menghina Shaikhan; Abu Bakar dan Umar bin Khathtab. Mereka hanya lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.

Ulama mencatat setidaknya hanya ada 3 perbedaan mendasar dimana fiqih mazhab Zaidiyah menyelisihi para ulama ahlussunnah. Dan ini juga yg dituliskan oleh Sheikh Al-Hafnawi dalam kitabnya Al-Fath Al-Mubin fi Ta’riif Musthalah Al-Fuqaha’ wa Al-Ushuliyiin.:
1.   Mereka tidak mengakui masyru'iyah al-mashu ‘ala al-khuffain (mengusap dua khuf).
2.  Mereka juga mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan seorang wanita kitabiyah, baik Nasrani atau Yahudi. Sedangkan mazhab fiqih Ahli Sunnah membolehkan itu.
3.  Mereka mengharamkan sembelihan selain muslim, sedangkan mazhab fiqih ahli sunnah membolehkan memakan sembelihan Ahli Kitab.

Hanya di ketiga masalah ini saja mazhab fiqih Zaidiyah berselisih dengan mazhab fiqih Ahli Sunnah.

Mazhab fiqih Zaidiyah ini termasuk mazhab Syiah yg tidak diskriminatif dalam menerima hadits. Mereka juga menerima hadits-hadits yg diriwayatkan oleh selain pengikut syiah itu sendiri.

Mereka menerima riwayat tsiqah (orang terpercaya) dari kalangan ahli sunnah, sebagaimana mereka juga menerima riwayat tsiqah dari kalangan mereka sendiri. Bukan hanya menerima, mereka juga menjadikannya sebagai dalil atas sebuah hukum. Disinilah letak titik penyebab kenapa banyak pendapat Imam Zaid atau mazhab Zaidiyah secara keseluruhan tidak banyak berbeda dengan mazhab-mazhab Fiqh Ahli sunnah. Ternyata ada kesamaan jalur riwayat yg digunakan.

Berbeda dengan mazhab Syiah Imamiyah yg tidak mau menerima riwayat tsiqah selain dari kalangannya sendiri. Jadi wajar saja, banyak pendapat fiqih Syiah Imamiyah yg berbeda dengan mazhab Ahli Sunnah, bahkan dengan mazhab Zaidiyah sekalipun.

Salah satu faktor yg membuat Imam Zaid begitu adil menerima periwayatan dari kalangan ulama ahlusunnah karena pandangannya yg memang berbeda dari kelompok syiah lainnya, khususnya tentang Imamah.

Kelompok syiah mayoritas berkeyakinan bahwa kepemimpinan setelah Rasulullah SAW wafat itu seharusnya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib dan bukan Abu Bakar atau Umar. Dalam aqidah yg tertanam di dada mereka, Rasulullah SAW telah mewasiatkan tongkat khilafah kepada Ali secara langsung, dan bukan dengan dipilih atau musyawarah.

Dalam pandangan mereka, hanya keturunan Alawiyin- lah yg pantas menduduki kursi kepimpinan. Sementara Abu Bakar dan Umar dianggap telah merampas kepimpinan dari tangan Ali. Karena itu mereka berdua layak mendapat ejekan dan hinaan. Bahkan kebenciannya melebar sampai memusuhi juga siapa pun yg mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Salah satu bentuknya adalah menolak semua periwayatan hadits dari seluruh sahabat nabi ridhwanullahi 'alaihim , kecuali hanya beberapa orang yg mereka anggap sebagai ahlulbait.

Ini jelas berbeda dengan apa yg ditunjukkan oleh Imam Zaid bin Ali. Beliau memang masih memandang bahwa yg seharusnya mendapat kursi kepimpinan selepas wafatnya Rasulullah SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Tetapi tidak mengapa juga kalau bukan Ali yg jadi khalifah, cuma dianggap kurang afdhal. Dalam pandangan mereka, Ali tetap yg terbaik.

Imam Zaid memandang bahwa Ali adalah sebaik-baik sahabat, tetapi tidak mencela atau mencaci-maki Abu Bakar atau Umar. Dan tentunya juga tidak mengkafirkan. Justru pemikiran seperti itu adalah objek yg selalu diluruskan oleh Imam Zaid kepada pengikutnya.

Kita akan takjub dengan apa yg dilakukan oleh Imam Zaid kalau kita tahu bagaimana kerasnya upaya beliau dalam meluruskan pandangan para kelompok syiah terhadap Abu Bakar dan Umar. Imam Al-Syihristani dalam kitabnya Al-Milal wa Al-Nihal (1/153) menyebutkan hal ini dengan tegas.

Maka masuk akal kalau mazhab Zaidiyah sama sekali tidak mempermasalahkan periwayatan hadits dari semua sahabat, walaupun tidak mendukung Ali sebagai khalifah. Yg terpenting ialah hadits itu diriwayatkan oleh orang yg tsiqah dan mendapat rekomendasi dari tsiqah lainnya yg sezaman. Maka hadits itu mereka terima apa adanya.

Banyak dari para pendiri mazhab fiqih yg tidak menuliskan sendiri fatwa dan ijtihadnya. Tetapi para muridnya yg kemudian menuliskan dan membukukan fatwa serta ijtihad para Imam tersebut.

Imam Abu Hanifah tidak menuliskan fatwa-fatwa Fiqihnya. Akan tetapi mazhab Imam Abu Hanifah terbukukan oleh muridnya yaitu Ya’qub Abu Yusuf (182 H) dan Muhammad (bin Hasan Al-Syaibani (189 H).

Hal yg sama terjadi dalam mazhab Zaidiyah ini. Imam Zaid bin Ali tidak menuliskan sendiri pendapat-pendapat fiqihnya. Mazhabnya kemudian tersebar atas jasa salah seornang muridnya, Abu Khalid bin Amr bin Khalid Al-Wasithy. Beliau lah yg membukukan riwayat-riwayat Imam Zaid bin Ali.

Riwayat haditsnya disebut dengan Majmu’ Al-hadits, sedangkan riwayat fiqih-nya (fatwa dan ijtihad) disebut dengan Majmu’ Al-Fiqh. kedua kitab induk ini disebut oleh kebanyakan ulama Zaidiyah dengan istilah Al-Majmuu’ Al-Kabiir.

Dan kitab ini mendapat sambutan baik dari hampir seluruh ulama Zaidiyah di zamannya dan zaman setelahnya, bahkan sampai sekarang.

Banyak orang kurang cermat dengan menyama-ratakan seluruh kelompok syiah, bahwa semuanya sesat dan jahat. Padahal kalau agak teliti sesungguhnya syiah dan kelompok-kelompok yg dinisbatkan sebagai syiah penuh dengan pernak-pernik.

Memang umumnya kelompok syiah menempatkan Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekuasaan. Dan umumnya mereka meyakini bahwa kursi khilafah hanya boleh diduduki hanya oleh Alawiyin saja. Yg lain tidak boleh.

Tetapi syiah Zaidiyah lain sendiri. Mereka justru menentang itu semua. Imam Zaid bin Ali berseberangan pandangan dengan kelompok Rafidhah (artinya: penolak/penentang). Justru mereka menolak semua penghinaan kepada Abu Bakar dan Umar. Dan malah sebutan rafidhah itu sendiri disematkan oleh Imam Zaid bin Ali kepada mereka yg menentang kemuliaan sahabat Abu Bakr dan Umar.

Dalam kitab Musnad Imam Zaid bin Ali (hal. 11) diceritakan bahwa beliau (Imam Zaid) pernah didatangi sekelompok orang dari kalangan syiah yg sangat membenci Abu Bakar dan Umar.

Mereka berkata: “Wahai Imam (Zaid), Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan Umar (maksudnya, lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakr dan Umar). Kalau kau sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai Imam!”

Imam Zaid dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri dari mereka berdua (Abu Bakr dan Umar)”.

Mereka menanggapi: “kalau gitu, kami menolakmu (Rafdh)”.

Imam Zaid tanpa basa basi menjawab, "Baik, pergilah kalian. Kalian semua adalah penolak/penentang! (Rafidhah)”

Sejak saat itulah istilah 'rafidhah ' digunakan bagi mereka yg membenci dan menentang sayyidina Abu Bakr dan sayyidina Umar. Dan nama 'zaidiyah' digunakan bagi mereka yg mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.

Cerita ini juga dinukil oleh Sheikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi dalam kitabnya, Al-Sirah Al-Halabiyah (2/49).

Baik, kita kembali ke awal tulisan untuk mengetahui siapakah Imam Zaid ini.

Imam Zaid bin Ali hidup di masa yg sama dengan Imam Abu Hanifah, yaitu ketika pergolakan politik dan perpindahan kekuasaan antara Bani Umayah dan Ahl Bait.

Yg menyedihkan ialah beliau hidup di zaman banyak dari keluarga keturunan Rasulullah SAW dibunuh, termasuk kakek beliau sendiri yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Karena itu banyak sejarawan menyebut bahwa hidupnya Imam Zaid penuh dengan air mata dan kesedihan.

Beliau lahir antara tahun 75 – 80 Hijriyah, dan besar dalam lingkungan para ahli agama dari kalangan alawiyin. Tak tahan dengan tekanan yg diberikan oleh pemerintahan Bani Umayah yg ketika itu dipimpin oleh Hisyam bin Abd. Malik, akhirnya beliau pindah ke Syam dan juga Madinah dan menetap lama di kota Rasulullah SAW itu.

Beliau berguru dalam fiqih ahlulbait kepada Imam Muhammad bin Al-Hasan yg merupakan sepupu ayahnya (Imam Ali Zainal-Abidin bin Al-Husain) . Dan juga mengambil ilmu dari kakaknya, Imam Muhammad Al-Baqir , seorang ahli fiqih Syiah ketika itu.

Hebatnya, beliau tidak hanya bergaul dengan kalangan alawiyin saja tetapi juga kepada semua kalangan. Maka wajar kalau muridnya pun banyak yg bukan dari kalangan alawiyin, diantara yg masyhur ialah Imam Abu Hanifah, dan juga Sufyan Al-Tsauri.

Tentang kecerdasannya, Imam Al-Zirikly , dalam kitabnya Al-A’lam menukil pujian Imam Abu Hanifah kepada Imam Zaid. Imam Abu Hanifah berkata: “Aku tidak melihat ada yg lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak menemukan orang yg bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan, serta lugas penjelasannya”

Beliau wafat tahun 122 Hijriyah dalam peperangan di kufah.

aaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar