Kalau
mendengar fiqih syiah, mungkin yg terlintas di pikiran kita nikah mut’ah.
Memang benar bahwa umumnya fiqih syiah mengakui adanya kawin kontrak alias
nikah mut’ah. Menarik untuk dicatat, ternyata dalam litelatur fiqih Zaidiyah
(salah satu dari golongan syiah) nikah mut’ah justru ditentang dan tidak
dibenarkan. Dan penting juga untuk diketahui, bahwa syiah tidak hanya satu
kelompok saja melainkan terdiri dari banyak kelompok, mazhab fiqih dan juga
golongannya. Salah satunya mazhab fiqih Zaidiyah yg akan kita bahas ini.
Mazhab
Fiqih Zaidiyah adalah mazhab Fiqih para pengikut Imam Zaid bin Ali
Zainal-Abidin. Beliau adalah salah satu imam ahli bait (keluarga Nabi), yg
merupakan cucu dari Sayyidina Ali bin Abi thalib dari jalur Husain.
Keberadaan
fiqih mazhab Zaidiyah ini secara keseluruhan diakui dan diterima para ulama
ahlussunnah sebagai mazhab fiqih resmi. Artinya mazhab fiqih Zaidiyah adalah
mazhab fiqih yg diterima dan boleh diamalkan oleh muslim dimana saja, karena
sudah mendapat pengakuan.
Mazhab
fiqih Zaidiyah adalah mazhab fiqih syiah yg paling dekat dengan ahli sunnah,
sebagaimana umumnya pengakuan banyak ulama. Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik
dalam kitabnya Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, menyebutkan alasan kenapa mazhab
Zaidiyah banyak diterima oleh Ahlussunnah.
Alasan yg
paling utama karena mazhab ini tidak sama sekali menghina Shaikhan; Abu Bakar
dan Umar bin Khathtab. Mereka hanya lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali
bin Abi Thalib ketimbang keduanya.
Ulama
mencatat setidaknya hanya ada 3 perbedaan mendasar dimana fiqih mazhab Zaidiyah
menyelisihi para ulama ahlussunnah. Dan ini juga yg dituliskan oleh Sheikh
Al-Hafnawi dalam kitabnya Al-Fath Al-Mubin fi Ta’riif Musthalah Al-Fuqaha’ wa
Al-Ushuliyiin.:
1. Mereka tidak mengakui masyru'iyah al-mashu
‘ala al-khuffain (mengusap dua khuf).
2. Mereka juga mengharamkan laki-laki muslim
menikah dengan seorang wanita kitabiyah, baik Nasrani atau Yahudi. Sedangkan
mazhab fiqih Ahli Sunnah membolehkan itu.
3. Mereka mengharamkan sembelihan selain
muslim, sedangkan mazhab fiqih ahli sunnah membolehkan memakan sembelihan Ahli
Kitab.
Hanya di
ketiga masalah ini saja mazhab fiqih Zaidiyah berselisih dengan mazhab fiqih
Ahli Sunnah.
Mazhab
fiqih Zaidiyah ini termasuk mazhab Syiah yg tidak diskriminatif dalam menerima
hadits. Mereka juga menerima hadits-hadits yg diriwayatkan oleh selain pengikut
syiah itu sendiri.
Mereka
menerima riwayat tsiqah (orang terpercaya) dari kalangan ahli sunnah,
sebagaimana mereka juga menerima riwayat tsiqah dari kalangan mereka sendiri.
Bukan hanya menerima, mereka juga menjadikannya sebagai dalil atas sebuah
hukum. Disinilah letak titik penyebab kenapa banyak pendapat Imam Zaid atau
mazhab Zaidiyah secara keseluruhan tidak banyak berbeda dengan mazhab-mazhab
Fiqh Ahli sunnah. Ternyata ada kesamaan jalur riwayat yg digunakan.
Berbeda
dengan mazhab Syiah Imamiyah yg tidak mau menerima riwayat tsiqah selain dari
kalangannya sendiri. Jadi wajar saja, banyak pendapat fiqih Syiah Imamiyah yg
berbeda dengan mazhab Ahli Sunnah, bahkan dengan mazhab Zaidiyah sekalipun.
Salah
satu faktor yg membuat Imam Zaid begitu adil menerima periwayatan dari kalangan
ulama ahlusunnah karena pandangannya yg memang berbeda dari kelompok syiah
lainnya, khususnya tentang Imamah.
Kelompok
syiah mayoritas berkeyakinan bahwa kepemimpinan setelah Rasulullah SAW wafat
itu seharusnya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib dan bukan Abu Bakar atau
Umar. Dalam aqidah yg tertanam di dada mereka, Rasulullah SAW telah mewasiatkan
tongkat khilafah kepada Ali secara langsung, dan bukan dengan dipilih atau
musyawarah.
Dalam
pandangan mereka, hanya keturunan Alawiyin- lah yg pantas menduduki kursi
kepimpinan. Sementara Abu Bakar dan Umar dianggap telah merampas kepimpinan
dari tangan Ali. Karena itu mereka berdua layak mendapat ejekan dan hinaan.
Bahkan kebenciannya melebar sampai memusuhi juga siapa pun yg mengakui
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Salah satu bentuknya adalah menolak semua
periwayatan hadits dari seluruh sahabat nabi ridhwanullahi 'alaihim , kecuali
hanya beberapa orang yg mereka anggap sebagai ahlulbait.
Ini jelas
berbeda dengan apa yg ditunjukkan oleh Imam Zaid bin Ali. Beliau memang masih
memandang bahwa yg seharusnya mendapat kursi kepimpinan selepas wafatnya
Rasulullah SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Tetapi tidak mengapa juga kalau bukan
Ali yg jadi khalifah, cuma dianggap kurang afdhal. Dalam pandangan mereka, Ali
tetap yg terbaik.
Imam Zaid
memandang bahwa Ali adalah sebaik-baik sahabat, tetapi tidak mencela atau
mencaci-maki Abu Bakar atau Umar. Dan tentunya juga tidak mengkafirkan. Justru
pemikiran seperti itu adalah objek yg selalu diluruskan oleh Imam Zaid kepada
pengikutnya.
Kita akan
takjub dengan apa yg dilakukan oleh Imam Zaid kalau kita tahu bagaimana
kerasnya upaya beliau dalam meluruskan pandangan para kelompok syiah terhadap
Abu Bakar dan Umar. Imam Al-Syihristani dalam kitabnya Al-Milal wa Al-Nihal
(1/153) menyebutkan hal ini dengan tegas.
Maka
masuk akal kalau mazhab Zaidiyah sama sekali tidak mempermasalahkan periwayatan
hadits dari semua sahabat, walaupun tidak mendukung Ali sebagai khalifah. Yg
terpenting ialah hadits itu diriwayatkan oleh orang yg tsiqah dan mendapat
rekomendasi dari tsiqah lainnya yg sezaman. Maka hadits itu mereka terima apa
adanya.
Banyak
dari para pendiri mazhab fiqih yg tidak menuliskan sendiri fatwa dan
ijtihadnya. Tetapi para muridnya yg kemudian menuliskan dan membukukan fatwa
serta ijtihad para Imam tersebut.
Imam Abu
Hanifah tidak menuliskan fatwa-fatwa Fiqihnya. Akan tetapi mazhab Imam Abu
Hanifah terbukukan oleh muridnya yaitu Ya’qub Abu Yusuf (182 H) dan Muhammad
(bin Hasan Al-Syaibani (189 H).
Hal yg
sama terjadi dalam mazhab Zaidiyah ini. Imam Zaid bin Ali tidak menuliskan
sendiri pendapat-pendapat fiqihnya. Mazhabnya kemudian tersebar atas jasa salah
seornang muridnya, Abu Khalid bin Amr bin Khalid Al-Wasithy. Beliau lah yg
membukukan riwayat-riwayat Imam Zaid bin Ali.
Riwayat
haditsnya disebut dengan Majmu’ Al-hadits, sedangkan riwayat fiqih-nya (fatwa
dan ijtihad) disebut dengan Majmu’ Al-Fiqh. kedua kitab induk ini disebut oleh
kebanyakan ulama Zaidiyah dengan istilah Al-Majmuu’ Al-Kabiir.
Dan kitab
ini mendapat sambutan baik dari hampir seluruh ulama Zaidiyah di zamannya dan
zaman setelahnya, bahkan sampai sekarang.
Banyak
orang kurang cermat dengan menyama-ratakan seluruh kelompok syiah, bahwa
semuanya sesat dan jahat. Padahal kalau agak teliti sesungguhnya syiah dan
kelompok-kelompok yg dinisbatkan sebagai syiah penuh dengan pernak-pernik.
Memang
umumnya kelompok syiah menempatkan Abu Bakar dan Umar sebagai perampas
kekuasaan. Dan umumnya mereka meyakini bahwa kursi khilafah hanya boleh
diduduki hanya oleh Alawiyin saja. Yg lain tidak boleh.
Tetapi
syiah Zaidiyah lain sendiri. Mereka justru menentang itu semua. Imam Zaid bin
Ali berseberangan pandangan dengan kelompok Rafidhah (artinya:
penolak/penentang). Justru mereka menolak semua penghinaan kepada Abu Bakar dan
Umar. Dan malah sebutan rafidhah itu sendiri disematkan oleh Imam Zaid bin Ali
kepada mereka yg menentang kemuliaan sahabat Abu Bakr dan Umar.
Dalam
kitab Musnad Imam Zaid bin Ali (hal. 11) diceritakan bahwa beliau (Imam Zaid)
pernah didatangi sekelompok orang dari kalangan syiah yg sangat membenci Abu
Bakar dan Umar.
Mereka
berkata: “Wahai Imam (Zaid), Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan
Umar (maksudnya, lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakr dan Umar).
Kalau kau sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai
Imam!”
Imam Zaid
dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri dari mereka berdua
(Abu Bakr dan Umar)”.
Mereka
menanggapi: “kalau gitu, kami menolakmu (Rafdh)”.
Imam Zaid
tanpa basa basi menjawab, "Baik, pergilah kalian. Kalian semua adalah
penolak/penentang! (Rafidhah)”
Sejak
saat itulah istilah 'rafidhah ' digunakan bagi mereka yg membenci dan menentang
sayyidina Abu Bakr dan sayyidina Umar. Dan nama 'zaidiyah' digunakan bagi
mereka yg mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.
Cerita
ini juga dinukil oleh Sheikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi dalam kitabnya, Al-Sirah
Al-Halabiyah (2/49).
Baik,
kita kembali ke awal tulisan untuk mengetahui siapakah Imam Zaid ini.
Imam Zaid
bin Ali hidup di masa yg sama dengan Imam Abu Hanifah, yaitu ketika pergolakan
politik dan perpindahan kekuasaan antara Bani Umayah dan Ahl Bait.
Yg
menyedihkan ialah beliau hidup di zaman banyak dari keluarga keturunan Rasulullah
SAW dibunuh, termasuk kakek beliau sendiri yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Karena itu banyak sejarawan menyebut bahwa hidupnya Imam Zaid penuh dengan air
mata dan kesedihan.
Beliau
lahir antara tahun 75 – 80 Hijriyah, dan besar dalam lingkungan para ahli agama
dari kalangan alawiyin. Tak tahan dengan tekanan yg diberikan oleh pemerintahan
Bani Umayah yg ketika itu dipimpin oleh Hisyam bin Abd. Malik, akhirnya beliau
pindah ke Syam dan juga Madinah dan menetap lama di kota Rasulullah SAW itu.
Beliau
berguru dalam fiqih ahlulbait kepada Imam Muhammad bin Al-Hasan yg merupakan
sepupu ayahnya (Imam Ali Zainal-Abidin bin Al-Husain) . Dan juga mengambil ilmu
dari kakaknya, Imam Muhammad Al-Baqir , seorang ahli fiqih Syiah ketika itu.
Hebatnya,
beliau tidak hanya bergaul dengan kalangan alawiyin saja tetapi juga kepada
semua kalangan. Maka wajar kalau muridnya pun banyak yg bukan dari kalangan
alawiyin, diantara yg masyhur ialah Imam Abu Hanifah, dan juga Sufyan
Al-Tsauri.
Tentang
kecerdasannya, Imam Al-Zirikly , dalam kitabnya Al-A’lam menukil pujian Imam
Abu Hanifah kepada Imam Zaid. Imam Abu Hanifah berkata: “Aku tidak melihat ada
yg lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak menemukan orang yg
bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan, serta lugas penjelasannya”
Beliau
wafat tahun 122 Hijriyah dalam peperangan di kufah.
aaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar