(Pidato dalam Kongres Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946)
Lebih
dahulu saya minta pada saudara sekalian sekejap berdiri, memperingati arwahnya
rakyat dan pahlawan Indonesia, yang sudah meninggalkan kita dalam perjuangan
yang maha dahsyat ini, dan memberikan warisan kepada kita supaya meneruskan
pekerjaanya.
Pokok
pembicaraan sekarang ialah: situasi politik luar dan dalam Indonesia. Saudara
sekalian!
Jikalau
kita mau menanam satu pohon, maka lebih dahulu kita cari bibit yang bagus,
tanah yang cocok dan hawa yang sesuai. Bibit yang sebaik-baiknya pun kalau
tidak disertai oleh tanah yang cocok dan iklim yang sesuai, tidak akan tumbuh
menjadi pohon.
Demikian
juga haluan kita!
Kalau
haluan itu tidak cocok dengan keadaan di dalam dan di luar maka ia akan patah
di tengah jalan atau gagal sama sekali. Haluan kita serta cara kita bekerja,
mesti kita ukur dengan kekuatan kita, baik dari dalam ataupun dari luar.
Kemudian keadaan luar dan dalam itu kita cocokkan dengan haluan kita; yaitu:
kemerdekaan. Demikianlah kita membentuk persatuan yang kita butuhkan dan
organisasi yang cocok dengan keadaan di dalam dan di luar negeri. Apabila
organisasi kita, persatuan kita dan haluan kita sudah cocok dengan keadaan di
dalam dan di luar negeri kita, maka barulah kita berharap, bahwa kelak usaha
kita akan berhasil.
Dengan
iman yang teguh tegap hati yang tetap tenang kita boleh melaksanakan haluan
kita tadi. Tidak ada manusia yang adil akan menyesali paham dan perbuatan kita.
Tak ada pula sesuatu kodrat yang akan merintangi kelangsungannya usaha kita.
Anak cucu kita kelak akan mewarisi apa yang akan kita tinggalkan itu, sempurna
atau sebagian jaya, dengan iman yang lebih walaupun kita sudah insyat akan
segala-gala meskipun sudah bersatu padu atas satu organisasi yang berdisiplin
laksana baja, tetapi baru sampai di tengah jalan kita sudah patah hati dan
pecah belah, maka akan sia-sialah semua pekerjaan kita selama itu tadi. Anak
cucu kita akan mengutuki kita sebagai penghianat paham dan negara kita sendiri
atau sedikitnya akan menjauhi kita sebagai manusia yang lemah tak berwatak.
Semuanya
ini adalah keyakinan saya sendiri. Saya pikir keyakinan ini boleh dibuktikan dengan
sejarah negara manapun juga dalam waktu manapun juga.
Kembali
saya sekarang kepada pokok perkara ialah menguraikan situasi politik luar dan
dalam negara. Saya mulai dengan suasana politik luar negara. Bukankah negara
kita ini bagian dari dunia luar? Bukankah pula dunia luar itu lebih besar dari
negara kita? Bukankah akhirnya politik dunia itu bisa sama sekali menghambat
atau menghalang-halangi politik negara kita sendiri?
Hari
depan kita adalah bergantung kepada keadaan sekarang. Seterusnya pula, keadaan
sekarang berseluk beluk dengan keadaan lampau.
Marilah
kita tinjau! Marilah kita sedikit surut ke belakang sejarah! Ke tahun 1918,
ialah perjanjian Versailes.
Pada
waktu itu dunia sedang gemuruh. Satu negara besar dan baru dalam di segala-gala
timbul, ialah Soviet Rusia. Pada zaman itu saya masih muda, masih berlajar di
Eropa barat. Dalam usia “Sturm und Drangperiode” itu, dalam usia sedang
bergelora itu saya di londong topan yang bertiup dari Eropa Timur itu. Dunia
Barat sendiri pada masa itu seakan-akan mengikuti Soviet Rusia.
Dari
dunia Eropa Timur itulah saya mendapatkan semua ilham dan petunjuk yang saya
rasa perlu buat perjuangan politik, ekonomi, dan sosial kita.
Walaupun
pasang revolusi yang dari Timur mengalir ke Barat Eropa itu lambat laun susut
kembali sampai ke Negara Rusia saja, tetapi tiadalah padam-padamnya ilham dan
petunjuk yang saya peroleh dari Rusia dimana usia bergelora tadi.
Berdasarkan
petunjuk yang saya peroleh dari Soviet Rusia itulah saya sekarang melangkahi
sejarah dengan kecepatan raksasa. Dari tahun 1918-1923, lebih kurang dalam 5
tahun itu, keadaan politik-ekonomi dan sosial dunia kapitalisme seakan-akan tak
bisa diperbaiki lagi.
Seakan-akan
kapitalisme dunia itu mau roboh.
Tetapi
dari tahun 1924-1929, kurang lebih dalam 5 tahun pula, dunia kapitalis mulai
bangun kembali. Mulanya perlahan-lahan. Kemudian cepat demi cepat sampai
produksi itu bisa di puncak. Tiba-tiba timbullah krisis, lebih hebat dari yang
sudah-sudah.
Dahulu
kita musimnya krisis itu dianggap sekali 10 tahun. Tetapi rupanya karena kodrat
mesin menghasilkan sudah berlipat ganda maka musim itu kembali sekali 5 tahun
saja.
Sebabnya
timbul krisis itu boleh saya ringkaskan:
Dalam
dunia kapitalistis cuma beberapa biji manusia yang memiliki harta pencaharian,
yang berupa tanah, pabrik dan tambang serta mengurus hasil buat masyarakat
seluruhnya. “Makin banyak saya menghasilkan” demikianlah pikirannya si
Kapitalis, “makin murah” jualan barang saya. Ini berarti makin lekas dapat saya
gulingkan saingan saya, yang tak bisa menjual barangnya semurah barang saya.
Tetapi kapitalis lain ialah teman seperjuangannya berpendapat sedemikian pula.
Begitulah tiba-tiba saja barang membanjiri pasar, melimpah di pasar dan jatuh
harganya sampai jatuh di bawah ongkos. Karena jualan tiada lagi menutupi
ongkos, maka tuan pabrik seorang demi seorang terpaksa menutup pabriknya.
Dengan begitu kaum pekerja terpaksa disuruh pulang. Pengangguran
bersimarajalela dan krisis mengamuk kiri kanan.
Demikianlah
ringkasnya gambaran dunia pada tahun 1929. Negara kapitalis mulai goncang lagi
sampai ke tiang dan dasarnya.
Negara
Amerika pun yang luas serta kaya-raya dalam hal bahan pabrik, tambang, mesin
dan tenaga pun tiadalah luput dari genggamannya krisis yang mulai timbul pada
tahun 1929 itu. Meskipun Amerika menghasilkan lebih kurang 70 % barang penting
dari industri berat, seperti besi, baja, mesin minyak dan lain-lain walaupun
pembeli dalam negaranya banyak dan kaya-raya, walaupun lebih dari 90 % jumlah
mas di dunia tertumpuk di country of the free “Negara Mereka” itu, namun tahun
krisis itu tak terbendung juga.
11
juta pekerja menganggur di Amerika bukan karena malas atau bodohnya sendiri.
Melainkan karena salahnya sistem kapitalisme. Seandainya tiap-tiap pekerja cuma
menanggung seorang istri dan seorang anak saja, maka di antara 140 juta warga
Amerika itu adalah 33 juta yang melarat atau lebih kurang ¼ penduduk yang jatuh
ke lembah kesengsaraan. Sewaktu-waktu mereka terancam oleh kelaparan dan
senantiasa mereka dihitung sebagai golongan pengemis.
Bagaimana
pula kedudukan negara Inggris?
Luasnya
negara Inggris ini adalah kurang dari 100.000 mil persegi. Tetapi di Asia dan
Afrika Inggris mempunyai jajahan yang luasnya lebih kurang 12.000.000 mil
persegi, jadi kira-kira 150 kali seluas negaranya sendiri. Inggris berpenduduk
kurang dari 50 juta, tetapi penduduk jajahannya adalah lebih kurang 500.000.000
atau lebih kurang 10 kali sebesar cacah jiwa negaranya sendiri.
Ditilik
dari penjuru ini maka tiap-tiap 1 orang Inggris dilayani oleh 10 orang kulit
berwarna. Tetapi dalam negara Inggris sendiri mereka yang memiliki perkakas
menghasilkan dan mengurus produksi itu, bertitel Lord ataupun tidak, kalau kita
katakan ada 1000 jumlahnya, masih melebihi taksiran. Sehingga tak jauh dari
kebenaran kalu kita katakan kalau dibelakangnya seorang kapitalis Inggris
berada dan bekerja ½ juta kuli hitam dan putih. Begitulah juga di Inggris di
antara tahun 1929 dan 1932 krisis mengamuk dengan hebatnya. Tak berapa bedanya
angka kurban krisis di Inggris itu dari pada 2 juta orang. Tanah luasnya hampir
1/6 maka bumi buat penduduk belum 1/44 jumlah penduduk dunia, yakni kalau buruh
Inggris dihitung sebagai bangsa tuan, tiadalah bisa meluputkan Inggris dari
marabahaya krisis.
Tahun
1929-1932! Dimasa tiga tahun itu sekalian ahli politik – ekonomi – sosial di
seluruh dunia memutar-mutar otaknya untuk mendapatkan sistem ekonomi yang
kiranya bisa menghindarkan krisis. Pada waktu ini di seluruh dunia hanyalah
satu negara yang terhindar dari krisis ialah negaranya proletar, Soviet Rusia.
Disana kaum pekerja memiliki mata pencaharian hidup dan mengatur hasil buat
keperluan bersama, bukanlah buat diperjual-belikan. Banyaknya hasil tiadalah
diombang-ambingkan oleh pedoman laba-rugi, melainkan ditetapkan oleh kebutuhan
pasti.
Pabrik
tidak ditutup karena untung kurang. Sebaliknya pabrik senantiasa kekurangan
tangan karena selalu saja meluas dan mendalam disebabkan pula oleh kenaikan
takaran-hidup (standard of life) setahun demi setahun.
Dengan
mulut dunia kapitalisme mencela politik dan sistemnya Soviet. Tetapi dalam
kalbunya mereka cemburu akan keamanan dan kemajuan Rusia.
Mereka
sama tertarik oleh rencana ekonomi. Baik negara fasis ataupun demokrasi mencoba
mengadakan rencana dan menjalankan rencana ekonomi. Mereka gagal lantaran
pertentangan hebat di antara satu negara kapitalis dengan negara kapitalis
lainnya.
Marilah
sekarang kita tinjau keadaan di negeri Jerman! Kita kenal orang Jerman pukul
rata, orang yang pintar, berani, kuat dan rajin. Tetapi dia kalah perang 1914 –
1918! Kalau satu negara kalah perang maka ia mesti tunduk pada undang-undang
perang. Jerman diharuskan membayar hutang kepada yang menang ialah Inggris,
Perancis dan Amerika. Panjangnya angka hutang itu barangkali dari Purwokerto
ini sampai ke Bogor.
Tanya
Jerman: “Dengan apa akan saya bayar hutang itu?” Kita tahu bahwa kereta-api dan
kapal Jerman di sita oleh musuhnya. Uang kertas Jerman amatlah merosot
harganya. Musuhnya tentu tak mau menerima kertas Jerman yang tak berharga di
luar negaranya itu.
Apakah
boleh Jerman membayar hutangnya dengan barang?
Inipun
tiada mungkin dilakukan dengan tidak banyak menderita bermacam halangan. Besi
buat bahan tak cukup di Jerman. Minyak tanah cuma bisa disaring dari arang
saja. Timah, kapas, getah, dan lain-lain tak ada pula. Semuanya ini di pasarnya
“si Haves” ada bertimbun-timbun. Tetapi bahan ini tidak bsia dibeli dengan uang
kertas Jerman. Jerman bisa beli dengan jual barang pabriknya tetapi barang
pabrik ini membutuhkan bahan pula. Demikianlah persoalan berputar-putar saja
dari ujung ke pangkal. Si Haves sebenarnya tak sudi memberi kelonggaran kepada
Jerman yang mencari barang bahan di jajahannya itu. Mereka takut akan barang
Jerman. Takut akan persaingan barang Jerman yang murah dan baik itu. Bukankah
kacau dunia semacam itu? Jerman disuruh membayar hutang. Dengan uang tidak bisa
dibayar dan dengan barangpun tidak. Sedangkan yang berpiutang terus menagihnya.
Inilah
yang membikin dunia kacau sesudahnya perang dunia ke I. Pokok kekacauan itu
terdapat dalam Perjanjian Versailles. Dalam Perjanjian inilah seluruhnya Rakyat
Jerman yang dengan Austria 80 juta itu diharuskan membayar hutang perang,
pengganggu keamanan dunia dan oleh sebab itu diharuskan membayar hutang,
dilucuti senjatanya dan ditindas gerak politiknya. Tiadalah kita mau dan bisa mendalamkan
persoalan salah atau benarnya Jerman terhadap perang dunia ke I itu.
Cuma
kita mau kemukakan, bahwa keadaan di Jerman itu memberi kesempatan kepada
seorang pemimpin ber-kaliber Hitler dan satu partai bercorak Nazi. Nama Hitler
mulai didengar semenjak tahun 1922, ketika krisis Jerman sedang memuncak.
Bagaimana Hitler mengadakan organisasi dan merebut kekuasaan bulat tiadalah
perlu kita uraikan disini. Cuma kita tahu bahwa Hitler dan partainya cukup
mendapat kekuatan buat membentuk Jerman-Nazi yang akan melakukan politik
kontra-revolusioner terhadap ke dalam Jerman dan politik imperialisme terhadap
ke luar. Yang akan kita kemukakan disini ialah kekuasaan penuh dan kepercayaan
penuh dari pada rakyat buat suatu pemerintah.
Kalau
satu negara belum mempunyai kekuasaan penuh dan kepercayaan penuh dari pihak
rakyat, maka pemerintah itu akan mudah saja diobrak-abrik dari luar ataupun
dari dalam. Kita tidak memuji aturan fasisme Jerman itu. Kita hanya memajukan
satu bukti betapa hebatnya kekuatan rakyat itu di bawah pimpinan yang mendapat
kepercayaan penuh serta kekuasaan penuh dari rakyatnya. Marilah sebentar kita
arahkan uraian kita terhadap ekonomi Jerman di bawah pimpinan partai Nazi. Yang
menjadi alternatif (pilihan) dalam ekonomi Jerman di masa itu, ialah: kalau
gaji buruh naik maka harga barang, hasil pabrik tidak bisa bersaingan di pasar
luar negeri; kalau gaji buruh diturunkan maka jumlah gaji buruh yang sudah
turun itu tak bisa menghabiskan hasil pabrik dalam negara. Padahal Jerman harus
menjual barang ke luar negara untuk dapat membeli bahan mentah. Sedangkan dalam
perdagangan bahan-bahan mentah ini Inggris yang berkuasa, tapi ia yang enggan
menolong Jerman. Itulah artinya berkoloni, itulah pula enaknya orang mempunyai
jajahan! Tetapi tidak enak bagi yang lain.
Maka
sebab itu dunia terus cekcok saja!
Sekarang
kalau gaji yang diturunkan, maka pasar dalam negeri yang menjadi kurus. Sebab,
dalam negeri kapitalis tulen seperti Jerman adalah lebih kurang ¾ dari pada
jumlah kaum buruh yang hidup dari gajinya.
Maka
bagaimana mereka itu bisa membeli, kalau gajinya semakin diturunkan? Jadi:
kemari salah, kesana salah!
Orang
Jerman mencoba memutar-mutar roda ekonomi dan memutar-mutar otaknya. Tetapi
terpaksa juga kembali kepada pokok – pangkalnya soal: haves dan haves-not. Yang
dipikirkan Jerman cuma: Kita mesti punya koloni! Mendapatkan koloni dengan
politik curang, dengan merebut, dengan mendesak, kita orang Indonesia tidak
setuju. Dengan Jerman tak setuju, dengan Inggris dengan seiya apapun tidak!
Tetapi menurut hemat kita yang membawa Jerman ke arah politik-perang itu tak
lain dan tak bukan karena dunia mesti terbagi atas “haves” dan “haves-nots”
itulah! Lantaran masih ada negara yang satu dua biji warganya mesti di layani
oleh ½ juta budak putih dan hitam.
Alat
peranglah dibikin Jerman. Kita masih ingat kapal Jerman yang hebat. Tank
raksasa, kapal selam, meriam! Semua itu Jerman bikin, bikin!
Kaum
buruh bekerja lagi. Mereka jalan terus, sampai tahun 1939. dalam 7 tahun Jerman
hidup kembali. Kembali seperti sediakala malah lebih hebat. Mau apa sekarang
dengan kapal selam dan alat perang lain-lainnya itu? Jawab: perang! Senjata
ada, kemauan ada. Jangan sekarang orang menyalahkan bangsa ini, bangsa itu;
keadaan ekonomi, itulah yang menjadi pangkal segala-galanya itu.
Semua
itu dimulai dari tahun 1932. Dalam tahun itu Jerman mulai menjadi fasis. Ia
menghendaki produksi, ia membutuhkan besi, minyak, ia berkehendak menghasilkan
kain, oto, mesin; mesin yang dapat menghasilkan mesin ….. Tetapi, jika tidak
ada pasarnya, bagi hasil produksi itu, tak ada gunanya. Semua hal inilah yang
membawa kita ke pintu gerbangnya perang dunia ke II.
Hitler
ada mempunyai sahabat karib di Selatan. Namanya Mussolini dan nama negaranya
Italia.
Dalam
beberapa hal Mussolini lebih pintar dari pada Hitler. Malah dia gurunya Hitler.
Tetapi Italia jauh lebih miskin dari pada Jerman. Italia tak mempunyai bahan
seperti arang, besi, minyak tanah, timah, kapas, karet dan lain-lain. Sistem
ekonomi hampir seperti Jerman juga.
Hasil
pabriknya sudah mempunyai melimpah. Tetapi pasar tak ada buat membeli bahan dan
menjual barang pabrik. Dia incerkan matanya dan tujukan meriamnya ke Abessinia.
Dia tahu adanya Volken bond. Tetapi dia tahu Volkenbond itu tak berkuasa.
Mussolini tidak memperdulikan Volkendbond itu!
Sekarang
ada juga badan yang mirib dengan Volkenbond itu, yaitu United Nations. Orang
belum tahu lagi bagaimana kelak badan itu.
Uraian
di atas ini bukan agitasi, hendaklah orang membaca dengan tenang uraian ini.
Uraian mengenai soal: Apa obat krisis itu? Apa obat krisis Jerman? Apakah kelak
United Nations, ialah penjelmaan Alamarhum Volkenbond itu kelak bisa
menyelesaikan krisis dunia sekarang?
Yang
ikut salah dalam semuanya itu ialah: the biggest of all, negara yang terbesar
dari dalam segala itu, Amerika. Negara itu juga disebut orang: country of the
free, negara merdeka! Kalau 11 juta pekerja dikeluarkan dari pabrik (karena
krisis): merdeka! Kalau berkeliaran di jalan raya dan pasar perburuhan itu
artinya: merdeka!
Kalau
ada warga negara yang di –“Lynch” (disiksa): merdeka! Memang country of
freedom, negara merdeka, dengan 11 juta kaum buruh yang menganggur tetap,
merdeka mondar-mandir kesna sini menawarkan tenaganya kepada mereka yang
merdeka pula menetukan apa akan dibeli apa tidak. Sedang dalam negeri itu
gandum yang ditanam, dipotong, diangkut, diirik dengan tractor bertimbun-timbun
banyaknya, tetapi bertimbun-timbun pula yang lapar, yang tak berbaju,
berkeliaran mencari kerja dan syarat hidup.
Jadi
bagaimana sekarang dikumpulkan orang-orang yang cerdik pandai,
profesor-profesor. Mereka mengadakan “braintrust”, kumpulan otak dari pada
orang yang pandai-pandai. Memang Roosevelt adalah orang besar dalam dunia
demokrasi. Ia menyerukan New Deal, perubahan baru. Sebelumnya Roosevelt tampil
ke muka maka kalau petani kebanyakan gandum semboyannya: bakar! Atau buang
dalam laut! kain telah banyak: bakar saja! Mendapatkan barang baru, pun menjadi
barang melimpah, tak berguna. Pendapatan yang baru itu dapat menggunakan kaum
buruh yang lebih sedikit jumlahnya. Lantaran itu maka terpaksalah pula kaum
buruh disusutkan. Jadi pendapatan baru itu tidak dijalankan, karena keadaan
akan bertambah jelek. Akan lebih banyak lagi yang masuk partai seperti komunis,
dan sebagainya; akan bertambah yang melawan undang-undang negeri! Itu durhaka!
Jadi supaya jiwa orang jangan sesat, supaya lebih banyak yang masuk gereja,
supaya banyak yang pergi ke tempat moralis, maka pendapatan tidak dijalankan.
Rencana pendapatan baru itu dibeli oleh kapitalis yang tak suka memakainya buat
dipendam atau dibakar. Begitulah nasibnya negara kapitalis yang terbesar. Satu
peristiwa yang mengandung kemajuan itu dianggap sebagai musuh.
Tetapi
adalah orang yang bisa mendapat cara untuk memakai hasil dengan tidak susah
membuang, membakar dan sebagainya?
Roosevelt
pikir dia bisa. Bank sekarang banyak yang bangkrut tak sanggup membayar
hutangnya lantaran krisis. Pinjami atau kasih uang banyak kata Roosevelt. Kasih
kredit banyak-banyak kepada kaum tani membayar hutang juga. Akibatnya: gandum
ada lagi. Kasih kredit kepada yang punya pabrik yang sudah bankrut dan ditutup.
Pabrik jalan lagi, hasil bertambah-tambah. Tetapi: ada yang penting lagi,
bagaimana menjualnya? Orang 11 juta yang menganggur tak beruang buat membeli keperluannya.
Karena itupun dikasih kredit juga. Bangunan “umum” disuruh bikin banyak-banyak.
Ratusan ribu kaum buruh mendapat pekerjaan. Akbatnya: roda ekonomi mulai
berputar perlahan-lahan. Pabrik-pabrik yang baru disuruh buka. Jalan-jalan raya
baru disuruh bikin, pabrik terbuka, buruh bekerja, mendapat gaji dan bisa
membeli barang. Hasil pabrik yang dikirim ke pasar mendapatkan cukup pembeli.
Pabrik dan pasar bergandengan kembali.
Tetapi
ada pabrik yang dibantu oleh pemerintah Roosevelt menjadi saingannya pabrik
kapitalis perseorangan. Kapitalis ini atau itu menuduh Roosevelt menjalankan
politik sosialistis. Buat menghindarkan persaingan dengan kapitalis
perseorangan, Roosevelt terpaksa lari dari lapangan bangunan umum saja.
Seperti
jalan raya, kebun, kanal, tanah lapang dan sebagainya. Tetapi akhirnya sampai
juga kepada jalan buntu.
Benar
jalan-jalan raya dapat disuruh bikin sampai ke Utara Amerika. Tetapi pabrik dan
perekonomian seluruhnya goyang lagi. Hasil mulai baik dan terus melimpah pula.
Dimana sekarang Roosevelt mendapat teman! Ini lucu: orang yang selama ini
dianggap demokrat sebenarnya mendapat teman seorang fasis ialah Hitler, Begini:
si fasis sadar ada alat perang dan mulai menyerang Polandia, Denmark ……….
Sampai Inggris. Inggris tentu tidak dapat membikin alat-alat perang sendiri
sebanyak-banyaknya karena diserang Jerman. Jadi pabrik senjata Amerika dibuka
lagi. Industri perang jalan lagi. Betul dalam hakekatnya fasisme cerobohlah
yang meneruskan berputarnya ekonomi Amerika. Pada fasisme Jermanlah sebenarnya
kaum kapitalis Amerika berterima kasih karena lantaran perang anti-fasislah
roda ekonomi Amerika bisa jalan. Tetapi sesuatu kebenaran itu tak selalu bisa
diakui berterang-terangan.
Begitulah
keadaan Amerika. Negara yang “the biggest of all” itu sampai pecahan perang
dunia ke II.
Bagaimanakah
sejarahnya satu Badan Internasional, ialah Volkenbond yang maksudnya bermula
ialah menyelesaikan perselisihan antara negara dan negara di dunia dan dengan
begitu menghindarkan peperangan? Sekejap akan kita tinjau! Kita ingin tahu bisa
atau tidakkah badan ini mengobati krisis dunia. Nama Volkenbond tak bisa
dipisahkan dengan nama Wilson, Presiden Amerika di masa Perang dunia ke I.
Nama
Wilson itu tak pula boleh dipisahkan dengan semboyan “self-determination”.
Semboyan ini mengakui hak sesuatu bangsa memilih pemerintahannya sendiri Wilson
juga diakui sebagai bapaknya Volkenbond itu sesuatu perselisihan mesti
diserahkan kepada satu majelis buat menentukan siapa yang salah dan siapa yang
benar. Yang salah akan dihukum (sanction) dengan pemboikotan. Belum sampai
orang ke tingkat mengadakan politik dunia buat menjalankan hukuman terhadap
Negara oleh Hakim Volkenbond dianggap salah itu. Tetapi memangnya sudah satu
kemajuan Internasional apabila Negara salah ceroboh itu benar-benar diboikot
perdagangannya.
Tetapi
apa yang sebenarnya terjadi? Presiden Wilson itu, yang di Eropa di puji-puji
orang, disambut orang dengan seruan “Hosanna-Hosanna” (Bahagialah!) seperti
terhadap Yesus Kristus, sekembalinya di Amerika oleh senate, Amerika tidak
dizinkan masuk Volkenbond. Negeri yang kuat, yang rajin, yang 5 juta mil
persegi luasnya “The Biggest of All” tidak dibolehkan oleh Parlemen Amerika
memasuki Volkenbond. Jadi yang masuk siapa? Inggris, Perancis, Spanyol dan
negeri-negeri kecil, plonco-plonco: Rumania, Belanda, Swedia, Norwegia. Inilah
yang kita maksudkan di atas tadi, kalau kita katakan, bahwa Amerika ikut salah.
Amerika memancarkan diri dari kekalutan dunia disebabkan Perjanjian Versailles.
Amerika tak mau tanggung jawab. Dia yang melakukan Volkenbond, tetapi sesudah
anaknya itu lahir, anak itu dilemparkannya. Anak itu dirobek-robek oleh macan
imperialisme Barat.
Bagaimanakah
kedudukan yang sebenarnya Negara kecil-kecil di Eropa itu? Negara-negara kecil
itu harus dibantu oleh Negara Besar. Mereka itu tak dapat berekonomi sendiri.
Dalam politik katanya Belanda itu “vrij” (merdeka), tetapi dalam ekonomi mesti
bergantung kepada Inggris. Begitu juga Portugis, Denmark dan lain-lain. Jadi:
ke dalam Eropa, Inggris membuat plonco dari negeri-negeri kecil. Terhadap ke
luar Eropa terhadap Asia dan Afrika, Inggris mengadakan jajahan dan
daerah-daerah yang di bawah pengaruhnya! Dari jajahan itu dapat diambilnya
macam-macam bahan mentah sebanyak-banyaknya seperti: besi, minyak, timah, kapas,
getah juga barang-barang makanan. Di koloni itu sendiri diadakan macam-macam
kebun, seperti kebun kopi, kebun gula. Barang bahan diangkut ke Eropa. Dengan
bahan itu di Eropa dibuat mesin, dan mesin yang menghasilkan berjenis-jenis
mesin pula. Sedangkan koloni itu cuma buat menghasilkan barang makanan, barang
bahan dan jadi pasaran hasil pabriknya saja.
Demikianlah
sekarang terhadap dua macam pool: pada satu pool terdapat kemewahan,
bermacam-macam ahli dalam segala lapangan pengetahuan; sedangkan pada pool
lainnya terdapat kemiskinan, kebodohan. Maka bangunlah sekarang seorang poet
(penyair) yang kesohor, Rudyard Kipling, dengan seruannya: "West is West
and East is East, and never the twain shall meet” (Barat itu Barat, dan Timur
itu Timur, dan dua-duanya itu tak akan pernah mendapatkan persesuaian). Memang
begitu, yang satu main golf, yang lain disuruh jadi budaknya, disuruh membawa
tongkat golf.
Permainan
apa golf itu? Sebenarnya permainan orang yang malas! Di Singapura kantor
Inggris besar. Yang tampak ada di luar ialah opas-opas bangsa Indonesia.
Sesudah melewati beberapa kamar maka barulah berjumpakan dewa pegawai Inggris
yang berada jauh di dalam. Begitulah keadan di dunia! Tidak mengherankan,
karena si Haves di bawah pimpinan Inggris, yang memecah-belah. Negeri yang
besar-besar, seperti Perancis, Russia, atau Jerman diadunya satu sama lain.
Kalau Perancis kuat di Eropa, maka Inggris dengan tangan sembunyi membantu
Jerman. Kalau sebaliknya Jerman menjadi kuat, maka Inggris membantu Perancis.
Sedangkan negara kecil-kecil selalu menjadi permainan diplomasi dan
dikantonginya!
Asia
dan Afrika selalu dikangkanginya!
Bagaimana
nasib dunia seluruhnya kalau yang satu punya banyak, yang lain tak punya
apa-apa? Tentu yang tak punya tersembunyi atau terbuka menentang yang punya.
Untuk mengadakan imbangan dalam kekuatan, yang disebut Balance of Power, di
bentuk lasykar jajahan, terdiri dari Gurkha dan sebagainya. Dengan memecah
belah dan mengadu dombakan Eropa, mengadu dombakan dan mengangkangi Asia dan
Afrika serta membentuk Tentara Gurkha, Inggris mencoba meneruskan
“imperialisme”-nya.
Maka
masa 1918 – 1939 itu adalah sebenarnya ‘gewapende – vrede” saja, damai
bersenjata, selalu siap – sedia. Syahdan pada waktu 1939 itu Jerman telah
kembali pula seperti sedia kala (tahun 1914). Senjata sudah ada pula
berlebih-lebihan. Orang dan serdadu sudah banyak siap sedia pula.
Sedikit
tentang strategi. Buat kita perkara ini penting sekali. Strategi itu ada dua
macam.
Yang
pertama ialah gerak-cepat. Yang kedua ialah mundur maju. Jerman punya strategi
gerak-cepat, menurut sistem Napoleon. Kumpulkan tenaga sebanyak mungkin, dan
sekonyong-konyong serbu, pecahkan dia punya garis yang lemah, kepung, hancurkan
satu-satu pecahan itu. Inilah sistem yang dicocoki oleh Nazi.
Ahli
siasat perang Jerman, seperti Von Berhardi dan Ludendorff juga bersandar atas
siasat “gerak cepat” Di tangan para opsir Jerman, terutama bagian pemuda, sudah
seia buku “alan sprah Zarathustra” yang memuja “Uebermensch”, filsafatnya
Nietsche, filsafat imperialisme, filsafat menyerang, filsafat memuja satria
perang cocok dengan semangat Jerman-Nazi. Tetapi bagaimana bisa menyerbu
sekonyong-konytong, kalau peperangan modern menghendaki pengumuman (ultimatum)
perang lebih dahulu? Pada permainan bola, si Referee (pemisah) mesti tanya dulu
kepada kedua belah pihak apakah masing-masing sudah siap. Baru ditiup peluit
sebagai tanda pertandangan sudah boleh dimulai. Tiada boleh salah satu
kesebelasan menyerbu saja, sebelum peluit berbunyi. Begitu juga adat orang
bermain silat di Minangkabau. Rendah sekali dianggap lawan yang mencida
(mencedera), yakni menyerang dengan tak memaklumkan lebih dahulu. Begitupun
dalam perang modern, lawan itu mesti diperingati lebih dahulu, bahwa kalau ini
dan itu tak diperkenankan (ultimatum) maka peperangan akan dimulai pada tanggal
ini atau itu!
Sebaliknya
Inggris adalah pengikut muslihat mundur-maju. Semboyan Inggris ialah “siapa
tahan lama” (Ausduern) itulah yang bakal menang. Pada permulaan perang, Inggris
cuma mempertahankan diri saja. Sementara itu ia terus menyusun tentara, ekonomi
dan bantuan dari luar negaranya dengan diplomasi yang sudah terkenal itu.
Apabila dorongan (shock) itu yang pertama bisa ditahannya, maka pastilah pada
akhirnya Inggris akan menang. Hal ini terjadi terhadap Napoleon dan perang
dunia I dan ke II. Muslihat mundur-maju itu dengan jaya ratusan tahun lampau
dijalankan oleh Roma terhadap serangan Carthago di bawah pimpinan Hannibal yang
termasyhur itu. Muslihat itu membutuhkan tempo yang lama.
Ringkasnya
Hitler perlu tempo sedikit. Inggris mau main lama. Makin lama ditunggu makin
baik buat Inggris karena letaknya di seberang laut.
Industrinya
bisa dirubah menjadi industri perang. Para diplomatnya yang ulung bisa
dikerahkan buat mencari kawan.
Kawan
itu lebih mudah didapat, karena kebanyakan negara sudah tergabung pada
Volkenbond. Dalam Volkenbond ini Inggrislah yang memainkan biola dengan suara
paling tinggi.
Buat
Jerman Nazi, yang ingin mendapatkan putusan cepat di medan peperangan.,
perlulah ditilik kekuatan Volkenbond itu. Hitler dan Jerman Nazi sudah saksikan
bagaimana lemahnya Volkenbond terhadap Jepang ceroboh mencaplok Manchuria.
Lemah pula terhadap Mussolini, yang merampas Abessinia.
Jaya
atau gagalnya Volkendbond itu tergantung pada bisa atau tidaknya ia menjalankan
hukuman (sanction) terhadap negara ceroboh. Tetapi bagaimana si Ceroboh bisa
menghukum si Ceroboh? Inggris itu si Ceroboh juga! Semua jajahannya didapatnya
dengan jalan ceroboh semenjak 300 tahun yang lampau. Si Ceroboh Inggris
menghukum kecerobohan Jepang, Italia atau Jerman dalam hakekatnya akan berarti
menghukum kecerobohan diri sendiri. Harakiri itu bukanlah sifat imperialisme
Inggris. Pertentangan dalam diri sendiri, di antara para pemimpin Volkendbond
itulah yang sebenarnya menghancurkan Volkendbond itu.
Pertentangan
itu tergambar pada pembagian dunia kapitalis-kapitalis: the haves and the
have-nots. Berdiri atas pertentangan yang tak boleh didamaikan itu, maka
Volkenbond itu adalah satu badan yang menunggu ajalnya saja. Pertentangan dalam
Volkendbond itu memudahkan Jerman-Nazi menjalankan gerak-cepat. Dengan tidak
perlu menghiraukan Volkenbond itu, maka Jerman bertindak sendiri: Polandia
diserbu, perlawanannya patah dalam beberapa hari saja. Belanda melagakkan
waterlini-nya, tetapi perlawanan Belanda itu tidak sampai 80 tahun. Belanda
boleh berlagak bisa menukar perang 80 tahun yang selalu dibanggakannya itu
menjadi perang 80 jam …. Perancis diserang …. Kalah dalam tiga minggu saja,
inilah hasil muslihat gerak-cepat dan persiapan lama dan “gruadlich”
(sempurna). Tetapi Jerman sendiri akan dinamakan oleh kekuatan persiapannya
yang mesti grundlich itu. Dia tidak bisa menyesuaikan dirinya dengan cepat pada
keadaan baru, yang tiba-tiba datangnya seperti Napoleon.
Kemenangan
atas Perancis, yang lasykarnya dianggap terkuat di dunia itu rupanya melewati
perhitungan strategi Nazi. Kemenangan secepat itu membingungkan pemimpin
militer Nazi. Dengan gerak-cepat menyerang Inggris yang lemah di masa itu, dan
meninggalkan Perancis yang sebenarnya sudah menunggu knock-out saja boleh jadi
Jerman bisa merobohkan Inggris. Mungkin kemudian dengan Armada Jerman,
Perancis, Italia, Inggris, dan Jepang menyerbu ke Amerika yang belum siap itu.
Tetapi gerak-cepat zonder “persiapan grundlich” bukanlah sifatnya strategi
Jerman.
Tentara
Jerman akhirnya tertahan oleh Inggris, karena Inggris mendapat kesempatan 2
bulan buat bersiap. Terhambat di Inggris dan takut pada Beruang Merah, maka
tentara Nazi dengan sekonyong-konyong menyerang Soviet Russia. Tentara Nazi
hampir sampai ke Moskow. Di saat inilah Jepang dibujuk dengan tawaran membagi
dunia “kalau” menang. Jepang juga buntu di masa itu. Mesti pilih mati
perlahan-lahan disebabkan oleh gerilya Tiongkok dan pemboikotan ekonomi dari
pihak ABCD atau menerkam sebelum mati. Dia pilih yang terakhir. Jepang tidak
menunggu referee. Belum lagi ditiup peluit …. Armada Jepang ………. Goal di
Hawai.
Begitulah
keadaan internasional sampai perang dunia kedua. Kita tahu siapa kalah dan
siapa menang. Sekarang sudah damai, tetapi bagaimana sifat United Nations?
Apakah undang-undangnya dapat dijalankan? Apakah kita mesti menggantungkan diri
kita saja kepada United Nations itu?
Satu
aliran di antara kita adalah bersandarkan pada kekuasaan Armada Inggris-Amerika
di masa ini. Kekuasaan itu dianggap seolah-olah kekal, bulat, absolut. Saya
akui kekuasaan Inggris-Amerika itu di masa ini. Tetapi sebagai satu moment dan
penuh pertentangan pula. Seperti semua barang di dunia ini, kekuasaan inipun
adalah relatif, bisa berubah, tidak tetap, absolut. Perhatikan sajalah
perhubungan Amerika dan Inggris. Sekarang Inggris berhutang banyak. Apa Inggris
mau bayar begitu saja? Sesudah perang dunia ke I Inggris ingkar membayar penuh
hutangnya! Awasilah sikap Inggris terhadap hutangnya itu atau janjinya! Nyata
sudah Inggris mau menjajah Indonesia langsung atau dengan perantaraan Belanda.
Apakah Amerika, Tiongkok dan Rusia, apalagi Hindustan akan membiarkan Indonesia
dicaplok buat memperkuat imperialisme Inggris?
Siapakah
di antara mereka yang menang ingin damai bisa membiarkan berdiri terus dunia
“haves and Have-nots”? Ringkasnya antara Amerika dan Inggris tiadalah “koek en
ei” saja, perkoncoan tulen. Begitu juga antara Inggris dan Soviet Russia.
Perhatikanlah pertentangan Inggris dan Soviet di Eropa Barat di Asia Barat dan
Iran. Bisakah kekal perhubungan Rusia proletaris dengan Amerika kapitalistis?
Ringkasnya
Indonesia tak perlu bertekuk lutut begitu saja pada kekuasaan Amerika-Inggris
itu, karena semata-mata beralasan anggapan kebulatan dan ketetapan perserikatan
Amerika-Inggris itu. Janganlah pula berpangku tangan mengharap-harapkan bantuan
United Nations yang sekarang sesudah perang dunia ke II ini kembali menghadapi
persoalan seperti sesudah perang dunia ke I: Pembagian dunia atas yang kalah
dan yang menang masih ada. Pembagian atas “the haves” and haves nots” terus
menerus. Hutang masih perlu dibayar oleh yang kalah. Pertanyaan akan timbul
kembali: “Apakah yang kalah mesti bayar hutangnya dengan uang atau dengan
barang?” Dimana pasar buat bahan dan barang hasil untuk the have-nots”? Cuma si
have-nots bukan lagi 80 juta. Jerman termasuk Austria, tetapi bertambah dengan
40 juta bangsa Italia dan 70 juta bangsa Jepang. Jumlah 190 juta! Yang akan
dihadapi oleh United Nations, ialah persoalan lama sebagai pusaka sistem lama,
satu vicieuse cirkle, seperti “menghasta kain sarung saja”, tak putus-putusnya.
Sekarang
kita memandang ke Indonesia. Kita tahu bagaimana caranya Belanda mengusahakan
koloninya:
“God
schep den Mens naar zijn evenbeeld” (Tuhan menjadikan manusia menyerupai Dirinya).
Jadi sifat dan bentuknya perekonomian Belanda lebih kurang juga mempengaruhi
sifat dan bentuk perekonomian Indonesia.
Bermula
perlu dikemukakan disini, bahwa Negara Belanda itu berdasarkan pertanian dan
perdagangan. Yang dihasilkannya ialah keju, mentega dan bloemollen. Barang ini
dan hasil dari Indonesia diperdagangkannya dengan Negara luar. Bukanlah negara
Belanda itu satu negara perindustrian, seperti Belgia ataupun Swedia, Swiss
atau Ceko Slovakia.
Di
stasiun Manggarai saya lihat satu lokomotip. Dari jauh kelihatan tulisan pada
lokomotip tadi. Saya hampiri kelihatan tulisan “Amsterdam”. Saya tanya pada
diri saya sendiri: masakan bisa pabrik Belanda mengeluarkan lokomotip. Memang
disamping huruf Amsterdam tadi tertulis: “Made in Manchester”.
Selanjutnya
pula saya baca di-construct di Amsterdam. Cocok dengan mesin kapal atau mesin
lain-lainnya "Made in Chemnitz” atau Manchester tetapi di-construct alias
di pasang di negeri Belanda. Jadi Belanda cuma tukang pasang bagian mesin yang
dibikin di luar negaranya.
Kalau
diperiksa lebih dalam maka nyatalah bahwa Belanda itu tak bisa menjadi negara
Industri. Besi tak ada, minyak tak ada: Timah, Alumunium, tembaga, karet,
kapas, wol, ya segala-gala tidak. Yang banyak ialah rumput dan sapi. Dengan
begitu maka semangat Belanda bukanlah semangat industrialis. Semangatnya ialah
semangat tani dan dagang, ialah pegadang secara pegadang tulen, pegadang kecil,
bukan pula pedagang industrialis.
Sebab
itulah maka kalau imperialis Belanda memandang ke Indonesia maka ia mengincarkan
matanya sebagai petani dan pedagang, semangat perindustrian dan kemesinan
secara modern tentu tak ada dan tak bisa ada padanya. Apalagi kalau dipikir
bahwa penjajah Belanda itu merasa terpaut ole penjajah Inggris 100 tahun lampau
bukanlah Indonesia yang sudah direbut oleh Inggris dari Belanda itu di masa
perang Napoleon dikembalikannya kepada Belanda? Bukankah pula modal Inggris
banyak ditanam di Indonesia? Jadi Belanda terpaut oleh kapitalis Inggris.
Berhubung
dengan politik “opendeur” Belanda juga terpaut oleh Amerika. Belanda buka pintu
Indonesia buat masuknya kapital asing.
Tetapi
dengan begitu dia sendiri bersama-sama terturut oleh kapitalisme asing itu.
Belanda sudah tentu tak bisa mengadakan industri yang kiranya bertentangan
dengan industri Inggris dan Amerika. Belanda sudah tentu akan dapat teguran
dari Inggris, Amerika atau Industrinya Belanda yang ada di Holland sendiri.
Inilah
sebab kedua maka semangat perindustrian yang sudah tak ada pada Belanda itu tak
pula bisa muncul kalau Belanda berada di Indonesia.
Ada
pula sebab yang lain yang menekan semangat perindustrian itu. Kepintaran buat
membangunkan pabrik ini atau itu tentu bisa diperoleh Belanda dari luar
negaranya. Sendiri atau bersama dengan orang Indonesia dia bisa pergi ke Swiss
buat “mempelajari” membikin lokomotip atau Swedia mempelajari membikin mesin
Diesel, Ke Belgia atau Ceko Slovakia mempelajari membikin senjata. Memang
rakyat Swiss atau Swedia jauh lebih pintar dari rakyat Belanda tentangan
kemesinan. Kalau Belanda malu akan kebodohannya itu dia bisa pergi lebih dahulu
sebagai murid ke Swiss atau Swedia itu. Kemudian kembali diam-diam ke Indonesia
berlagak menjadi gurunya si Inlander. Tetapi keberatannya nanti ada pula. Si
Inlander ini seperti berbukti pada semua tingkatan sekolah, mungkin lebih
pintar dari Belanda itu. Dia mungkin lebih bisa membikin rencana perindustrian
atau mesin ini dan itu.
Ketika
monok Jepang sudah kelihatan penjajah Belanda terburu-buru mau mengadakan yang
dia katakan, “industrialisasi”. Dalam hal begitu Ter Poorten sendiri di
Australia mengakui bahwa pekerja Indonesia tak kurang dari pekerja manapun
juga, dalam beberapa hal katanya, bahkan melebihi. Sebab pekerja Indonesia
mempunyai sejarah ratusan tahun dan hatinya tetap tenang terikat pada kerjanya.
Dengan pekerjaan otak dan tangan yang siap sedia semacam itu, dengan bahan yang
ada melimpah di Indonesia ini, bukanlah bangsa Indonesia sendiri kelak bisa
membangunkan dan ngurus perindustrian modern?
Tetapi
bukankah pula dengan begitu penjajah Belanda menaruh sak wasangka kelak akan
jatuh sendirinya? Ratusan tahun dahulu seorang ahli politik Italia, Machiavalli
yang terkenal sudah mengatakan:
Barang
siapa mengangkat orang lain dia sendiri merendahkan dirinya. Pepatah semacam
ini memang benar kalau dipandang dengan mata miring dan hati sempit! Bagaimana
juga pepatah ini cocok dengan semangat Belanda yang terkenal ialah semangat
“kruindenier”, tauke kecil!
Lantaran
tiga sebab tersebut di ataslah maka Indonesia sesudah 350 tahun diperintahi
Belanda tetap tinggal satu jajahan berdasarkan pertanian belaka. Kita ulang
lagi: pertama sebab semangatnya penjajah Belanda sendiri, bukanlah semangat
industrialis, kedua takut dimarahi boss-nya ialah Inggris-Amerika dan ketiga
karena momok Machiavelli tadi, ialah takut nanti disingkirkan oleh rakyat
Indonesia tadi.
Dicocokkan
dengan keadaan Belanda sendiri, perekonomian dan semangatnya Belanda sendiri,
disesuaikan dengan bumi iklim Indonesia sendiri memangnya pertanianlah yang
oleh imperialisme Belanda mesti dijadikan sendi perekonomian Indonesia. Disana
sini bisa dibangunkan tambang ini atau itu asal saja kelak jangan bertentangan
dengan keperluan boss-nya Belanda di London atau New York.
Tambang
minyak tanah itu asal dikuasai atau diawasi oleh Amerika-Inggris tiadalah berkeberatan.
Tambang
timah, emas, bauxit dan arang, asal tinggal tambang saja tak mengandung bahaya
pada Inggris-Amerika. Asal saja musuhnya Inggris-Amerika itu seperti
kapitalisme Jerman, Jepang bisa disingkirkan.
Perhatian
Belanda dipusatkan kepada pertanian. Pertanian ini dibikin secara modern dan
besar-besaran. Kebun dan pabrik teh, kopi, gula, kina, getah dan sebagainya,
sudah amat dikenal di seluruh dunia. Hasilnya membanjiri dunia dan untungnyapun
membanjiri kantongnya kapitalis Belanda yang tinggal lebih dari 10.000 km
jaraknya itu. Untung, dividen dan bunga buat si Kapitalis, gaji ongkos perlop
dan pensiun buat bujangnya kapitalis, alias “bestuur-ambtenaaren” dan pentolnya
si Kapitalis berupa polisi dan serdadu masyhur besarnya di pelosok dunia ini.
Dibandingkan
dengan gajinya Presiden Amerika yang terkaya itu apalagi dengan gajinya satu
menteri Jepang, maka gajinya G.G. Indonesia adalah “omgekeerd evenredig”
(perbandingan berbalik) dengan jasanya terhadap rakyat. F 450.000.000 se tahun
mengalir kekantongnya Belanda buat diperbungakan di luar negara Belanda,
seperti Amerika dan ……. Jerman Nazi.
Landbouw-industrilah
puncak kesanggupan imperialisme Belanda di Indonesia ini. Mudah
menyelenggarakan penghasilan semacam itu. Besar pula untungnya. Sesudah itu tiga
bulan saja tebu itu sudah boleh dipotong dan digiling. Hasilnya dikirim ke
semua pelosok dunia dengan perantaraan Bank, perkapalan atau asuransi Belanda.
Cocok dengan semangat tani dan saudagar yang ada pada Belanda. Sisanya dimakan
sendiri!
Satu
perkataan yang menggelikan seorang Amerika, ialah perkataan
"rijsttafel". Kata si Amerika tadi, pertanyaan yang penting buat
seorang Belanda di Indonesia ialah “heb je al gerijstaafeld”? Si Amerika tadi
sudah pernah diundang buat satu “rijttafel” yang mengatasi semua kemewahan.
Daftar
makanan yang panjang, meja yang penuh berupa jenis makanan dan minuman, leret
jongos yang panjang pula buat melayani, lebih menggelikan si Amerika tadi dari
pada menggembirakan. Pada kemewahan dalam makanan inilah si Amerika tadi mendapatkan
pecahan soal yang sudah lama tercantum dalam hatinya. Soal itu ialah: Dari mana
timbulnya “stille kracht” di antara Belanda sendiri? Si Amerika tadi
berpendapat, bahwa kalau orang makan terlampau banyak, maka kupingnya bisa
ngelamun mendengarkan yang tidak-tidak. Tidurnya bermimpikan hantu atau setan.
Seperti
si Imperialis Inggris “membunuh” temponya dengan main golf, maka si penjajah
Belanda menghabiskan waktunya dengan ‘rijsttafel”. Sesudah melayani
bermacam-macam hidangan dari sop sampai opor, maka ia berhadapan dengan
berjenis-jenis buah-buahan. Apabila sedikit sudah jauh malam, maka sampailah
temponya buat si Bediende menghidangkan teh, kopi, bier, sampai
schiedammer-nya. Kecuali “Schiedammer” semuanya bisa dibikin di Indonesia.
Pabrik schiedammer pun tak usah didirikan!
Meninjau
kita ke persiapan bahan di Indonesia. Menurut pemeriksaan Ir. Abendanon, di
waktu perang dunia ke I, maka Sulawesi Tengah banyak mengandung besi. Pun pulau
Kalimantan sebelah Timur begitu juga. Logam campuran seperti timah, aluminium
dan bauxit banyak sekali didapat. Kwaliteitnya tinggi pula. Ir. Abendanon
membandingkan besi Sulawesi dan Kalimantan tadi dengan besi di Philipina dan
Cuba yang kesohor itu. Kemenangan banyak terletak pada besi Indonesia itu. Buat
kodrat pergerakan di Sulawesi bisa dipakai listrik air mancur yang turun dari
Danau Towuti. Buat Kalimantan kodrat penggerak itu boleh ditimbulkan dari arang
yang luar biasa banyaknya di dekat tanah logam besi itu. Pekerja mudah pula
didatangkan dari Jawa.
Jadi
menurut persiapan bahan dan tenaga yang ada di Indonesia, maka sepatutnyalah
Indonesia mempunyai perindustrian berat dan enteng.
Cuma
tempo yang dibutuhkan buat pelajaran dan pengalaman. Kalau Amerika bisa melebur
“Majola steel” dari logam-besi yang diperolehnya di Kuba, kenapa Indonesia tak
sanggup mengeluarkan “Towuti steel”? Kalau Amerika mengeluarkan “Ford motor”
dan lain-lain kenapa Indonesia tak akan bisa mengeluarkan “Soetomo-Motor”,
umpamanya? Cuma tempo yang dibutuhkan dan ….. kesempatan! Kesempatan tempo
itulah yang tidak bisa diizinkan kepada rakyat Indonesia. Oleh penjajah Belanda
tidak, karena semangatnya dan kesanggupannya tak ada. Lagi pula karena takutnya
sama momok Machiavelli, dan takutnya pada boss-nya Inggris-Amerika. Inggris
akan marah, karena takut besi manchester atau Baja Sheffildnya akan mendapat
persaingan besar dari besi-baja Indonesia.
Amerika
akan melotot matanya sebab Majola-steelnya akan mendapat persaingan hebat dari
Towuti-steel tadi. Ford-motornya lambat laun akan mati kutu oleh
“Soetomo-motor” yang mendapatkan bahan melimpah-ruah di Indonesia ini, seperti
besi, alumunium, timah dan …. getah. Selainnya dari pada itu tenaga yang murah,
cakap dan rajin tak sering mogok, kodrat penggerak yang dekat dan murah ialah
bensin. Di lenakkan oleh “rijstafel” dan ditakuti oleh “boss” Inggris-Amerika
tak mengherankan, kalau besi Indonesia tinggal terpendam saja. Tak pula
mengherankan kita akan kebodohan bangsa asing menghasilkannya, ialah bensin
karena katanya “waardeloos”, tak berharga. Bensin yang berharga sekali buat
penerbangan yang terutama didapat di Palembang itu, lama sekali terpendam dan
perusahaan minyak tanah di sekitar bensin itupun tak bisa diusahakan “van wege
de waardeloze benzine” tadi itulah.
Camkanlah
“kebodohan” imperialisme Belanda itu! Kita memang tidak ingin menghina.
Perkataan itu tidak akan kita keluarkan dari mulut kita, kalau tidak mengenal
hidup dan keamanan kita yang 70 juta. Belanda yang katanya merasa mempunyai
ikhlas, mesti lebih dahulu mengadakan zelf-corektie.
Selainnya,
dari pada keinginan hendak memajukan rakyat Indonesia itu, Belanda pemimpin
Indonesia itu, haruslah lebih dahulu memeriksa kesanggupannya buat memimpin
itu. Bukankah satu pemimpin itu yang pertama sekali mesti mempunyai sifat
“verzienheid” ialah kesanggupan memandang ke depan. Dengan begitu bisa
mengadakan payung sebelum hujan. 8 Maret 1942 memberi bukti senyata-nyatanya
bahwa sifat itu sama sekali tak ada pada pemimpin Belanda.
Apakah
pengalaman 350 tahun belum cukup lagi buat kita rakyat Indonesia yang 70 juta
ini akan sekali lagi diserahkan kepada macan kalah, kelak akan kembali dipimpin
oleh “kruidenier” dari Belanda?
Bagaimanakah
keadaan perekonomian bumi-putera di Indonesia? Buat mendalamkan arti penerangan
kita marilah sebentar kita menengok ke luar Indonesia ke Hindustan umpamanya.
Walaupun
imperialisme Inggris sudah kita kenal rakus dan galak, tetapi namun
perindustrian bumi-putera di Hindustan bisa juga timbul tumbuh. Maskapai
bumi-putera yang terkenal ialah Maskapai-Tata di Hindustan, sudah cukup
mendalam dan meluas, sudah cukup terpusat.
Maskapai-Tata
di Hindustan, mempunyai tambang arang dan tambang besi sendiri. Dia sudah bisa
membikin baja dan besi. Malah sudah bisa membikin kereta dan mesin. Maskapai
Tata juga meliputi perusahaan listerik di seluruh Hindustan. Semua perusahaan
sudah dipusatkan pada Bank-Tata yang kokoh kuat.
Pendeknya
perindustrian bumi-putera sudah sampai ke tingkat yang tinggi sekali, sudah
nasional cocok dengan aliran zaman.
Tetapi
bagaimanakah keadaan perindustrian bumi putera Indonesia?
Kita
di Indonesia sudah bangga dengan pabrik rokok kretek. Memang pabrik rokok
kretek itu sudah mempunyai modal besar. Pekerjanya sudah sampai ribuan. Pabrik
rokok itu baik buat mengepul-ngepulkan asap ke udara. Tetapi letaknya terpencar-pencar
belum disatukan oleh Bank Nasional. Pabrik atau perindustrian bumi-putera yang
meliputi seluruhnya Indonesia, seperti Maskapai Tata di Hindustan itu belum
kelihatan tunasnya.
Semangat
kapitalis bumi-putera juga bukan semangat kapitalis modern. Untung yang
diperoleh itu tiadalah selalu terus-menerus, melainkan ditukarkan dengan emas
atau perak.
Rupanya
kapitalis kita belum berapa bedanya dengan kapitalis yang lokek-kedekut. Kita
ingat akan ceritanya seorang lokek-kedekut itu, bernama harpagen, karangan
kokiere yang terkenal itu. Seperti si Harpagen itu kapitalis kita
mengumpul-ngumpulkan emas atau perak. Malam hari dalam waktu sunyi
dideringkannya emas itu ke telinganya. Inilah rupanya kesenangannya ialah
mendengarkan deringan uang emas di telinganya.
Matanya
dilipurnya dengan uang perak atau tembaga yang ditempelkannya ke dinding atau
rumahnya. Memajukan perindustrian itu supaya sampai ke industri berat dan
nasional, belumlah termasuk ke dalam sikap dan tindakannya kapitalis
bumi-putera.
Memang
susah buat membangunkan perindustrian bumi-putera di abad ke 20 ini. Kerajinan
setingkat manifactur, seperti berada di pintu gerbangnya zaman industri di
Eropa, seperti kerajinan pertenunan, pemintalan, pembikin perkakas dan senjata,
pembikin alat rumah dan sebagainya terlanjur lenyap disaingi oleh barang hasil
pabrik Eropa selama penjajahan Belanda.
Perkapalan
bumi-putera Indonesia itu mati terpukul oleh politik monopolinya imperialisme.
Sedikit sekali sisa perekonomian yang berarti modal dan majikan yang bsia
menahan tamparan. Imperialisme yang berupa monopoli, kulturstelsel dan
vrijhandel itu. Sisa itu tak cukup kuat buat bangun kembali di abad ke 20
melawan kapitalisme modern. Maka kapitalisme modern ini sudah terpusat pada
Badan seperti syndicaat dan ondernemersbond. Keduanya mendapat tunjangan
politik yang sepenuhnya dari semua Departemen pemerintah Belanda di Jakarta dan
dari sarang Birokrasi yang terkenal bersama Algemene Secretaris.
Borjuis
berupa kapitalis aktif, modern, memang belum ada di Indonesia! Hal ini
merugikan tetapi ada pula menguntungkan kita. Karena tak ada kelas-tengah yang
kuat maka Murba Indonesia tak banyak mendapat rintangan buat mengadakan
“tindakan-sosialis”. Keadaan ini tak berapa bedanya dengan keadaan di Russia
sebelumnya Revolusi Bolsyewik. Kaum tengah Russia tak berdaya melawan persatuan
buruh dan tani yang sangat revolusioner tersusun dan terdisiplin itu.
Lantaran
tak ada perindustrian bumi-putera yang modern serta kokoh kuat itu, maka
intelligensia Indonesia selalu saja diombang-ambingkan oleh haluan radikal atau
moderate, revolusioner atau evolusioner, keras atau lembek, coorperasi atau
non-coorperasi. Lebih dari 20 tahun lampau haluan terpelajar kita yang
terombang ambing itu sudah saya peringatkan.
Saya
sudah peringatkan pula dalam beberapa brosure bahwa baik politik cooperasi atau
non-cooperasi di Indonesia kita ini niscaya akan gagal.
Memang
di Hindustan haluan non-cooperasi bisa sedikit membawa hasil. Pemboikotan
barang pabrik Inggris yang dimasukkan ke Hindustan itu bisa dilaksanakan.
Karena Bombay dan Ahmedabad bisa mengadakan sebagian dari barang yang
dibutuhkan oleh Rakyat Hindustan yang hampir 400 juta itu:
Kain
umpamanya. Perusahaan memintal benang dan menenun kain yang dilakukan di rumah
atas anjuran Kongres itu, bisa memenuhi sebagian dari yang kurang. Jadi
pemboikotan barang Inggris itu memang menguntungkan perusahaan bumi-putera yang
sudah tinggi derajatnya itu.
Karena
itu tiadalah mengherankan kalau Kongres Hindustan mendapat sokongan uang dan
politik dari Hartawan Hindustan.
Bukanlah
begitu keadaan di Indonesia. Tingkat perindustrian bumi-putera dan persatuan di
antara kaum-tengah Indonesia belum cukup kuat buat mengadakan pemboikotan
terhadap perindustrian Barat di Indonesia yang sudah sampai ke tingkat monopoli
dan trust yang modern yang bersifat Internasional pula. Kapiltaisme asing di
Indonesia sudah mempunyai organisasi seperti Suikersyndicaat, BPM,
Ondernemersbond dan sebagainya. Semuanya badan yang bersifat monopoli ini
mempunyai pengaruh yang besar sekali atas haluan dan jalannya politik jajahan
di Indonesia. Tak mungkin perindustrian tengah bumi-putera yang cerai-berai itu
yang dipimpin oleh intelligensia yang serba bimbang itu bisa melawan trust dan
monopoli asing yang mendapat bantuan penuh dari birokrasi jajahan pula.
Haluan
non-cooperasi di Indonesia itu juga tak pernah bisa mengadakan aksi seperti
pemboikotan Tiongkok atau non-cooperasi di Hindustan.
Begitu
juga hasil pekerjaan cooperasi di Volksraad tak ada sama sekali. Tak ada hasil
yang nyata (positif) yang direbut oleh wakil bumi-putera dalam Volksraad itu.
Dalam politik, ekonomi dan sosial Indonesia sebagai jajahan belum lagi sampai
ke tingkat yang paling bawah. Di antara 61 anggota itu cuma dua tiga anggota
bumi-putera yang betul-betul mewakili rakyat.
Seandainya
61 anggota itu semuanya bumi-putera, mereka tak akan bisa membikin
undang-undang yang merugikan kapital internasional di Indonesia.
Seandainya
mereka bisa membikin undang-undang mereka tak pula akan diizinkan oleh kapital
internasional menjalankan undang-undang yang merugikan kapital internasional
itu. Di belakang Volksraad berada tentara Belanda. Di belakang tentara Belanda
ada pula bantuan kapital internasional tadi. Tetapi Volksradd sama sekali belum
sampai ke tingkat mempunyai 100% wakil rakyat Indonesia atau berhak membikin
Undang-undang apalagi menjalankan undang-undang yang semata-mata menguntungkan
rakyat Indonesia. Volksraad, sampai Belanda bertekuk lutut kepada Jepang cuma
mempunyai hak buat memberi nasehat saja.
Nasehat
itu biasanya ditaruh di bawah telapak sepatunya kapitalis Belanda. Borjuis
Indonesia yang sebagian mengandung kekuatan bukanlah borjuis industri ataupun
dagang, melainkan borjuis ambtenaar. Borjuis ambtnaar ini adalah borjuis “oleh”
Belanda dan “untuk” Belanda. Mereka dididik dalam sekolah istimewa, yang kita
kenal dengan nama MOSVIA. Untuk undang-undang yang mereka mesti pelajari dan
hafalkan buat dijalankan dengan tak boleh banyak “rewel” ialah undang-undang
yang melindungi kepentingan kapitalis Belanda dan saudara tuanya, Inggris,
Amerika. Dididik saja tentu belum cukup buat membikin, menggodok dan memasak
B.B Ambtenaar yang kita kenal.
Mereka
mesti mempunyai dasar sosial yang kokoh. Dasar itu ialah keningratan. Kaum
ningrat, yang di zaman Indonesia Merdeka bekerja pada raja di dalam jajahan
Belanda diterima sebagai pegawai penungkat jajahan itu. Mereka yang sudah
berpengalaman banyak tentangan pimpin-memimpin, dan gertak-menggertak bangsanya
sendiri, ialah “orang kecil” oleh Belanda dipakai buat keperluan Belanda.
Mereka dipakai sebagai tengkulak antara imperialis Belanda dengan Rakyat
Indonesia.
Karena
tak ada perindustrian bumi-putera yang kuat buat tempat bersandarnya kaum
intelligensia kita, maka mereka ini bimbang terus-menerus di antara Rakyat
Murba yang bersifat radikal itu dan yang berkuasa disini. Umpamanya mereka
betul tidak senang di bawah perintahnya bangsa asing. Pergerakan nasionalisme
di seluruh Asia membangunkan paham nasionalisme yang teguh di kalangan mereka.
Tetapi mereka curiga saja akan kekuatan dan hasrat murba yang sebenarnya.
Mereka enggan mencemplungkan diri ke dalam Murba.
Apabila
tentara Jepang masuk maka dengan tak sangsi lagi sebagian mereka tampil
bernaung ke bawah bendera imperialisme Jepang. Imperialisme Jepang dengan cerdik
licik selangkah demi selangkah menarik kaum intelligensia ke bawah telapak
pengabdian baru; berkerek ke Tokyo.
Kepulauan
Jepang amat miskin dalam hal semua bahan yang penting buat industri modern.
Tanah-logamnya besi diambil di Malaka dan diangkut ke Jepang. Di sana tanah
logam tadi dilebur menjadi besi dan di tempa menjadi baja. Seterusnya dibikin
menjadi mesin minyak tanah dibeli dari luar Negara pula. Arang, timah, getah,
makanan dan lain-lain didatangkan dari dan mesti dibeli di luar Negara. Buat
pembeli Jepang mesti menjual barang, ialah hasil-pabrik. Tetapi kalau sebentar
saja terganggu pesawatnya jual-beli itu maka terganggulah pula seluruhnya
perekonomian Jepang.
Maka
demikianlah timbulnya hasrat segolongan Rakyat Jepang buat memonopoli pasar di
luar Jepang terutama di Asia. Pada keadaan beginilah beruratnya imperialisme
Jepang. Dengan menguasai Mancuria lebih dahulu, kelak Jepang berharap bisa
menguasai Tiongkok Utara, Tengah, Selatan, Indonesia, Hindustan berturut-turut.
Dengan menguasai Asia, Jepang dan Amerika berturut-turut.
Pengikut
rencana “si Cebol hendak mencapai bulan ini” tidak saja berada di Jepang tetapi
juga di luarnya.
Kepercayaan
istimewa pada diri sendiri itu adalah berurat dalam pada masyarakat dan
kepercayaan Jepang.
Rakyat
Jepang kecuali beberapa orang masih percaya pada dongeng yang tingginya
sederajat dengan dongeng Indonesia sebelum Islam. Katanya ada dua Dewa laki
istri yang membentuk dan menguasai Jepang ialah Dewa Izatagi-O-Mikoto dan
Izanagi-O-Mikoto. Seorang dari turunannya itu ialah Amaterasu-O-Mikami
menguasai Matahari. Salah seorang turunannya, bernama Jimmu turun dari matahari
ke kepulauan Jepang. Tiadalah dibilangkan dengan apa dia turun. Tetapi Rakyat
Jepang, ialah turunan Dewa pula (kecuali beberapa orang) percaya, bahwa
Maharaja Jepang yang dianggap Tuhan itu, ialah turunan Dewa Amaterasu tadi.
Sebagai Tuhan, maka dia, yang oleh “umatnya” di Indonesia biasa ditulis dengan
huruf besar, menguasai bumi dan langit, menguasai politik Rakyat Jepang dan
strategi Tentara Jepang.
Tentara
ini ialah tentara Maharaja Tuhan Jepang dan tak bisa kalah. Karena memangnya
tentara itu kepunyaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang belum pernah kalah, dan belum
pernah terputus kekuasannya semenjak 2600 tahun …. Katanya sebelum kalah!
Kepercayaan
bulat-buta terhadap seorang manusia yang laku di Jepang, sebagai hasilnya
masyarakat dan sejarah Jepang tentulah tak begitu saja bisa disuruh telan
bulat-bulat kepada Rakyat Islam di Indonesia, yang sudah nasionalisme pula.
Tentara Jepang yang menyerbu ke Indonesia perlu memakai “catch-words” sebagai
semboyan pemancing. Berhubung dengan itu kita sering dengar perkataan “bushido”
Ksatria, “Hakko Ichiu”, keluarga sedunia dan lain-lain buat kemakmuran bersama
di Asia Timur Raya.
Ketika
saya di Singapura tanggal 8 bulan 12, tahun 1941, belum lagi wasit membunyikan
peluitnya tentara Jepang tiba-tiba menyerang Inggris di Malaya dan …. Goal! Ini
artinya bushido ialah “mencido” alias berkhianat. Kalau Jepang berkenalan
dengan orang lain maka dia ucapkan, "haijimete o meni nakarimasu".
Artinya kira-kira "saya memperamati wajah tan hamba sambil melayang di
udara". Biasanya diucapkan dengan muka tersenyum. Tetapi kakinya si Jepang
tadi siap buat menyewet kaki kenalannya tadi, apalagi kalau si Kenalan tadi
ialah seorang “genjumin bagero”. Benar pula kalau si Kenalan tadi sudah
terlentang, karena bushidonya si Jepang, maka si Jepang memang berada tinggi di
udara memperamati kekayaan si Indonesia yang sudah jatuh terlentang tadi.
Berapa banyaknya pelayan yang jadi mangsanya politik sekeluarga dunia. Tentara
Jepang perlu heiho Indonesia, kempei-ho Indonesia dan lain-lain. Mereka perlu
buat pembantu tentara Jepang di luar Indonesia, dan kelak sehabis perang alias
musuh Jepang di dalam Indonesia. Semua “ho” alias pembantu itu lebih “bagus”
kalau dididik dari kecil.
Lebih
“bagus” pula kalau anak didikan itu mempunyai darah “Yamato”, ialah keturunan
Jepang. Entah berapa ribu banyaknya tentara Jepang memperoleh “turunan” di
Indonesia selama dia berada di Indonesia.
Buat
melakukan kemakmuran bersama dalam Asia Timur Raya itu dari Putera, ke Hokookai
dan akhirnya ke “janji” Merdeka di kelak di kemudian hari.
Kemerdekaan
itu ialah buat “kelak kemudian” hari. Kemerdekaan itu berbahaya buat Jepang,
kalau Indonesia yang kaya-raya dalam hal bahan dan tenaga itu betul bahan yang
ada di tanah dan lautnya, sudahlah tentu barang yang dibikin di Jepang dari
bahan yang mesti didatangkan dari jauh itu akan lebih mahal dari barang dibikin
di Indonesia. Kalau Pemerintah Indonesia betul pula nasionalistis bisa
kehilangan Indonesia. Apa yang ditakutkan Belanda terhadap Indonesia akan
ditakuti pula oleh Jepang. Karena itu Indonesia mesti dikebiri lebih dahulu.
Ilmu dan teknik Indonesia mesti perpuncak dari Jepang Tenno “kecil” Indonesia
mesti menyembah ke Tokio.
Perkara
ilmu dan teknik mudah diselenggarakan. “Csamu Seire” sebegini-begitu bisa
membentuk didikan yang dicocoki oleh tentara Jepang. Dua tiga orang Kempei-Tai
bisa menjaga supaya undang-undang Jepang itu dijalankan. Tenno kecil-pun mudah
dibikin. Tetapi yang tiada mudah ialah menimbulkan rasa takut-cinta terhadap
Tenno Indonesia dan Tenno Jepang. Apalagi kalau dipikirkan, bahwa Islam adalah
bertentangan dengan kepercayaan Jepang itu dan sudah mendalam di Indonesia ini.
Semua didikan dan sistem pelajaran mesti lebih lama berlaku, umpamanya
satu-turunan 20 atau 25 tahun.
Tetapi
apakah bisa tentara Jepang menunggu 20 atau 25 tahun ini?
Di
salah satu tempat bersembunyi dekat Jakarta saya coba dengan bisik-bisik dan
dengan kiasan pula menerangkan bahwa, kalau Jepang tak bisa hancurkan Amerika
sebelum hasil industri Amerika memuncak, ialah di pertengahan tahun 1944, maka
Jepang sendiri akan hancur. Pada masa itu Jepang paling banyak bisa
menghasilkan 1000 pesawat terbang dalam sebulan, sedangkan Amerika saja sudah
100.000. Walaupun yang berbisik itu bukan memakai nama Tan Malaka, tetapi Sang
Polisi datang juga menggeledah rumah dan barang saya. Begitulah lemahnya Jepang
dalam perindustrian! Tak mengherankan ketakutan Jepang atas kebenaran tentang kekuatannya
yang sebenarnya. Sang Tempo adalah musuh besarnya Jepang. Makin lama berperang
makin baik buat musuhnya dan makin celaka buat dirinya sendiri. Dia
tergesa-gesa dalam segala-gala. Belum lagi wasit meniupkan puputnya, dia mesti
menyerbu. Akhirnya belum lagi tenno-kecilnya, sistem sosial, ekonomi dan
kebudayaannya siap di Indonesia, dia sudah disuruh oleh Sekutu bersiap
meniggalkan Indonesia.
Tahun
yang lalu, 14 Agustus, Jepang menyerah. Indonesia masih dikangkangi Tentara
Jepang. Tetapi mulutnya Tentara Jepang sudah disumbat dan tangannya dibelenggu.
Sekutu yang mau menduduki Indonesia belum tiba katanya, sebagai penerima
warisan perang, pada waktu ini atas dorongan Rakyat dan Pemuda Indonesia,
Republik ditabalkan.
Rakyat
Indonesia berhak penuh atas kemerdekaannya baik menurut teori atau prakteknya
Negara sopan di seluruh dunia ini.
Rakyat
Indonesia tak perlu sangai akan hak kemerdekaan itu. Hak itu ialah hak-alam,
hak yang diwarisi, oleh Rakyat Indonesia dari Alam Indonesia, ialah
geboorte-recht, birthright.
Kemerdekaan
itu mestinya 100 %. Baru bisa kelak Indonesia merdeka mengambil semua tindakan
yang bisa memperlindungi kemakmuran dirinya dari serangan asing. Baru kelak
Indonesia Merdeka bisa mengadakan kemakmuran yang cocok dengan bahan dan
tenaganya serta kebudayaan yang cocok dengan jiwanya. Turunan yang sekarang
mendapat kesempatan buat mempertahankan kemerdekaan 100 % itu.
Janganlah
hendaknya kita gagal mempertahankan kemerdekaan 100 % itu.
Marilah
kita bersiap menjaga, supaya kita jangan di dorong kembali kepada status yang
bukan merdeka 100 %. Dengan hasrat dan kemauan merdeka 100 % itulah hendaknya
kita menghadapi maksud dan tipu muslihatnya musuh kita yang gagas dan licik
ular itu. Di kiri kanan kita sekarang mendengar desas-desusnya cadangan
automnomie terhadap pemerintah Republik. Usul semacam ini bisa cocok kalau kita
dalam hakekatnya masih mengakui, bahwa Belanda berhak atas dunia, seperti
seorang Tuan di jaman purbakala berhak atas seorang budak belian. Usul semacam
itu sama sekali bertentangan dengan arti tulisan dari lisan lahir dan batin
Republik Indonesia yang berdiri semenjak 17 Agustus 1945 itu. Usul semacam itu
sama sekali tidak cocok lagi dengan kemauan 70 juta rakyat Indonesia.
Kalau
seandainya usul autonomie itu diterima maka kita akan berada kembali dalam
sebelum penjajah Belanda lari ketika melihat tentara Jepang. K.P.M Syndicat ini
dan itu, serta ondernemersbond akan kembali berurat-berakar disini.
Kapital
asing akan lebih merajalela disini. Mungkin semua kapital asing akan bersatu
menghadapi rakyat Indonesia dan menekan serta menghisap rakyat Indonesia.
Tetapi mungkin pula kapital asing akan berpisah mengadakan “Invloedsfeer”,
daerah pengaruh masing-masing. Hal ini akan lebih mencelakakan Indonesia yang
rakyatnya lebih miskin dari sudah-sudah itu. Indonesia yang berdiri dari
ratusan pulau itu, oleh politik “Invloedsfeer” itu mungkin akan lebih
berpecah-belah dari yang sudah-sudah. Keadaan di Tiongkok sebelum perang dunia
ini akan seperti surga kalau dibandingkan dengan neraka ciptaan autonomie itu.
Autonomie itu boleh jadi berupa Commenwealth atau gemenebest tetapi akibatnya
buat rakyat Indonesia tentulah “Gemenepest”.
Janganlah
Indonesia autonomie berharap akan bisa menimbulkan perindustrian yang akan
sanggup mengadakan kemakmuran yang berbahagia buat rakyat jelata dan kelak bisa
mengadakan perlawanan terhadap serangan dari luar, “Indonesia autonomie” itu
tetap akan tinggal Indonesia miskin buat “Murba” dan “Indonesia bulan-bulanan
buat imperialisme asing”.
Rakyat
Indonesia mesti tolak semua cadangan yang berarti autonomie, commonwealth,
Dominion, Free State itu. Rakyat Indonesia tak boleh membiarkan pemerintahannya
berunding atas dasar yang kurang dari “Merdeka 100 %” itu. Tetapi ada pula
mereka yang bertanya: Apakah kita bisa Merdeka 100 %? Lihatlah pesawat terbang
Inggris! Lihatlah kapal perang serta tank raksasanya? Jawab kita: Lihatlah
akibatnya “Bambu runcing”, berapa senapan, pelor, tommygun, meriam, tank,
bahkan kapal perang dan pesawat terbang yang direbut dengan bambu runcing.
Bambu runcing dan alat perang yang semulanya direbut dengan bambu runcing
itulah yang menahan Inggris, Nica di kota Surabaya.
Bambu
runcing mengusir Inggris, Gurkha, Nica dan Jepang dari Magelang dan mendesak ke
Semarang. Bambu runcinglah pada akhirnya yang memberi kesempatan rakyat di
garis belakang. Bambu runcing itulah pula yang memberi kesempatan kepada rakyat
Indonesia memikirkan membikin senjata baru modern atau membelinya dari pihak
manapun juga.
Kata
si Lemas tulang punggung yang tak mau kalah berjuang dengan lidah itu pula.
“Lihatlah rakyat kita yang terlantar atau mati karena menentang Inggris itu!”
Jawab
kita: “Sebab niat “menjajah kembali” dari pihak Nica itulah kita sudah puluhan
ribu rakyat dan pahlawan kita mati”.
Sebab
penjajah Jepanglah maka antara tiga empat juta rakyat Indonesia melayang
jiwanya sebagai romusha dan heiho. Sekarang kita mau tanya pula: Apakah kita
sesudah pengorbanan lebih kurang 4 juta dalam belum lagi 4 tahun itu, kita mau
kembali dijajah lagi. Kembali lagi miskin melarat, hilang lenyap dan segala
kelemahan pula kelak menghadapi kemungkinan pernag dunia ketiga.
Si
Lemas tulang punggung memang banyak alasannya. Dia lari lagi kepada United
Nations. Katanya Inggris ini disuruh ke Indonesia oleh United Nations itu.
Tanya kita pula: Apakah kita masih takluk pada putusan satu badan yang tiada
mendengarkan suara kita dan menerima ataupun meminta wakil kita? Apakah kita
mesti begitu saja ikut putusan yang diambil buat kita, tetapi tidak degan kita
(Overens, maar zonder ons)?
Kalau
perlu kita tak akan menghiraukan putusan United Nations itu, kalau ia kembali
bersifat Volkenbond, ialah perserikatan kaum penjajah yang mau menetapkan
penjajahan!
Si
Lemas tulang punggung tak mau tahu akan hasilnya diplomasi bambu runcing yang
sudah dijalankan oleh Rakyat Murba lebih kurang tiga bulan ini. Siapakah akan
mengira bahwa perkara Kemerdekaan Indonesia Rakyat Amerika memaksa majelis
rendah dan tingginya mengambil sikap yang pasti ? Mencela Inggris dan Belanda
mengadakan paksaan terhadap Indonesia Merdeka?
Pemerintah,
tentara, rakyat dan terutama buruh Australia tetangga kita yang arif-bijaksana
serta mulia itu membantu kita baikpun lahir ataupun batin.
Pemerintah
Ceylon terus terang mengakui Republik kita dan menunjukkan simpatinya terhadap
perjuangan Kemerdekaan kita.
Para
pemimpin Hindustan dan Arab, Birma dan Philipina tak pula segan-segan
memperlihatkan persetujuan dengan Republik Indonesia.
Buruh
Inggris dan Belanda sedang bergerak menentang politik Imperialisme yang
dilakukan oleh pemerintahnya. Persoalan Indonesia adalah persoalan yang amat
penting dalam politiknya pemerintah Inggris dan Belanda.
Di
atas segala-gala, adalah sikap Tiongkok dan Rusia, dua Republik terbesar dan
muda remaja membantu dengan terang-terangan kemerdekaan Indonesia yang muda
remaja yang sedang berjuang dengan gagah-perkasa menghadapi musuh yang
berpengalaman dan bersenjata modern dan lengkap itu.
Tak
mengherankan kalau persoalan pengakuan atas Kemerdekaan Indonesia itu pada masa
ini adalah satu persoalan yang hangat di kalangan pemerintah negara besar di
dunia ini, di kalangan rakyat Murba di Asia dan Afrika serta di kalangan buruh
di dunia.
Semua
perhatian dunia itu ialah akibatnya diplomasi bambu runcing.
Tetapi
lebih dari siapa saja kami juga insyaf akan kelemahan kita sendiri.
Kami
tahu akan pertentangan malah percekcokan antara satu kumpulan rakyat dengan
satu kumpulan rakyat yang lain, satu isme dan isme yang lain.
Kejadian
pada masa ini di daerah pekalongan yang kabarnya sudah menjalar ke Cirebon dan
ke periangan Timur amat mengerikan kami. Kami juga ngeri melihat perbedaan
kemauan rakyat dan kemauan Pemerintah. Lebih mengerikan pula tindakan yang
diambil oleh tentara keamanan rakyat terhadap rakyat yang sebenarnya berkorban
terus membela Republik, seperti di Jawa Barat dan lain tempat.
Berhubung
dengan semuanya percekcokan dan kekalutan ini pada pihak kita, dan ketetapan
hati musuh menjajah kita kembali, maka kami tergopoh-gopoh mengusulkan
“PERSATUAN PERJUANGAN” ini. Bukan persatuan buat merebut kursi Parlemen dan
mencari pangkat, melainkan persatuan yang berdasarkan perjuangan mempertahankan
Kemerdekaan 100 %. Persatuan bersendi atas “MINIMUM PROGRAM” yang kelak akan
dibentangkan ………
Kita
sedang memperjuangkan Kemerdekaan kita, Suara berjuang inilah yang sekarang
mendengung ke luar negara!
Dahulu
dunia luar mengenal kita orang Indonesia sebagai seorang bercawat dengan panah
duduk di bawah pohon kelapa. Inilah gambarnya bangsa Indonesia di mata orang
Eropa dan Amerika. Di mata mereka tercantum bangsa Indonesia sebagai orang
biadab dan malas. Kalau yang sudah berpakaian maka orang Indonesia itu
digambarkannya sebagai jongos kapal yang rajin, puntang-panting menyediakan
makanan atau minuman, kalau dipanggil tuannya.
Jadi
kita orang tak ber-inisiatif, lesu-malas, biadab. Tetapi bukan selamanya dan
bukan seluruhnya bangsa Indonesia malas dan biadab. Kalau orang mau membaca
sejarah bangsa Indonesia yang sebenarnya, kembalilah ke masa 2500 lampau saja.
Menurut para ahli Barat di masa itu orang Indonesia mengarungi Samudera Hindia
sampai ke Afrika. Ke Timur ia mengarungi Samudera Teduh sampai Amerika Tengah.
Benar sejarahnya bangsa Indonesia di masa itu tak berteriak keras, tetapi
berlaku: berjuang, berdagang, bersawah-ladang.
Tenang-hening
sejarah memperamati perahu ramping menuju ke Barat!
Sayup-sayup
tepuk air dipecahkan dayung Cadik namanya sebagai sayap di kiri-kanan perahu
ramping menjamin keamanan penumpangnya terhadap ombak-gelombang sering setinggi
bukit. cuma bintang di langit dan pengetahuan atas peredarannya musim yang
dijadikan pedoman oleh nakhodanya. Tetapi semangat merantau dan hati tetap
tabahlah yang menjadi jaminan sesungguhnya.
Walaupun
demikian dunia tak mengenal bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang bersatu,
membikin sejarah. Demikianlah sejarah Indonesia berdiam diri, ratusan malah
puluh ratusan tahun sampai alam Indonesia bersuara.
Krakatau
meletus menyemburkan batu dan lahar, merusakkan sekitarnya. Tetapi juga membagi
bahagia kepada manusia, karena menyemburkan abu yang menambah subur dan
makmurnya tanah. Tetapi sekarang bukan alam Indonesia yang meletus melainkan
jiwa rakyatnya yang lama terhimpit dan tertindas itu.
Jadi
rakyat Indonesia-lah yang meletus melemparkan imperialis!
Moga-moga
akan bangunlah dunia yang adil, makmur dan sentosa buat semua negara, semua
bangsa dan tiap-tiap manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar