Rabu, 07 Oktober 2015

Tan Malaka (1946): Thesis

KATA PENGANTAR

Seorang nakhoda yang berpengalaman cukup, yang mengemudikan kapal, yang kuat dan baru juga mesti menentukan keadaan pelayaran lebih dahulu sebelum bertolak dari pelabuhan.

Topan yang mengancam di waktu depan, bisa menyebabkan kapal itu menunda perjalanannya atau juga memukul kembali atau membelokkan pelayarannya ke kiri-kanannya, bahkan juga memukul kembali ataupun menenggelamkan kapal itu.

Syukurlah kalau nakhodanya berpengalaman lama serta mengetahui karang dan gerakan udara di lautan yang ditempuh, kini ataupun di hari depan.

Tetapi tiadalah dunia akan mendapat kemajuan seperti sekarang kalau semua nakhoda tidak mau berangkat sebelum keadaan udara laut dan cuaca sungguh diketahui lebih dahulu.

Colombus tidak akan sampai ke Amerika kalau ia bergantung pada pengetahuan yang sudah pasti, yang sudah diuji kebenarannya saja. Dia akan berbalik setengah pelayaran setelah menemui mara bahaya kalau ia cuma bergantung kepada teorinya ahli bumi Toscanelli saja. Semangat adventure, mencoba-coba sesuatu yang mengandung bahaya mautpun mesti dilakukan. Berbahagialah suatu negara dan masyarakatnya yang mempunyai semangat adventure itu.

Memang lebih dari 50% kemajuan masyarakat kita ditebus oleh jiwa yang bersemangat adventure itu, dalam semua lapangan hidup, politik, ekonomi, militer, bahkan semua cabang ilmu.

Dalam revolusi Indonesia sekarang banyak jalan yang belum kita ketahui. Semua jalan ke depan masihasinglah buat kita. Berjalan ke depan berarti adventure, percobaan yang mungkin membawa maut. Perjalanan yang pasti cuma perjalanan ke belakang, yakni kembali ke jalan yang kita jalani 350 tahun belakangan ini. Artinya ini kembali mencari jalan penjajahan, kembali menjadi budak jajahan…..berkhianat kepada turunan sekarang dan anak cucu. Inilah saja sekarang jalan yang pasti terang.

Bahwasanya perjalanan masyarakat kita terutama berarti perjalanan politik ekonomi sebagai garis besarnya. Garis besar dalam politik-ekonomi kita sebagai haknya masyarakat Indonesia, dalam dunia penuh pertentangan ini, mungkin bertentangan dengan garis besarnya politik-ekonomi negara lain ialah negara kapitalis. Mungkin garis besar kita terpaksa memutar dari garis besar politik-ekonominya negara lain, mungkin mem-viaduci atau menyelundupi ke bawah satu terowongan.

Bagaimanapun juga ahli politik ekonomilah yang berhak menentukan garis besar dalam perjalanan politik-ekonomi masyarakat Indonesia dalam revolusi sekarang ini.

Timbulnya satu golongan yang bangga menamai dirinya "akademisi" di Indonesia ini sudah mulai memonopoli semua pengetahuan yang berdasarkan ilmu. Di Philipina dan Hindustan, memang percobaan memonopoli itu sudah memperlihatkan hasilnya. Di sana sudah masuk betul paham di antara segolongan rakyat, bahwa umpamanya yang memimpin politik itu harusnya satu Mr. dan memimpin ekonomi itu mesti suatu Dr. dalam ekonomi.

Kalau kita ikuti logika semacam itu, jadinya seorang leek bukan bertitel tidak boleh meraba-raba ilmu. Selanjutnya pula seorang Drs. (yang baru 75% atau 75 1/2 % Dr.) dalam ekonomi mestinya takluk pula pada seorang Profesor dalam ekonomi. Jadi menurut pikiran pasar "The men on the street" dengan logika semacam ini kalau seorang Drs. (ekonomi) umpamanya menulis 3 buku, maka seorang Dr. (ekonomi) mesti sekurangnya menulis 4 buku dan satu Profesor jauh lebih banyak dari yang di belakang ini. Dilaksanakan di Indonesia ini, kalau ahli ekonomi kita yang sudah "diakui" itu ialah Drs. Moh. Hatta menulis setengah lusin buku tentang ekonomi, maka Dr. Samsi mestinya menulis sekurangnya 9 buku dan Prof. Sunario Kolopaking selusin ataupun lebih.

Dalam hal politik para Mr.-lah yang mesti memimpin politik kita sekarang, ialah menurut logika pasar tadi juga.

Tetapi apakah bukti yang kita lihat?

Sedangkan Drs. (75% atau 75 ½% Dr.) Moh. Hatta menulis lebih setengah lusin, Dr. Samsi dan Prof. Sunario Kolopaking sedikit sekali kelihatan buah penanya. Sedangkan di dunia politik Mr. Iwa Koesoema Soemantri umpamanya sedikit terdengar suaranya dan cuma dalam kalangan P.B.I-nya saja, tetapi warganegaranya sejawat kita Mr. Slamet, sudah sampai suaranya ke "Sri" Ratu dan seluruh rakyat Nederland serta dunia Imperialis lainnya.

Demikianlah kalau kita ikuti paham yang dimasukkan oleh Imperialisme Barat. Menurut paham itu kalau diambil akibatnya, maka yang bertitel itulah saja yang berhak merundingkan dan memimpin perkara ini atau itu. Yang tidak mempunyai "cap" dari sekolah akademi Barat itu menurut kehendak mereka janganlah dipercayai. Tidak ada yang lebih dikenal oleh penyakit ke-akademiannya itu daripada ilmu sosial, termasuk ilmu masyarakat itu pula.

Kita membenarkan sama sekali keperluan latihan akademi dalam ilmu seperti kimia, listrik, dan teknik. Tetapi inipun tidak berarti bahwa yang ulung dan berhak bersuara dalam ilmu semacam itu mestinya hanya keluaran akademi saja. Cukuplah di sini disebutkan bahwa pembikin beberapa teori yang amat berharga dalam hal listrik di jaman listrik ini seperti Michael Faraday cuma keluaran sekolah sebenggol (rendah) saja. Thomas Edison, penemu (inventor) listrik diusir oleh gurunya dari kelas satu atau dua di sekolah rendah tadi pula karena….. bodoh.

Penuh contoh lain-lain dalam ilmu seperti tersebut di atas: teknik, kimia, matematika ataupun biologi. Banyak ilmu yang dijalani dan teori penting yang dibentuk oleh hukum akademi. Sebaliknya banyak pula contoh yang membuktikan bahwa akademisi itu cuma tukang hafal saja, tukang "catut" ilmu orang lain saja. Semuanya membuktikan bahwa "title" itu cuma satu surat "pas" saja dalam dunia kecerdasan, bukanlah kecerdasan sendiri!

Apalagi dalam ilmu masyarakat, seperti politik dan ekonomi!

Dalam hal ini dua aliran yang bertentangan sudah nyata ialah aliran politik-ekonominya Proletariat dan Borjuis. Aliran Proletariat dipelopori oleh Karl Marx seorang Dr. Filsafat (bukan ekonomi) dan pengikutnya, serta aliran borjuis oleh para profesor ekonomi di sekolah tinggi seperti Rotterdam. Kedua aliran itu tidak bisa diperdamaikan seperti klas Proletariat tidak bisa diperdamaikan dengan klas borjuis. Hidupnya suatu klas di atas berarti matinya klas yang lain dan sebaliknya. Begitulah pula teori masing-masing klas itu sehidup semati dengan klasnya sendiri!

Kita akui penuh bahwa aliran yang kita pakai ialah aliran Marx, yang berdasarkan pertentangan dalam hal sosial, politik dan ekonomi. Dengan pisau analisanya yang bersifat pertentangan (dialektika) dua klas dalam masyarakat (Proletariat melawan borjuasi) inilah kita mencoba menaksir arahnya politik dunia bergerak menuju ke depan.

Dalam revolusi Indonesia mau tidak mau kita wajib menaksir arahnya politik ekonomi dunia itu bergerak. Dalam topan gelombangnya politik ekonomi dunia itulah kita dipaksa oleh keadaan mengemudikan kapal negara kita yang berdasarkan politik ekonomi pula. Bertolak atau tidaknya dari pelabuhan, membelok ke kiri atau ke kanannya kita disebabkan topan gelombang politik ekonomi yang menentang kita, serta timbul atau tenggelamnya kapal negera kita dalam adventure dalam revolusi, ini sebagian tergantung dari taksiran kita tadilah pula.

Tidak ada pengalaman yang sudah-sudah bagi kita di Indonesia boleh dipakai, karena sifatnya revolusi memangnya satu percobaan baru, lepas dari pengetahuan yang sudah-sudah dan pengalaman yang lampau. Pengalaman di negara lain seperti di Perancis, dan Soviet Rusia mesti kita perhatikan. Tetapi memperhatikan dan mempelajarinya tiadalah meniru-niru saja. Yang kita kemukakan ialah cara berfikir, ialah Materialisme Dialektika. Yang harus kita pelajari dari negara lain bagaimana para pemimpin masyarakat di sana melaksanakan metode berfikir tadi dalam keadaan suasana di negara lain itu, mengambil contoh yang baik dan menyingkirkan kesalahan yang diperbuat di negara asing.

Akan tetapi malangnya sampai sekarang kita tidak mendapatkan dan tidak bisa mendapatkan bahan yang cukup buat dalam dan luar Indonesia. Apalagi dalam keadaan tahanan sekarang, di mana kita terputus dengan perhubungan luar rumah yang kita dipaksa mendiami. Brosur ini terpaksa ditulis terhenti-henti disebabkan keadaan kita dalam tiga bulan ini (pindah-pindah tempat atau terganggu kesehatan). Tetapi dengan memakai cara berfikir yang sudah jaya dipakai di lain tempat dan bahan yang sudah kita terima, apa yang sudah kita taksir 3 bulan lampau sudah menjadi bukti pada masa brosur ini hampir ditulis umpamanya saja pertentangan hebat antara dunia sosialis dan dunia kapitalis berhubung dengan itu pula kemungkinan Perang Dunia Ke-3.

Bahan baru boleh jadi akan kita peroleh besok atau lusa. Kesimpulan kita boleh jadi kelak terpaksa diubah di sana-sini. Tetapi sebab kita rasa cukup memperhatikan garis besar dalam hal metode berpikir yang dipakai dan politik ekonomi sekarang, maka kemungkinan perubahan kesimpulan itu tidak akan merombak sama sekali kesimpulan politik ekonomi kita tentang luar dan dalam Indonesia. Berhubungan dengan itu tiadalah mungkin banyak perubahan (kalau perlu) yang mesti diderita oleh  organisasi, program, taktik serta strategi yang kita anjurkan kelak!

Bagaimanapun juga tiadalah kita perlu perlu selangkahpun juga kembali ke ahli politik ekonominya kaum borjuis besar, tengah, kecil -- ke ahli politik ekonominya kaum akademisi di Indonesia atau lainnya. Tiadalah kita perlu menempel-nempelkan ujar atau amanat professor ini atau itu, akademis ini atau pun buat dijadikan "buku" dan disampaikan ke sana-sini kepada Rakyat dan Proletariat Indonesia.

Kita sebaliknya akan melindungi Rakyat dan Proletariat Indonesia dari segala percoabaan akademisi yang akan membawa kembali politik ekonomi Indonesia ke bawah telapak kaki Imperialisme atau menimbulkan pengharapan yang tidak-tidak di antara Rakyat dan Proletariat Indonesia.

Cukup sudahlah pengalaman yang kita terima dari akademisi itu umpamanya tentang Distribusi dan Koperasi yang digembar-gemborkan dan di "praktekkan" di jaman Kempetai Jepang. Distribusi dan Koperasi yang disajikan kepada kita sebagai puncak pendapatan akademisi di masa Kempetai itu mungkin baik buat satu golongan kecil di salah satu tempat, ialah buat tempat bersarangnya tukang catut. Tetapi buat Rakyat Murba prakteknya ekonomi semacam itu semata-mata satu kebohongan kapitalisme dan imperialisme belaka.

Buat kita politik itu tidak bisa dipisahkan daripada ekonomi dan begitu juga ekonomi tidak bisa dipisahkan daripada politik. Sering kita dengar di kalangan kita sendiri, bahwa politik adalah konsentrasi dan pemusatan ekonomi. Di jaman Kempetai Jepang tidak akan kita pikirkan membikin badan ekonomi ini ataupun itu, karena machtfactor (perkara kekuasaan) untuk memeriksa dan menghukum yang bersalah, umpamanya tukang catut tadi tidak ada pada kita.

Politik ekonomi yang bisa dan patut kita praktekkan dalam masa berjuang ini, revolusi sekarang tidak lain dan tidak bukan melainkan politik ekonomi berjuang dan organisasi politik ekonomi di jaman Merdeka 100%.

Syahdan akhirnya, benar atau tidaknya sesuatu faham atau teori sosial dalam satu masyarakat yang berdasarkan pertentangan Proletar borjuis bukanlah diputuskan oleh "title", sebagai pengesahan borjuis saja, tetapi terutama oleh golongan Proletariat yang menantang!

Lawu, 10 Juni, 1946
TAN MALAKA        


TENTANG DUNIA LUAR DAN DALAM INDONESIA


A. DUNIA LUAR.

1. Pertentangan Dua Sistem.

Dua sistem yang sangat bertentangan sifatnya sekarang berhadapan muka satu sama lainnya di dunia ini. Sistem yang muda tetapi tumbuh terus ialah sistem sosialisme, yang berlaku di Soviet Rusia. Sistem yang sudah tua ialah sistem kapitalisme yang berpusat di Amerika Serikat dan Inggris. Buntutnya sistem ini adalah imperialisme yang merayap-rayap di Asia dan Afrika. Sistem Sosialisme berkuasa dalam daerah kurang lebih 1/6 muka bumi yang berpenduduk kurang lebih 200 juta manusia, ialah hampir 1/10 seluruh cacah jiwa bumi kita ini. Pengaruhnya sistem Sosialisme di antara seluruhnya penduduk dunia di luar Rusia teristimewa pula di tanah jajahan seperti Asia dan Afrika amat besar sekali.

Imperialisme Amerika langsung menguasai Philipina dan sangat besar sekali pengaruhnya pada Kanada, Amerika Tengah, dan Selatan, yang jumlah luasnya hampir 1/3 daratan di seluruh dunia. Sebelum dan sesudahnya perang dunia ke II, Kapitalisme Amerika sangat mempengaruhi Tiongkok dan bagian Asia yang lain, juga Afrika, Australia, Eropa termasuk juga Inggris. Imperialisme Inggris semakin lama semakin renggang perhubungannya dengan Free State Irlandia, dengan Afrika Selatan, Australia dan Kanada serta sekarang dalam pertikaian hebat dengan tiang tempat berdirinya selama ini, yakni India dan Mesir. Strategi baru berdasarkan Teknik Atom menambah kemerdekaan tiap-tiap Dominion Inggris dan memperenggang antara Inggris dan masing-masing Dominionnya.

Dalam masa 10 tahun permulaannya Soviet Rusia berdiri (1917-1927), dia amat dimusuhi oleh Kapitalisme dan Imperialisme dunia. Jepang membantu dengan tentara dan senjata kepada kaum kontra revolusinya yaitu Rusia Putih di Siberia (1918), Inggris dan Perancis mendaratkan tentaranya di Archangel (1919), Rumania dan Polandia (1920) yang dibantu sepenuhnya oleh Inggris dan Perancis yang pula dari Barat, semua serangan itu dapat ditangkis oleh Sosialis Soviet Rusia dengan berhasil.

Demikian pula semua serangan dari pihak kontra revolusi di bawah pimpinan bekas para jendral Tsar seperti Khochlak, Denikin, Wrangel dan lain-lain dihancur-leburkan oleh senjata lahir dan batin (yang paling utama adalah batin) Republik Sosialis yang muda remaja itu.

Sesudahnya semua percobaan menyerang dengan senjata kemiliteran itu gagal, maka barulah dunia Kapitalisme mengakui Soviet Rusia lahir dan batin serta mengajak para wakil Soviet berunding di Genoa pada tahun 1922, ialah sesudahnya 5 tahun Sosialisme Rusia berdiri. Pengakuan atas kekuatan Soviet Rusia itu adalah kekuatan de fakto bukan de jure. Pengakuan dan perundingan atas dasar "duduk sama rendah dan tegak sama tinggi" itu, tiadalah mengurangkan kecurigaan dan kegelisahan dunia Imperialisme dengan jajahannya terhadap Sosialisme di Rusia itu. Meskipun senjata militer tidak lagi dilakukan terhadap Soviet Rusia tetapi tidak putus-putusnya dunia Kapitalisme mencoba memfitnah dan membusukkan di mata dunia luar Rusia dengan jalan anti propaganda yang serendah-rendahnya. Dari tahun 1928 sampai perang dunia ke II ini, Kapitalisme dunia kaget, kagum, dan gemetar melihat kemajuan pesat Sosialisme di Rusia, disebabkan oleh pelaksanaan Rencana Ekonomi  berturut-turut. Kemajuan semacam itu terutama dalam perkara teknik, pertanian dan perindustrian serta yang berhubungan dengan itu dalam hal sosial dan kebudayaan yang belum pernah dialami oleh bagian dunia lain dan di tempat manapun juga.

Tetapi dunia Kapitalisme tetap curiga walaupun kagum tetapi benci, meskipun maklum sungguh tentang kesanggupan Sosialisme dan kegagalan Kapitalisme. Baru setelah Jerman Fasis menyerang Rusia pada bulan Juni 1941 maka Kapitalisme Amerika dan Inggris menghampiri dan mengadakan perserikatan melawan perserikatan Fasis Jerman-Jepang-Italia.

Nyatanya sekarang bahwa perserikatan itu sama sekali tidak berdasarkan atas persamaan sifat. Apabila musuh bersama itu telah jatuh maka tegaklah kembali pertentangan sifat yang lama, pertentangan sistem sosialisme dengan sistem kapitalisme.

2. Dua “Bisul” Peperangan.

George Washington, Presiden Pertama Amerika Serikat, memformulirkan, menetapkan, politik luar negeri dengan cara negatif, cara meniadakan. Dia mengusulkan supaya Amerika Serikat menjauhi "foreign entanglement", menjauhi supaya perkara luar negeri yang bisa menyebabkan Amerika Serikat terlibat dalam peperangan. Inilah politik "isolasi", politik menyingkirkan diri yang masyur itu. Memang Amerika Serikat yang luasnya 3 ½ juta mil persegi dan penduduk baru beberapa juta saja di masa itu belum berapa membutuhkan dunia luar berupa pasar buat membeli bahan ataupun buat menjual barang pabriknya. Amerika membutuhkan tenaga dan modal asing. Keduanya datang bertimbun-timbun dari Eropa.

Paul Monroe sudah sampai ke tingkat sejarah Amerika Serikat bilamana Amerika Serikat membutuhkan Amerika Tengah dan Selatan sebagai pasar. Inilah artinya dasar politiknya "America for the Americans" ialah Amerika buat orang Amerika. Dalam hakekatnya pepatah ini berarti, bukan saja lagi Amerika di Utara perlu buat pasarnya Amerika Serikat sendiri, tetapi juga seluruhnya Amerika Utara, tengah dan Selatan hendaknya dimonopoli oleh kapital Amerika Utara. Politik negatif George Washington kini menidak bolehkan kapital asing bermarajalela di seluruhnya benua Amerika. Politik meng-isolir, mengasingkan diri dari negara asing, yang dimajukan oleh Monroe dan berbadan pada Partai Republik, sekarang dalam hakekatnya meng-isolir kapital asing di kedua benua Amerika.

Presiden Wilson, bapak Volkbond, Serikat Bangsa, pemimpin Partai Demokrat dengan mancampuri Perang Dunia ke I, akhrinya mengisolir Amerika Serikat dari Serikat Bangsa yang dianjurkan oleh Presiden Amerika sendiri itu, nyatalah sudah Amerika Serikat sudah sampai ke tingkat imperialisme, yang memerlukan pasar buat bahan, hasil pabrik dan penanaman modalnya. Cuma lembaga (tradisi) dan pertengkaran antara dua partai terbesari itu menyebabkan Partai Demokrat masih malu-malu kucing.

Perang Dunia ke II ini sekali lagi menarik Amerika Serikat, di bawah pemerintah Partai Demokrat pula, ke jurang politik "foreign entanglement". Memang almarhum Presiden Roosevelt dan penggantinya Presiden Truman sudah terlibat betul dalam imperialisme dunia. Kehendak Presiden Truman, supaya Amerika "tetap kuat, supaya tetap memegang pimpinan dan melakukan pimpinan itu untuk perdamaian dunia" adalah hasrat dan perkataan tepat-jitu seseorang wakil imperialisme tulen. Usaha campur tangan "mendirikan Korea yang demokratis", membantu anak angkat Tiongkok yang "merdeka dan demokratis" dengan Y.M.C.A (Kumpulan Pemuda Kristen), modal dan penasehat militer dsb., memproklamirkan "Commonwealth Filipina" yang "berdaulat dan merdeka" penuh tetapi mendudukan tentara atau armada Amerika di Filipina "berdaulat dan merdeka" itu pada tanggal 4 Juli tahun ini dan menduduki semua pulau yang penting buat siasat perang di seluruh Lautan Teduh, memang semuanya perbuatan imperialis 100%  yang diselimuti dengan perkataan "perdamaian dunia" dsb., yang lazim dipakai oleh "Winston Churcill dan Tenno Haika. Hilanglah ketakutan Amerika Serikat akan terlibatnya dalam politik luar negeri sesudah Perang Dunia ke II ini. Lenyaplah keinginannya hendak "menyingkirkan" diri dari diplomasi yang agresif. Amerika Serikat sekarang sudah terikat oleh kapital yang ditanamnya di seluruh dunia dan politik imperialisme yang dilakukan di seluruh Asia Timur dan lautan teduh.

Pasar buat bahan, hasil pabrik dan tempat menanam modal Inggris, jajahan dalam arti sebenarnya berada di Afrika, Asia Dekat dan Tengah. Terhadap Afrika dan Asia, Inggris bersikap si penjajah tulen. Di Eropa Barat dan Tengah Inggris mempunyai pasar pula buat menjual barang pabriknya dan menanam modalnya. Buat menjaga pasarnya itu dia menjalankan politik memecah dan mengadakan "block". Negara yang besar dipecah atau dikepung. Nederland yang kuat di abad ke 17 dipecah menjadi Negara Belgia dan Belanda sekarang. Perancis yang kuat di jaman Napoleon, dikepung dan diperangi oleh "block" beberapa negara Eropa di bawah pimpinan Inggris. Jerman di bawah Leiser di kepung dan diperangi oleh "block Negara" di bawah pimpinan Inggris (1914-1918). Jerman di bawah Nazi dikepung dan diperangi oleh "Block Negara" di bawah pimpinan Inggris (1939-1945). Sekarang Negara Soviet-Rusialah yang terkuat di Eropa. Inggris sedang berusaha keras mengadakan "block Negara" di Eropa Barat, di sekitar Lautan Tengah dan di Asia Dekat dan Tengah. Jalan terpenting buat Inggris ke Hindustan ialah Terusan Suez dan kedua Trans-Jordania-Irak. Sjahdan Irak seperti juga Iran amat penting sekali buat imperialisme Inggris, berhubung dengan minyak-tanah dan jalan darat dan udara pergi ke India. Di sinilah Inggris sekarang berusaha mengadakan "Block Negara" Turki-Arab di bawah pimpinannya menentang Soviet Rusia. Kabarnya konon di Irak berada 200.000 serdadu Inggris.

Soviet Rusia tentulah insaf betul akan maksud Inggris terhadap dirinya di masa ini. Soviet Rusia tentunya belum lupa akan sikap Inggris terhadap dirinya dari waktu berdirinya pada tahun 1917 sampai pecahnya perang Jerman-Rusia tahun 1941. Soviet Rusia membalas aksi ekonomi dari pihak Inggris dengan aksi ekonomi dan aksi diplomasi dengan aksi diplomasi pula. Produksi minyak di Rumania yang dahulu dikuasai Inggris sekarang jatuh ke tangan Rusia. Di Iran rupanya Rusia bisa mendapatkan hak mendirikan kongsi minyak dengan Iran. Dengan begtiu maka monopoli Inggris-Amerika di Iran terancam oleh kongsi Rusia-Iran. Oleh musuh Rusia tindakan Rusia semacam ini dikatakan tindakan imperialisme merah.

Terjemahan semacam itu memangnya gampang dimengerti dan dipercayai oleh otak yang kurang kritis, apalagi oleh semangat yang memang berat sebelah. Tetapi dalam suasana pergulatan hidup mati antara yang mem-block dan yang diblock yang diperdalam pula oleh pertentangan lama antara sistem sosialisme dan sistem kapitalisme, susahlah dicari titik berhentinya politik Sosialisme yang mempertahankan diri dan titik melangkahnya politik imperialisme-merah atau putih dan akhirnya mana yang "sebab", mana pula yang "akibat".

Teranglah sudah di sekitarnya negara Iran-Irak dan Turki berada "bisul" peperangan yang sewaktu-waktu bisa meletus. Inilah bisul yang pertama.

Di Asia Timur umumnya di Korea khususnya di mana Trusteeship Rusia berdampingan dengan Trusteeship Amerika berada "bisul" peperangan yang sewaktu-waktu pula bisa meletus.

Inilah bisul yang kedua.

3. Di Sekitarnya Pertentangan.

Pertentangan yang mencolok mata dalam beberapa hal-ichwal kehidupan manusia dalam masyarakat sosialisme di Rusia dan dalam masyarakat kemodalan, seperti di Amerika, Inggris dll. ialah:

a. Dalam hal politik.
Di Soviet Rusia. Pada permulaan revolusi di tahun 1917, maka pemerintah negara berdasarkan Diktatornya Kaum Proletar, dalam arti proletar mesin dan tanah di bawah pimpinan Partai Komunis, yang beranggota beberapa puluh ribu orang saja, memaksakan kemauannya atas seluruh penduduk Rusia, yang lebih kurang 150 juta itu. Dalam pemilihan umum yang baru lalu Partai Komunis dengan anggota dan calonnya sudah menjadi beberapa juta dan jumlah pemilih sudah hampir 100 juta orang. Kekuasaan tetap di tangannya pekerja dalam pabrik, tambang dan pertanian.

b. Di dunia kemodalan.
Dalam masyarakat, di mana kekuasaan (birokrasi), kekayaan dan kebudayaan dipegang oleh kaum borjuis (bankir, pemilik pabrik, pedagang dengan para pembantunya profesor, pembesar Negara, Pangreh Praja, jurnalis, pendeta, dsb.), maka pemilihan umum itu cuma berarti memindahkan kekuasaan negara dari tangannya satu golongan kaum borjuis ke tangan golongan borjuis yang lain. Dengan perkakas pemerintah yang berupa birokrasi, dibantu oleh alat propaganda yang kuat, maka beberapa biji kaum kapitalis itu bisa memaksakan kemauannya atas seluruh Rakyat. Dalam masyarakat kapitalis, maka demokrasi itu adalah satu kedok buat menutupi muka kediktatoran beberapa biji kapitalis atas seluruhnya rakyat.

c. Dalam hal bahan.
Soviet Rusia berbahagia mempunyai hampir semuanya macam bahan kodrat seperti arang, minyak tanah dan listrik, hampir semuanya bahan logam, seperti besi, mas, perak, platina, dll., hampir semuanya bahan pemakaian, seperti kapas, wol, kayu, kecuali getah, tetapi bisa diganti; dan akhirnya makanan yang melimpah, karena tanahnya luas dan subur, Soviet Rusia tak begitu membutuhkan bahan dari luar.

Inggris cuma kecukupan arang saja. Minyak didatangkan dari semua pelosok dunia. Besi tak cukup; mesti didatangkan dari luar. Timah dari Malaya. Hampir semua logam yang lain-lain tak terdapat di Inggris. Kapas kurang halus dari Hindustan. Yang halus dari Sudan (Mesir). Getah dari Malaya. Cuma +40% barang makanan bisa dihasilkan di Negara Inggris sendiri. Sebagian besar dari daging atau gandum mesti didatangkan dari luar (Argentina, Australia, Hindustan, dll.).

Amerika Serikat berbahagia pula memiliki alam yang mengandung hampir semuanya jenis bahan. Timah dan getah yang tidak ada di Amerika Serikat bisa diperoleh di Amerika Selatan. Cuma boleh jadi sekali minyak tanah sudah hampir kering dipompa dari kandungan bumi Amerika Serikat. Kapitalis Amerika sudah lama insyaf akan hal ini. Sebab itulah maka Standard Oil Co. mempertajam hidungnya mencium-cium di mana ada minyak dan sudah lama mempererat cengkramannya pada kebanyakan sumber minyak di luar Amerika. Getah dan Timahpun adalah persoalan terpenting buat perindustrian terpenting di Amerika Serikat ialah perindustrian oto dan pesawat terbang.

d. Dalam hal perburuhan.
Dengan hancurnya beberapa biji kapitalis serta jatuhnya alat produksi di tangan masyarakat buat masyarakat, dengan lenyapnya "hasrat mencari untung", lenyapnya "dasar produksi yang anarkis" dan lenyapnya "kebiasaan berlomba-lomba menghasilkan dan menjual murah" seperti di dunia kapitalis, maka kedudukan Rakyat di Soviet Rusia tidak lagi bertinggi berendah kedudukan buruh dan majikan, melainkan kedudukan mereka sesama pekerja.

Perbedaan tentulah tak akan lenyap begitu saja, karena terbawa oleh pengaruh lama dan pengaruh kapitalisme di sekitar Soviet Rusia. Perbedaan terbawa pula oleh perbedaan pekerjaan, tetapi perbedaan itu makin lama makin berkurang, selama penghisapan tenaga kaum buruh oleh majikan tiada berlaku, selama produksi bukan dilakukan buat mencari untung oleh beberapa biji kapitalis yang berlomba-lomba, melainkan buat keperluan masyarakat seluruhnya menurut satu perhitungan, selamanya itulah pula krisis dan pengangguran tetap (permanent unemployment) tak akan dikenal di Rusia sosialis.

Sekaya-kayanya Amerika (dan Inggris) dan selama penghasilan cuma buat memburu untung sebesar-besarnya oleh beberapa biji kapitalis dengan jalan berlomba-lomba mempertinggi teknik, mengurangkan gaji buruh dan mengurangkan banyaknya buruh dipakai maka kedudukan Rakyat dalam garis besarnya adalah kedudukan majikan dan buruh, bertinggi berendah dan kedudukan yang mengancam dan terancam.

Kaum buruh ialah bagian penduduk yang terbesar dalam masyarakat itu, selalu terancam oleh pengangguran. Adapun pengangguran itu adalah suatu penyakit yang tetap terkandung oleh masyarakat kapitalisme. Penyakit pengangguran itu bisa lenyap kalau kapitalisme dan kaum kapitalis sendiri lenyap dari muka bumi Amerika, Inggris & Co.

Sebelum perang dunia kedua ini, maka pengangguran tetap di Amerika Serikat kurang lebih 11 juta orang dan Inggris kurang lebih 2 juta orang.

e. Dalam hal pertanian.
Dengan lenyapnya Latifudian (tuan tanah ningrat) yang memiliki tanah ratusan kilometer persegi luasnya dan lenyapnya kasta kaum Ningrat di Rusia, maka lenyaplah pula tindasan dan isapan kaum Ningrat atas tenaganya buruh tanah dan lenyaplah pula akhirnya proletar tanah dalam arti lama. Dengan kemajuan kolektivisme (kerja bersama) dan mekanisasi (pemakaian mesin) maka timbullah kaum pekerja tanah di samping pekerja pabrik dan tambang.

Kedudukan buruh terhadap majikan (tani terhadap tuan tanah) bertukar menjadi kedudukan pekerja terhadap pekerja: sama rata.

Di Amerika dan Inggris penghisapan dan penindasan farmers (tuan tanah) besar dan menengah terhadap jutaan buruh tanah, ialah mereka yang hidup dengan gaji semata-mata, masih marajalela. Seperti buruh mesin maka buruh tanah di Amerika, Inggris dll., masih menderita tindasan dan penghisapan dan masih terancam oleh pengangguran yang mengenai jutaan manusia pada waktu yang tetap pasti datangnya.

f. Dalam hal kebangsaan.
Di Soviet Rusia perbedaan bentuk badan, besar tubuh, warna kulit dan perbedaan bahasa dan kebudayaan satu golongan manusia dengan golongan manusia lainnya tiada lagi menimbulkan pertentangan, kebencian dan permusuhan. Soviet Rusia sanggup memusatkan semua persamaan di antara satu golongan manusia dengan golongan manusia yang lain, umpamanya dalam keperluan hidup (politik dan ekonomi). Sanggup pula memberi kelonggaran pada perbedaan, umpamanya tentangan bahasa dan kebudayaan. Dengan memakai bahasa Rusia sebagai bahasa pengantar buat seluruhnya Soviet Rusia dan membiarkan bangsa kulit putih, Turki, Mongolia memakai dan memajukan bahasanya sendiri dalam satu "federasi" besar atas sistem sosialisme, maka pertentangan kebangsaan hilang lenyap.

Pertentangan kebangsaan hilang lenyap. Pertentangan majikan dan buruh yang melekat pada sistem kapitalisme memperdalam perbedaan bangsa dan bangsa, dalam sesuatu masyarakat kapitalisme. Dalam negara Amerika Serikat yang membanggakan "demokrasi" dan "kemerdekaan" itu, ada tempat dalam kereta api umpamanya, yang tiada bisa dimasuki oleh bangsa Niger (orang hitam). Bangsa yang malang ini acap kali menderita serangan kejam, yang termashur di dunia dengan perkataan "lynch", ialah "pukulan sampai mati", kalau ada orang hitam yang melanggar atau disangka melanggar kehormatannya (perempuan) bangsa kulit putih. Orang berwarna di Afrika Selatan amat dipisahkan tempatnya dengan orang kulit putih baik dalam ekonomi, politik ataupun pergaulan hari-hari saja. Dalam kereta kendaraan sering tertulis "for white men only", cuma buat orang putih saja.

Masih segar dalam peringatan kita tulisan di Shanghai di kebun umum, "Chinese and dogs are not allowed", Tionghoa dan anjing dilarang masuk.

4. Kemungkinan Pertentangan.

Sejarah masyarakat kita yang mengandung pertentangan sosialisme itu, logisnya, bisa menimbulkan 4 kemungkinan. (1). Kapitalisme menang dan sosialisme lenyap; (2). Keduanya sosialisme dan kapitalisme bersama-sama masyarakat manusia hilang lenyap; (3). Kapitalisme dan sosialisme berkompromi; (4). Sosialisme menang sempurna.

Bahwa kapitalisme akan menang sempurna dan sosialisme akan lenyap sama sekali, tidaklah mungkin. Sekarangpun di negara kapitalis yang sekuat-kuatnya, sosialisme adalah satu faktor, satu kekuatan yang tiada bisa dibatalkan. Di Amerika atau Inggris ada "undang-undang perburuhan" yang menjamin penghidupan (walaupun sederhana) kaum proletar. Hak kaum buruh mendirikan perkumpulan dan surat kabar dan mengirimkan wakilnya ke Dewan Perwakilan sudah lama diakui dan dijalankan di Amerika, Inggris dll.

Bahwa sosialisme dan kapitalisme keduanya bersama masyarakat manusia kita akan lenyap dari muka bumi, tiadalah perlu banyak diperundingkan. Kemungkinan itu memang ada, umpamanya kalau negara sosialis dan serikatnya berperang habis-habisan dengan negara kapitalis dan serikatnya memakai senjata yang tiada lagi mengindahkan perikemanusiaan. Tetapi kemungkinan ini beralasan pula atas kemungkinan bahwa manusia itu sudah tak berakal dan berkemanusiaan lagi. Dengan perkataan lain: manusia itu bukan manusia lagi.

Lebih mungkin hal ketiga (3), bahwa kapitalisme dan sosialisme akan berkompromi, atau dengan jalan ambil mengambil, atau sebagai dua sistem yang bertentangan, tetapi hidup sebagai dua tetangga yang berdamai atas dasar hormat-menghormat.

Kemungkinan ini bisa berlaku, kalau beberapa syarat bisa pula berlaku.

Pertama: pada satu pihak dunia Sosialis cukup mempunyai "bahan" buat per-industriannya buat menjamin penghidupan yang cukup tinggi buat penduduknya dan teknik yang cukup kuat buat pertahanan masyarakatnya terhadap serangan Dunia Kapitalis yang mungkin terjadi. Pada lain pihak Dunia Kapitalis mesti tetap punya pasar buat membeli bahan pabrik, pasar buat menjual hasil pabrik dan daerah buat menanam modalnya. Karena modalya dan pabriknya kaum kapitalis senantiasa bertambah besar itu adalah syarat hidupnya kapitalisme pada satu pihak, tetapi pada pihak lain jajahan dan pasar sekarang saja sudah amat sempit buat seluruhnya kapitalisme di dunia, maka susahlah kalau tidak mustahil, yang dunia kapitalisme bisa terus hidupnya. Atau dunia kapitalisme akan terpaksa bertempur dengan dunia Sosialis atau akan meletus kegembungan diri sendiri.

Tiap-tiap krisis, pengangguran dan pemogokan umum di dunia kapitalis di waktu damaipun akan menambah simpati kaum proletar di negara kapitalis tehradap negara sosialis yang tak mengenal penyakit krisis, pengangguran dan pemogokan umum semacam itu.

Sebaliknya pula kebusukan negara kapitalis itu akan menambah cemburu, kecurigaan dan kebencian kaum kapitalis di negara kapitalis terhadap kemakmuran dan ketenraman negara sosialis itu. Pada lagi di waktu revolusi dalam salah satu negara kapitalis atau di masa peperangan imperialis, sudahlah buat Negara Sosialis dan Negara Kapitalis buat menjauhi peperangan satu sama lainnya.

Kedua: pembagian hasil di antara kaum kapitalis dan kaum buruh, yang berupa untung dll. (termasuk bunga uang gaji dan pensiun) buat kaum borjuis serta upah buat kaum proletar, haruslah semakin lama semakin mendekati sama rata dengan tidak melalui jalan revolusi. Tetapi kesulitan penyelesaian itu dengan damai amat susah sekali diperoleh, kalau tidak mustahil. Karena memperbesar upah buat kelas-buruh berarti memperkecil untung buat kaum borjuis. Kalau untungnya kecil, maka bunga uang buat meminjam modal itu sendirinya naik. Sendirinya pula harga barang pemakaian sehari-hari naik. Sendirinya pula, akhirnya, upah yang diperbesar tadi dibatalkan oleh harga-harga keperluan buruh sehari-hari naik itu. Kenaikan upah itu tak berguna. Kaum buruh perlu berusaha kembali menaikan upahnya dengan jalan pemogokan. Lain pula kalau upah buruh amat tinggi, maka kaum borjuis mencoba mendapatkan dan memakai mesin baru yang lebih cepat dan kuat (mekanisasi).

Dengan begini maka terpaksa pula sebagian kaum buruh dilepas, sebab mesin baru yang cepat-kuat tadi membutuhkan sedikit orang saja. Dengan begitu maka timbullah pula pengganguran. Semua percobaan buat menaikkan upah dengan jalan pemogokan dari pihak kaum pekerja dan jalan mengurangi banyak pekerja (pengangguran) dengan jalan mekanisasi dari pihak kaum kapitalis ialah bunga api yang sewaktu-waktu bisa membakar minyak tanah revolusi dalam masyarakat kapitalisme.

Ketiga: Kedudukan Negara Penjajah dan Negara Terjajah (seperti Inggris dan Hindustan) mesti dengan secara damai pula mendekati keadaan dua Negara Merdeka. Tetapi buat Negara Penjajah ini berarti kehilangan pasar buat membeli bahan yang murah, kehilangan pasar tempat menjual hasil pabriknya dengan harga tetap mahal dan kehilangan daerah yang tetap aman buat menanam modal yang tetap besar untungnya. Karena kemerdekaan tulen buat Negara Terjajah itu berarti mengendalikan harga bahannya dan di mana bisa memakai bahannya itu untuk pabriknya sendiri. Selainnya dari pada itu memakai pasar dalam negaranya sendiri buat menjual hasil pabriknya sendiri dan kalau perlu dengan menolak sama sekali masuknya atau mempajaki barang pabrik Negara Asing yang bisa menjadi saingan buat hasil pabriknya sendiri. Akhirnya di mana ada kesempatan negara dulunya terjajah, tetapi sekarang Merdeka tulen, andaikan secara kapitalis itu tentulah akan memakai daerahnya sendiri buat menanam modalnya sendiri. Pada tingkat permulaan mungkin sesuatu Negara baru Merdeka itu mau dan perlu memakai modal asing, tetapi dalam tempo sedikit saja modal asing itu akan takut dan ngeri sendiri melihat kemajuan dan persaingan hebat dari Negara baru itu. Umumnya Asia dan Afrika mempunyai banyak bahan dan tenaga yang murah harganya. Membangunkan kapitalisme Asia seluruhnya berarti buat kapitalisme Eropa dan Amerika membangunkan saingan perdagangan yang kalau diperbandingkan dengan perdagangan Jepang sebelum perang Dunia ke II, adalah seperti perbandingan gajah dengan lalat.

Keempat: Ketiganya Almarhum Negara Fasis, yakni Jerman, Italia dan Jepang tetap bisa dikangkangi dan diinjak lehernya. Ini membutuhkan kekuatan dan persatuan kokoh antara Bekas Sekutu, ialah Inggris, Amerika dan Rusia. Sedikit saja kekuatan atau persatuan mengangkangi dan menekan ketiga negara yang berjumlah penduduk + 200 juta itu longgar, maka akan bangunlah kembali negara bekas fasisyang akan mendapatkan bermacam-macam jalan buat menimbulkan kembali perlawanan membalas dendam. Sekarang belum lagi negara menang berunding dengan negara kalah buat menentukan nasib negara-kalah itu, sudah timbul percekcokan hebat antara 3 negara menang, yakni Inggris, Amerika dan Rusia.

Boleh jadi sekali kalau perundingan sudah dimulai akan timbul pertentangan, malah permusuhan yang hebat, yang tak bisa dipadamkan. Sekarang pun sudah terdengar kabar, bahwa masing-masing negara menang akan mengurus perdamaian dengan bagian negara kalah yang didudukinya saja. Dengan begitu, maka negara kalah akan berupa terbagi-bagi. Tetapi begitu pula negara menang. Jikalau negara menang itu terbagi-bagi, maka akan terbukalah jalan buat mereka negara kalah dengan jalan tertutup, setengah terbuka dan akhirnya terang-terangan bersatu-diri dan mengadakan perlawanan seperti dilakukan di Jerman sesudah Perang Dunia ke-I. Apakah jalan persatuan dan imperialisme Jerman itu kelak akan dipimpin oleh partai fasis pula atau oleh bentuk lain, bolehlah diserahkan kepada sejarah saja. Tetapi sudahlah beberapa kali sejarah Jerman membuktikan, bahwa bangsa Jerman tak bisa dikangkangi, dikendalikan oleh negara asing ataupun dibagi-bagi kedaulatan, kemerdekaan, daerah atau administrasinya, buat selama-lamanya.

Mengingat kesulitan 4 perkara ini sebagai syarat buat negara sosialis dan negara kapitalis mengadakan kompromi, maka keadaan berkompromi itu adalah seolah-olah surga yang mesti didapat setelah melalui jembatan rambut menyeberangi api neraka.

Kemungkinan terakhir, keempat (4) ialah: Kemenangan sempurna pada pihak sosialisme atas kapitalisme. Ini tiada akan berarti bahwa kapitalisme akan lenyap sama sekali. Sebab hasilnya (positive-result) yang dibawa oleh kapitalisme ialah teknik, administrasi dan kerja bersama dalam sesuatu perindustrian, akan dibawa terus, bahkan dimajukan oleh sosialisme. Kemenangan sosialisme yang sempurna berarti, bahwa sosialismelah sistem yang akan diakui dan dijalankan di seluruh dunia. Dalam garis besarnya ini berarti: usaha mencocokkan produksi dan distribusi dengan cara teratur (rational), kerja bersama (cooperation), dan tergabung (coordination), untuk kemakmuran tiap-tiap anggota masyarakat yang bekerja di seluruh dunia. Akan lenyaplah cara menghasilkan menurut kehendak dan keperluan seseorang kapitalis, buat mencari untung seseorang diri. Akan hilanglah perlombaan menjual murah dan mencari untung besar dan berhubung dengan itu, hilanglah pengangguran, krisis, imperialisme, peperangan dan penjajahan.

Alasan buat kepastian kemenangan sosialisme atas kapitalisme adalah bermacam-macam, di antaranya adalah:

Pertama: Dalam hal politik.
Dalam masyarakat kapitalis, maka beberapa biji kapitalis dengan hartanya membikin birokrasi dan menyewa kaki-tangannya buat menindas dan menghisap golongan terbesar dalam masyarakat, ialah pekerja otak. Dalam masyarakat sosialis, maka harta perseorangan buat kemakmuran tiap-tiap anggota masyarakat. Dalam masyarakat semacam ini kekuasaan politik tiada lagi dimonopoli oleh beberapa biji kapitalis buat kepentingan dirinya sendiri, melainkan oleh semua yang bekerja.

Kedua: Dalam hal ekonomi.
Dalam masyarakat kapitalis pendapat baru (teknik) dipakai buat memukul perusahaan saingan. Mesin baru bisa mengadakan barang yang lebih banyak, lebih bagus dan lebih murah. Tetapi sebaliknya sering pula mesin baru dibeli oleh satu monopoli, terus dibuang atau dipendam karena takut kalau mesin baru menimbulkan terlampau banyak pengangguran, jadinya mengguncangkan pasar pula. Kalau pengangguran tiba-tiba terjadi, maka sebagian besar kaum buruh kehilangan upah.

Jadinya mereka tidak sanggup membeli apa-apa walaupun mesin baru bisa mengadakan barang yang bagus dan murah. Kalau barang tak laku, pabrik terpaksa pula ditutup. Masyarakat sosialis, yang tidak berdasarkan concurrentie itu, melainkan berdasarkan perhitungan atas apa dan berapa keperluannya masyarakat itu, akan bergembira kalau seseorang anggotanya mendapatkan mesin baru buat memperbanyak, mempercepat dan memperbagus hasilnya. Syahdan keperluan dan keinginan manusia itu tak ada hingganya. Sesudah keperluan makan tertutup, orang mau pakaian. Seusudah keduanya tertutup, orang mau kendaraan. Seterusnya orang mau bunyi-bunyian dll. Makan dan minumanpun adalah bermacam-macam tingkatnya, dari yang perlu buat hidup seperti nasi, sampai ke goreng ayam, sate perkedel, dll. Pakaian: dari celana karung sampai mori, palmbeach dsbnya. Kendaraan: dari kuda dan kereta angin sampai ke oto dan pesawat terbang. Bunyi-bunyian dari biola sampai radio. Demikianlah seterusnya, dari yang perlu sampai ke setengah mewah dan mewah. Berhubung dengan tak ada batasnya keinginan manusia itu maka tak pula ada batasnya buat kemajuan teknik dan temannya itu ilmu. Produksi bisa membumbung setinggi-tingginya.

Seperti sudah dibayangkan lebih dahulu, maka dalam masyarakat kapitalis tak ada kecocokan antara produksi dan distribusi. Barang itu dihasilkan oleh beberapa biji kapitalis, dengan tak merembukan banyak dan sifat barangnya satu sama lainnya, menurut rancangan. Kemajuan barang tadi dijual di pasar dan dibeli oleh yang mampu saja. Mungkin barang itu kurang, kalau kemampuan melebihi. Mungkin pula barang itu kelebihan, kalau kemampuan si pembeli kekurangan. Celakanya kalau barang itu kekurangan, maka harganya naik, dan untungnya besar. Dalam hal ini beberapa biji kapitalis yang sama-sama menghasilkan barang yang kurang tadi, dengan tidak berembuk satu sama lainnya memperbanyak barang sekuat-kuatnya. Tiba-tiba barang itu melimpah. Harganya merosot. Untung kecil, hilang berganti menjadi kerugian. Parbik terus ditutup dan pengangguran timbul.

Dalam masyarakat sosialis, maka banyak dan sifatnya barang yang akan dihasilkan dihitung lebih dahulu oleh satu badan yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Banyak dan sifatnya hasil semua (pabrik, tambang, kebun) yang sudah dimiliki oleh masyarakat itu, dicocokkan lebih dahulu dengan keperluan dan haknya anggota masyarakat yang bekerja. Banyak hasil dan pemakaian hasil tiadalah diombang-ambingkan oleh kekuatan membeli seseorang anggota masyarakat lagi, melainkan didasarkan atas perhitungan yang nyata, ialah keperluan masing-masing anggota yang bekerja. Dalam masyarakat yang sosialis perhitungan itu masih berdasarkan upah orang yang bekerja, atau sebagian atas upah dan sebagian atas keperluan masusia umumnya. Dalam masyarakat komunisme penghasilan (produksi) berdasarkan: tiap-tiap orang kerja menurut kesanggupannya. Pembagian hasil berdasarkan: tiap-tiap orang mengambil hasil menurut keperluannya.

Ketiga: Dalam hal diplomasi.
Dalam masyarakat dunia kapitalis maka Negara yang kapitalis yang kaya dan kuat dalam kemiliteran dan teknik bisa memaksa kemauannya sendiri atas negara yang lemah buat dijadikan jajahan: ialah pasar tetap buat membeli bahan, menjual hasil pabrik dan mengembangkan modalnya. Pemaksaan itu (Imperialisme) menimbulkan peperangan dengan Negara lemah tadi atau dengan negara lain karena ingin pula mempunyai jajahan seperti itu atau lantaran takut kalau negara perampas bermula akan bertambah kuat dan bertambah berbahaya buat dirinya sendiri.

Dalam masyarakat dunia sosialis, semua bahan dunia bisa di hitung dan dikumpulkan oleh satu badan yang dibentuk oleh masyarakat dunia itu. Barang bahan itu bisa diperoleh diri sesuatu negara yang punya, dengan penukaran dengan hasil pabrik atau uangnya negara yang membutuhkan barang bahan itu. Dengan hilangnya rebut-merebut pasar buat membeli bahan dan menjual barang-pabrik dengan lenyapnya usaha mencari untung dan bunga uang, maka hilanglah pula alasan dan dasar yang terpenting buat peperangan.

Keuntungan masyarakat sosialis dalam hal sosial, kebudayaan dll., amat terlampau banyak. Tetapi kelebihan kekokohan masyarkaat sosialis dalam hal politik, ekonomi, dan diplomasi seperti diuraikan di atas tadi sudah cukup memberi jaminan bahwa masyarakat sosialis mesti menang. Sejarah masyarakat sudah membuktikan bahwa masyarakat sosialis mesti menang. Sejarah masyarkaat sudah membuktikan bahwa masyarakat yang lebih kokoh ekonomi, teknik dan politiknya menggantikan yang lebih lemah, masyarakat feodal menggantikan masyarakat budak, dan masyarakat kapitalis menggantikan masyarakat feodal. Sekaranglah jamannya buat maysarakat sosialis menggulingkan masyarakat kapitalis. Atau dunia kita terpaksa kembali menjunjung "undang-undang rimba" (the law of the jungle) dalam pergaluan satu negara dengan lain. Dengan bertambah cepatnya maju teknik perang (bom-atom) maka bertambah cepatlah pula masyarakat kapitalis itu didorong oleh "undang-undang rimba" itu ke perang dunia ke II sampai hancur lebur semuanya masyarakat kita manusia.

5. UNO Sebagai PENDAMAI.

Buat menegakkan perdamaian dunia belumlah cukup kalau League of Nations (Serikat Bangsa) ditukar saja dengan United Nations Organitation (UNO). Tidak saja namanya, tetapi juga "sikapnya" mesti ditukar.

League of Nations, lebih dikenal di jaman penjajahan Belanda dengan nama Volkenbond, cukup penting dan mulia maksudnya, ialah: menyelesaikan perselisihan Negara dan Negara dengan jalan perundingan. Cukup kuat pula "sanction"nya, ialah hukuman atas negara bersalah sebagai jaminan sesuatu putusan bersama dalam League itu. Kalau nyata sesuatu negara bersalah karena membahayakan perdamaian dunia, maka negara itu harus diboikot. Tetapi Jepang yang sudah nyata salahnya, karena terang bersikap ceroboh (aggressive) di Mancuria terhadap Tiongkok (1931) tiada diboikot. Sebabnya itu ialah lantaran pemboikotan terhadap Jepang itu dianggap pembukaan peperangan dunia. Jadi orang takut akibatnya menjalankan putusan League of Nations tadi, putusan bulat dari semua negara anggota, kecuali Siam. Ketakutan League of Nations kepada akibatnya memboikot Jepang, menimbukan akibat yang lebih menakutkan lagi. Kecerobohan Fasis Italia terhadap Abessinia dan kecongkakan Musolini terhadap League segera dibuntuti dengan kecerobohan Nazi Jerman terhadap Polandia, Norwegia dll. Di Eropa dan kecongkakan Hitler terhadap League. Akhirnya maka "sikap" lemah, takut akibat-kecil tadi berujung pada Perang Dunia ke II, akibat sebesar-besarnya.

Kalau UNO dari mulanya akan bersikap lemah pula seperti Badan yang diwarisinya maka UNO pun akan mewarisi nasibnya League of Nations. Tidak saja UNO harus mempunyai wujud yang nyata, organisasi yang teguh, serta "sanction" yang terang tertulis, tetapi terutama pula UNO mesti berani menanggung akibatnya menjalankan sesuatu putusan yang sah.

Seperti League of Nations, maka UNO bermaksud penting mulia menegakkan perdamaian dunia dengan jalan menyelesaikan pertikaian negara dan negara. Sanctionnya UNO lebih tegas, pasti dan kuat dari sanction-nya League of Nations.

Kalau sesuatu negara terang ceroboh, maka menurut undang-undang UNO, tidak saja harus diboikot dalam arti ekonomi atau perhubungan, tetapi juga boleh digempur.

Sifatnya sesuatu kecerobohan itu terang pula termaktub dengan Anggaran Dasarnya UNO Kecerobohan itu dalam hakekatnya didasarkan atas pelanggaran dua hak sesuatu bangsa, yakni pertama menentukan pemerintahnya sendiri (right of self determination) dan kedua mempertahanakan Kemerdekaan Negaranya (right of self defence).

Pelanggaran itu berlaku, kalau salah satu dari lima perkara yang ditentukan pada salah atu konferensi dunia berlaku, ialah: (1). kalau sesuatu negara mengumumkan perang pada negara lain (sudah tentu yang bukan menyerang!); (2). mengerahkan tentara daratnya buat menyerang; (3). mengerahkan armadanya dan pesawat terbangnya; (4). mempersenjatai sesuatu golongan dalam negara lain yang menyerang negara lain itu; (5). mengepung ekonominya negara lain (blokade ekonomi).

Yang akan menjadi ujian buat UNO kelak terutama sekali adalah dua persoalan:
1. Bagaimana sikap UNO terhadap bangsa yang melepaskan dirinya dari salah satu bentuk penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan yang diperolehnya terhadap serangan luar.
2. Bagaimana sikap UNO terhadap negara yang maju dengan perminataan mempunyai pasar-tetap, baik berupa protection (perlindungan), commonwealth ataupun free state (persoalan "the haves and the haves not").

Persoalan I
Berhubung dengan persoalan 1) apakah UNO akan menganggap sesuatu negara yang "menyerang" satu bangsa yang memerdekakan dirinya dan mempertahankan kemerdekaannya itu adalah satu negara "ceroboh"? Apakah UNO dalam hal ini akan memboikot atau mengempur negara ceroboh itu?

Dalam arti yang tegas-hidup buat Indonesia sekarang pertanyaan itu kita boleh susun, sebagai berikut:

Apakah si Licik-Pendusta Diplomasi Inggris dengan bonekanya si Congkak-Cacah-Camar-Ceroboh tetapi pengecut Belanda, yang memakai tentara darat, laut dan udara, mengadakan pengepungan ekonomi, mempersenjatai dan mengerahkan Jepang dan Bangsa Indonesia yang bodoh-goblok menyerang bangsa Indonesia yang memerdekakan dirinya dan mempertahankan kemerdekaannya selama 8 bulan ini, bukan satu kecerobohan?

Kalau belum terang, apakah UNO tak patut mengirimkan satu komisi yang terdiri dari beberapa Negara, termasuk juga negara yang tiada berkepentingan minyak tanah, getah atau timah di Indonesia ini? apakah sikap Inggris dan bonekanya Belanda dibenarkan, apakah ini tidak akan berarti membenarkan "penjajahan" dan membatalkan "hak kemerdekaan sesuatu bangsa" (right of self-determination) dan "hak mempertahankan diri" (right of self-defence) ialah dua tiang tempat berdirinya UNO?

Kalau seandainya Inggris dan bonekanya Belanda memang melanggar kemerdekaan Indonesia dan memang ceroboh, tiadakah perlu Inggris Belanda diboikot dan digempur? apakah sikap sikap lemah seperti terhadap Jepang pada tahun 1931 pula yang akan diambil?

Satu pepatah yang masyur sekali berhubung dengan sikap yang mesti dipakai oleh para hakim dalam satu perkara di salah satu Negara demokratis yang kuno di Indonesia di jaman lampau berbunyi: "Tiba di mata dipicingkan dan tiba di perut dikempiskan". Artinya itu kalau yang bersalah itu adalah berdekatan dengan para hakim maka perkara itu ditutup saja. Menurut dasar negara itu juga patutlah: "Tinggi kayu aru dilangkahi dan rendah bilang-bilang diseluduki". Artinya, walaupun yang kiranya bersalah itu berkedudukan tinggi, maka para hakim mesti berani melangkahi, berani melakukan hukuman, ialah kalau perlu. Jika yang diperiksa itu rendah kedudukannya dalam masyarakat, maka para hakim harus lebih merendah (hati) lagi: lebih objektif dan lebih ramah-tamah.

Tetapi apakah negara kecil-kecil dan negara besar-ponakan Inggris, apakah (our cousin) Amerika Serikat akan bisa, berani mau sampai hati mengambil tindakan terhadap Inggris? Teranglah Amerika Serikat sampai hati "me-atomi" satu negara Asia, seperti Jepang, tetapi apakah Amerika Serikat akan berani, mau dan sampai hati menegor, memboikot atau menggempur Inggris, Nica kalau terang bersalah?

Apakah dalam hal ini berlaku pepatah kuno di atas: "Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan?

Kalau tidak sanggup, maka cuma satu jalan yang patut dipilih oleh Amerika Serikat. "Tinggalkan" UNO seperti dulu Amerika meninggalkan League. Kalau Amerika Serikat tetap tinggal duduk dalam UNO maka dia ikut tanggung akibat yang lebih besar: kecerobohan bebas dari hukuman terus-menerus, bahkan dapat sanction, ialah "cap" pula dari UNO sampai…… ke Perang Dunia 3.

Persoalan II.
Karena rapatnya perhubungan persoalan pertama di atas dengan persoalan kedua, maka dalam pemecahannya persoalan pertama sudah termasuk pula pemecahan persoalan kedua ini: yaknim boleh atau tidakkah dibenarkan oleh UNO permintaan baru untuk mempunyai pasar tetap, berupa commonwealth atau free state?

Seandainya kelak sesudah beberapa tahun salah satu negara Jerman, Italia, Jepang atau ketiganya serentak bangun kembali atau negara baru seperti Tiongkok atau Brazil, dll., memajukan permintaan di atas, apakah UNO akan menolak saja permintaan semacam itu? Tegasnya, permintaan semacam itu berhubungan rapat dengan persoalan "the haves and the haves not", yang punya tak punya jajahan atau pasar tetap.

Dalam hal ini apakah alasan "imperialisme licik, bohong, jahanam Inggris" dan bonekanya Belanda-Perancis buat menolak permintaan negara kapitalis baru, yang memang butuh pula dengan pasar itu?

Kalau Inggris menolak buat orang lain dan membenarkan buat dirinya sendiri seperti terhadap Jerman, Italia, Jepang di jaman League, maka akibatnya penolakan itu akan diwarisi pula oleh UNO Kebangunan Jerman, Italia, Jepang ditambah negara kapitalis baru…….. akhirnya perang dunia ke 3, dan bubarnya UNO karena "tak jujur", munafiknya sendiri.

Kalau Inggris membenarkan negara kalah ditambah beberapa negara baru berjajahan, sedangkan semua jajahan sudah dibagi-bagi di antara Inggris dan bonekanya, maka ini buat kapitalisme imperialisme Inggris dan para bonekanya "berhara-kiri" ialah membunuh diri sendiri.

6. Idonesia, Serba-Serbi.

Penyakit "ist" dan "isme".

"Ist" ialah akhiran kata, beralasan bahasa asing seperti juga "isme". "Ist" mengartikan seseorang, sebagai pengikut orang yang berarti, umumnya dalam dunia berpikir. Jadi Marxist, ialah pengikutnya Marx. "Isme" ialah paham, sebagai buah pikiran seseorang ahli pikir. Budhisme umpamanya, ialah buah pikiran ahli pikir Hindustan di masa dahulu, bernama Budha. "Sosialisme" banyak coraknya, tetapi yang dinamai "scientific-sosialisme", atau sosialisme menurut ilmu pasti dibentuk oleh Marx dan teman pembentuknya Engels.

Sesuatu "isme" itu tentulah dibentuk pada "satu masa", dalam "suasana dan keadaan tertentu" dengan memakai "cara berpikir yang tertentu" serta "wujud dan penjuru penilik yang pasti" pula. Budhisme di atas dibentuk oleh Gautama Budha + 2500 tahun lampau dalam masyarakat pertanian dan pertukangan yang sederhana dan agak tentram dengan cara berpikir logika berdasarkan idealisme dengan wujud melenyapkan kasta Hindu buat sama-rata di antara Rakyat di masa itu.

Sosialisme, bentukan Marx-Engels, timbul + 100 tahun lampau dalam masyarakat kapitalisme muda, tetapi bergelora dengan cara berpikir dialektis berdasarkan kebendaan (materialisme) dengan wujud melenyapkan kelas borjuis menuju masyarakat sama-rata di antara kaum pekerja seluruh dunia.

Banyak sekali bahayanya mengakui diri "ist" yang sebenarnya dan mengandung "isme" tulen, sambil menuduh orang lain sebagai "ist" palsu dan pengikut " isme" lancung. Apalagi kalau masa revolusi dalam iklim yang termasyur panas dalam segala-gala dan dalam masyarakat yang mengandung 93% buta huruf kita ini.

Banyak orang yang tak bisa membedakan "cara berfikir" (metode) dan buah (hasil) berpikir. Seorang guru yang mengajarkan "cara" menjelaskan satu persoalan (perhitungan) mungkin salah perhitungannya sedangkan muridnya mungkin benar. Mungkin si Guru tadi "silap", karena terburu-buru, salah baca dll, sedangkan "cara" (metode) menghitungnya sudah tentu benar. Demikian pula tak akan mustahil kalau sekiranya "perhitungan" Marx sendiri -- yang manusia juga -- dalam politik, ekonomi dll. silap, karena belum nyata semua bukti politik, ekonomi dll. di masa hidupnya itu. Meskipun begitu Marx tetap "guru" dalam sebenarnya dalam "cara" berpikir "dialektika-materialistis" itu. Dalam hal banding-membanding perhitungan politik, ekonomi dll. Di Indonesia dengan paham Marx 100 tahun yang lampau orang mesti berlaku awas sekali. Janganlah dilupakan, bahwa suasana dan keadaan politik, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Eropa dahulu dan sekarang berlainan dengan keadaan di Indonesia sekarang. Lagi pula kalau membawa-bawa Kautyskisme, Leninisme, Stalinisme, Trotskyisme ke Indonesia ini, janganlah ditelan paham, perhitungan atau sikap mereka itu bulat mentah begitu saja.

Karena paham perhitungan atau sikap mereka itu adalah hasil perhitungan politik, ekonomi, kebudayaan yang bersejarah berlainan dari pada Indonesia kita di alam panas ini. Akhirnya kalau meraba-raba pertikaian di antara salah satu "isme" di atas dengan salah satu lainnya, janganlah lupa mengemukakan suasana persoalan mereka itu dalam arti seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Kalau tidak begitu, maka kekacauan yang akan ditimbulkan oleh pengertian setengah-setengah itu lebih besar dari pada tiada memajukan isme dan pertikaian isme itu sama sekali. Jarang orang bisa menduga korban bisikan palsu saja dalam masyarkat yang mengandung 93% buta huruf ini. Yang beruntung tentulah musuh!.

Lebih baik pakai saja "metode" berpikirnya Marx serta syarat penting dalam sosialisme, buat dilaksanakan atas bahan politik, ekonomi, kebudayaan, sejarah dan jiwa revolusioner Rakyat Indonesia sekarang ini menentang imperlialisme, buat mewujudkan masyarkat yang cocok dengan kekuatan lahir batin Rakyat Indonesia dalam suasana internasional yang bergelora ini. Kalau hasil perhitungan kita itu disetujui dan dijalankan oleh Rakyat Indonesia, maka hal itu adalah bukti yang senyata-nyatanya, bahwa perhitungan tiada salah tak berapa salahnya. "The proof of the pudding is in the eating", pengalaman itulah guru yang sebaik-baiknya.

Ekonomi

Di lain tempat sudah dilakukan kupasan tentang watak dan daerah kapital internasional di Indonesia sebelum Belanda menyerah kepada Jepang di bulan Maret 1942. Sepintas lalu perlu dituliskan di sini beberapa hal yang berhubungan dengan hal yang tersebut sebagai "gelang penyambung" saja dalam "rantai karangan" kami ini.

Perusahaan Indonesia di jaman Belanda ialah perindustrian dan pertanian bahan mentah dan barang mewah. Bahan mentah dan bahan mewah itu tiadalah diadakan buat Rakyat Indonesia melainkan buat diperdagangkan oleh Belanda dengan negara yang membutuhi. Barang mewah, seperti teh, kopi, gula tembakau dll. sebagian besar dipakai oleh Belanda sendiri di Negeri Belanda, sebagian kecil oleh Rakyat Indonesia, tetapi sebagian besar untuk diperdagangkan ke semua penjuru dunia. Barang bahan seperti kapok, getah, kopra, sisal, palm-alie dll. sebagian besar pula buat diperdagangkan. Hasil tambang seperti minyak tanah, arang, timah, bauxite, emas, dan intan sebagian kecil sekali diperdagangkan oleh Belanda ke luar negeri.

Hampir semua mesin buat pabrik gula, teh, kopi, padi, kina, kopra dll., mesin buat tambang minyak, arang, timah, emas dll., adalah barang yang bukan dibikin oleh Belanda baik di Indonesia ataupun di negeri Belanda, melainkan barang yang dibeli oleh pedagang Belanda dari Inggris, Jerman dll. Seperti negeri Belanda sendiri, maka Indonesia bukanlah negeri tempatnya perindustrian berat, ialah tempatnya "mesin pembikin mesin" atau tempatnya "mesin ibu". Bukan karena tak ada bahan buat membikin mesin, seperti besi dan campurannya bauxite, allumunium dll, atau bukan pula karena tak ada modal, tenaga ataupun pasar dalam negeri, tetapi pertama sekali berhubungan dengan kecakapan dan semangatnya si penjajah Belanda, sebagian penduduk negara pertanian dan pedagang. Kedua berhubungan dengan terikatnya Belanda dalam hal ekonomi, politik, dan diplomasi kepada Inggris, tuan besarnya, dengan menimbulkan persaingan membikin berbagai-bagai mesin di Indonesia ini. Apalagi kalau Belanda itu mendapat perintah halus (pas op hoor!) dari Inggris "majikannya" supaya jangan sekali-kali berlaku demikian.

Kapital Internasional di Indonesia ini berpusat pada Anglo-Dutch, Inggris-Belanda. Dalam perusahaan "mengerok" minyak bumi dari pangkuan bumi kita, seperti BPM yang termasyur itu, Inggris menanamkan modal 40% dan Belanda 60%. Ini belum berapa hebat eratnya ikatan Inggris ke lehernya kapitalis Belanda di Indonesia yang oleh dunia luar dikenal sebagai "Dustch-Est-Indies (Hindia Belanda). Kalau dikaji pula dalam-dalam artinya "perjanjian" Anglo-Dutch tentang "getah dan timah" di Malaya dan "getah dan timah" di Indonesia buat mengendalikan pasar di dunia dan artinya Singapura buat ekspor dan impor keluar dan ke dalam Indonesia ini, maka di belakang tanda nama (naambord) "Dutch-Indies" itu sebenarnya tertulis "Anglo-Dutch-Indies".

Di sekitarnya kapital "Anglo-Dutch" itulah terdapat kapital Amerika, Tiongkok, Perancis, Jepang dan sebagainya.

Sudah diketahui bahwa "untung" modal Belanda di Indonesia dipukul rata F 500.000.000 (uang lama) setahun. Sedangkan begrooting (anggaran-uang) negara pukul ratanya belum lagi F 400.000.000. Dalam hal ini sudah termasuk pula pensiun pegawai Belanda. Untung F 500.000.000 ditambah sebagian dari F 400.000.000 terus mengalir ke negeri Belanda. Uang itu ditabungkan atau dibungakan dengan jalan memindahkannya ke Amerika, Jerman atau lain tempat. Sisanya uang tadi dipakai buat spekulasi di pasar (beurs) di Amsterdam dan di Rotterdam. Kalau sebagian saja uang F 500.000.000 itu dipakai buat "industrialisasi" di Indonesia, sudah lama Indonesia mempunyai industri enteng dan berat cukup buat kemakmuran dan pertahanan Indonesia setinggi-tingginya dan sehebat-hebatnya. Tetapi kemakmuran Indonesia itu harus cukup digambarkan oleh Departemen Ekonomi dengan hasil perhitungan Huender. Menurut perhitungan itu, maka pencarian si "inlander" cuma sebenggol sehari. Si Belanda lain memutar-mutar "kecelakaan" "si "inlander" ini menjadi "kebahagiaan" dengan mengatakan bahwa si "inlander" bisa hidup dengan sebenggol sehari.

Perkara pertahanan Indonesia, maka pintu gerbang kita, yang anehnya pula kebetulan dijaga oleh Jenderal Ten Poorten (di pintu gerbang), dengan "batuknya" Jepang sudah dibukakan dengan tergopoh-gopoh.

Kebanggaan Belanda terhadap dunia luar atas kerendahannya keperluan si "inlander" yang "dilindunginya" itu, ditambah pula dengan penghinaan atau kecerdasan bangsa Indonesia. Si Belanda selalu dengungkan dengan lisan dan tulisan ajaran pada murid-inlander, bahwa semua tambang, pabrik, kereta, kapal, kebun dan kantor yang dibangunkan oleh Belanda itu memberi penghidupan dan menjamin keamanan bangsa Indonesia. Bukan sebaliknya, bahwa semuanya itu adalah alat-perkakas pemeras tenaganya si "inlander" buat kemakmuran dan memewahkan hidupnya si Belanda.

Didikan sekolah Belanda, propaganda surat kabar dan buku kesusastraannya akhirnya, tetapi tak kurang pentingnya di beberapa pulah tahun belakangan ini "Kristening Politik" yang dijalankan imperialisme Belanda, menghasilkan satu golongan bangsa Indonesia, yang karena kurang perkataan yang lebih tepat kami sebutkan saja dengan nama baru ialah "inlanders-alat". Di antara jenis sejawatnya, "inlanders-alat" kita ini tak ada taranya di seluruh dunia ini, baikpun di jajahan ataupun di negara merdeka. "Inlanders-alat" ini terdapat dalam Badan pemerintah, kepolisian dan kemiliteran imperialisme Belanda. Reserve besar dari "inlanders-alat" ini terdapat pada golongan intelligensia, ber- atau tak bertitel.

Titel ini buat mereka "inlanders-alat" cuma memberi jaminan kecerdasan dalam hal yang berhubungan dengan teknik dan ilmu yang tak bersangkutan dengan ilmu masyarakat saja. Dalam semua ilmu yang berhubungan dengan masyarakat, teristimewa politik, ekonomi mereka menunjukan sifat mereka yang teristimewa pula sebagai "inlanders-alat". Tidak ada di seluruh dunia ini yang lebih gampang dipakai oleh imperialisme asing buat melakukan kemajuannya dari pada "inlanders-alat" ini, ialah hasil pendidikan sekolah Belanda dan sekolah zending yang dibantunya dengan segala tipu-dustanya.

Sebagai alat pemerintah, maka "inlanders-alat" mendapatkan tempat paling cocok seperti "kandang bernaung". Seolah-olah tak ada lagi kandang yang lebih bagus buat dirinya dari pada kandang yang dibikinkan oleh tuannya. Seakan-akan tak ada lagi nasi dan tulang yang lebih enak dari pada nasi dan tulang yang dilemparkan tuannya kepadanya. Telinganya siap-sedia mendengarkan perintah tuannya. Matanya tajam buat menerkam mangsa dan bangsanya sendiri, kalau perintah datang dari "atas" ialah dari mereka yang menurut ilmu dan pahamnya yang memberi pelajaran penghidupan dan perlindungan pada diri dan bangsanya. Begitu setianya pada tuannya, sehingga pukulan yang diberikan kepadanya, dianggap sebagai hukuman adil terhadap dirinya. Tak ada yang berat hukuman itu buat dirinya. Kalau kadang-kadang hukuman dan pukulan itu menghilangkan kesabarannya bukanlah karena rasa keadilan, kebangsaan, kehormatan atas diri sendiri dan kemerdekaan sebagai manusia atau bangsa. Melainkan karena agak lama ia menunggu kesempatan, bilamana dengan ekor di antara kaki belakangnya ia diberi izin boleh kembali menjilat-jilat kaki tuannya dan menjalankan perintah tuannya itu dengan lebih cepat dan menjalankan perintah tuannya itu dengan lebih cepat dan kalau lebih perlu lebih kejam dan bengis terhadap bangsanya sendiri, semata-mata buat kesenangan tuan "ndoro"nya itu.

Imperialisme Jepang mendapatkan alat yang baik sekali dari "inlanders-alat" ini, yang memang berada dalam keadaan budak yang kehilangan tuan. Manusia yang bisa menerima perintah semacam ini sudahlah tentu menderita kesengsaraan dan membutuhkan "tuan". Sedikit saja lagi usaha yang perlu dilakukan oleh tuan baru, yang menggelari dirinya "saudara-tua". Beri makan secukupnya pada "inlanders-alat" yang ditinggalkan tuannya tadi dan tukar saja perkataan "bevel" (perintah) dengan kata "merei", sendirinya jawab "inlanders-alat" yang dulu berbunyi "ja-meneer" bertukar "hai", semua pekerjaan sebagai alatnya imperialisme asing akan berjalan terus.

Jepang tak mempunyai sumber minyak di negerinya. Perlu minyak dari Indonesia. Tak mempunyai besi cukup. Sudah lama besi itu didatangkan dari Malaya dan Tiongkok. Jepang tahu pula bahwa Borneo, Sulawesi, dan Sumatera banyak mengandung logam besi. Jepang tak mempunyai timah, bauxite, getah, makanan dll. Semuanya ada di Indonesia. Ringkasnya Jepang paling miskin tentangan bahan buat makanan dan industri-berat, tetapi sebaliknya paling kaya tentangan nafsu mengangkangi seluruh dunia dan menempeleng serta membagero-kan siapa yang tak setuju dengan maksudnya.

Saudara tua kita juga amat insyaf, bahwa kalau Indonesia diangkat menjadi negara industri-berat, lambat laun, kekuasaan akan pindah dari negara Jepang, yang miskin itu ke Indonesia, apalagi kalau Indonesia dimerdekakan! Barang bahan penting buat industri-berat mesti diangkat ke Jepang 5000 km jauhnya dari Indonesia. Di Jepang mesti terpusat industri berat. Sendirinya di Jepang akan terpusat kepandaian buat teknik, kimia dan ilmu lainnya. Indonesia mesti terus ditekan sebagai negara perusahaan bahan mentah dan pertanian buat makanan. Sedikit saja Indonesia meningkat ke industri berat, Jepang mesti kalah oleh Indonesia, karena semua bahan berada di Indonesia. Jadi Indonesia mesti tetap ditekan, tinggal tetap negara bahan mentah dan pertanian. Politik pendidikan dan kebudayaan Indonesia mesti dicocokkan dengan kedudukannya sebagai "negara-alat" dalam "Asia-Timur-Raya", ialah alat pula buat mengangkangi seluruh Asia dan akhirnya seluruh dunia menurut Rencana Tanaka.

Sudah siap "inlanders-alat" para peminpin rakyat dan intelligensia sebagai reserve, buat menjalankan administrasi, perindustrian, pertanian Indonesia, warisan dari Imperialisme Belanda, buat dipakai oleh imperialisme Jepang menegakkan "Asia-Timur-Raya" tadi. Pamong Pradja, Tyuuo-Sngi-In, Para Kakka made in Japan, Pemimpin Besar, Tengah dan Kecil atas "Panca Darma", semuanya "Kirei" berdiri mendengar "Komando" dari Tenno-Heika di Tokyo.

Puluan ribu pemuda dilatih sebagi Heiho, pembantu serdadu Jepang, dikirimkan ke semua pulau di Indonesia, bahkan juga ke Birma dan Siam buat "orang suci" di Asia Timur Raya. Para "Kakka" Indonesia memihak kepada Jepang, bukan karena persoalan kalah-menang, melainkan karena Jepang berada pada "kebenaran, keadilan, dan kesucian"……… katanya.

Diketahui sekarang, bahwa 3 atau 4 juta "romusha" mati karena memang kekurangan pakaian, tempat tinggal, obat-obatan dan makanan. Mereka (biasanya diculik) dikerahkan buat meninggalkan desa, pekerjaan dan anak isteri, menggali lubang pertahanan militer, lapangan terbang dll. Keperluan militer di mana-mana.

Buat membalas "jasa" Jepang menetapkan Indonesia negara pertanian, dan perusahaan bahan semata-mata, dengan memeras keringat, dan darah putera-puteri (pelayan Indonesia) maka ada pula kakka yang setuju dengan penyerahan Eklatan dan Pahang kepada Siam, dan Semenangjung Melayu, Borneo Utara dan……… Shonanto, Yakni pusat strategi seluruhnya Indonesia bersama Birma, Siam Annam dan Filipina……… kepada militerisme Jepang.

"Inlanders-alat" tetapi konsekuen dengan watak dan sejarahnya sebagai alat imperialisme asing.


B. INDONESIA KELUAR.

Beberapa persoalan yang terpenting yang mengenai dunia luar umumnya dalam garis besarnya tentulah pula mengenai Indonesia. Indonesia tiadalah bisa lepas dari pada persoalan yang berhubungan dengan pertentangan sosialisme dengan kapitalisme, pertentangan si Penjajah (the haves) dan Yang-Ingin-Menjajah (the haves not), pertentangan si Penjajah dan si Terjajah, serta akhirnya pertanyaan "Hari Depannya" UNO. Tetapi beberapa persamaan dunia Indonesia dengan dunia luar itu tiadalah boleh menyesatkan kita ke daerah cara berpikir yang sering disebut dengan cara "mekanis", ialah cara jalannya mesin yang tak berotak itu. Karena persoalan ini atau itu dipecahkan di luar Indonesia dengan hasil demikian, maka persoalan itu mesti dipecahkan di Indonesia dengan hasil serupa itu pula, dengan tiada mengindahkan beberapa perbedaan. Yang terpenting ialah membentuk persoalan itu di Indonesia ini (het stellen van het probleem) dan cara (metode) yang dipakai buat memecahkan persoalan itu. Bukanlah hasil pemecahan itu yang terpenting. Tidak saja persamaan dalam garis besarnya yang mesti diperhatikan, tetapi juga beberapa perbedaan, walaupun kecil rupanya. Tiadalah boleh dilupakan, bahwa beberapa perbedaan kecil itu kalau dikumpulkan bisa menjadi perbedaan besar (kuantitas menjadi kualitas, perbedaan banyak bertukar menjadi perbedaan sifat). Buat membentuk persoalan dan memecahkan persoalan itu di Indonesia ini perlulah pula kemerdekaan berpikir dan keberanian. Keberanian dan kemerdekaan berpikir dalam hal membentuk persoalan dan memecahkan persoalan itulah yang membawa Lenin kepada sistem baru kepada hasil perhitungan dalam hal organisasi dan taktik strategi. Kalau Lenin meng-aminkan saja apa yang dimajukan oleh Karl Kautsky, pendeta Internasional II, dalam hal taktik strategi, dan menghapalkan saja pendapat Kautsky & Co di Eropa Barat dengan tiada memperhatikan perbedaan Rusia dengan Eropa Barat, maka Rusia tak akan sampai meningkat ke masa Diktator Proletariat, ke Rencana 5 tahun, pertanian kolektif, dll. Lenin dan para kawannya tak akan bisa lebih jauh berpikir dan bertindak dari kaum Mensheviki atau Sosial-Revolusioner. Dengan memakai cara berpikir Dialektis Materialisme dan memperhatikan dasar komunisme dalam garis besarnya, mungkin sekali Indonesia akan mendapatkan sistem yang berlain rupa dengan Negara Luar, meskipun tiada berlainan sifat, ialah dalam hal Organisasi, Taktik dan Strategi.

Bagaimanapun juga karena banyak persamaan tadi dengan Dunia Luar, seperti tersebut pada permulaan fasal in, maka uraian yang bersangkutan boleh diperpendek saja.

1. Diplomasi Dan Diplomat.

Diplomasi Indonesia semenjak hampir 10 bulan ini sudah sangat terlibat dalam "perhitungan" banwa imperialisme Inggris itu bisa dipisahkan (di-isolir) dari pada imperialisme Belanda dan ditumbukkan kepada imperialisme Belanda. Berdasarkan perhitungan ini, maka dianggap amat untunglah si Diplomat kita, yang berikhtiar mengadu-dombakan Inggris dengan Belanda. Dengan demikian diharapkan paling sedikitnya si Inggris akan memusuhi si Belanda dan Indonesia mendapatkan kesempatan buat mempersiapkan diri. Tetapi nyatalah sekarang, bahwa sudah berbulan-bulan berdiplomasi hasil yang sebenarnya dari pada "perhitungan" ini ialah: pada satu pihak Inggris menyerahkan Surabaya, Semarang, Bandung, dll. kepada Belanda yang dikeluarkannya dari kantongnya dan memintakan daerah antara Ci Sedane dan Ci Tarum buat dipakai si Belanda sebagai batu-peloncat buat menjajah Indonesia kembali, permintaan mana katanya dikabulkan oleh para pembesar Indonesia. Pada lain pihak pergerakan revolusioner ditindas keras (Kongres "Persatuan Perjuangan" 17 Maret di Madiun) serta badan pemerintahan dan ketentaraan hendak dipindahkan kepada kaum-jinak (moderat). Pengharapan palsu masuk ke dalam kalbu segolongan bangsa Indonesia. Hal ini berakibat melemahkan semangat Rakyat di samping Belanda mempersiapkan diri. Seandainya si Diplomat kita berpikir dan berlaku jujur, maka di sinilah kita mendapat contoh yang tepat, yang menggambarkan perbedaan antara memahamkan sesuatu teori dengan mengapalkan saja teori itu. Pula mengambarkan perbedaan melaksanakan teori itu dengan mempelajari sungguh-sungguh keadaan di tempat melaksanakannya dengan meniru-niru saja pelaksanaan teori tadi di lain tempat dan di lain tempo: perbedaan pelaksanaan secara dialektis dengan pelaksanaan secara mekanis seperti mesin.

Teori devide-et-empire, mengadu-dombakan bangsa kontra bangsa ataupun golongan melawan golongan memangnya dalam dipahamkan serta jitu dilaksanakan oleh Kerajaan Romawi di jaman kuno dan oleh Inggris dan Belanda lebih dari 300 tahun di belakangan ini. Tetapi janganlah dilupakan "machtsfaktor" (faktor kekuasaan) yang dipakai dengan perhitungan di sampingnya atau di belakangnya pelaksanaan politik mengadu-dombakan itu. Dan apakah faktor kekuasaan yang ada lahir dan batin di Indonesia cukup dikenal, disusun, dan dipakai oleh si Diplomat Indonesia?

Adakah gerakan tentara atau gerakan Murba yang diatur dan dipakai dengan "perhitungan" membantu gerakan "lidah" si diplomat?

Ataukah semua diplomasi dipusatkan kepada gerakan lidahnya si Diplomat itu saja? Hal yang terpenting pula apakah "perhitungan" bahwa imperialisme Inggris itu bisa dipisahkan dan diadu-dombakan dengan imperialisme Belanda? Di atas tadi sudah dikemukakan, bahwa Dutch Indies itu dalam arti ekonomi ialah Anglo-Dutch-Indies.

Hasil terpenting buat kemakmuran dan pertahanan Indonesia seperti minyak tanah dan karet, sudah dikendali oleh kongsi minyak kepunyaan Anglo-Dutch dan kebun getah Inggris yang ada di Indonesia ini. Singapura, simpang jalan dunia terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia sudah mengendalikan perdagangan keluar dan masuk Indonesia. Perjanjian Anglo-Dutch tentang penghasilan penjualan getah dan timah yang dibikin tiap-tiap tahun, yang mengenai harga ratusan juta rupiah sudah mengekang jalannya ekonomi Indonesia. Ringkasnya dalam hal ekonomi imperialisme Inggris dengan sempurna dan efektif mengekang imperialisme Belanda. Kalau Sir Hendrik Deterding diberi gelar Sir oleh Inggris, maka ini bukan berarti keulungan si Hendrik ini tentangan lain hal daripada keulungan menjadi kaki-tangannya imperialisme Inggris. Titel itu diberikan oleh Inggris di mana ia mendapatakan kaki-tangannya yang patuh, buat mengekang ekonomi dan politik negara yang mau dijadikan atau sudah dijadikan mangsanya. Di Hongkong diberikan kepada Tionghoa Sir Robert Ho Tung buat mengapusin seluruhnya Tiongkok. Di Hindustan titel itu dihamburkan kepada beberapa biji orang Hindu yang ikhlas menjalankan peran sebagai kaki-tangan imperialisme Inggris lahir ataupun batin, seperti seseorang menghamburkan tulang-tulang kepada anjing yang disukainya. Malaya pun tiada kelupaan. Hartawan Besar Sultan Johor di tempat strategi dunia yang terpenting "beruntung" pula mendapat titel Sir itu. Sepintas lalu hal ini kelihatan perkara kecil saja. Tetapi kalau kepentingan Malaka dan Singapura dalam hal ekonomi dan strategi dipelajari dalam-dalam, maka kalung "Sir" yang dianugerahkan oleh Raja Inggris kepada Ibrahim, Sultan Hartawan Johor itu besar sekali maknanya. Sir Ibrahim sudah memberi kekuasaan besar dalam perekonomian kerajaan Johor kepada kapital Inggris, Sir Ibrahim salah seorang otokrat terkaya di Asia, menaruh simpanan besar di Bank Inggris. Sir Ibrahim akhirnya adalah turunan pula dari pada keluarga Sultan Johor yang hidup di masa Stamford Raffles, lebih dari 100 tahun lampau. Salah seorang putra Sultan Johor tadi berhak mewarisi Singapura, tetapi karena gila ditolak oleh Rakyat Johor sebagai Raja dan sebagai ahli-waris pulau Singapura. Ahli-waris yang gila ini d culik dan diajak berunding oleh Raffles di Singapura. Hasil perundingan ini pada suatu pihak Putra gila yang ditolak oleh Rakyat Johor tadi beruntung diakui oleh Raffles. Pada lain pihak Raffles beruntung dapat membeli Singapura dengan harga $60.000 (enam puluh ribu dollar). Kecerdasan Raffles ialah satu dari pada pujaan dunia imperialisme Inggris – tiadalah terletak pada ketangkasan matanya melihat kepentingan Singapura buat ekonomi dan strategi. 1500 tahun lampau kearajaan Sriwijaya sudah insyaf akan hal ini. 500 tahun lampau kerajaan Majapahit penuh insyaf akan keinsyafan seluruhnya di Sriwijaya tadi. Rafles sebagai ahli sejarah Indonesia tentulah lebih insyaf dari pada siapapun juga, akan hal, bahwa bukanlah dia Raffles yang pertama sekali menampak kepentingannya Singapura dipandang dari sudut perdagangan dan strategi. Tetapi dia cukup cerdas buat menaksir, bahwa kalau ia berhubungan dengan orang Indonesia yang sedikit saja cerdas ia tak akan mendapat Singapura dengan harga $60.000. Ia perlu berunding dengan orang gila, buat membeli Singapura dengan harga gila.

Kemarin bandit, perampok, sekarang sesudah menjadi raja, berlagak dermawan. Hal ini lazim di dunia feodal. Kemarin tukang catut atau tukang smokkel, dan sesudah kaya-raya berlagak menjadi dermawan. Hal ini masih lazim di dunia kapitalisme. Kemarin merampok negara merdeka, sekarang berlagak menjadi pelindung ataupun "Ratu Adil". Inipun lazim di dunia imperialisme. Tangan kanan membacok tangan kiri mengobati supaya si mangsa bisa dipakai sebagai budak. Sesudahnya Inggris mencatut Singapura dan merampok Malaka, maka dia berlagak sebagai pelindung. Demikian para Sultan dilambuk, dikenyangkan dan di-Sir, supaya mereka merampas dan memeras Rakyatnya buat kepentingan karet dan timah kapitalis Inggris di Malaka. Dengan memakai para Sultan di Semenanjung Tanah Malaka umumnya dan "Sir" Ibrahim khususnya di samping Sir Hendry Deterding sebagai kaki-tangannya di Indonesia, maka dalam hakekatnya imperialisme Inggris sudah menguasai seluruhnya Indonesia, termasuk Malaka dan Borneo Utara dalam hal politik dan ekonomi.

Dalam hal strategi kepentingan Singapura lebih nyata lagi. Ambillah jangka dan bikin satu lingkaran dengan radius 150 mil. Dalam lingkaran itu terletak Birma, Siam, Annam, Filipina, seluruhnya Republik Indonesia dan Australia. Inilah yang kita pernah namai Aslia (Asia-Australia). Menurut ahli Barat penduduk di Aslia itu termasuk ke dalam satu bangsa. Sepintas lalu kelihatan bahwa bagian bumi ini dikuasai oleh iklim yang sama dan musim yang sama (monsun). Jadi watak ekonominya pun mempunyai banyak persamaan. Berhubung dengan itu membutuhkan satu koordinasi perekonomian. Tetapi yang kita terutama mau kemukakan di sini ialah kepentingan lingkaran ini dipandang dari penjuru strategi. Dengan Singapura sebagai pusat, maka menurut kekuatannya pesawat terbang Perang Dunia ke II, Aslia terletak dalam "flying radius" (lingkaran terbang). Lingkaran teknik atom yang berada di Australia (?) tiada akan mengecilkan arti Singapura dan Aslia.

Menurut U.P dalam surat kabar Hindustan The Bharat Yuoti, 5 Mei, 1946 ini, maka dalam konferensi commonwealth Inggris pada tanggal 3 Mei di London yang diketuai oleh Perdana Menteri Attlee, maka pemerintah Inggris mengusulkan supaya Australia berunding dengan Belanda buat memperoleh Bandung dan beberapa pelabuhan penting buat melindungi Kerajaan (Empire) Inggris di bagian Selatan dan Barat Daya-nya Pasifik. Australia dengan tegas menolak usulan ini karena tiada menghendaki akibatnya diplomasi imperialis semacam itu. Australia tiada ingin memusuhi Republik Indonesia. Bahkan sebaliknya Australia mengharap adanya Pemerintah Rakyat (popular government) di Indonesia dengan siapa Australia ingin hendak mengadakan Alliance (persekutuan), sekali lagi kelihatan politik mulus jahanamnya Inggris terhadap Indonesia. Walaupun gagal Indonesia mesti selalu berlaku awas selama imperialisme Inggris masih berada di sekitarnya Aslia ini, dan belum dibongkar sampai ke akar-akarnya.

Nyatalah di sini, bahwa Inggris menganggap Aslia dalam hal strategi sebagai satu unit kesatuan. Jepang tentu tidak ketinggalan. Ini hari Singapura direbut Jepang pada tanggal 13 Februari 1942, besoknya Singapura ditukar namanya menjadi Shonanto (Kota Gemilang). Seluruh Aslia dinamainya Selatan. Sriwijaya dan Majapahit sudah cukup mengerti akan persatuan daerah Aslia itu dalam segala-gala.

Gerakan politik, diplomasi dan strategi Sriwijaya dan Majapahit juga dengan segala keinsyafan ditujukan ke arah kesatuan daerah Aslia itu. Oleh orang Tionghoa pun semuanya itu dinamai Huana (bahasa Hokkian). Sekarang kalau kita, Rakyat Indonesia revolusioner, ingin mengadakan rencana yang praktis, yang penting buat kemakmuran dan terutama pula buat keamanan Republik Indonesia sekarang dan di hari depan, maka tiadalah boleh kita ketinggalan oleh paham 500 tahun lampau (Majapahit) apalagi oleh paham yang sudah masak 1500 tahun lampau (Sriwijaya).

Berbahaya selalu keadaan Republik Indonesia dalam ekonomi dan strategi kalau kita tidak insyaf akan artinya politik dan strategi Rafles dan Yamasita. Walaupun ada Federasi Perancis dan Filipina Merdeka, tetapi dengan adanya Hongkong (Inggris) maka praktisnya Aslia adalah efektif dikuasai oleh Armada Inggris. Di tangan imperialisme Inggrislah sebenarnya terletak kekuasaan ekonomi dan militer buat mengangkangi seluruh Aslia. Imperialisme Inggris dan Belanda dan Perancis sebagai boneka para Sultan atau Raja dan sebagian intelligensia sebagai kaki tangan maka di masa damai dia mengendalikan politik-ekonomi Aslia. Dengan Singapura sebagai Dasar Armada dan Pesawat, serta Australia Putih dan Ceylon sebagai garis kedua (teknik atom?), maka imperialisme Inggris di waktu perang berniat menguasai seluruhnya Aslia (Asia-Australia). Mau tidak mau, dalam prakteknya Republik Indonesia, Merdeka 100% mesti bertentangan dengan Imperialisme Inggris. Di waktu damai kepentingan ekonomi Indonesia Merdeka 100% mesti bertentangan dengan kepentingan ekonomi penjajahan Inggris. Dalam masa perang Singapura akan mengancam Indonesia Merdeka, yang tiada mau dibonekakan oleh Imperialisme Inggris. Real-politik, politik sebenarnya, (bukan impian) memaksa Indonesia pada satu pihak berhadapan muka dengan imperialisme Inggris. Maka real politiklah pula pada lain pihak yang akan memaksa Indonesia Merdeka mengumpulkan semua tenaga revolusioner dalam lingkaran Aslia, flying-radius, buat ditumbukkan kepada imperialisme Inggris.

Kita percaya bahwa taktik-strategi yang cerdas, organisasi yang elastis (seperti karet) dengan usaha yang penuh kesabaran ketetapan  hati, kita sanggup berhadapan muka dengan imperialisme Inggris Singa Ompong itu.

Maka berhubungan dengan semua di atas pula, semua percobaan "diplomat ulung" di Indonesia ini berusaha memisahkan Belanda dan Inggris dan mengadu-dombakan Inggris dengan Belanda adalah seorang "cerdik" yang mencoba memisahkan dan mengadu-dombakan kepala buaya dengan ekornya. Semujur-mujurnya si Diplomat ulung tadi ia cuma bisa menghindarkan dirinya dari pukulan ekor buaya itu. Tetapi semalang-malangnya si Cerdik itu dia pasti akan masuk lebih dalam di rangkungan buaya tadi.

Adalah tiga syarat yang terutama kalau seorang ingin hendak menjalankan diplomasi bersandar kepada Devide et empera itu dalam keadaan revolusioner sekarang. Pertama sekali, kekuatan diri sendiri dan kepercayaan atas diri sendiri mestinya ada cukup. Kedua, diplomasi itu mesti bersifat revolusioner yang ada dalam negeri. Ketiga, diplomasi devide-et-empera yang revolusioner itu mesti ditujukan kepada bangunan-musuh yang mengandung pertentangan sesungguhnya, ialah pertentangan keperluan (ekonomi). Kalau seseorang diplomat Indonesia yang revolusioner mengemukakan pertentangan-tajam dalam hal keperluan penting antara Inggris dan Amerika, bahkan dengan Australia (commonwealth-Inggris), dan pertentangan itu terus akan berlaku selama Indonesia itu masih berada dalam ruangan kemerdekaan nasional, kita tak akan menyangkal (membantah), memangnya diplomasi-bambu-runcing dengan program minimum berlaku dalam suasana pertentangan hebat di antara gabungan Kapitalisme dan Imperialisme Asing, yang berada di Indonesia di jaman Belanda.

Si Pengelamun, Si-Tukang-Berpangku-Tangan, Si-Serba-Tak-Bisa tetapi nasionalis dan percaya saja kepada siapa saja kecuali pada diri sendiri, Si-Pengharap Pertolongan-Luar, dalam waktu damai boleh menertawakan atau mengecilkan artinya Aslia, tetapi sebagai gabungan revolusioner dalam lingkaran-terbang (flying-sphere) dengan Singapura sebagai pusat. Mereka boleh bermimpi-mimpi mengharapkan pertolongan jatuh dari langit, sambil menyeburkan isme ini atau itu ke kiri ke kanan. Mereka boleh terus berpangku tangan sambil bermimpi melayang ke langit sampai........ revolusi atau peperangan akan melemparkan mereka kembali ke dunia nyata, kembali ke tanah yang keras itu. Sesudah hampir sepuluh bulan si Tukang-Maki dan mengejek sering dengan memakai kedok internasionalis tetapi nasionalis yang bisa dipakai Nica, Jepang ataupun Sibar dalam prakteknya mestinya sudah insyaf, bahwa dalam revolusi atau peperangan, maka Rakyat Indonesia dalam suasana dan keadaan internasional seperti sekarang terpaksa berdiri atas kaki sendiri, pada organisasi sendiri, bersandar pada otak, hati dan jantung sendiri, pada kecerdasan, keberanian dan ketabahan hati sendiri. Teristimewa pula mesti berdiri atas alat hidup sendiri dan senjata sendiri, walaupun hanya bambu runcing saja. Di samping kepercayaan dan tindakan berdasarkan kekuatan diri sendiri yang sebenarnya, haruslah kita berusaha meluaskan lapangan perjuangan ke daerah yang memberi kemungkinan memberi hasil (Aslia). Baru bertindak begitu rupa, supaya dapat merebut simpati dan pertolongan tak langsung dari opini publik di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Semata-mata menyandarkan paham, organisasi dan aksi atas kekuatan yang tiada bisa dipakai sekarang, karena jauh atau belum bisa keluar, ataupun kalau keluar belum tentu bisa dipakai menurut kehendak atau kepentingan kita, sama juga dengan sikap seseorang yang ingin menamai diri seorang revolusioner, tetapi takut kepada revolusi. Dalam perjuangan yang sebenarnya ini memang nyata, siapa yang revolusioner di waktu revolusi dan siapa yang revolusioner di waktu damai: Si Pembelalang di dalam gelap, Si-penggertak dari sebalik gunung.

Persatuan Perjuangan yang didirikan pada tanggal 5 Januari 1946 tahun ini, cukup memperhatikan kekuatan kawan dan lawan, cukup memperhatikan sifat dan susunannya semua golongan yang ada dalam Indonesia (social-structure), sifat dan tingkatnya revolusi Indonesia, kepentingan dan pertentangan dalam kapitalisme dan imperialisme Asing. Persatuan yang diikat oleh Minimum-Program yang revolusioner terasa perlunya setelah di saat itu nyata kelemahan perjuangan, disebabkan oleh banyaknya partai dan banyaknya laskar. Pada beberapa tempat seperti Surabaya, Tegal, Pekalongan, dan Ciamis sudah timbul sengketa di antara laskar dan laskar, serta partai dan partai. Kalau Persatuan Pejuangan tak tampil ke muka, mungkin sengketa tadi akan lebih mendalam dan berakhir pada perang saudara, yang menguntungkan musuh.

Belum lagi 2 (dua) bulan Persatuan Perjuangan, yang sanggup mengikat 141 organisasi politik, sosial, ekonomi, dan militer, berjalan maka datanglah undangan dari pihak pemerintah Republik buat bersama membentuk Kabinet Baru, sesudahnya kabinet lama, Kabinet Soetan Sjahrir meletakkan jabatannya. Persatuan Perjuangan menolak campur membentuk Kabinet Baru, bukan karena tiada sanggup menerima "tanggung-jawab" seperti dibisikkan oleh satu pihak ke sana sini, melainkan karena ada hakekatnya Presiden menghendaki supaya yang "terpentingnya" dalam Minimum-Program dibatalkan! Sebenarnya susah sekali mengetahui berapa luasnya dan di mana batasnya kekuasaan "Presiden" Republik Indonesia di masa revolusi ini.

Undang-undang Dasar yang memusatkan kekuasaan dan tanggung jawab pada Presiden dan praktek memerintah sekarang yang memusatkan kekuasan dan tanggung jawab pada Perdana Menteri cuma membingungkan yang mempelajari saja. Si Pelajar akan lebih bingung lagi kalau diketahui bahwa Presiden berdiam di Yogyakarta sedangkan Perdana Menterinya di kota Nica Jakarta, yang sudah dicelupnya kembali dengan nama "Batavia". Sebenarnya Persatuan Perjuangan sudah siap sedia dengan para calon yang sanggup menerima pangkat menteri dengan atau tiada dengan Tan Malaka. Tetapi setelah ditentukan "disiplin" terhadap mereka yang akan menerima pangkat menteri yang akan membatalkan Minimum-Program, maka tiadalah seorang juga di antara para calon tersebut yang masuk ke dalam kabinet Sjahrir yang ke-2. Sebenarnya patut dipuji sikap para calon yang lebih mementingkan dasar, prinsip daripada pangkat.

Bukankah Rakyat dan Pemuda bertempur mengorbankan jiwanya buat dasar, prinsip yang nyata dan sah? Janganlah disalahkan para calon Persatuan Perjuangan yang memegang teguh dasar, haluan Revolusi Indonesia sekarang!

Semenjak terbentuknya minimum-program ialah 4 atau 5 bulan sampai sekarang, maka belumlah ada kelihatan cacatnya salah satu dari 7 pasal yang dikemukakan. Malah sebaliknya, kalau salah satu daripada 7 pasal itu dilanggar, dilemahkan atau dibelokkan, maka nyata sekali sikap dan tindakan rakyat terhadap tindakan semacam itu. Pelucutan Jepang yang bermula hampir dilakukan yang berlainan dengan tulisan dan lisan pasal 4, mengadakan perlawanan sekeras-kerasnya dari pihak rakyat di daerah Surakarta.

Sebab itulah rupanya tak jadi diadakan Markas Sekutu, seperti di Solo, ialah menurut pengumuman yang bermula diterima rakyat Solo. Tetapi apakah sudah cukup jaminan supaya tentara Jepang dari Pulau Galang kelak betul-betul akan dikirim ke Jepang dan bukan ke salah satu pulau di Indonesia, itu tiadalah bisa dipastikan.

Tulisan dan lisan pasal 4 itu memang bermaksud supaya seperti yang sudah-sudah terjadi di mana-mana tempat tentara Jepang jangan dipakai lagi buat merobohkan Republik Indonesia. Yang amat penting pula tentulah pasal 1 berhubungan dengan "perundingan" Minimum-Program menuntut supaya perundingan itu berdasar atas pengakuan kemerdekaan 100%. Artinya kemerdekaan 100% mesti lebih dahulu diakui. Perundingan yang akan dilakukan ialah buat menetapkan pengakuan itu dan membuat perjanjian yang berdasarkan kemerdekaan 100% itu. Dengan perkataan lain, perundingan itu adalah perundingan dua negara merdeka. Bahwa dalam keadaan perang sekarang kemerdekaan 100% bisa dicapai dengan "goyangan lidah" itu adalah berlawanan dengan pikiran sehat, dengan sejarah manusia dan berlawanan dengan "sifatnya" sesuatu "perundingan". Bukankah berunding itu berarti tawar-menawar, memberi dan menerima, tolak angsur? Dimanakah lagi letaknya "tawar-menawar" kalau satu pihak mau mendapatkan 100% yang sebelum berunding dibantah keras oleh lain pihak? Mungkin mendapatkan 90% ataupun dalam teori 99%, tetapi perundingan yang tiada berdasarkan atas pengakuan kemerdekaan 100% tidak akan mendapatkan yang 100% itu. Seandainya tercapai kemerdekaan 99%, bahkan 100% pun, tetapi kalau pasal 6 dan 7 dibatalkan, dilemahkan atau dibelokkan, maka lambat laun kemerdekaan 99% atau 100% tadi akan turun sampai 50% atau 10%. Kalau kapitalisme asing kembali bermarajalela seperti sebelum Jepang masuk, maka Parlemen Pemerintah Pusat, Daerah, kota dan desa Indonesia akan segera "dikebiri", kalau tidak dibeli sama sekali oleh kapital asing yang kuat dan teguh itu.

Jadinya pasal 6 dan 7 yang ingin menyita perindustrian dan perkebunan "musuh" itu adalah satu jaminan. Pertama supaya kemerdekaan di atas tetap 100%. Kedua supaya revolusi anti-imperialisme ini cukup memberi jaminan kekuasan dan kemakmuran kepada proletar mesin dan tanah. Ketiga supaya proletar mesin dan tanah kelak sesudah Indonesia merdeka 100%, dengan menjalankan "Rencana Ekonomi", segera bisa meningkat ke negara berdasarkan sosialisme yang mempunyai cukup alat mempertahankan kemakmuran dan kemerdekaannya, karena sudah mempunyai industri berat berdasarkan bahan dan tenaga yang ada di Indonesia ini.

Syukurlah pula pasal menyita dari Minimum Program tu sudah disetujui bahkan dijalankan oleh proletar mesin dan tanah, di mana ada pabrik, tambang dan kebun musuh berada.

Cocok dengan kehendak dan tindakan Inggris mendudukkan kembali Imperialisme Belanda di Indonesia dan bersama dengan kaum "moderate" (jinak) Indonesia memberantas kaum "extremist", maka sesudah Kongres Persatuan Perjuangan di Madiun pada bulan Maret tanggal 17, para pemimpin seperti Abikusno, Mr. Gatot, Sayuti Melik, Mr. Jamin, Chairoel Saleh, Soekarni dan Tan Malaka ditangkap setengah resmi, setengah tidak dengan tak ada tuduhan apa-apa.

Sampai dua setengah bulan (2 Mei 1946) ketika bagian brosur ini ditulis belum juga diperiksa perkaranya. Rupanya radio Hilversum-lah yang pertama tahu akan terjadinya penangkapan dan Belandalah yang amat bergembira lantaran penangkapan ini.

Penangkapan itu dilakukan pada tanggal 17 Maret 1946. Sedangkan radio Belanda di Jakarta dan Hilversum sudah mendengungkan berita yang amat menggembirakan mereka itu ke seluruh dunia pada tanggal 16 Maret 1946. Menurut kabar radio baru ini maka Komisi van Poll memandang penangkapan itu sebagai bukti "kekuatan lebihnya" PM Sjahrir daripada Tan Malaka. Tetapi "kekuatan lebih" itu terbantah pula oleh penyiaran radio Belanda juga tentangan laporan van Poll itu juga, yang mengatakan bahwa penangkapan Tan Malaka amat menyukarkan perundingan Belanda dengan "Nederlandsch-Indie" itu. Sebenarnya "kekuatan lebih" itu baru kelak ternyata apabila rakyat menerima usul si Belanda, yang rupanya sudah percaya benar akan kekuatan Sutan Sjahrir itu. Kalau Rakyat tiada menerima usul Belanda itu, maka penangkapan yang "tiada" berdasar undang-undang yang sudah tercantum dan disahkan itu, melainkan karena perbedaan politik itu saja bisa pula menimbulkan akibat yang tiada disangka-sangka dan dikehendaki. Usul Belanda yang tiada selama lagi akan dimajukan oleh van Mook, terutama dalam mengakui Indonesia seluruhnya dalam status otonomi, walaupun katanya, nama Indonesia dalam statussemacam itu boleh dinamakan Republik. Dengan begitu Belanda sudah menginjak-injak kemerdekaan dan kedaulatan Rakyat Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Terhadap keluar, negeri Indonesia tak bersuara sama sekali.

Terhadap ke dalam Belanda merobek-robek daerah (teritori), administrasi dan perekonomian Indonesia. Belanda akan kembali mengatur pegawai Indonesia dan kembali menduduki pabrik, tambang dan kebunnya serta memasukkan kapital asing dengan tak ada batasnya. Disampingnya itu "Hindia Belanda" yang "Autonoom" itu harus mengakui hutang "Hindia-Belanda" sebelum Jepang masuk. Kalau semua usul itu kelak diterima, maka kemerdekaan yang jauh kurang dari 100% dalam politik itu akan diturunkan pula sekian persen oleh hutang Indonesia tadi dan oleh kekuasaan pegawai-cap-Belanda serta oleh bermaharaja-lelanya kapitalisme di pemerintahan pusat dan daerah. Kekuatan lebih yang ditimpakan atas pemimpin-pemimpin Persatuan Perjuangan, yang berdiri atas pengakuan 100% itu akan berupa kekuatan nol % terhadap kapitalisme dan imperialisme asing. Bagaimana juga memutar lidah dan pena, otonomi Indonesia di mana kapitalisme asing merajalela akan membawa Indonesia kembali ke jurang perbudakan, mungkin lebih dari sediakala.

Selama dua setengah bulan Persatuan Perjuangan berdiri, maka persatuan yang berdasarkan perjuangan itu dikenalkan kepada seluruh lapisan Rakyat, dari Sultan-Sunan sampai ke kaum jembel. Front anti imperialis ini mengambil rakyat sebulat-bulatnya, sepenuh-penuhnya buat mempertahankan kemerdekaan Republik 100%.

Sebagai langkah pertama siasat ini mesti diambil. Siasat semacam itu dicocokkan dengan keadaan Indonesia dan dengan sejarah revolusi di mana-mana di dunia. Pertarungan yang dua setengah bulan itu sudah memberi ujian kepada semua lapisan tadi. Ternyata sudah setelah penangkapan Madiun terjadi ujian tadi sudah membawa pembelaan kemerdekaan Indonesia ke tingkat kedua. Kaum borjuis tengah, sebelah atas, ialah sebagian kaum saudagar, Pamong Praja, dan intelligensia sudah melempem dan berbalik muka. Mereka tidak tahan menjalankan ujian itu, asyik memikirkan bagaimana menghentikan perjuangan ini dan kembali menduduki kursi di sudut-sudut kantor yang dituan-besari oleh Belanda. Sikap melempem di tengah revolusi itu bukanlah monopolinya kaum tengah Indonesia saja. Memang itu sifatnya kaum tengah, ialah maju-mundur lebih banyak mundur daripada maju dan kalau terlampau berat lekas mundur, dan memilih pihak yang kiranya menang. Borjuis tengah Indonesia, seperti saudagar tengah, Pamong-Praja dan intelligensia memang tak bisa konsekuen baik dalam revolusi nasional ataupun dalam revolusi sosial.

Sifat memilih dan membidik siapa yang kuat dan akan menang dalam pergulatan itu memangnya terbawa oleh susunan ekonomi dan sosial Indonesia. Kaum tengah Indonesia tak mempunyai tempat bersandar maupun dalam ekonomi ataupun dalam politik. Saudagar tengah Indonesia tak kenal sama saudagar importor sendiri, pabrikant (pemilik pabrik) Indonesia sendiri atau pun bankir sendiri. Mereka bersandar pada Importir asing, pabrik-asing dan bankir asing. Demikian pula Pamong Praja dan reservenya, ialah kaum intelligensia bersandar pada imperialisme asing.

Tak ada Parlemen atau pemerintah nasional yang bisa dijadikan tujuan dalam usaha mereka mencari pangkat. Imperialisme Belanda dalam penjajahan 350 tahun itu jaya menghasilkan satu golongan pamong-praja dan reservenya, golongan intelligensia yang mempunyai semangat ingin memasuki kantor gubernur di bawah perintah sep Belanda, "semangat inlander". Semangat inlander ini amat tebal dan tak gampang diombang-ambingkan oleh semangat revolusioner. Kalau sep-Belanda hilang seperti pada penyerahan Belanda 8 Maret 1942, maka "para inlander" merasa bahagia mendapatkan "sep-baru" dan mempelajari "jongkok" baru, ialah jongkok ala Nippon.

Apabila rakyat memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agusuts 1945, maka "para-inlander" dengan setengah percaya dan setengah tak percaya memasuki kantor Republik, tetapi apabila "sep-lama" datang, maka gelisah lagi. Sekarang dengan memuncaknya perjuangan, maka sudah banyak para inlanders tadi yang mengenal kembali "his masters voice" itu (suara tuannya). Mereka kembali bersedia menerima perintah tuan-lama buat keperluan tuan lama itu, kalau perlu menentang kemauan bangsa sendiri.

Kini mereka para inlanders menunggu saat bilamana mereka dengan aman bisa melompat sambil berteriak-teriak: Tuan-besar sudah kembali! Sifat kaum tengah memang tengah memang sangsi bolak-balik di antara golongan atas dan bawah. Di mana ada kapital nasional dan borjuis nasional yang kukuh kuat, maka dalam masa revolusi kaum tengahnya sangsi bolak-balik di antara borjuis atas dan proletar nasional. Akhirnya di tengah-tengah kesukaran perjuangan mereka membelok kepada yang kiranya akan menang. Di Indonesia kapital dan borjuis yang kuat-kukuh itu terdiri dari bangsa asing. Mungkin pada permulaan perjuangan para inladers memihak kepada rakyat-murba. Tetapi kalau perjuangan itu sedikit lama dan tampaknya sukar, maka mereka akan mengabdi kepada kapital dan borjuis asing manapun juga. Dalam dua setengah bulan Persatuan Perjuangan itu berdiri, aliran "para-inlanders" terasa benar. Makin keras desakan Sekutu-Inggris-Belanda dengan "moderate"nya, makin keras pula semangat para inlanders dalam Persatuan Perjuangan membatalkan "minimum program" yang memang revolusioner itu sama sekali, atau men-sabot, membelokan, melemahkan artinya. Sesudah penangkapan Madiun proses ini berlaku lebih cepat dan lebih nyata lagi. Tetapi dengan melemahkan, membelokkan, bahkan seandainya dengan membatalkan Minimum Program sama sekali ini tiada berarti rakyat Indonesia dengan Pemudanya akan bisa dibelokkan dilemahkan ataupun dipatahkan semangatnya membela kemerdekaan 100% dan menolak kapitalisme asing.

Mungkin nama Persatuan Perjuangan dan Minimum Program akan dijadikan barang "bisikan", bahkan mungkin bisa ditutup sama sekali, tetapi selama rakyat dan pemudanya terus memperjuangkan kemerdekaan 100% dan penolakan kapitalisme asing, maka selama itulah pula Persatuan Perjuangan, yang berarti Persatuan mereka yang berjuang, serta Minimum Programnya, akan berlaku. Nama kumpulan atau program baru mungkin bisa menipu rakyat dan pemudanya, sebagian atau seluruhnya buat sementara waktu, tetapi tidak buat selama-lamanya.

Semenjak penangkapan Madiun dengan radio Hilversumnya, nyatalah sudah bahwa Persatuan Perjuangan dan program minimum sudah meningkat ke periode (musim) kedua dalam perjuangan anti-imperialisme dan revolusi-nasional ini. Dalam periode kedua ini kaum setengah ke sini setengah ke sana, setengah revolusioner dan setengah kompromis itu mesti disingkirkan sama sekali. Karena mereka sudah nyata, dan memegang terus mereka itu berarti melemahkan barisan perjuangan. Persatuan Perjuangan bukanlah berarti kumpulan kaum revolusioner dan kaum kompromis yang lengkap siap dengan 1001 perkataan buat menyelimuti politik kompromisnya. Sesudah penangkapan Madiun maka perjuangan revolusi Indonesia mesti dikembalikan ke tangan mereka yang tegas-tegas mengakui kemerdekaan 100%, menolak perundingan yang tiada berdasarkan perngakuan 100% itu dan tegas terang menolak kapitalisme asing dengan siasat menyita perusahaan musuh. Pembersihan mesti dilakukan.

Dan dalam masa pembersihan itu mesti dilakukan dengan cepat dan kalau perlu dengan deras-tangkas. Kalau tidak maka kaum kompromis akan jaya melembekkan semangat perjuangan, membelokkan atau mematahkan perjuangan itu sama sekali dan mengembalikan Indonesia ke status penjajahan dengan atau tidak-dengan nama "Republik".

Setengah kaum tengah bagian atas yang dipelopori oleh "ahli" politik dan "ahli" diplomasi serta para pamong praja dan intelligensia sudah terjerumus atau sengaja menerjunkan dirinya k etengah-tengah barisan Nica. Kaum pembelok, yang sudah menjalankan rolnya dengan terbuka, setengah tertutup atau sama sekali bersembunyi itu mesti di-isolir, dipisahkan atau sama sekali diberantas dari perjuangan revolusioner. Persatuan Perjuangan revolusioner mesti terdiri dari kaum dan golongan revolusioner saja. Dalam periode kedua ini, sesudah ujian dua setengah bulan ini, maka golongan yang tetap revolusioner ialah: Pertama, golongan proletariat perindusterian, yakni buruh pabrik, bengkel, tambang, pengangkutan, listrik, percetakan, PTT dll. Kedua, proletariat tani, ialah buruh kebun bersama dengan kaum tani biasa, kaum tani menengah, sampai ke tani sederhana (kerja dan cukup buat keluarga sendiri saja), terus ke setengah tani, setengah buruh tani. Ketiga, kaum Marhaen ialah pedagang kecil, warga-kecil seperti juru tulis, guru, dan intelligensia miskin di kota-kota. Semuanya golongan ketiga ini menghendaki sungguh lenyapnya imperialisme asing dan berdirinya terus Republik Indonesia, dan banyak sekali memberikan pengorbanan harta dan jiwanya dalam semua garis pertempuran. Ketiga golongan yang masih revolusioner dalam periode kedua di masa revolusi nasional ini lebih kurang terikat oleh aliran pula, yakni aliran ke-Islaman, kebangsaan, dan keproletaran (sosialisme, komunisme ataupun anarkis-sindikalisme). Ketiga aliran ini terus menerus mempengaruhi pergerakan anti-imperialisme di Indonesia selama lebih 40 tahun di belakang ini. Dalam periode kedua inipun ketiga aliran itu tiadalah bisa diabaikan.

PARI tiada akan melupakan tiga aliran yang terbuka atau tertutup pada sanubari tiga golongan tersebut di atas. Ketiga aliran itu masing-masingnya lebih kurang mempengaruhi masing-masingnya ketiga golongan tadi. Tetapi boleh jadi sekali dan sepatutnyalah pula ke-Islaman lebih tebal dari pada kaum tani, kebangsaan lebih tebal pada kaum marhaen dan ke-proletaran pada golongan proletariat.

PARI mesti mencocokkan organisasi, prinsip, paham, taktik-strategi dan slogannya dengan kekuatan-revolusioner dalam negeri dan teman penyambutnya di luar negeri serta dengan keadaan dalam dan luar Indonesia buat melakukan program minimum dan maksimumnya. Pencocokan itu mesti senantiasa dilakukan dan diperoleh berhubung dengan perubahan musim (periode) perjuangan dan peralihan pusat kekuatan dari golongan ke golongan yang revolusioner. Buat periode kedua ini cukuplah sudah Minimum Programnya Persatuan Perjuangan, yang kalau dirasa perlu bisa ditambah di sana sini, dengan tiada mengurangi semangatnya yang revolusioner.

Setelah kemerdekaan 100% tercapai, maka akan berlakulah program maksimum, yang maksudnya menuju kepada Indonesia berdasarkan sosialisme, bersandarkan kekuatan diri dan mengingat keadaan di sekitar Indonesia. Pertama sekali amat tidak bijaksana mengumumkan program maksimum pada musim revolusi-nasional demokratis ini.

2. Hari Dan Tangkisan.

Akan terlampau jauh ke muka kalau kita di sini menguraikan program maksimum. Kita yang di tengah-tengah perjuangan yang sungguh ini, di tengah-tengah dentuman bom, meriam, dan mortir, wajib memusatkan semua pikiran, perhatian dan kemauan pada barang yang nyata dan praktis saja. Sekejap kita melayangkan meninggalkan daratan, sebegitulah pula kita melalaikan perjuangan yang sebenarnya dan meringankan pekerjaan musuh memerangi kita. Cukuplah sudah kalau diperingatkan saja bahwa setelah revolusi-nasional-demokratis yang sempurna kelak sudah berlaku dan kemerdekaan 100% tercapai, maka program maksimum yakni sosialisme 100% akan segera dijalankan. Mungkin apa tidaknya sosialisme 100% bisa dijalankan adalah sama sekali tergantung pada kekuatan lahir-batin Indonesia sendiri dan keadaan di sekitar Indonesia.

Memeriksa dan menguraikan kemungkinan di sektor Indonesia akan memakan banyak waktu dan tempat. Tetapi semua kemungkinan bisa dibulatkan seperti berikut:  Pertama, Perang Dunia ke-3 timbul. Dalam hal ini, tentulah sendirinya Indonesia akan berhadapan dengan persoalan sosialisme dalam suasana peperangan. Kemungkinan pertama ini membawa kemungkinan terlibat atau tidaknya Indonesia dalam perang dunia ke-3 itu. Kedua, dunia akan mengalami perdamaian beberapa lama sesudahnya kemerdekaan 100% tercapai. Dalam hal ini persoalan sosialisme di Indonesia harus diselesaikan dengan sifat dan cara berlainan dari pada di waktu peperangan.

Tuduhan Trotskyisme

Tuduhan yang berdasarkan kebenaran memang perlu dijalankan buat membersihkan suasan yang keruh. Tetapi sesuatu tuduhan yang jujur mesti berdasarkan bukti yang nyata.

Tuduhan berdasarkan kebohongan atau tuduhan lancang yang tiada sengaja dilakukanpun bisa menikam diri sendiri. Salah satu sebab yang langsung memusnahkan Partai Gerondine dalam Revolusi Perancis (tahun 1789) ialah tuduhan lancang terhadap Partai Jacobin.

Sering pula "tuduhan lancang" dilakukan buat menyembunyikan diri sendiri. Masuk golongan inilah tuduhan lancang seorang maling yang sengaja berteriak-teriak: Tangkap maling. Perhatian ramai dipusatkan kepada pihak lain dengan maksud melindungi maling yang sebenarnya.

Dalam buku resmi "History of the Communist Party of the Soviet Union (Bolsheviks)", disahkan oleh CC Partai Komunis Uni Soviet (Bolsheviks) 1938, Moskow 1942, salah satu sifat "Trotskyisme" yang terpenting dimajukan ialah seperti tercantum dalam muka 288-289 seperti berikut:
"First there were the "Left" shouters, political freaks like Lominadze, Shatskin and others, who argued the NEP means a rennuciation of the gains of the October Revolution, a return to capitalism ...
"Then there were the downright capitulators, like Trotsky, Radek, Zinoviev, Sokolnikov, Kamenev, Shylapnikov, Bhukarin, Rykov, and other who did not believe that Socialist development of our country was possible, bowed before the "omnipotence" of capitalism and in their endeavour to strengthen the position of capitalism in the Soviet country demanded far-reaching concessions to private capital, both home and foreign and the surrender of a number of key positions of the Soviet power in the economic field to private capitalists, the latter to act either as concessionaries or as partners of the State in mixed joint stock companies."
"Both groups were alien to Marxism and Leninism."

Indonesianya:
"Pertama adalah "Kaum kiri" yang besar mulut, orang tak tetap dalam politik seperti Lominadze Shatskin dll. yang memajukan bahwa NEP itu (Politik Ekonomi Baru, 1922) ialah pembatalan kemenangan Revolusi Oktober, pengembalian ke kapitalisme...
"Kemudian ada lagi capitalors (penyerah) tulen, seperti Trotsky, Radek, Zinoviev, Sokolnikov, Kamenev, Shlyapikov, Bhukarin, Rykov dll mereka yang tak percaya akan kemungkinan kemajuan sosialisme di dalam negeri kita, bertekuk lutut terhadap "kemahakuasanya" kapitalisme dan dalam percobaan mereka memperkuat kedudukan kapitalisme Soviet Rusia, menuntut pemberian konsesi (concession) yang berakibat jauh sekali kepada kapital swasta, baik kapital dalam ataupun di luar negeri, dan menuntut penyerahan beberapa kunci kekuasaan pemerintah Soviet dalam lapangan ekonomi kepada para kapitalis swasta, yang di belakang ini akan diterima sebagai concessionaries (penyewa) atau sebagai rekan (partner) dari Negara (Soviet) dalam Perseroan Campuran (Mixed Joint Stock Companies)."
"Kedua golongan di atas tak bersangkutan dengan Marxisme dan Leninisme."

Halaman 262 kitab tersebut:
"They proposed that we should throw ourselves on the tender mercies of the foreign capitalists, surrender to them, in the form of concessions branches of industry that of vital necessity to the Soviet State. They proposed that we pay the Tsarist government’s debts annuled by the October Revolution. The Party stigmatized these capitulatory proposals as treachery".

Indonesianya:
"Mereka (Trotsky CS) mengusulkan supaya kita menyerahkan diri kita ke bawah belas kasihannya kaum kapitalis asing, menyerahkan kepada mereka penyewaan (concessions) cabang industri yang penting sekali buat negara Soviet. Mereka mengusulkan supaya kita membayar hutangnya Tsar, yang sudah dibatalkan oleh Revolusi Oktober. Partai Komunis Rusia men-cap usulan menyerah ini sebagai satu Penghianatan." (spasi dari pencatat).

Teranglah sudah bahwa satu dua perkara yang penting dalam perbedaan Stalinisme dan Trotskyisme, menurut buku yang baru saja kami peroleh ini, ialah perkara sikap Soviet Rusia dan CP Rusia terhadap 1.e Hutang pemerintah Tsar dan 2.e kapitalisme Asing di Rusia. Kedua hal itu ditolak oleh pihak Stalin, dan diakui oleh pihak Trotsky.
Bukankah pasal 6 dan 7 dalam program minimum itu menyita dan menolak kapitalisme asing?

Tentang hutang "Hindia Belanda" menurut PARI sudahlah tentu pula mesti dibayar oleh Belanda sendiri. Republik Indonesia berhak dan wajib menolak hutang "Hindia Belanda" yang sudah lenyap itu, dan gagah mempertahankan kapital asing dan Rakyat Indonesia di bawah perlindungannya itu.

Buat pembaca yang arif bijaksana, jujur dan mau mengerti mestinya cukup terang sikapnya seseorang Trotskyist terhadap "hutang dan kapitalisme asing" di bawah pemerintah yang sudah dilenyapkan oleh revolusi, yakni menurut buku yang resmi di Soviet Rusia yang dipimpin oleh Stalin.

Memang perkara "hutang dan kapitalisme asing" itu keduanya amat penting buat jalannya revolusi nasional dan revolusi-sosial Indonesia di hari depan. PARI nyata memberi jawaban yang cocok dengan "sikap resminya" Partai Komunis di Rusia di bawah pimpinan Joseph Stalin.

Mereka yang mengindahkan tuduhan "Trotskyist" terhadap PARI atau pada siapa saja hendaknya dengan catatan di atas ini bisa memeriksa benar-salahnya tuduhan itu. Seterusnya bisa pula menentukan masuk golongan mana si Penuduh: 1) golongan penuduh yang jujur dan berbukti cukupkah, atau 2) golongan penuduh yang lancang berdasarkan kebohongan tetapi tiada dengan niat buruk atau 3) golongan penuduh yang lancang dan sengaja bohong, lantaran dengki, chisist, khianat atau niat busuk yang lain-lain.

Atas catatan penting di atas sebagai batu ujian, maka seseorang Penuduh mungkin bisa diputar menjadi si Tertuduh. Seseorang yang ingin menyembunyikan maksudnya sendiri yang sebenarnya. Umpamanya tentang "diplomasi"nya yang katanya berdasarkan perhitungan, atau pada politiknya yang sudah pernah atau masih terlibat dalam perkakas imperialisme: Hokokai, Nica atau Sibar.

Nama Partai tiadalah begitu penting. Mudah menukarnya. Asal saja isinya tetap. Partai Komunis Rusia sendiri sampai 3 kali bertukar nama! Yang penting ialah sifat (essence) revolusioner pada tiap-tiap tingkat dan keadaan perjuangan. Jangan terlibat dalam aksi kontra revolusi, provokasi atau oportunisme. Marxisme itu bukanlah satu dogma, satu kaji hapalan. Melainkan satu pedoman perjuangan klas.

Satu metode, dialektis-materialistis yang mesti dilaksanakan cocok dengan tempo dan tempat.

PARI semenjak hampir 20 tahun, berfilsafat Marxisme, yang dengan siasat leninisme, menuju ke arah revolusi nasional, revolusi sosial, ke masyarakat sosialis, sampai ke masyarakat komunis di seluruh dunia.

3. Perkara Keributan Tahun 1926.

Banyak orang di Indonesia ini, terutama di antara "komunis" sendiri yang menyalahkan saya dan menimpakan kegagalan percobaan menggulingkan pemerintah Belanda di tahun itu pada bahu saya. Apalagi pemuda sekarang yang pada masa itu baru atau belum lahir selalu dikeruhkan kepalanya oleh satu golongan teristimewa anti Tan Malaka. Golongan anti Tan malaka ini bekerja keras di jaman Belanda, Jepang apalagi sekarang, di jaman Republik Sukarno-Hatta ini.

Perkara anti dan pro itu sudah tentu semestinyalah dalam satu perjuangan politik. Sedangkan dalam perjuangan agama yang semestinya suci itu dan perjuangan science, ilmu yang mestinya objektif tenang itu golongan anti dan pro itu tiadalah sedikit banyaknya. Sudahlah cukup disebut, bahwa Nabi Isa mengenal Yudas dan para pendeta Yahudi ialah musuh yang mengirimnya ketiang gantungan. Nabi Muhammad bermusuh mati-matian dengan Abu Jahil. Lenin pernah dituduh sebagai spion Jerman oleh musuhnya.

Cuma lucunya dalam propaganda anti Tan malaka itu mereka yang dikatakan berlawanan dengan saya itu adalah mereka yang saya sendiri tiada sangka atau percaya begitu saja akan berlaku begitu. Sdr. Musso yang katanya mengadakan anti propaganda terhadap saya, lebih kurang 10 tahun sesudah kejadian tahun 1926 itu, belum sampai saya kenal diri. Anehnya Sdr. Musso selalu saya kemukakan di luar Indonesia, dalam surat di Manila, sebagai salah seorang pahlawan Indonesia yang berjuang menentang imperialisme Belanda. Alimin adalah tiga kali datang menjumpai saya di luar negeri, sebagai utusan PKI dan atas anjuran saya sendiri. Alimin berada di samping saya di Manila ketika putusan mengadakan revolusi itu dikirimkan kepada saya. Sdr. Aliminlah yang membawa putusan saya sebagai thesis dan Aliminlah yang menjadi utusan saya.

Mesti diperingatkan di sini, bahwa di masa itu keduanya Sdr. Alimin dan Musso baru saja meninggalkan Serikat Islam di bawah pimpinan Almarhum Cokroaminoto dan Haji Agoes Salim, dan memasuki PKI. Para Komunis lama, yang dianggap tahu seluk-beluknya PKI seperti Sdr. Semaoen, Darsono, Soebakat dan saya sendiri berada di luar Indonesia serta Almarhum Soenono mati dalam bui. PKI berada di bawah pimpinan kebanyakan orang muda atau baru dan kurang pengalaman.

Berhubung dengan beberapa hal yang bisa menyinggung-nyinggung aksi komunis di luar negeri dan karena saya sendiri memang tak suka memperdulikan tuduhan yang saya tahu bohong, tak beralasan dan semata-mata provokasinya musuh, maka selama ini semua tuduhan itu saya biarkan saja. Saya percaya bahwa sejarah ada di pihak saya. Dari semua pihak yang saya percayai, saya dengar, bahwa sikap saya pada tahun 1926-27 itu 100% dibenarkan oleh instansi (tingkat) yang tertinggi. Dengan mereka yang tak tahu seluk-beluknya kedudukan satu Partai Komunis pada satu negara sebagai seksi, cabang Komintern atau Internasional III, tuduhan yang berhubungan dengan tahun 1926 itu, selamanya ini saya pikir baik dibiarkan saja. Apalagi "resminya" Internasional III atau Komintern sudah dibubarkan pada tahun 1943. Lagi pula selalu saya pikir, bahwa tiadalah rasanya membikin lebih enak perasaan ratusan teman seperjuangan saya sendiri, yang hampir 20 tahun menderita sengsara hidup karena akibatnya keributan tahun 1926 itu di Digoel yang sekarang kembali ke tempatnya masing-masing, kalau mereka insaf, bahwa mereka adalah korban provokasi musuh! Kelak kalau mereka perlu dibicarakan kembali, hal itu tak ada orang akan lebih bergembira dari pada saya sendiri. Cuma perkara itu mesti dibicarakan oleh badan yang kompeten, bevoegd, berhak membicarakannya dan tentulah mestinya satu Hakim Komisi Internasional.

Tetapi sebab dalam revolusi Indonesia sekarang ini, Agen NICA dan korbannya orang Indonesia bergiat mengadakan propaganda anti Tan Malaka itu, maka saya perlu mengemukakan beberapa hal. Bukan sebagai pleidoi, pembebasan yang sempurna, sebab si penuduh yang sebenarnya, saksi yang sebenarnya tak ada apalagi Hakim yang berhak, ialah yang ditetapkan oleh Komintern sendiri, melainkan sebagai petunjuk, suggestion, kepada yang berkepentingan dan bisa berpikir tenang-saksama. Perkara yang saya anggap intern, perkara dalam, masih terpaksa ditunda sampai berhadapan dengan Hakim yang sah. Dan rahasia saya itu pastilah hebat.

Putusan mengadakan pemberontakan itu diambil oleh 11 wakil PKI pada 25 Desember tahun 1925, di Candi Prambanan, Yogyakarta buat dilakukan pada tanggal 18 bulan Juni 1926. Keributan itu terjadi pada 12/13 November 1926, jadi hampir satu tahun di belakang putusan Prambanan tadi. Putusan itu didesak oleh ancaman Belanda yang berniat melarang PKI. Tidak boleh dikatakan semuanya atau sebagian besar para pemimpin (cabang) diajak berembuk masak-masak lebih dahulu sebelum putusan diambil.

Buat memendekan uraian ini putusan itu saya namai saja Putusan Prambanan.

Beberapa suggestion saya akan kemukakan di bawah ini, ialah:

a. Perkara Serba-serbi.
Putusan Prambanan itu saya terima di Manila pada permulaan bulan Maret. Saya diundang datang ke Singapura! Tetapi bukan buat merundingkan siap apa tidaknya PKI buat memimpin revolusi pada satu jajahan. Apa corak Politik-Ekonomi yang dituju. Juga bukan buat merundingkan caranya memimpin pemberontakan pada jajahan tersebut.

Saya diundang datang ke Singapura buat pergi ke Moskow bersama Sdr. Musso untuk meminta bantuan (bantuan lahir semata-mata!) oleh karena putusan semacam itu saya anggap terlanjur bertentangan dengan aturan Komintern, dan saya sendiri masih memerlukan perawatan dokter yang istimewa, serta akhirnya Sdr. Alimin patut cukup dan menyanggupkan pergi ke Singapura sebagai wakil saya buat sementara waktu maka perjalanan saya ditunda sampai keadaan mengizinkan. Saya tiba di Singapura pada 6 Mei 1926. tetapi malangnya, barusan saja Sdr. Alimin dan Musso berangkat ke Moskow. Saya dapati Sdr. Subakat tak diajak berembuk, thesis dan usul saya tak sampai pada Sdr. Musso dan Sdr. Soegono merasa sama sekali belum siap untuk memimpin satu pemberontakan. Bahkan Sdr. Soegono sendiri yang ingin berjumpa dengan saya, Soegono sendiri ketua VSTP yakin, bahwa mogok umum pun masih susah buat diadakan di masa itu (VSTP kumpulan Spoor dan tram personel), adalah salah satu kumpulan yang mempunyai sejarah yang paling tua dan paling gemilang di Indonesia. Kumpulan itu mulanya dipimpin oleh Sosial Demokrat Belanda seperti Sneevliet, Baars, Dekker, Bergsma dan oleh Sdr. Semaoen dan Kadarisman. VSTP mempunyai sejarah revolusioner yang gemilang belum ada taranya tentangan organisasinya di Indonesia kita ini. di bawah pimpinan lama pernah mempunyai anggota-membayar-kontribusi sampai 17.000, mempunyai gedung buat kantor, percetakan, propagandis dan surat kabar yang amat rapi aturannya. Tetapi di bawah pimpinan Soegono tahun 1926 itu, disebabkan sebagian besar oleh fraksi dan akhirnya karena memang krisis sudah lalu maka anggota VSTP merosot sampai 4 atau 5.000 (yang aktif saja).

Ditinggalkan oleh Sdr. Alimin dan Musso, kami (Sdr. Subakat buruan di Singapura, saya dan Sdr. Jamaludin Tamim yang baru datang dari Jakarta buat menjalankan instruksi pimpinan PKI) melanjutkan pekerjaan kami.

Kami berada di Singapura sampai sehabis keributan Bantan dan Silungkang. Sdr. Alimin dan Musso kembali dari Moskow sehabisnya keributan itulah pula!

b. Perkara Otoritas Instansi
Pada tahun 1923, saya oleh Komintern diberi surat kuasa mengawasi pergerakan Komunis di semua negeri Selatan, Indonesia, Filipina, Birma, Siam, Malaka dan Indo China. Oleh Provintern dan dengan persetujuan Konferensi Canton, tahun 1924 buat memimpin Secretariaat dan Majalah "The Dawn" untuk kaum pelaut seluruhnya Pasifik termasuk Hindustan dan Jepang. Saya langsung bertanggung jawab terhadap Komintern dalam gerakan Komunisme dan terhadap Provintern dalam gerakan pelaut di tempat tersebut. Tak ada instansi yang lebih rendah berada di Asia tempat saya bertanya. Ini dijelaskan benar oleh wakil Komintern dan Provintern kepada saya dimestikan mengambil keputusan sendiri dan bertanggung jawab sendiri kepada Komintern dan Provintern. Kepercayaan dan tanggung jawab sebesar itu tentulah mengandung resiko yang besar pula, apalagi terhadap diri saya sendiri. Banyak pemimpin lain yang lebih tua dan lebih berpengalaman dari pada saya baik orang Eropa ataupun orang Asia di masa itu. Hal ini tentulah menguntungkan pula. Tetapi buruk baik pekerjaan sayalah yang menangung langsung ke Moskow! Kurang pengalaman sendiri mengerjakan pekerjaan internasional di samping mereka yang lebih berpengalaman memperteguh rasa tanggung jawab terhadap kedua organisasi dunia tersebut.

Keduanya Komintern dan Provintern mempunyai Anggaran Dasar tertentu. Aturan bekerja tertentu, Program tertentu, Taktik-Strategi tertentu yang mesti dicocokkan pula dengan dua atau tiga Kongres di Moskow di masa lampau dan akhirnya dengan garis besar yang sudah dirancang oleh Marx-Engels. Mengawasi gerakan Partai Komunis dan Vakbon di Indonesia, berarti menjaga supaya dijalankannya gerakan itu jangan menyimpang dari garis besarnya seperti tersebut di atas. Membiarkan Partai Komunis Indonesia, yang adalah ialah seksi cabang dari Komintern, menyimpang dari aturan atau dasar Komintern artinya saya sebagai pengawas bisa dipecat, di-Royeer oleh Komintern. Tanggung jawab saya yang pertama sekali sebagai wakil dari Komintern tentulah terhadap Komintern sendiri, bukan kepada PKI. Dalam thesis ke-sekian (49?) yang diterima Kongres ke (3?) di Moskow, ditetapkan bahwa wakil Komintern itu terhadap seksi mempunyai hak mengusul, mengkritik, bahkan hak VETO (melarang sesuatu putusan).

Nah! Sekarang memutuskan membikin revolusi enam bulan di waktu depan itu oleh beberapa pemimpin saja, oleh satu Partai Komunis sebagai seksi Komintern di tempat terpenting di dunia ini, ialah Indonesia saya anggap bertentangan dengan kekuasaan (autoritiet) PKI sebagai seksi dari Komintern. Pertama sekali saya pikir bahwa hal penting yang mengenai seluruh dunia itu mesti diputuskan di Moskow bersama Partai Komunis lainnya. Di Moskowlah mestinya bersama-sama diperiksa apakah organisasi, class struggle (dalam organisasi), kesiapan anggota PKI dalam hal Komunisme dan percobaan klas, serta kesiapan partai Komunis lain buat menyambut dan membantu revolusi Indonesia di bawah pimpinan PKI itu semuanya sudah siap sedia. Perkara senjata adalah barang tersambil, tak mengenai dasar serta organisasi dan taktik-strategi gerakan komunisme. Senjata itu memang boleh dicari ke semua tempat dan di segenap tempo. Tetapi senjata komunis yang sebenarnya ialah rancangan politik, organisasi, semboyan dan propaganda-agitasi. Senjata yang dipegang oleh balatentara imperialisme Belanda itu dalam keadaan yang sungguh revolusioner mudah direbut dengan lidah, pena dan tangan dan bambu-runcing. Bacalah "Semangat Muda" tentang hal senjata itu. Sekarang nyata kebenarannya!

Seandainya pemberontakan Indonesia akan "diterbitkan" dan dipimpin oleh satu partai nasionalis atau ke-islaman, maka PKI sebagai seksi Komintern sudah tentu tak perlu bertanggung jawab terhadap Komintern. Tetapi dalam hal ini PKI bisa juga membantu dengan langsung atau tak langsung dengan tiada perlu langsung bertanggung jawab terhadap Komintern.

Maka berhubung dengan kedudukan PKI sebagai seksi cabang dan kedudukan saya sendiri sebagai wakil Komintern maka saya yakin betul, bahwa saya wajib mengambil sikap yang tepat-cepat. Tetapi sikap itu tiadalah sampai menjatuhkan Veto, ialah hak melarang. Melainkan mengusulkan, supaya lebih dahulu sebelum pergi ke Moskow, meminta bantuan itu, kita mengadakan konferensi di Singapura, yang diwakili oleh semua cabang yang penting. Di sana akan dibicarakan, sikap dan aksi apakah yang pantas diadakan buat menyambut larangan terhadap PKI. Sikap dan aksi itu mesti revolusioner, tetapi mesti cocok dengan kekuatan diri sendiri yang ada dan tersembunyi dan cocok pula dengan kekuatan musuh yang ada dan tersembunyi. (Lihatlah Menuju Republik Indonesia, Semangat Muda, dan Aksi di Indonesia yang ditulis di masa itu). Larangan Belanda semacam itu tak boleh menyebabkan putus asa atau mata gelap seorang Marxist, Leninist.

Sekali-kali tak boleh memberi kesempatan pada percobaan provokasi musuh. Partai Komunis Jerman dll, negeri Barat, bahkan Rusia sendiri sering berhadapan dengan larangan ini dan itu. Tetapi tiada perlu satu larangan itu dibalas dengan pemberontakan.

Berapa kali Partai Komunis Jerman atau Rusia terpaksa lari bekerja ke bawah tanah, sampai tempo dan tempatnya buat keluar dan menyerang datang. Itulah yang dinamai elastis dalam gerakan komunis. Organisasi, taktik-strategi mesti dicocokkan dengan pekerjaan terbuka atau tertutup. Kalau perlu maka HQ (Pusat Pimpinan) bisa dipindahkan buat sementara tempo ke lain tempat. Saya mengusul supaya di Singapura diadakan reserve HQ.

Jadi bukan maksud, sikap dan aksi saya pada tahun 1926, buat melarang aksi revolusioner, melainkan menarik kembali sikap dan tindakan yang saya rasa tidak tepat (Putusan Prambanan) ke sikap dan tindakan yang tepat ialah cocok dengan dasar komunisme dan Putusan Kongres yang sudah diambil beberapa kali di Moskow, dan cocok dengan otoritas Komintern dalam gerakan yang mengenai dunia Internasional.

Tetapi sebelumnya pergerakan PKI di bawah kembali ke jalan komunisme (pengunduran teratur) haruslah lebih dahulu dicabut kembali Putusan Prambanan yang saya anggap bukannya kekuasaan otoritas PKI sebagai seksi cabang Komintern, semata-mata.

Pencabutan Putusan Prambanan itulah langkah pertama. Langkah kedua ialah menentukan sikap yang komunistis, berdasarkan Massa Aksi dengan tuntutan yang nyata-dirasa, yang kalau kekuatan, keadaan organisasi mengizinkan, naik terus sampai dengan revolusi nasional dan sosial. Sebelum Putusan Prambanan itu dicabut, maka kekacauan sajalah yang akan menimpa pergerakan revolusioner Indonesia.

Sebagai wakil Komintern saya anggap saya berhak dan wajib mengusulkan cabut-kembali, Putusan Prambanan, karena putusan itu tiada diambil dengan persetujuan, bahkan tiada dengan pengetahuan Komintern ataupun wakilnya lebih dahulu. Putusan Prambanan tiada dicabut kembali. Akibatnya aksi yang dilakukan oleh PKI menurut Putusan Prambanan dengan tiada persetujuan lebih dahulu dari Komintern, ialah instansi yang saya anggap perlu diberitahukan lebih dahulu dalam perkara sepenting itu, saya tolak seluruhnya kalau ditimpakan kepada saya.

Kewajiban saya buat mengusulkan mencabut kembali putusan yang tiada sah itu sudah saya jalankan. Juga cukup usul dari pihak saya dan teman seperjuangan seperti Subakat dll. di luar dan di dalam Indonesia. Buat membawa kembali PKI ke jalan Massa-Aksi dan komunisme. Dalam hal ini saya rasa saya cuma menjalankan kewajiban dan tanggung jawab saya terhadap Rakyat Indonesia, PKI, dan Komintern. Mungkin ada yang berkhianat kepada PKI ataupun Komintern, atau dengan sadar atau tidak menjerumuskan Rakyat Indonesia dan PKI ke jurusan malapetaka. Saya katakan sekali lagi mungkin; saya tak tahu orangnya. Tetapi saya sanggup mempertahankan sikap saya di hadapan mahkamah Revolusioner Internasional yang sah, di tempat dan tempo manapun juga di hari depan.

c. Perkara Cooperasi (kerja bersama) Internasional
Kaum buruh sedunia bersatulah!

Inilah seruan Manifesto Komunis lebih kurang 100 tahun lampau. Komintern adalah Badan Proletar revolusioner sedunia yang menjadi pelaksana seruan kaum buruh di bawah pimpinan Marx dan Enges tadi. PKI sebagai Seksi Komintern wajib menterjemahkan dan melaksanakan persatuan itu dalam suasana Indonesia dan dunia sekitarnya pada tahun 1926.

Adakah pimpinan PKI cukup memperhatikan hal itu?

Seandainya PKI belum menggabungkan diri dalam sesuatu badan Internasional sebagai Partai Komunis, sepatutnyalah dia lebih dahulu menduga keadaan di dalam dan di luar Indonesia kalau mengambil satu tindakan! Cara berpikir ialah Materialisme Dialektis. Menurut filsafatnya Materialisme Dialektis maka kodrat revolusioner dari masa murba itu turun naik dengan turun dan naiknya keadaan ekonomi. Di waktu krisis hebat memuncak, maka hebat memuncaklah pula keinsyafan, perasaan serta kemajuan kaum proletariat. Di masa ini mungkin kapitalis Internasional bercakar-cakar, pecah belah atau bermusuhan dan kekuatan proletariat dalam dan luar negeri lebih mudah dipersatukan. Inilah masanya buat proletariat sesuatu negeri buat mengadakan menurut kekuatan dalam dan luar!

Sebaliknya di masa Hoch Konjuktur, di masa makmur, di masa produksi memuncak, di masa hampir semua kaum buruh mendapat pekerjaan, maka kendorlah keinsyafan, perasaan dan kemauan revolusioner itu di golongan proletariat sendiri kecuali pada sebagian kecil, ialah golongan pelopornya. Di masa semacam ini kapitalis Internasional sedang membagi-bagi untungnya dan proletariat di dalam dan di luar negeri lebih susah dipersatukan dan dikerahkan buat menyerang musuh bersama secara revolusioner. Bukahlah di masa makmur itu saat yang paling baik buat mengadakan serangan revolusioner terhadap kapitalisme. Aksi menambah gaji memanglah baik buat dijalankan. Tetapi semua aksi revolusioner biasanya kandas, karena kelemahan nafsu berkorban.

Bagaimanakah keadaan nasional dan internasional pada tahun 1926.

Kita ketahui bahwa krisis hebat mengamuk pada tahun 1918 sampai 1922. Pada tahun 1926 itu roda ekonomi sedang berputar menuju ke puncak kemakmuran. Tahun 1929 krisis mengamuk kembali di seluruh dunia. Hal ini tidak diharapkan pada tahun 1917-1922, tetapi hal ini benar terjadi. Hal ini di Rusia dirasa amat penting sekali. Berhubung dengan hal ini apakah revolusi dunia mesti didorong ataukah Rusia baik membelok dahulu ke perusahaan membangun. Inilah pertanyaan yang timbul dalam kepala tiap-tiap komunis di mana-mana terutama di Rusia. Mendorong revolusi dunia artinya mempersulit kedudukan Rusia di dunia Internasional dan membangunkan kembali semangat kapital dunia memblokir dan menyerang Soviet Rusia. Beginilah paham satu pihak di masa ini. kita masih ingat bagaimana "Surat Zinoviev" dipakai oleh kaum reaksioner Inggris buat memukul kaum kiri dalam pemilihan umum di Inggris. Pada masa itu Zinoviev, yang katanya mengirimkan surat pada kaum buruh Inggris, adalah ketua Komintern. Sekarang nyata pada kita, bahwa Partai Komunis Rusia tiada mengambil tindakan yang disangsikan hasilnya. Rusia membelok menukar ke lapangan membangun, ialah menjalankan Rencana Ekonomi 5 tahun. Ini dijalankan dengan jaya. Rencana Ekonomi 5 tahun sudah tentu membutuhkan damai buat pertukaran barang dengan dunia kapitalis. Rusia menjual minyak dan gandum dan membeli mesin dari negara kapitalis. Tuduhan dunia kapitalis bahwa Komintern adalah alat pemerintah Rusia selalu dijawab: bahwa Komintern adalah satu Badan yang terpisah dari Pemerintah Soviet Rusia.

Adakah PKI memperhatikan keadaan Internasional di masa itu?

Saya tak mendengar hal itu diperundingkan di rapat manapun juga. Juga tiada dikaji masak-masak ataupun diperundingkan keadaan ekonomi di dalam negeri. Sudah diketahui sekarang bahwa hampir semua pabrik gula pada tahun 1926 dibuka kembali. Kebon getah, teh, kopi, kina, palm-olie (minyak sawit), tembakau dll, serta tambang emas, intan, timah dan minyak sedang asyik bekerja mengeluarkan hasil bertimbun-timbun. Kereta dan kapal sedang giat mengangkut hasil kapitalis melimpah-limpah. Sebagian besar proletariat tanah dan mesin bisa bekerja dengan upah yang menghidupkan mereka sebagai kuli. Bukanlah pada masa ini memuncaknya keinsyafan, perasaan dan kemauan proletariat buat diorganisir dan dikerahkan menyerang kapitalisme Belanda yang pada saat itu tentulah siap buat dibantu oleh kapital Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat di sekitar dunia.

Saya selalu mendapat laporan dari PKI di masa ini! Almarhum Aliarcham, ketua PKI selambat-lambatnya seminggu sekali melaporkan aktivitasnya, usahanya partai di mana saja saya berada. Demikian pula saudara Sekretaris Partai di masa itu. Tetapi sebelumnya surat Putusan Prambanan itu dikirimkan kepada saya, tiadalah ada satu patah katapun diarahkan kepada perundingan buat memeriksa kemungkinan sesuatu percobaan revolusi langsung di bawah bendera PKI sebagai seksi Komintern. Tiba-tiba saya menerima Putusan Prambanan dan undangan ke Moskow buat meminta bantuan. Malangnya pula beberapa hari sebelumnya saya menerima surat "undangan" itu saya menerima surat bahwa Almarhum Aliarcham sudah ditangkap dan dibuang.

Almarhum Aliarcham di masa itu baru sedikit umurnya di atas 20 tahun. Dia ingin keluar berjumpa dengan saya. Laporannya kepada saya membuktikan kecerdasan dan semangat revolusioner yang menyala-nyala. Bukti pula menyatakan, bahwa sikap komunis ada padanya, ialah berani mengakui kesalahan dan ikhlas pula mencabut kembali langkah yang sudah terlanjur. Kehilangan Aliarcham buat partai seperti juga kehilangan komunis-lama, seperti Soegono, di masa itu dan sekarang pun saya anggap satu kehilangan yang sungguh merugikan.

Ringkasnya kemungkinan jaya atau gagalnya satu revolusi yang langsung dipimpin PKI yang sudah tentu membawa pusatnya ialah Komintern, tiadalah diperundingkan dengan para teman yang berkepentingan. Akibatnya aksi PKI sebagai cabang Komintern, yang tentu akan membawa-bawa Rusia pula tiada diperundingkan. Juga tiada perundingan bagaimana dan berapa jauhnya kaum revolusioner di Filipina, Annam dll. dan partai komunis di Amerika, Perancis, dan Inggris bisa memberi bantuan. Kalau hal ini diperundingkan di Moskow lebih dahulu, sudahlah pasti putusan seperti di Prambanan tak akan berlaku ataupun timbul.

Semua uraian kita di atas tiada berarti bahwa gerakan revolusioner bahkan revolusi pun umpamanya revolusi yang bersifat anti-imperialsme untuk nasional tidak mungkin. Ini memangnya mungkin. Saya sendiri selalu memajukan kemungkinan itu baik di Moskow ataupun di Asia ini. tetapi program, organisasi, taktik-strategi serta semboyan pun mesti dicocokkan dengan keadaan dan kekuatan yang nyata atau tersembunyi baik di dalam maupun di luar negeri Indonesia.

d. Perkara Organisasi
Banyak pekara yang berhubungan dengan organisasi yang sudah saya uraikan dalam tiga BROSUR terdahulu di sekitarnya tahun 1926 itu. Uraian itu tak perlu diulang lagi.

Saya pikir, bahwa organisasi PKI tahun 1926 masih banyak mengandung kekurangan. Maka kekurangan itu banyak pula mempengaruhi PKI terdorong ke jurusan PUTCH, ialah aksi bersandarkan semata-mata senjata kemiliteran. Bukannya bersandar pada Massa-Aksi yang bersandar pada murba yang bergerak terus menerus disebabkan terutama oleh keadaan politik-ekonomi, menuju kepada tuntutan yang berjiwa hak politik-ekonomi pula.

Apakah motive-force, kodrat penggeraknya sesuatu partai komunis?

Hasrat sesuatu Partai Komunis, ialah mengubah masyarakat yang berdasarkan produksi kapitalis, ialah penghasilan dengan cara memeras (exploitation) tenaga buruh, untuk, dua tiga lusin kapitalis, melalui jalan Massa-Aksi-Teratur, menjadi masyarakat sosialis, pada tingkat permulaan, yakni mengadakan hasil secara rasional (terkendali) buat seluruhnya masyarakat yang kerja menuju ke masyarakat komunis. Di dunia sosialis isepan (exploitation) itu dilenyapkan. Di dunia Komunis, maka Staat, Negara sebagai alat penindas kaum buruh lenyaplah pula.

Golongan apakah yang lebih pantas lagi dalam masyarakat buat menjalankan perubahan masyarakat kapitalis itu menjadi masyarakat sosialis (nanti Komunis) selainnya dari pada golongan yang sehari-hari diisap dan ditindas dalam pekerjaannya dalam semua perusahaan kapitalis? Dalam perusahaan kapitalis, yang menghasilkan besar-besaran dengan alat mesin modern dan administrasi secara modern pulalah terdapat proletariat modern. Di sinilah proletariat diikatkan pada mesin modern, diorganisir dan di-disiplin secara modern, scientific menurut ilmu.

Di dalam perusahaan modern inilah sesuatu partai komunis harusnya mencari calon buat motive-force, kodrat-penggerak revolusi sosial. Tingkat pertama yang baiknya ditempuh oleh pekerja-murba dalam dunia organisasi ialah serikat buruh. Sebagian (tak semuanya) pekerja yang insyaf akan keadaan hidupnya mempersatukan diri buat maksud yang pertama ialah memperbaiki nasib hidupnya (tambahan gaji, kekurangan lama kerja, hak mogok dll). Dari serikat buruh sebagai organisasi buruh tingkat pertama inilah partai komunis seharusnya mencari calon buat anggotanya. Dari anggota serikat buruh-lah disaring para anggota partai komunis, yakni pelopor, kodrat-penggerak, motive-force dalam revolusi sosial. Tak pula perlu banyak asal saja cerdas, jujur, aktif dan bisa memimpin atau mempengaruhi seluruh serikat buruh tadi.

Syahdan dalam gerakan Rakyat berperang, maka kita lihat pertama kader-opsir, yang memimpin tentara tetap. Di sekitarnya tentara tetap di bawah pimpinan kader-opsir, itu kita lihat reserve dan seluruh rakyat.

Tak berapa bedanya dengan itu maka kita wujudkan dalam gerakan revolusi sosial partai komunis sebagai kader opsir yang memimpin serikat buruh. serikat buruh itu seolah-olah tentara tetapdi atas tadi. Di sekitarnya serikat buruh, yang memimpin oleh partai komunis kita lihat pekerja seluruhnya dan Rakyat lainnya.

Memang para saudagar kecil bangsa Indonesia terdesak oleh saudagar asing. Majikan perusahaan kecil Indonesia (perusahaan batik umpamanya) terdesak majikan perusahaan asing. Semuanya pedagang kecil, tukang warung kecil, sampai penjual sate dan gado-gado, disampingnya warga-kota yang kecil seperti juru-tulis, tukang, intelligensia-miskin, yang semuanya kita namai saja warga-miskin, terdesak sungguh oleh kapital asing. Tetapi tiada langsung terdesaknya. Mereka berada di luar kebun, tambang, pabrik, kereta, dan perkapalan asing. Mereka tiada diikat oleh mesin, administrasi, organisasi dan disiplin-nya kapital asing dalam satu perusahaan asing. Sebab itulah, maka tak tepat kalau mereka dijadikan motive-force dalam gerakan komunis. Setengah atau satu lusin di antara mereka yang cerdas, jujur, dan berani yang terikat oleh filsafat materialisme dialektis dan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat tentulah patut diterima di dalam partai komunis. Tetapi umumnya mereka warga-miskin ini berhasrat dan berfilsafat hidup yang berlainan dari pada proletariat modern. Memasukkan mereka terlampau banyak ke dalam partai komunis niscaya akan memperlemah dasar tujuan partai komunis. Mayoritas, lebih dari setengahnya banyak warga kecil dalam partai komunis mudah membelokkan partai komunis ke lapangan anarkisme atau oportunisme, putsch atau kontra-revolusi. Mayoritas sebagian besar dari pada anggota sesuatu partai komunis buat menjaga kesehatannya partai itu harus terdiri dari proletariat industri. Para pekerja industri beratlah yang sepatutnya mendapat perhatian pertama buat dijadikan anggota partai komunis.

Sebermula, maka harus diinsafkan lebih dahulu, oleh para pemimpin Komunis Indonesia, bahwa Indonesia ini (pada tahun 1926 itu!) adalah satu jajahan. Kapitalisme di sini ialah kapitalisme penjajahan dan penjajah yang amat terbelakang pula dalam per-industrian berat di negaranya sendiri Belanda! Perusahaan Indonesia sebagian besar terdiri dari perusahaan bahan, seperti getah, timah, dan kina, perusahaan barang mewah seperti teh, gula, kopi, tembakau. Memang ada perusahaan penting (vital) seperti minyak bumi dan arang, di samping pengangkutan modern, seperti perkongsian kereta api dan perkapalan. Tetapi perindustrian berat seperti tambang besi, perusahaan baja dan mesin, perusahaan barang kimia dan listrik dan akhirnya industri mesin bikin mesin, atau industri induk, belum lagi muncul sama sekali, walaupun bahan serta tenaga melimpah di kepulauan Indonesia ini. Lantaran semangat ahli-keju dan tukang warung serta kedudukan perekonomian sebagai jongos Inggris, maka pikiran dan perhatian Belanda tak sampai dan tak mungkin sampai kepada industri induk tadi.

Indonesia belum sampai ke tingkat perindustrian berat dan baru berada pada pemulaan industri enteng, seperti perusahaan kain, kertas, tinta dan pena. Tetapi perkebunan, pertambangan, pengangkutan serta perdagangan sudah dijalankan secara modern sekali dan mempunyai sifat internasional. Pada perusahaan yang sudah sampai ke tingkat tertinggi dalam perusahaan yang adalah seharusnya PKI memperedarkan matanya. Kepada perusahaan yang paling modern mesinnya, yang paling up-to-date (baru) administrasinya, yang paling penting hasilnya buat dalam dan luar Indonesia dan akhirnya kepada buruh yang paling banyak terpusat, paling tersusun terdisiplin, jadinya mereka yang paling merasa pula isepan dan tindasannyalah perhatian dan usaha yang pertama seharusnya ditujukan.

Dengan jalan terbuka kalau bisa dan jalan tertutup kalau terpaksa, PKI seharusnya memusatkan semua perhatian usaha dan tenaganya terutama sekali kepada buruh minyak di Cepu, Wonokromo, Palembang, Deli, Balikpapan dan Tarakan. Di sinilah terkumpulnya 120.000 atau mungkin lebih proletariat tulen-modern-produktif, menghasilkan barang penting buat dunia seharusnya. Di sini PKI baru boleh dikatakan mendapat kemenangan tentangan pengaruh dan organisasi kalau bisa mengikat separuh atau lebih proletariat otak dan tangan. Setelah serikat buruh tertanam di semua sumber minyak tersebut, dan setelah mendapatkan cukup calon buat didik dan disiplin oleh PKI sebagai para anggotanya, barulah bisa PKI berkata, bahwa dia sudah mempunyai pimpinan atas proletariat minyak. Kalau kelak bendera PKI cabang Komintern dikibarkan di atas tambang dan pabrik minyak tersebut, dan kapitalis Belanda-Inggris dan Amerika mengirimkan kapal perang dan pesawat udaranya buat membela "harta bendanya" di semua tempat tersebut dan pasti akan dibelanya maka barulah boleh dikatakan ada jaminan, bahwa revolusi sosial (termasuk nasional) di sana akan dibela, mati-matian secara Komunis, cocok dengan Organisasi Program, Taktik-Strategi-nya, Otoritas dan Namanya Komintern.

Sepadan dengan kepentingan perusahaan minyak tanah, maka perusahaan lain-lainnya pun mesti mendapat perhatian sepenuhnya pula. Perusahaan itu ialah perusahaan besi dan bengkel seperti Bengkel Manggari di Jakarta, ACW di Bandung, Braat dan Nagel & Co di Surabaya, 180 atau kurang pabrik gula di Jawa, tambang arang di Sawah Lunto (+ 40.000 buruh kontrak dan rantai!) tambang timah di Bangka dan Belitung, tambang emas di Bengkulu dan Minangkabau. Haruslah pula dimasuki ratusan kebun modern dan pabrik kecil-kecil di mana-mana. Setelah proletariat yang menghasilkan barang ini tersusun dalam serikat buruh dan saringannya dilatih, diuji dan akhirnya diterima sebagai anggota aktif dalam PKI maka dijalankan pula atau disampingkan pula pekerjaan dalam perusahaan kereta-api, perkapalan, kantor, sekolah dan polisi serta tentara.

Patut diperingatkan di sini bahwa bukannya Serikat Rakyat yang mestinya dijadikan onderbouw, ialah lantai bawahnya PKI, melainkan serikat buruh, menurut kepentingan buruhnya dalam dunia perekonomian. Sebaliknya tidak pula Serikat Rakyat mesti dimatikan otomatis, menurut salah satu putusan Kongres PKI di Yogya, Desember 1924! Ini juga bertentangan dengan putusan Komintern pada ketika saya berada di Asia. Saya sendiri tidak mengetahui putusan mematikan Serikat Rakyat, sebelumnya saya mengetahui putusan Komintern tadi. Menurut pikiran saya Serikat Rakyat berhak dan patut berdiri di samping PKI dan di bawah pimpinan semangat (spiritual leadership) PKI seperti mudah dimaklumi warga-miskin adalah hasil imperialisme dan kapitalisme juga, dan bermusuhan terus dengan kapital imperialis sebelumnya Negara Nasional Indonesia didirikan. Memang semangat ke-revolusioneran-nya turun naik menurut kemakmuran dan krisis ekonomi di Indonesia: turun semangat memberontak sebagai golongan dalam waktu kemakmuran, dan naik di waktu krisis. Ini adalah hal biasa! Juga terjadi di antara golongan proletariat.

Dari Almarhum Aliarcham sendiri saya menerima laporan tentang mematikan (sendirinya) Serikat Rakyat. Saya tentu tidak setuju, Saya sedang berkirim-kiriman surat (dari Manila) membereskan persoalan Serikat Rakyat itu. Tetapi malangnya pula Sdr. Aliarcham ditangkap dan dibuang.

Di Moskow laporan saya tentang banyak anggota PKI pada tahun 1922 selalu mendapat gangguan saja kiri kanan "Bagaimana" tanya para komunis dari beberapa negara dari yang muda remaja sampai beruban, bagaimana bisa 40.000 banyaknya anggota PKI. Sedangkan Amerika di masa itu baru mempunyai 2 atau 3000. Tiongkok paling banyak 100 orang dan Hindustan cuma beberapa lusin saja? Apakah industri yang ada di Ternate, yang beruntung mempunyai 1.300 anggota yang aktif dan taat itu tanya mereka itu pula.

Dari salah satu buku statistik (Yaarboek?) di Balai Pembacaan Jakarta kita bisa baca berapa orang di antara mereka revolusioner di Digul yang boleh dinamai proletariat yang dimaksudkan di Moskow dan dunia Barat. Kalau saya tak silap cuma beberapa orang saja. Sebagian besar adalah pedagang kecil dan guru sekolah dasar atau langgar.

Kaum pemberontak di Silungkang anggota PKI terdiri dari para saudagar yang masuk golongan kaya buat perdagangan Indonesia, seperti para saudagar di Lawean (solo), di Kota Gede (Yogyakarta) dan di Kudus. Di samping Silungkang terdapat tambang arang Sawah-Lunto, perusahaan terbesar buat seluruhnya Indonesia, dengan + 40.000 buruh tambang yang paling terhina, terperas dan tertindas. Tetapi PKI belum lagi bisa mengatasi kesulitan mengorganisir buruh tambang itu. Asistent Residen di sana daya memperkosa percobaan mendirikan serikat buruh.

Para pemberontak Silungkang tentulah tiada memakai materialiasme dialektis sebagai obor pergerakan melainkan dalam hakekatnya perasaan kebangsaan. Tiadalah mementingkan murba dan massa aksi melainkan keberanian dan senjata. Tiadalah pula mementingkan tuntutan politik-ekonomi yang nyata melainkan kebencian pada pemerintah asing dan kapitalisme asing.

Para pemberontak Banten pula menjadi anggota PKI tentulah pula dalam filsafat hidup dan perjuangannya tiada berdasarkan Materialisme Dialektis, melainkan keteguhan kepercayaan pada Allah. Tiadalah mementingkan murba dan massa aksi teratur melainkan iman dan ketabahan, bahkan tak memperdulikan senjata "lahir" sama sekali atau taktik strategi berjuang sama sekali. Bukanlah tuntutan Politik-Ekonomi yang nyata yang dituju, melainkan Masyarakat berdasarkan ke Islaman.

Tak kurang memang tak perlu kurang artinya kaum saudagar dan kaum Islam dalam masyarakat kita. Tak pula mestinya kurang kejujuran, keberanian dan ketabahan mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Tetapi pencaharian hidup yang berlain-lain yang menimbulkan wujud, muslihat dan minat berjuang berlain-lain pula. Berhubungan dengan hal ini sepatutnyalah para saudagar, alim-ulama dan umat Islam umumnya mempunyai Partai istimewa yang bergandengan tangan dengan Partai Komunis, dalam satu gabungan Nasional.

Pikiran saya, bahwa dalam Partai Komunis terlampau banyak beranggota non-proletariat dan terlampau sedikit proletariat (mesin) dan mungkin belum lagi 1% kaum proletariat mesin dan tanah, pabrik, tambang dan kebun yang jumlahnya barang kali lebih kurang 3.000.000 di masa itu masuk ke dalam serikat buruh, amat disetujui oleh Almarhum Aliarcham.

Sdr. Aliarcham memasuki pabrik gula di daerah Surabaya. Menurut laporannya terakhir sudah mempunyai serikat buruh beranggota 200.000 orang. Tetapi ini berarti memasuki sarang macan. Laporan inilah yang terakhir saya terima dari Sdr. Aliarcham. Ditangkap dan dibuang. Semuanya menunjukkan bahwa PKI tidak mempunyai kader yang proletaris tulen. Belum mempunyai reserve ialah serikat buruh yang mengikat, umpamanya setengah saja dari proletariat mesin dan tanah. Dengan begitu maka PKI mudah akan terdorong oleh non-proletariat kelaparan putsch.

e. Saat menerkam dan kesimpulan
Dalam "Naar de Republik Indonesia" (1924) dan Massa Aksi (1926) sudah luas dalam saya uraikan siasat massa aksi. Di sini cuma sedikit tambahan saja akan disampaikan.
Baik dalam perjuangan dua orang jago silat ataupun dua tim sepak bola, apalagi dalam peperangan negara dan negara maka saat bila akan menerkam itu amat penting sekali buat diperhatikan.

Saat itu pada instansi, tingkat terakhirnya, ialah ketika kita mempunyai kekuatan sebesar-besarnya dan musuh sekecil-kecilnya. Pada saat itulah bisa dilakukan pukulan terakhir (strategic-blow).

Maksud pukulan terakhir itu ialah dengan cepat, sekonyong-konyong dan dengan kekuatan sebesar-besarnya menerkam rantai terlemah tentara musuh dengan maksud memutuskan rantai organisasinya serta akhirnya menghancur-leburkan seluruhnya tentara musuh itu.

Saat menerkam itu teramat penting pula dalam perjuangan revolusioner berdasarkan massa-aksi-teratur. Pukulan terakhir itulah pula yang diwujudkan oleh massa aksi teratur itu.

Tetapi ada banyak perbedaan antara tentara perang dengan tentara revolusi. Yang paling mencolok mata di antara perbedaan yang banyak itu ialah: Pertama, Tentara Perang itu sudah lebih dahulu bisa dihitung banyak prajuritnya, baikpun kader, Tentara tetap atau reservenya. Tetapi tentara revolusi itu tak bisa ditetapkan Partai, Serikat buruh dan lain-lain kumpulan serta rakyat revolusioner yang akan membantu dengan pasti. Kedua, bahwa latihan tentara perang sudah bisa dilakukan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya di waktu damai. Latihan partai, serikat buruh dan kumpulan Rakyat tiadalah bisa dilatih betul kalau tidak ada krisis ekonomi atau politik. Ketiga, senjata tentara perang sesuatu negara bisa ditentukan lebih dahulu, baik di waktu damai ataupun tambahnya di waktu perang dengan jalan membeli atau membikin sendiri. Tetapi tentara revolusi sudahlah tentu tentaranya golongan orang miskin, pastilah pula amat sedikit di waktu damai, tetapi mungkin amat banyak di musim reovlusi (contoh revolusi Perancis, Rusia dan Indonesia sekarang).

Baik perkara banyak orang (massa), latihan berjuang ataupun persenjataan satu golongan pemberontak, boleh dikatakan sama sekali tergantung pada psychology , ialah jiwanya Rakyat murba pada sesuatu negara.

Menurut filsafat berdasarkan Materialisme, kebendaan, maka jiwa murba tadi terombang-ambing lantaran keadaan lahir, kebendaan, ialah susah mudahnya mendapatkan makanan, pakaian, perumahan dll. Dalam dunia kapitaisme keadan lahir ini berpusat pada susah-mudahnya mendapatkan pekerjaan ialah jalan mendapatkan upah, ialah jalan pula mendapatkan makanan, pakaian dan perumahan tadi. Di musim rodanya kapitalisme berputar lancar, mudahlah mendapatkan benda, matter, keperluan hidup itu. Karena mudahnya itu, maka yang revolusioner-pun bisa menjadi lembek, lena, lalai. Di musim rodanya kapitalisme berhenti berputar, atau krisis susahlah atau mustahillah mendapatkan benda tadi buat keperluan hidup. Sesabar-sabar dan sealimnya orang dia bisa menjadi mata gelap, merasa sendiri dan melihat anak istri kelaparan, bertelanjang dan bergelandangan di hujan panas. Kaum berpikir bisa menjadi revolusioner di masa krisis seperti itu.

Menurut filsafat Materialisme yang bersandar pada Dialektisme, pertentangan, maka pikiran revolusioner itu melantun (terugkaatsenrebound) kembali kepada MATTER, kebendaan, seperti penghidupan, produksi-distribusi, akhirnya kepada negara dan produksi-distribusi (ekonomi) lama dan membangunkan yang baru. Jiwa semacam ini dinamai revolusioner.

Ringkasnya di musim krisislah bisa diharapkan tentara revolusioner yang besar, giat-berlatih secara massa-aksi seperti mogok-demonstrasi yang mempunyai maksud yang pasti-terbatas disertai oleh tuntutan pasti-terbatas pula (clear-cut-aim). Dalam latihan itu kelak bisa ternyata berapa jauhnya murba yang beraksi itu bisa dipimpin dengan selamat, ialah supaya pengorbanan bisa sekecil-kecilnya dan hasil yang diperoleh adalah sebesar-besarnya. Kalau krisis memangnya mendalam, berhubungan dengan itu jiwa Rakyat memangnya positive revolusioner, maka jiwa Rakyat Murba Indonesia yang menyala-nyala itu pastilah akan menjilat-jilat benteng pertahanan imperialisme Belanda, dan memasuki sanubarinya serdadu yang bersenjata dalam benteng itu. Senjata yang disimpan oleh serdadu yang berdiam dalam benteng Cimahi, Magelang, dan Bandung itu, akan dikembalikan kepada Rakyat revolusioner buat diganti menjadi prajurit revolusioner dari penjual kepala bertukar menjadi pahlawan revolusi.

Bila saatnya menerkam, sampai bila pukulan terakhir bisa dijatuhkan dan saatnya benteng imperialisme Belanda menyerah bulat-bulat dengan serdadu dan senjatanya tergantung pada beberapa faktor:

a. Keadaan ekonomi (ada tidaknya krisis).
Di atas tadi sudah diterangkan bahwa tahun 1926, ialah musim (cyclus) naiknya kapitalisme dunia (Hoch-Konjucktur). Getah, minyak, timah, emas, intan, gula, kopi, teh, kina dll laku lagi. Kaum buruh sebagian besar terisap lagi oleh perusahaan pabrik, tambang, kabun dan pengangkutan. Semangat revolusioner buat seluruhnya Rakyat terpukul oleh kemakmuran sementara itu. Dibanding dengan tahun 1945, sesudah perang dunia 5 ½ tahun dan Rakyat Indonesia diisap, dirampoki mesin, emas-intan-berlian, padi dan gadisnya: ditindas, ditampar dan dibunuh serdadu perampoknya Tenno Haika, maka kemakmuran dan ketentaraman tahun 1926 kalau dibandingkan dengan kemakmuran dan ketentraman tahun 1946 adalah benar-benar seperti perbedaan bumi dengan langit. Jiwa Rakyat (semangat revolusioner) perbandingannya cocok dengan perbandingan keadaan lahir itu.

Walaupun demikian dalam tulisan saya (Naar de Repulik Indonesia, Massa-Aksi dan Semangat Muda) saya akui penuh keadaan dan semangat revolusioner di Indonesia. Lebih revolusioner daripada di beberapa negara lain karena seperti saya tulis dalam "Naar de Republik Indonesia" di Indonesia seluruhnya Rakyat tak akan kehilngan apa-apa dalam revolusi, kecuali belenggunya. Lantaran di Indonesia lemah sekali kaum tengah yang bisa menghambat gelombang revolusi Indonesia, kalau betul-betul murbanya bersatu dan berdisiplin menuju ke satu program yang sesuai dengan kekuatan dirinya sendiri.

b. Partai berdisiplin.
Partai Komunis ialah pelopornya revolusi. Di negara merdeka, demokratis-kapitalis, maka partai komunis itu terutama memimpin proletariat meruntuhkan negara kapitalis itu, sambil me-netralisir kaum tengah (menjaga jangan sampai sebagian kaum tengah dipakai melawan proletariat, bahkan sebaliknya sebagian lagi bisa digerakkan membantu proletariat).

Di negara setengah feodalis setengah kapitalis, maka partai komunis memimpin revolusi pada tingkat pertama ke negara demokratis, dan menurut keadaan dalam dan luar negeri seberapa bisa mendorong ke revolusi sosial.

Di negara jajahan yang kapitalis, maka partai komunis pada tingkat pertama memimpin revolusi anti imperialisme buat mendirikan negara demokratis, serta selanjutnya menurut keadaan dalam dan luar negeri mendorong ke revolusi sosial, ialah seberapa bisa pula.

Taktik strategi perjuangan di negara setengah feodalis dan setengah kapitalis dan di negara jajahan itu amat kompleks, sulit dan berhubungan dengan itu partai komunis, mestinya amat elastis: sanggup menyesuaikan dirinya dengan keadaan dan tingkatnya (phase) revolusi dengan tiada boleh melupakan ke-revolusionerannya.

Bagaimana memimpin golongan yang sekarang revolusioner (borjuis tengah dan bawah) dan besoknya sebelum atau sesudahnya mencapai kemerdekaan demokratis bisa dengan sekejap mata membalik menjadi kontra-revolusioner, inilah persoalan yang sukar dalam keadaan begini.

Dalam perjuangan maju-mundur itu, dengan teman seperjuangan (kaum borjuis atas, tengah dan bawah) yang sekarang kawan, besoknya bisa menjadi lawan itu, maka disiplin partai komunis itu mestinya tegap seperti baja. Putusan yang diambil dengan persetujuan suara lebih dalam perundingan demokratis, serta masak-masak, mesti dijalankan oleh seluruhnya partai, bahkan oleh suara kurang pun (minoritas)...........

Perhatikan suara lebih dan perundingan demokratis!

Disiplin itu mudah dijalankan kalau memang sebagian besar anggotanya sendiri terdiri dari proletariat industri modern yang sudah paham benar atas Materialisme Dialektis. Susah atau mustahil dijalankan kalau sebagian besar anggotanya terdiri dari bojuis tengah (Silungkang dll.) serta Islam revolusioner (Banten, Minangkabau dll.).

Lebih mudah disuruh maju di waktu krisis, kalau terlampau banyak beranggota warga miskin, yang umumnya condong kepada fasisme atau anarkisme itu. Lebih mudah disuruh mundur di waktu kemakmuran, kalau terlampau banyak ber-anggota warga miskin dan tengah, karena mereka umumnya condong oportunisme.

c. Seluruhnya rakyat di bawah pimpinan (disiplin partai komunis).
Hampir seluruhnya Rakyat Rusia Proletariat mesin dan tanah, serta sebagian besar kaum tengahnya -- sesudah mendapat pengalaman yang berharga dalam perjuangan yang lama yang mundur maju semenjak dari tahun 1905 sampai tahun 1917 -- akhirnya di bulan Nopember 1917 itu sudah sampai mengakui otoritasnya Partai Komunis Rusia. Terkaman terakhir pada bulan Nopember tahun 1917 diadakan sesudah partai komunis mendapat kemenangan yang nyata dalam pemogokan, demonstrasi, pemilihan kota, daerah dan nasional dan akhirnya di kalangan tentara, ialah kaum buruh tani yang bersenjata.

Seperti disebut di atas, maka disamping PKI yang sebagian besar dari anggotanya itu bukanlah proletariat mesin dan tanah, cuma berada beberapa serikat buruh yang mengikat paling banyaknya 1% saja dari seluruhnya proletariat. Yang paling teguh organisasinya bukanlah pula buruh produktif, mengadakan hasil, melainkan buruh pengangkutan (VSTP). Buruh pabrik, tambang dan kebun masih cerai sahaja.

Pada tahun 1926, maka Serikat Islam masih berdiri terus dan belum mendapat kecocokan dengan PKI. Serikat Budi Utomo, Pasundan, Sumatera, Minahasa, dan Ambon masih berdiri sebagai benteng propinsialisme

Dengan demikian, maka pertama PKI belum bisa secara organisatoris, tersusun mengikat seluruhnya golongan proletariat dengan perantaraan serikat buruh. Kedua belum pula bisa mengikat warga miskin, yang banyak terdapat di bawah pimpinan atau seluruhnya Serikat Islam, apalagi kaum tengah, seperti saudagar atasan, Pamong Praja (BB) dan intelligensia miskin. Ketiga propinsialisme belum lagi ditarik ke jurusan nasionalisme secara organisatoris.

Sedikit saja pemberontakan, kalau berlaku, mendapat perlawanan dari imperialisme Belanda, maka semua golongan atas dan tengah yang dipengaruhi Islamisme dan propinsialisme itu bisa disusun dan dipakai oleh imperialisme Belanda menentang pemberontakan di bawah pimpinan PKI.

Sekarang saja (May 1946) sudah Rakyat Indonesia 3 ½  tahun lamanya menyaksikan dengan matanya sendiri kelemahan Belanda terhadap Jepang, menyaksikan dengan matanya sendiri kerendahan watak budi pekerti, bahkan moralnya Belanda.... bekas Tuan dan Nyonya Besar serta Noni...... dan mendirikan Republik merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, masih bisa Belanda memakai agama dan propinsialisme, bahkan nasionalisme dan sosialisme buat meruntuhkan Republik Indonesia dan mengembalikan Indonesia ke Status penjajahan.

Cuma partai komunis, beranggota sebagian besar proletariat mesin, yang memimpin atau mempengaruhi serikat buruh dan Sarekat Rakyat Miksin; Partai komunis, yang berfilsafat Materialisme Dialektis dan menjalankan putusan yang diambil oleh Kongres Komintern-lah yang mempunyai pengharapan buat memimpin gerakan revolusioner di Indonesia sampai ke tingkat yang cocok dengan kekuatan dalam dirinya sendiri dan bantuan diplomasi dan moril dari dunia luar.

Seluruhnya Rakyat baru boleh dikatakan berada di bawah pimpinan Partai Komunis itu jikalau Rakyat seluruhnya bisa dimajukan -- kalau saatnya tiba dan dimundurkan kalau terpaksa -- dengan tiada mengurangi kepercayaan rakyat murba pada Partai Komunis itu. Takut mencabut kembali sesuatu putusan yang sudah diambil beberapa pemimpin, karena takut Rakyat akan marah berarti bahwa Rakyat itu belum lagi di bawah pimpinannya Partai tadi.

d. Tuntutan yang nyata dan semboyan.
Membentuk tuntutan politik dan ekonomi yang nyata dan dirasa oleh Rakyat umumnya dan klas proletariat khususnya, adalah satu perbuatan yang amat sulit. Cuma mereka yang sudah paham betul tentangan dasarnya filsafat Materialisme Dialektis dan cukup paham tentangan sejarah, kebudayaan, penghidupan dan jiwanya Rakyat Indonesia-lah yang bisa membentuk tuntutan politik ekonomi serta semboyan yang nyata dan terasa itu buat Rakyat Indonesia ini. tuntutan yang nyata dan terasa itu yang bisa menggetarkan jiwa seluruhnya murba berjuang itu, memperteguh imannya dan menimbulkan keikhlasan berkorban.

Semboyan yang tepatlah yang menggetarkan jiwa Rakyat Perancis dalam masa pemberontakan tahun 1789 terhadap feodalisme, yang mendorong mereka berkorban menanam Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan (Liberte, Egalite, Fraternite) di seluruh benua Eropa.

Semboyan dan tuntutan yang konkrit, nyata terasa, yang dibentuk oleh satu partai proletariat yang sudah lolos dalam beberapa ujian Massa-Aksi, besar-kecil, politik dan ekonomi partai yang cakap bijaksana mencocokkan semboyan dan tuntutan itu dengan jiwanya proletariat mesin dan tani di Rusia pada tiap-tiap fase perjuangan itulah pula perkara yang maha penting dalam revolusi di Rusia.

Tuntutan dan semboyan yang nyata terasa itu adalah tercantum pula dalam salah satu putusan dalam salah satunya Kongres Komintern.

Apabila salah seorang dari kami menanyakan pada seorang pemimpin PKI apakah semboyan dan tuntutan yang akan dimajukan kalau kelak Putusan Prambanan dijalankan, maka dijawabnya: "Bunuh Belanda".

Memangnya perang Jambi (1916) juga memajukan semboyan semacam itu. Tetapi semboyan Komunis hendaknya lain dari itu.

Apabila salah seorang dari pada mereka yang hendak menjalankan Putusan Prambanan itu ditanyai pula, apakah ujian buat seseorang, yang sudah berjanji ikut menyerbu itu, maka dijawabnya: "Siapa berani majulah ke depan! ".

Di Silungkang banyak kejadian aneh, setelah dentuman bedil sebenarnya terdengar serta pasukan serdadu sebenarnya dilihat oleh "would be" bakal pemeberontak itu!

e. Semangat prajurit.
Salah seorang ahli jiwa memajukan tiga perkara yang umumnya ditakuti oleh manusia yakni: (1). ular, (2). darah manusia mengalir, (3). mayat. Tiap-tiap pembaca bisalah memeriksa kebenaran perkatannya itu.

Tiadalah seorang pula bisa menyangkal kebenaran satu pepatah yang bunyinya: Habis geli karena digelitik. Hilanglah geli telapak kaki kalau selalu digelitik (raba) atau bergeseran dengan tanah. Hilanglah pula ketakutan pada ular, darah atau mayat itu kalau selalu melihatnya. Tukang potong sapi apalagi algojo tentu tak begitu takut sama darah mengalir seperti seorang vegetarian (tak makan daging) berasal dari Dravide (keling) umpamanya.

350 tahun bangsa Indonesia diperas, ditindas dan dilucuti senjata serta dilemahkan semangat perangnya. Memang sebelumnya imperialisme Belanda masuk, bangsa Indonesialah salah satu bangsa pelaut yang paling berani di seluruh dunia ini. Darah pemberani itu tidak hilang di jaman Belanda itu, tetapi terpendam, karena tidak ada lagi latihan perang. Apalagi di kota-kota besar di mana si-inlander menghamba sebagai juru-tulis, jongos dan kuli. Semangat keprajuritan itu dan latihan bertempur itu boleh dikatan hilang sama sekali. Taktik muslihat perang yang sangat dikenal dan digemari oleh nenek moyang kita, silat dengan pisau atau kelewang tak berapa dikenal oleh sebagian besar bangsa Indonesia.

Pada tahun 1926 itu sering saya dengar, memang bisa berjanji ini atau itu sebelumnya musuh sebenarnya kelihatan, tetapi berapa orang yang bisa menembak, kalau Moskow umpamanya besok mengirimkan lebih banyak senjata dari yang ada di tangannya Belanda. Siapa yang bisa terbang di antara orang PKI kalau Moskow seandainya mengirimkan pesawat penggempur ataupun pengebom.

Jangan dilupakan, bahwa bangsa Perancis, tahun 1789, adalah satu bangsa yang paling war-like, bersemangat perang di masa revolusi itu. Bangsa Rusia seluruh lelaki yang kuat memanggul senapan dan sudah berperang selama 3 ½ tahun ketika mengibarkan bendera merah pada tahun 1917 itu.

Sekarang kita bisa membandingkan semangat keprajuritan bangsa Indonesia 1926 dengan kaum revolusioner di Perancis dan Rusia itu, bahkan lebih tepat dengan keprajuritan di masa sekarang tahun 1946. Memang Jepang melatih, mungkin 2.000.000 pemuda (Keibodan, Seinendan, Pelopor Heiho, Peta, Jibakutai) buat memperluas kerajaan Dai Nippon. Tetapi memangnya pula perkataan Marx: Kapitalisme itu menggali kuburnya sendiri.

Kalau tak ada latihan Jepang yang hebat, lebih hebat dan jitu dari pada latihan Belanda, Inggris atau Amerika selama dua tiga tahun itu, maka mustahil prajurit Indonesia dengan "bambu runcing" saja bisa merebut bedil, tank, pesawat dan kapal perang seperti di Surabaya. Masakan prajurit Indonesia bisa 7 bulan sampai sekarang menahan serangan udara, laut dan darat di Surabaya dan Semarang itu. Masakan prajurit Indonesia dengan senjata sedikit yang direbutnya itu sering menghalaukan Nica, Inggris, Ghurka, bahkan gurunya sendiri ialah yang paling berani dan cakap berperang di antara 4 bangsa itu: Jepang. Masakan Krawang dan Bandung bisa dipertahankan sekuat-kuatnya! Semuanya akan lebih nyata, kalau diplomasi ulung, yang berdasarkan "perhitungan" itu tidak dijalankan, yakni menghentikan perang kalau Inggris-Gurka-Nica terkepung, dan pasti menemui ajalnya kalau diteruskan.

f. Pertentangan dalam Internasional Kapitalisme sendiri.
Soal pertentangan yang ada di antara beberapa negara kapitalis satu dengan lainnya amat besar pula artinya buat Rusia dan sangat diperhatikan oleh Partai Bolshevik. Apabila Rusia merobohkan Tsarisme dan menyita harta benda kapital asing (Perancis, Inggris, Jerman) maka mereka yang empunya pabrik dan tambang di Rusia, dan berpiutang kepada Tsar itu satu sama lainnya tak saja bertentangan melainkan sudah berperang. Inggris, Perancis dan Jerman tak bisa bersatu menuntut pinjaman uang, pabrik, dan tambangnya, karena satu sama lainnya lemah melemahkan dengan akibat melemahkan kedua pihak yang berperang terhadap Revolusi Rusia. Rusia pada permulaan revolusi mendapat banyak keuntungan dari pertentangan kapital internasional tadi.

Imperialisme Inggris, Belanda, Perancis dan Amerika yang semuanya tentu akan menentang habis-habisan satu revolusi Indonesia yang akan dipimpin oleh PKI seksi Komintern pada tahun 1926 itu amat rapat bersatu. Mereka sedang rapat bersatu menentang Komintern dan Rusia yang masih dalam keadaan lemah dalam ekonomi dan teknik yang belum lagi menjalankan rencana 5 tahunnya, belum lagi mempunyai bomber penggempur dan armada itu. Mereka tak akan membiarkan satu negara baru yang terang-terangan dipimpin oleh satu seksi Komintern berdiri terus.

Mereka sekarang pun tak akan membiarkan begitu saja berdrinya satu negara yang terang-terangan menegakkan Republik Komunis di Indonesia, tetapi persatuan di antara empat imperialisme di atas tadi tidak seperti di tahun 1926 lagi, dan Soviet Rusia bukan lagi bayi melainkan Negara Komunis yang sudah akil-balig. Tegasnya perbandingan kekuatan kawan-kawan di tahun 1926 jauh berlainan dari pada di masa ini. Dahulu amat merugikan Indonesia. Berhubungan dengan itu, maka program (minimum dan maksimum), serta taktik-strateginya revolusi di tahun 1926 mesti dicocokkan betul dengan perbandingan kekuatan lawan dan kawan itu, tersembunyi ataupun terbuka.

Menjawab pertanyaan di atas, yaitu bilakah saat menerkam itu tiba, maka berhubung dengan enam perkara yang dimajukan di atas, (1). Tahun 1926 bukannya tahun krisis, (2). Partai belum cukup berdisiplin, (3). Belum lagi seluruhnya Rakyat berada di bawah pimpinan (disiplin) PKI, (4). Tuntutan yang nyata dan semboyan tak dipikirkan, (5). Semangat keprajuritan Rakyat Indonesia memangnya kendor sekali, dan (6). Imperialisme Internasional bersatu menentang yang berbau Komunisme, tentulah belum bisa dijawab begitu saja.

Baru bisa dijawab dalam pengalaman. Sesudah PKI di-proletarirkan, serikat buruh dimajukan, warga-miskin disusun pula dalam sususan istimewa, dan aksi ekonomi serta politik yang berjiwa pada tuntutan yang nyata-terasa dijalankan baikpun secara terbuka atau tertutup, maka barulah kelak bisa diketahui bila pukulan terakhir, ialah saat menerkam dilakukan.

Syahdan saat menerkam dengan pukulan terakhir itu sama artinya dengan saat mendapatkan suara terbanyak, dalam partai, kumpulan Rakyat, serikat buruh dan seluruhnya Rakyat, termasuk serdadu.

Ini pasti tak bisa ditentukan 6 bulan lebih dahulu! Cuma Joyo Boyo yang katanya bisa menentukan bulan dan tanggal kejadian di hari depan itu. Pemimpin Komunis besar di Baratpun sering gagal mengenal "psychological moment" saat-jiwa memuncak itu dalam massa aksi yang teratur yang sudah ada. Apalagi mengenal 6 bulan di depan! Perhitungan yang berdasarkan Materialisme Dialektis bukanlah ramalan Pak Belalang.

Apalagi perkara "mengadakan" revolusi! Barangkali malaikat bisa "mengadakan" revolusi itu tetapi kaum komunis cuma bisa mempersiapkan diri dan menyambut datangnya revolusi, sebagai "resultante" (hasil dan akibat) dari 1001 perkara. Yang bisa dicetak itu ialah "putsch".

C. KESIMPULAN

Kedudukan PKI terhadap Komintern, tanggung jawab saya kepada Komintern, Rakyat Indonesia dan semua anggota PKI sendiri, memaksa saya mencocokkan Putusan Prambanan, ialah "mengadakan" pemberontakan 6 bulan di hari depan itu (pecahnya hampir setahun di belakang!) dengan dasar Komunisme umumnya dan dengan semua putusan Kongres Komintern khususnya.

Pendapat saya tentang Putusan Prambanan.
1. Berhubung dengan otoritas dan kebiasaan maka tindakan itu melanggar otoritas Komintern. Tindakan sepenting itu, karena mengenai dunia internasional, wajib dirundingkan lebih dahulu dengan Komintern. Sekurangnya dengan wakil Komintern di Asia ini, ialah saya sendiri.
2. Berhubung dengan kerja bersama, cooperation, maka putusan sepenting itu sebaiknyalah kalau diperundingkan dengan wakil beberapa Partai Komunis yang bisa langsung atau tak langsung bisa memberi usul, kritik atau bantuan seperti dengan partai komunis Australia, Belanda, Inggris, Amerika dan Annam.
3. Berhubung dengan organisasi, maka saya anggap sosial-structure (susunan golongan) dalam PKI jauh dari pada tepat. Keinsyafan atau filsafatnya pertarungan kelas masih kurang, serta disiplin masih amat lemah. Disampingnya itu kaum buruh industri, kaum warga-miskin (aliran nasionalisme dan ke-Islaman) belum lagi terikat dalam organisasi yang pantas.
4. Berhubung dengan taktik-strategi, maka dipengaruhi oleh aliran anarkisme, oportunisme dan fanatisme. Taktik-strategi bersandarkan massa aksi, program, tuntutan, serta semboyan yang nyata belum cukup dipahamkan. Kekuatan lawan-kawan kurang diperhatikan, serta kekuatan semuanya amat dipusatkan pada kekuatan senjata saja.

Maka berhubung dengan semua perkara di ataslah maka saya rasa ada kewajiban saya mengusulkan adanya konferensi lengkap di Singapura. Di sini akan dibicarakan perkara patut apa tidaknya dicabut kembali putusan, yang saya pikir terlanjur dan di belakangnya amat menggelisahkan dan mengacaukan beberapa cabang PKI yang heran mendengarkan putusan tersebut. Sesudahnya itu baru dibicarakan sikap dan tindakan yang mesti diambil yang cocok dengan keadaan, kekuatan sendiri dan putusan Kongres Komintern. Salah satunya dari pada usul saya itu ialah mendirikan pusat sebagai reserve di Singapura.

Usul saya yang dibawa oleh Sdr. Alimin disebabkan beberapa hal (yang belum bisa disebutkan) tak sampai ke tangan yang sepatutnya. Setiba saya di Singapura sebenarnya masih banyak tempo buat memperbaiki yang kurang tetap dan mengembalikan PKI ke jalan komunisme. Tetapi disebabkan banyak hal yang tak perlu dan belum bisa dituliskan di sini, maka usaha Almarhum Subakat (Komunis tua dan mati dalam bui), Djamaloedin Tamim (diperintahkan menjalankan Putusan Prambanan di Sumatera), dan saya sendiri akan membawa PKI ke jalan komunisme dan ke massa aksi itu cuma sebagian saja jaya.

PKI terdorong oleh satu organisasi baru disampingnya ialah DO yang dipimpin oleh darah muda yang didorong oleh nafsu terbaru. Beberapa teman di Banten yang sudah kembali dari Digul dengan panjang lebar sekarang bisa menceritakan aksi yang memberi akibat sedih semacam itu. Banyak pula hal yang belum bisa dituliskan berhubung dengan aksi DO yang menyedihkan itu. Perlu disebutkan di sini bahwa kecurangan hati, kalau ada sedikit sekali terdapat di antara para anggota PKI dan DO umumnya mereka sangat jujur dan cukup merasa tanggung jawab. Tetapi kesulitan berhubungan, darah panas, belum cukup memahamkan arti Massa Aksi dan kerja tertutup, maka provokasi Belanda, bisa menjerumuskan ribuan anggota kader revolusi Indonesia ke rumah penjara di beberapa tempat dan ke Digul sarang malaria itu. Pasti PKI akan membikin sejarah yang jauh lebih gemilang kalautak mendapat tamparan sebesar itu dan mempunyai kebijakan memimpin seluruhnya partai ke bawah tanah. Semua Partai Nasionalis sesudah PKI ternyata kini cuma perkumpulan buat mempersiapkan diri menerima bintang dan pertintah Tenno Haika saja.

PARI, Partai Republik Indonesia, didirikan lama sesudahnya keributan tahun 1926 selesai. Alasan terutama ialah karena:
1. Hampir semua pemimpin PKI yang bertanggung jawab sesudah dimasukkan ke bui atau dibuang ke Digul. Perhitungan tepat atau tidaknya tindakan yang sudah diambil pada tahun 1926 seperti wajib dan lazim dijalankan oleh Partai Komunis di Barat tak bisa kami jalankan lagi.
Mengeritik tindakan yang lampau, mengakui kesalahan kalau perlu, adalah satu sikap yang paling diutamakan oleh Partai Komunis Rusia. Tetapi memakai terus nama PKI yang tiada mengemukakan kesalahan di masa lampau kami rasa tidaklah akan menambah perbaikan jalannya pergerakan revolusi Indonesia. Sesudah kesalahan diketahui dan diakui barulah langkah baru bisa dijalankan! Begitulah pula sikap kaum Komunis di Barat!
2. Habisnya anggota PKI yang kami kenal dari luar negeri dan putusnya perhubungan memberi kemungkinan kelak ada mereka yang akan meneruskan pekerjaan PKI lama dengan tersembunyi dan dengan hati curang. Bahaya provokasi semacam ini kami anggap besar sekali. Mungkin karena sengaja berniat jahat atau tidak berniat jahat begitu. Tetapi lantaran kurang paham dan pengalaman maka mungkin PKI karena popular namanya disesatkan kepada paham dan aksi yang bertentangan dengan dasar komunisme umumnya dan Putusan Kongres Komintern Khususnya.
Pengalaman Indonesia dengan PKI yang dikenalkan oleh V.d Plas PKI di bawah pimpinan Jepang, PKI dengan Mr. Joesoef sebagai ketua, PKI tahun 1936, PKI tahun 1941 dll. semua membuktikan berapa susahnya memimpin satu Partai Komunis di sesuatu jajahan seperti Indonesia. 1001 kejadian yang menyedihkan dan menyeramkan yang berhubungan dengan provokas Jepang terhadap PKI. Nama PKI yang mempunyai sejarah baik dari tahun 1917 sampai tahun 1926 memang bisa menarik murba dan menjerumuskan murba, cerdas dingin, serta hati yang sabar-jujur penuh dengan rasa tanggung jawab terhadap proletariat dan rakyat Indonesia, proletariat internasional dan dasar Komunis sendiri.
3. Komunisme dan PKI karena populernya sudah sampai ke tingkat menimbulkan fanatisme di antara Rakyat, terutama yang buta huruf. Lebih tepat lagi kalau dikatakan sudah sampai dia mengganti fanatisme terhadap Islam dan Turki dengan fanatik kepada Komunisme dan Rusia. Pada tiap-tiap pemberontakan di Sumatera di masa lampau, mesti diperhubungkan berita bohong bahwa kapal perang Turki sudah berlabuh di pesisir buat membantu kaum muslimin. Pada pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera kapal perang Rusialah yang menjadi buah berita bohong itu. Jepang memakai tipu semacam itu pula dan dapat memperangkap dan membunuh "komunis" yang kerja tertutup kabarnya puluhan banyaknya.
Semangat berjuang yang didorong oleh fanatisme pun ada tempatnya dalam lapangan revolusi. Tetapi Partai Komunis, seperti Cabang Komintern, wajib dihindarkan daripada cara berpikir yang tidak berdasarkan barang yang nyata.
Sembarang fanatisme sudah membawa seseorang pergerakan revolusi ke jurang oportunisme, fasisme ataupun putsch.
4. Kekuasaan yang diberikan Komintern pada saya (tahun 1922) di daerah yang meliputi beberapa negara, yang praktisnya boleh dinamakan Aslia memberi suggestion, petunjuk kepada diri saya, bahwa semua negara ini memangnya mesti digabung menjadi satu. Teori bangsa (oleh Haddon, Smith, Bastian, CR Logan dll.) membuktikan kesatuan bangsa di Aslia itu. Tanah dan iklim memperkuat pula kesatuan itu. Sejarah Sriwijaya dan Majapahit sudah menuju tepat ke situ. Jepang buat keperluan rampokan dan perampok serta bajak lautnya sudah mempraktekkan kesatuan itu. Dahulu dalam "perantauan" saya di Aslia itu saya sudah mendapat keyakinan bahwa kesatuan bumi-iklim, kebangsaan, perekonomian, kejiwaan (psychology) diperkuat oleh kesatuan musuh imperialis di bawah tali pengendalinya imperialisme Inggris, dengan Singapura sebagai pusat perdagangan dan strategi, bahwa kesatuan Aslia itu mesti dibentuk dengan jalan revolusioner berdasarkan ekonomi dan proletariat menuju ke internasional.

Bahwasanya atas empat dasar saya terutama di atas ini, maka barang siapa yang tak menunggu emas jatuh dari langit, melainkan berjalan dengan mata terbuka di atas tanah yang kesat (kasar) ini sekarang sudah bisa menyaksikan kebenaran PARI dalam hampir semua garis dasarnya.

Nama dan isi kata Republik itu sudah mempengaruhi dunia intelligensia semenjak lebih dari 10 tahun lampau. Pengaruh itu kelihatan memuncak di waktu republik hendak didirikan, 17 Agustus 1945. Di sekitarnya buku saya "Naar de Republik Indonesia" (tahun 1924), "Ke arah Indonesia Merdeka" (tahun 1932 oleh Drs. Moh. Hatta), "Mencapai Indonesia Merdeka" (tahun 1932 oleh Ir. Soekarno) adalah perhubungan erat yang kelak oleh ahli sejarah akan diuraikan (Ktr. Moh Yamin). Komiter van Actie, bermarkas besar di Menteng 31, bukanlah berasingan dengan PARI, walaupun kami sendiri tak kenal mengenal di waktu itu (keterangan lanjut oleh Sdr. Soekarni!).

Nyatalah sudah bahwa Republik adalah satu nama yang tepat buat Indonesia pada tingkat nasional dan internasional sekarang. Nama Republik itu kelak gampang ditambah dengan perkataan seperti Demokratis, Sosialis, ataupun Komunis, ialah menurut keadaan dan kekuataan lawan dan kawan di dalam dan di luar negeri Indonesia dan menurut sifatnya Republik itu sebagai hasil perjuangan yang sebenarnya. Dalam salah satu surat kabar Inggris maka dalam pidatonya Stalin (Ktr. Sajoeti Malik) dapat dibaca kalimat yang pendek, tetapi tepat menyinggung keributan tahun 1926. Di sana disebut "the Indonesian Communist Party wrongly aroused the Soviet power" atau PKI salah mengemukakan kekuasaan Soviet. Memang begitu pendirian Moskow yang saya dengar sesudah tahun 1926.

Saya baru sekarang mendengar keterangan Sdr. Sajoeti Melik yang menambah kepastiannya itu. Tetapi pendirian itulah yang saya pegang serta menambah mendorong saya mendirikan PARI, Partai Republik Indonesia, (Juni 1927). Sedikit orang yang tahu dan mau tahu terutama di Asia ini, bahwa kekuasaan Soviet itu adalah pelaksanaan Revolusi Komunis, seterusnya Revolusi Komunis itu tiadalah bisa dilakukan pada sembarang tempat dan sembarang tempo saja. Cukuplah sudah, bahkan sudah lebih dari cukup kalau pada permulaan revolusi di sesuatu jajahan seperti Indonesia ini, Revolusi itu dipimpin oleh satu partai dengan nama apapun juga. Asal pimpinan itu berada dalam obor Komunisme (Materialisme Dialektis). Pada salah satu daerah luas di Asia saya kenal satu kumpulan besar yang mengikat seluruhnya Rakyat. Kumpulan itu dinamai "The Road to Heaven " atau "Jalan ke Surga". Kumpulan itu diakui oleh Komintern sebagai symphatizer, bersimpati. Nama kumpulan itu bukanlah nama ejekan atau kedok! Memang daerah itu dikuasai oleh pendeta Budha dan seluruh rakyat beragama Budha. Tetapi sebab sifatnya memang revolusioner maka Komintern yang bukannya gerombolan orang doktriner atau Fanatis, maka kumpulan "Jalan ke Surga " pun boleh dianggap satu kekuatan revolusioner.

Cuma mereka yang lebih mengindahkan nama dari pada isi, yang fanatik sama nama dan tak mengindahkan isi saja yang lekas menuduh berkhianat atau Trotskyist kalau seorang merasa bahwa nama itu buat sementara baik ditukar!

Tetapi mereka terutama memperhatikan metode (cara) berpikir revolusioner, untuk aksi revolusioner dalam massa revolusioner, lekas bisa tahu siapa yang sungguh revolusioner dan siapa yang lidahnya saja memberontak. Kita sekarang (Revolusi Solo 2 Juni) sudah sampai ke tingkat kedua. Dimana kelihatan dua barisan bersenjata di tangan sedang berhadapan satu dengan lainnya: Pihak buruh-Tani-Marhaen Indonesia berhadapan dengan Nica, feodalisme dan Inlanders-alat-alat Belanda.

Siapa yang bersandar pada kedua pihak akan kehilangan kepercayaan dari kedua pihak itu dan akhirnya jatuh terlentang sendirinya. Dan siapa yang mau diam berdiri di tengah-tengah akan diam mati terjepit di antara dua pihak itu pula. Seperti kata pepatah: Gajah berjuang sama gajah, pelanduk (sang kancil) mati di tengah!

Akhirulkalam:

Pertama sekali: Sikap saya pada tahun 1926, ialah menarik kembali PKI ke jalan komunisme. Putusan Prambanan saya anggap bertentangan dengan dasar organisasi, taktik, dan strategi Komintern dan beberapa putusan dalam Kongres Komintern.

Menurut keterangan yang saya terima Putusan Prambanan itupun tak dibenarkan Komintern. Para utusan PKI ke Moskow tak mendapatkan yang dimaksud melainkan membawa (terlambat datangnya) program yang cocok sekali dengan usul yang saya kirimkan ke Moskow sebelumnya mereka berangkat.

Kalau sikap saya menuntut dicabut kembali putusan yang saya anggap bertentangan dengan dasar komunisme dan putusan Kongres Komintern, maka saya, sebagai wakil Komintern pada tahun 1926 itu kalau dianggap pengkhianat terhadap proletariat dan rakyat Indonesia, terhadap PKI dan Komintern dan akhirnya pada proletariat Internasional maka saya akan berkhianat sekali lagi kalau berhadapan dengan persoalan semacam itu pula.

Saya sanggup kelak berhadapan dengan hakim Internasional yang sah dan Komunis buat memeriksa siapa yang sebenarnya bersalah dan kalau perlu yang patut dihukum berhubung dengan keributan tahun 1926 dan semua akibatnya itu.

Kedua: Semenjak hampir 20 tahun PARI berdiri sudah terbukti banyak kebenaran dalam garis besarnya. Juga di sini nyata kebenarannya pepatah: The proof of the pudding is in the eating, atau pengalaman itulah hakim yang sebenarnya.

Terbuktilah sudah bahwa dasarnya PARI banyak yang sudah dilaksanakan dalam revolusi sekarang. Banyak anggota PARI yang mengambil bagian dalam revolusi yang sebenarnya ini. Terbuktilah pula benarnya taksiran PARI 20 tahun lampau, bahwa dalam perjuangan akan datang boleh jadi sekali rakyat Indonesia akan terpaksa bersandar pada kekuatan dirinya sendiri. PARI menang bersandar pada dasar "zelf help" tolong diri sendiri.

Memangnya karena bermacam-macam hal terpaksa begitu. Sudah sepuluh bulan rakyat serta pemuda Indonesia menentang perampok Internasional (Inggris, Gurka, Jepang, Nica) dengan otak sendiri, kepercayaan atas diri sendiri, dengan bambu runcing sebagai modal senjata yang pertama!

Perjuangan sekarang dan di hari depan pastilah pula akan melaksanakan dasar tujuan PARI yang ke arah "Aslia" – Asia australia. Syahdan Semenanjung Malaka di benua Asia sudah seratus persen berdiri di atas tuntutan Indonesia ialah: pergabungan dengan Republik Indonesia yang merdeka 100%.

Australia menuju kecerdasan dan sikap yang jujur – konsekuen. Baru ini di London Australia menolak sikap Inggris dan Belanda menjajah Indonesia dan mempermalukan keinginannya sendiri membikin persekutuan perang dengan Popular Government (Pemerintahan Rakyat) dalam Indonesia merdeka 100%.

Dua tiga pasukan pun fanatis, doktriner, atau dogmatis tak akan bisa menahan arus banjir ke jurusan Aslia itu selama undang-undang politik ekonomi berlaku.

Ketahuilah bahwa kaum komunis yang membentuk Rusia sampai menjadi negara seperti di masa ini, bukanlah kaum dogmatis melainkan revolusioner, yang bisa mencocokkan teori komunisme dengan keadaan: yang memakai Komunisme, bukan sebagai dogma, kaji hapalan, melainkan sebagai guide, penunjuk jalan buat aksi.

Dengan hakim komunis internasional yang sah, saya juga sanggup berhadapan buat membela berdirinya PARI. Perkara nama itu, kalau memang kelak masanya sampai saya sendiri akan bergembira mengembalikan nama yang sebenarnya, seperti saya bergembira bisa melemparkan nama Hasan, Fuentes, Tan Ming Seng, Howard Low dan sebagainya dan mendapat nama sekarang di masa berterang-terangan ini.

Di samping PID Belanda memakai nama Tan Malaka palsu, demikianlah dia mempropagandakan dengan s.k Menara Merah-nya bahwa Tan Malaka yang sebenarnya sudah di-royeer (dipecat) oleh Komintern.

Saya sendiri baru sekarang mendengar kabar yang mengherankan itu! Tetapi sekarang sudah boleh saya umumkan bahwa tahun 1932 saya masih mendapat kepercayaan Komintern. Penangkapan di Hongkong (10 Oktober 1932) menurut kabar Inggris, ialah ketika saya dalam perjalanan ke Siam. Tetapi bukanlah Siam yang menjadi tujuan, bahkan Hindustan, British India yang dikangkangi Inggris itu sendiri.

Saya lepas dari semua perangkap yang dipasang di masa dan sesudahnya tangkapan itu tetapi semenjak tahun 1932 sampai 25 Agustus 1935, saya lepas pula dari semua perhubungan dengan teman yang saya kenal di Indonesia, Asia dan Eropa. Saya terpaksa kerja sendiri di mana saya berada.

Saya tahu Komintern belum pernah me-royeer seorang utusan atau anggota yang pernah diberinya kepercayaan penuh sebelum bertemu dengan orang itu sendiri dan terbukti kesalahannya. Saya yang pernah menjadi wakil Komintern itu dan juga wakil Provintern (ini tak perlu dirahasiakan lagi) tak mungkin akan di-royeer begitu saja sebelum saya dipanggil dan diperiksa tuduhan kalau ada. Tak mungkin Komintern akan bertindak atas hasutan atau tuduhan palsu saja, zonder dikonfontirkan orang yang dianggapnya bersalah itu. Saya sendiri tak pernah dikonfrontir oleh siapapun juga, dimanapun juga, berhubung dengan tuduhan apapun juga. Bahkan menerima surat pun tidak, karena seperti saya sebutkan di atas putus perhubungan tadi dan hidup terumbang-ambing karena kemiskinan dan kesehatan amat terganggu.

Kepada si penuduh yang bisa tahu tempat tinggal saya saja, di mana saya di-royeer itu saya akan hadiahkan jamu urat syaraf yang paling manjur sekali sebagai upah kecakapannya yang luar biasa itu dan obat urat syarafnya yang rupanya amat terganggu itu.

Saya sendiri yakin, bahwa penyiar kabar royeeran itu tak tahu di mana saya ketika itu. Tetapi saya yakin pula, bahwa mestinya dia tahu di mana Tan Malaka palsu, di mana Tan Malaka sebenarnya diroyeer itu!

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar