KATA
PENGANTAR
Seorang
nakhoda yang berpengalaman cukup, yang mengemudikan kapal, yang kuat dan baru
juga mesti menentukan keadaan pelayaran lebih dahulu sebelum bertolak dari
pelabuhan.
Topan
yang mengancam di waktu depan, bisa menyebabkan kapal itu menunda perjalanannya
atau juga memukul kembali atau membelokkan pelayarannya ke kiri-kanannya,
bahkan juga memukul kembali ataupun menenggelamkan kapal itu.
Syukurlah
kalau nakhodanya berpengalaman lama serta mengetahui karang dan gerakan udara
di lautan yang ditempuh, kini ataupun di hari depan.
Tetapi
tiadalah dunia akan mendapat kemajuan seperti sekarang kalau semua nakhoda
tidak mau berangkat sebelum keadaan udara laut dan cuaca sungguh diketahui
lebih dahulu.
Colombus
tidak akan sampai ke Amerika kalau ia bergantung pada pengetahuan yang sudah
pasti, yang sudah diuji kebenarannya saja. Dia akan berbalik setengah pelayaran
setelah menemui mara bahaya kalau ia cuma bergantung kepada teorinya ahli bumi
Toscanelli saja. Semangat adventure, mencoba-coba sesuatu yang mengandung
bahaya mautpun mesti dilakukan. Berbahagialah suatu negara dan masyarakatnya
yang mempunyai semangat adventure itu.
Memang
lebih dari 50% kemajuan masyarakat kita ditebus oleh jiwa yang bersemangat
adventure itu, dalam semua lapangan hidup, politik, ekonomi, militer, bahkan
semua cabang ilmu.
Dalam
revolusi Indonesia sekarang banyak jalan yang belum kita ketahui. Semua jalan
ke depan masihasinglah buat kita. Berjalan ke depan berarti adventure,
percobaan yang mungkin membawa maut. Perjalanan yang pasti cuma perjalanan ke
belakang, yakni kembali ke jalan yang kita jalani 350 tahun belakangan ini.
Artinya ini kembali mencari jalan penjajahan, kembali menjadi budak
jajahan…..berkhianat kepada turunan sekarang dan anak cucu. Inilah saja sekarang
jalan yang pasti terang.
Bahwasanya
perjalanan masyarakat kita terutama berarti perjalanan politik ekonomi sebagai
garis besarnya. Garis besar dalam politik-ekonomi kita sebagai haknya
masyarakat Indonesia, dalam dunia penuh pertentangan ini, mungkin bertentangan
dengan garis besarnya politik-ekonomi negara lain ialah negara kapitalis.
Mungkin garis besar kita terpaksa memutar dari garis besar politik-ekonominya
negara lain, mungkin mem-viaduci atau menyelundupi ke bawah satu terowongan.
Bagaimanapun
juga ahli politik ekonomilah yang berhak menentukan garis besar dalam
perjalanan politik-ekonomi masyarakat Indonesia dalam revolusi sekarang ini.
Timbulnya
satu golongan yang bangga menamai dirinya "akademisi" di Indonesia
ini sudah mulai memonopoli semua pengetahuan yang berdasarkan ilmu. Di
Philipina dan Hindustan, memang percobaan memonopoli itu sudah memperlihatkan
hasilnya. Di sana sudah masuk betul paham di antara segolongan rakyat, bahwa
umpamanya yang memimpin politik itu harusnya satu Mr. dan memimpin ekonomi itu
mesti suatu Dr. dalam ekonomi.
Kalau
kita ikuti logika semacam itu, jadinya seorang leek bukan bertitel tidak boleh
meraba-raba ilmu. Selanjutnya pula seorang Drs. (yang baru 75% atau 75 1/2 %
Dr.) dalam ekonomi mestinya takluk pula pada seorang Profesor dalam ekonomi.
Jadi menurut pikiran pasar "The men on the street" dengan logika
semacam ini kalau seorang Drs. (ekonomi) umpamanya menulis 3 buku, maka seorang
Dr. (ekonomi) mesti sekurangnya menulis 4 buku dan satu Profesor jauh lebih banyak
dari yang di belakang ini. Dilaksanakan di Indonesia ini, kalau ahli ekonomi
kita yang sudah "diakui" itu ialah Drs. Moh. Hatta menulis setengah
lusin buku tentang ekonomi, maka Dr. Samsi mestinya menulis sekurangnya 9 buku
dan Prof. Sunario Kolopaking selusin ataupun lebih.
Dalam
hal politik para Mr.-lah yang mesti memimpin politik kita sekarang, ialah
menurut logika pasar tadi juga.
Tetapi
apakah bukti yang kita lihat?
Sedangkan
Drs. (75% atau 75 ½% Dr.) Moh. Hatta menulis lebih setengah lusin, Dr. Samsi
dan Prof. Sunario Kolopaking sedikit sekali kelihatan buah penanya. Sedangkan
di dunia politik Mr. Iwa Koesoema Soemantri umpamanya sedikit terdengar
suaranya dan cuma dalam kalangan P.B.I-nya saja, tetapi warganegaranya sejawat
kita Mr. Slamet, sudah sampai suaranya ke "Sri" Ratu dan seluruh
rakyat Nederland serta dunia Imperialis lainnya.
Demikianlah
kalau kita ikuti paham yang dimasukkan oleh Imperialisme Barat. Menurut paham
itu kalau diambil akibatnya, maka yang bertitel itulah saja yang berhak
merundingkan dan memimpin perkara ini atau itu. Yang tidak mempunyai
"cap" dari sekolah akademi Barat itu menurut kehendak mereka
janganlah dipercayai. Tidak ada yang lebih dikenal oleh penyakit
ke-akademiannya itu daripada ilmu sosial, termasuk ilmu masyarakat itu pula.
Kita
membenarkan sama sekali keperluan latihan akademi dalam ilmu seperti kimia,
listrik, dan teknik. Tetapi inipun tidak berarti bahwa yang ulung dan berhak
bersuara dalam ilmu semacam itu mestinya hanya keluaran akademi saja. Cukuplah
di sini disebutkan bahwa pembikin beberapa teori yang amat berharga dalam hal
listrik di jaman listrik ini seperti Michael Faraday cuma keluaran sekolah
sebenggol (rendah) saja. Thomas Edison, penemu (inventor) listrik diusir oleh
gurunya dari kelas satu atau dua di sekolah rendah tadi pula karena….. bodoh.
Penuh
contoh lain-lain dalam ilmu seperti tersebut di atas: teknik, kimia, matematika
ataupun biologi. Banyak ilmu yang dijalani dan teori penting yang dibentuk oleh
hukum akademi. Sebaliknya banyak pula contoh yang membuktikan bahwa akademisi
itu cuma tukang hafal saja, tukang "catut" ilmu orang lain saja.
Semuanya membuktikan bahwa "title" itu cuma satu surat
"pas" saja dalam dunia kecerdasan, bukanlah kecerdasan sendiri!
Apalagi
dalam ilmu masyarakat, seperti politik dan ekonomi!
Dalam
hal ini dua aliran yang bertentangan sudah nyata ialah aliran
politik-ekonominya Proletariat dan Borjuis. Aliran Proletariat dipelopori oleh
Karl Marx seorang Dr. Filsafat (bukan ekonomi) dan pengikutnya, serta aliran
borjuis oleh para profesor ekonomi di sekolah tinggi seperti Rotterdam. Kedua
aliran itu tidak bisa diperdamaikan seperti klas Proletariat tidak bisa
diperdamaikan dengan klas borjuis. Hidupnya suatu klas di atas berarti matinya
klas yang lain dan sebaliknya. Begitulah pula teori masing-masing klas itu
sehidup semati dengan klasnya sendiri!
Kita
akui penuh bahwa aliran yang kita pakai ialah aliran Marx, yang berdasarkan
pertentangan dalam hal sosial, politik dan ekonomi. Dengan pisau analisanya
yang bersifat pertentangan (dialektika) dua klas dalam masyarakat (Proletariat
melawan borjuasi) inilah kita mencoba menaksir arahnya politik dunia bergerak
menuju ke depan.
Dalam
revolusi Indonesia mau tidak mau kita wajib menaksir arahnya politik ekonomi
dunia itu bergerak. Dalam topan gelombangnya politik ekonomi dunia itulah kita
dipaksa oleh keadaan mengemudikan kapal negara kita yang berdasarkan politik
ekonomi pula. Bertolak atau tidaknya dari pelabuhan, membelok ke kiri atau ke
kanannya kita disebabkan topan gelombang politik ekonomi yang menentang kita,
serta timbul atau tenggelamnya kapal negera kita dalam adventure dalam
revolusi, ini sebagian tergantung dari taksiran kita tadilah pula.
Tidak
ada pengalaman yang sudah-sudah bagi kita di Indonesia boleh dipakai, karena
sifatnya revolusi memangnya satu percobaan baru, lepas dari pengetahuan yang
sudah-sudah dan pengalaman yang lampau. Pengalaman di negara lain seperti di
Perancis, dan Soviet Rusia mesti kita perhatikan. Tetapi memperhatikan dan
mempelajarinya tiadalah meniru-niru saja. Yang kita kemukakan ialah cara
berfikir, ialah Materialisme Dialektika. Yang harus kita pelajari dari negara
lain bagaimana para pemimpin masyarakat di sana melaksanakan metode berfikir
tadi dalam keadaan suasana di negara lain itu, mengambil contoh yang baik dan
menyingkirkan kesalahan yang diperbuat di negara asing.
Akan
tetapi malangnya sampai sekarang kita tidak mendapatkan dan tidak bisa
mendapatkan bahan yang cukup buat dalam dan luar Indonesia. Apalagi dalam
keadaan tahanan sekarang, di mana kita terputus dengan perhubungan luar rumah
yang kita dipaksa mendiami. Brosur ini terpaksa ditulis terhenti-henti
disebabkan keadaan kita dalam tiga bulan ini (pindah-pindah tempat atau
terganggu kesehatan). Tetapi dengan memakai cara berfikir yang sudah jaya
dipakai di lain tempat dan bahan yang sudah kita terima, apa yang sudah kita
taksir 3 bulan lampau sudah menjadi bukti pada masa brosur ini hampir ditulis
umpamanya saja pertentangan hebat antara dunia sosialis dan dunia kapitalis
berhubung dengan itu pula kemungkinan Perang Dunia Ke-3.
Bahan
baru boleh jadi akan kita peroleh besok atau lusa. Kesimpulan kita boleh jadi
kelak terpaksa diubah di sana-sini. Tetapi sebab kita rasa cukup memperhatikan
garis besar dalam hal metode berpikir yang dipakai dan politik ekonomi
sekarang, maka kemungkinan perubahan kesimpulan itu tidak akan merombak sama
sekali kesimpulan politik ekonomi kita tentang luar dan dalam Indonesia.
Berhubungan dengan itu tiadalah mungkin banyak perubahan (kalau perlu) yang
mesti diderita oleh organisasi, program, taktik serta strategi yang kita
anjurkan kelak!
Bagaimanapun
juga tiadalah kita perlu perlu selangkahpun juga kembali ke ahli politik
ekonominya kaum borjuis besar, tengah, kecil -- ke ahli politik ekonominya kaum
akademisi di Indonesia atau lainnya. Tiadalah kita perlu menempel-nempelkan
ujar atau amanat professor ini atau itu, akademis ini atau pun buat dijadikan
"buku" dan disampaikan ke sana-sini kepada Rakyat dan Proletariat
Indonesia.
Kita
sebaliknya akan melindungi Rakyat dan Proletariat Indonesia dari segala
percoabaan akademisi yang akan membawa kembali politik ekonomi Indonesia ke
bawah telapak kaki Imperialisme atau menimbulkan pengharapan yang tidak-tidak
di antara Rakyat dan Proletariat Indonesia.
Cukup
sudahlah pengalaman yang kita terima dari akademisi itu umpamanya tentang
Distribusi dan Koperasi yang digembar-gemborkan dan di "praktekkan"
di jaman Kempetai Jepang. Distribusi dan Koperasi yang disajikan kepada kita
sebagai puncak pendapatan akademisi di masa Kempetai itu mungkin baik buat satu
golongan kecil di salah satu tempat, ialah buat tempat bersarangnya tukang
catut. Tetapi buat Rakyat Murba prakteknya ekonomi semacam itu semata-mata satu
kebohongan kapitalisme dan imperialisme belaka.
Buat
kita politik itu tidak bisa dipisahkan daripada ekonomi dan begitu juga ekonomi
tidak bisa dipisahkan daripada politik. Sering kita dengar di kalangan kita
sendiri, bahwa politik adalah konsentrasi dan pemusatan ekonomi. Di jaman
Kempetai Jepang tidak akan kita pikirkan membikin badan ekonomi ini ataupun
itu, karena machtfactor
(perkara kekuasaan) untuk memeriksa dan menghukum yang bersalah, umpamanya
tukang catut tadi tidak ada pada kita.
Politik
ekonomi yang bisa dan patut kita praktekkan dalam masa berjuang ini, revolusi
sekarang tidak lain dan tidak bukan melainkan politik ekonomi berjuang dan
organisasi politik ekonomi di jaman Merdeka 100%.
Syahdan
akhirnya, benar atau tidaknya sesuatu faham atau teori sosial dalam satu
masyarakat yang berdasarkan pertentangan Proletar borjuis bukanlah diputuskan
oleh "title", sebagai pengesahan borjuis saja, tetapi terutama oleh
golongan Proletariat yang menantang!
Lawu,
10 Juni, 1946
TAN
MALAKA
TENTANG
DUNIA LUAR DAN DALAM INDONESIA
A. DUNIA LUAR.
1. Pertentangan Dua
Sistem.
Dua
sistem yang sangat bertentangan sifatnya sekarang berhadapan muka satu sama
lainnya di dunia ini. Sistem yang muda tetapi tumbuh terus ialah sistem
sosialisme, yang berlaku di Soviet Rusia. Sistem yang sudah tua ialah sistem
kapitalisme yang berpusat di Amerika Serikat dan Inggris. Buntutnya sistem ini
adalah imperialisme yang merayap-rayap di Asia dan Afrika. Sistem Sosialisme
berkuasa dalam daerah kurang lebih 1/6 muka bumi yang berpenduduk kurang lebih
200 juta manusia, ialah hampir 1/10 seluruh cacah jiwa bumi kita ini.
Pengaruhnya sistem Sosialisme di antara seluruhnya penduduk dunia di luar Rusia
teristimewa pula di tanah jajahan seperti Asia dan Afrika amat besar sekali.
Imperialisme
Amerika langsung menguasai Philipina dan sangat besar sekali pengaruhnya pada
Kanada, Amerika Tengah, dan Selatan, yang jumlah luasnya hampir 1/3 daratan di
seluruh dunia. Sebelum dan sesudahnya perang dunia ke II, Kapitalisme Amerika
sangat mempengaruhi Tiongkok dan bagian Asia yang lain, juga Afrika, Australia,
Eropa termasuk juga Inggris. Imperialisme Inggris semakin lama semakin renggang
perhubungannya dengan Free State Irlandia, dengan Afrika Selatan, Australia dan
Kanada serta sekarang dalam pertikaian hebat dengan tiang tempat berdirinya
selama ini, yakni India dan Mesir. Strategi baru berdasarkan Teknik Atom
menambah kemerdekaan tiap-tiap Dominion Inggris dan memperenggang antara
Inggris dan masing-masing Dominionnya.
Dalam
masa 10 tahun permulaannya Soviet Rusia berdiri (1917-1927), dia amat dimusuhi
oleh Kapitalisme dan Imperialisme dunia. Jepang membantu dengan tentara dan
senjata kepada kaum kontra revolusinya yaitu Rusia Putih di Siberia (1918),
Inggris dan Perancis mendaratkan tentaranya di Archangel (1919), Rumania dan Polandia
(1920) yang dibantu sepenuhnya oleh Inggris dan Perancis yang pula dari Barat,
semua serangan itu dapat ditangkis oleh Sosialis Soviet Rusia dengan berhasil.
Demikian
pula semua serangan dari pihak kontra revolusi di bawah pimpinan bekas para
jendral Tsar seperti Khochlak, Denikin, Wrangel dan lain-lain dihancur-leburkan
oleh senjata lahir dan batin (yang paling utama adalah batin) Republik Sosialis
yang muda remaja itu.
Sesudahnya
semua percobaan menyerang dengan senjata kemiliteran itu gagal, maka barulah
dunia Kapitalisme mengakui Soviet Rusia lahir dan batin serta mengajak para
wakil Soviet berunding di Genoa pada tahun 1922, ialah sesudahnya 5 tahun
Sosialisme Rusia berdiri. Pengakuan atas kekuatan Soviet Rusia itu adalah
kekuatan de fakto bukan de jure. Pengakuan dan perundingan atas dasar
"duduk sama rendah dan tegak sama tinggi" itu, tiadalah mengurangkan
kecurigaan dan kegelisahan dunia Imperialisme dengan jajahannya terhadap
Sosialisme di Rusia itu. Meskipun senjata militer tidak lagi dilakukan terhadap
Soviet Rusia tetapi tidak putus-putusnya dunia Kapitalisme mencoba memfitnah
dan membusukkan di mata dunia luar Rusia dengan jalan anti propaganda yang
serendah-rendahnya. Dari tahun 1928 sampai perang dunia ke II ini, Kapitalisme
dunia kaget, kagum, dan gemetar melihat kemajuan pesat Sosialisme di Rusia,
disebabkan oleh pelaksanaan Rencana Ekonomi berturut-turut. Kemajuan
semacam itu terutama dalam perkara teknik, pertanian dan perindustrian serta
yang berhubungan dengan itu dalam hal sosial dan kebudayaan yang belum pernah
dialami oleh bagian dunia lain dan di tempat manapun juga.
Tetapi
dunia Kapitalisme tetap curiga walaupun kagum tetapi benci, meskipun maklum
sungguh tentang kesanggupan Sosialisme dan kegagalan Kapitalisme. Baru setelah Jerman
Fasis menyerang Rusia pada bulan Juni 1941 maka Kapitalisme Amerika dan Inggris
menghampiri dan mengadakan perserikatan melawan perserikatan Fasis
Jerman-Jepang-Italia.
Nyatanya
sekarang bahwa perserikatan itu sama sekali tidak berdasarkan atas persamaan
sifat. Apabila musuh bersama itu telah jatuh maka tegaklah kembali pertentangan
sifat yang lama, pertentangan sistem sosialisme dengan sistem kapitalisme.
2. Dua “Bisul”
Peperangan.
George
Washington, Presiden Pertama Amerika Serikat, memformulirkan, menetapkan,
politik luar negeri dengan cara negatif, cara meniadakan. Dia mengusulkan
supaya Amerika Serikat menjauhi "foreign entanglement", menjauhi
supaya perkara luar negeri yang bisa menyebabkan Amerika Serikat terlibat dalam
peperangan. Inilah politik "isolasi", politik menyingkirkan diri yang
masyur itu. Memang Amerika Serikat yang luasnya 3 ½ juta mil persegi dan
penduduk baru beberapa juta saja di masa itu belum berapa membutuhkan dunia
luar berupa pasar buat membeli bahan ataupun buat menjual barang pabriknya.
Amerika membutuhkan tenaga dan modal asing. Keduanya datang bertimbun-timbun
dari Eropa.
Paul
Monroe sudah sampai ke tingkat sejarah Amerika Serikat bilamana Amerika Serikat
membutuhkan Amerika Tengah dan Selatan sebagai pasar. Inilah artinya dasar
politiknya "America for the Americans" ialah Amerika buat orang
Amerika. Dalam hakekatnya pepatah ini berarti, bukan saja lagi Amerika di Utara
perlu buat pasarnya Amerika Serikat sendiri, tetapi juga seluruhnya Amerika
Utara, tengah dan Selatan hendaknya dimonopoli oleh kapital Amerika Utara.
Politik negatif George Washington kini menidak bolehkan kapital asing
bermarajalela di seluruhnya benua Amerika. Politik meng-isolir, mengasingkan
diri dari negara asing, yang dimajukan oleh Monroe dan berbadan pada Partai
Republik, sekarang dalam hakekatnya meng-isolir kapital asing di kedua benua
Amerika.
Presiden
Wilson, bapak Volkbond, Serikat Bangsa, pemimpin Partai Demokrat dengan
mancampuri Perang Dunia ke I, akhrinya mengisolir Amerika Serikat dari Serikat
Bangsa yang dianjurkan oleh Presiden Amerika sendiri itu, nyatalah sudah
Amerika Serikat sudah sampai ke tingkat imperialisme, yang memerlukan pasar
buat bahan, hasil pabrik dan penanaman modalnya. Cuma lembaga (tradisi) dan
pertengkaran antara dua partai terbesari itu menyebabkan Partai Demokrat masih
malu-malu kucing.
Perang
Dunia ke II ini sekali lagi menarik Amerika Serikat, di bawah pemerintah Partai
Demokrat pula, ke jurang politik "foreign entanglement". Memang
almarhum Presiden Roosevelt dan penggantinya Presiden Truman sudah terlibat
betul dalam imperialisme dunia. Kehendak Presiden Truman, supaya Amerika
"tetap kuat, supaya tetap memegang pimpinan dan melakukan pimpinan itu
untuk perdamaian dunia" adalah hasrat dan perkataan tepat-jitu seseorang
wakil imperialisme tulen. Usaha campur tangan "mendirikan Korea yang
demokratis", membantu anak angkat Tiongkok yang "merdeka dan
demokratis" dengan Y.M.C.A (Kumpulan Pemuda Kristen), modal dan penasehat
militer dsb., memproklamirkan "Commonwealth Filipina" yang
"berdaulat dan merdeka" penuh tetapi mendudukan tentara atau armada
Amerika di Filipina "berdaulat dan merdeka" itu pada tanggal 4 Juli
tahun ini dan menduduki semua pulau yang penting buat siasat perang di seluruh
Lautan Teduh, memang semuanya perbuatan imperialis 100% yang diselimuti
dengan perkataan "perdamaian dunia" dsb., yang lazim dipakai oleh
"Winston Churcill dan Tenno Haika. Hilanglah ketakutan Amerika Serikat
akan terlibatnya dalam politik luar negeri sesudah Perang Dunia ke II ini.
Lenyaplah keinginannya hendak "menyingkirkan" diri dari diplomasi
yang agresif. Amerika Serikat sekarang sudah terikat oleh kapital yang
ditanamnya di seluruh dunia dan politik imperialisme yang dilakukan di seluruh
Asia Timur dan lautan teduh.
Pasar
buat bahan, hasil pabrik dan tempat menanam modal Inggris, jajahan dalam arti
sebenarnya berada di Afrika, Asia Dekat dan Tengah. Terhadap Afrika dan Asia,
Inggris bersikap si penjajah tulen. Di Eropa Barat dan Tengah Inggris mempunyai
pasar pula buat menjual barang pabriknya dan menanam modalnya. Buat menjaga
pasarnya itu dia menjalankan politik memecah dan mengadakan "block".
Negara yang besar dipecah atau dikepung. Nederland yang kuat di abad ke 17
dipecah menjadi Negara Belgia dan Belanda sekarang. Perancis yang kuat di jaman
Napoleon, dikepung dan diperangi oleh "block" beberapa negara Eropa
di bawah pimpinan Inggris. Jerman di bawah Leiser di kepung dan diperangi oleh
"block Negara" di bawah pimpinan Inggris (1914-1918). Jerman di bawah
Nazi dikepung dan diperangi oleh "Block Negara" di bawah pimpinan
Inggris (1939-1945). Sekarang Negara Soviet-Rusialah yang terkuat di Eropa.
Inggris sedang berusaha keras mengadakan "block Negara" di Eropa
Barat, di sekitar Lautan Tengah dan di Asia Dekat dan Tengah. Jalan terpenting
buat Inggris ke Hindustan ialah Terusan Suez dan kedua Trans-Jordania-Irak.
Sjahdan Irak seperti juga Iran amat penting sekali buat imperialisme Inggris,
berhubung dengan minyak-tanah dan jalan darat dan udara pergi ke India. Di
sinilah Inggris sekarang berusaha mengadakan "Block Negara"
Turki-Arab di bawah pimpinannya menentang Soviet Rusia. Kabarnya konon di Irak
berada 200.000 serdadu Inggris.
Soviet
Rusia tentulah insaf betul akan maksud Inggris terhadap dirinya di masa ini.
Soviet Rusia tentunya belum lupa akan sikap Inggris terhadap dirinya dari waktu
berdirinya pada tahun 1917 sampai pecahnya perang Jerman-Rusia tahun 1941. Soviet
Rusia membalas aksi ekonomi dari pihak Inggris dengan aksi ekonomi dan aksi
diplomasi dengan aksi diplomasi pula. Produksi minyak di Rumania yang dahulu
dikuasai Inggris sekarang jatuh ke tangan Rusia. Di Iran rupanya Rusia bisa
mendapatkan hak mendirikan kongsi minyak dengan Iran. Dengan begtiu maka
monopoli Inggris-Amerika di Iran terancam oleh kongsi Rusia-Iran. Oleh musuh
Rusia tindakan Rusia semacam ini dikatakan tindakan imperialisme merah.
Terjemahan
semacam itu memangnya gampang dimengerti dan dipercayai oleh otak yang kurang
kritis, apalagi oleh semangat yang memang berat sebelah. Tetapi dalam suasana pergulatan
hidup mati antara yang mem-block dan yang diblock yang diperdalam pula oleh
pertentangan lama antara sistem sosialisme dan sistem kapitalisme, susahlah
dicari titik berhentinya politik Sosialisme yang mempertahankan diri dan titik
melangkahnya politik imperialisme-merah atau putih dan akhirnya mana yang
"sebab", mana pula yang "akibat".
Teranglah
sudah di sekitarnya negara Iran-Irak dan Turki berada "bisul"
peperangan yang sewaktu-waktu bisa meletus. Inilah bisul yang pertama.
Di
Asia Timur umumnya di Korea khususnya di mana Trusteeship Rusia berdampingan
dengan Trusteeship Amerika berada "bisul" peperangan yang
sewaktu-waktu pula bisa meletus.
Inilah
bisul yang kedua.
3. Di Sekitarnya
Pertentangan.
Pertentangan
yang mencolok mata dalam beberapa hal-ichwal kehidupan manusia dalam masyarakat
sosialisme di Rusia dan dalam masyarakat kemodalan, seperti di Amerika, Inggris
dll. ialah:
a.
Dalam hal politik.
Di
Soviet Rusia. Pada permulaan revolusi di tahun 1917, maka pemerintah negara
berdasarkan Diktatornya Kaum Proletar, dalam arti proletar mesin dan tanah di
bawah pimpinan Partai Komunis, yang beranggota beberapa puluh ribu orang saja,
memaksakan kemauannya atas seluruh penduduk Rusia, yang lebih kurang 150 juta
itu. Dalam pemilihan umum yang baru lalu Partai Komunis dengan anggota dan
calonnya sudah menjadi beberapa juta dan jumlah pemilih sudah hampir 100 juta
orang. Kekuasaan tetap di tangannya pekerja dalam pabrik, tambang dan
pertanian.
b.
Di dunia kemodalan.
Dalam
masyarakat, di mana kekuasaan (birokrasi), kekayaan dan kebudayaan dipegang
oleh kaum borjuis (bankir, pemilik pabrik, pedagang dengan para pembantunya
profesor, pembesar Negara, Pangreh Praja, jurnalis, pendeta, dsb.), maka
pemilihan umum itu cuma berarti memindahkan kekuasaan negara dari tangannya
satu golongan kaum borjuis ke tangan golongan borjuis yang lain. Dengan
perkakas pemerintah yang berupa birokrasi, dibantu oleh alat propaganda yang
kuat, maka beberapa biji kaum kapitalis itu bisa memaksakan kemauannya atas
seluruh Rakyat. Dalam masyarakat kapitalis, maka demokrasi itu adalah satu
kedok buat menutupi muka kediktatoran beberapa biji kapitalis atas seluruhnya
rakyat.
c.
Dalam hal bahan.
Soviet
Rusia berbahagia mempunyai hampir semuanya macam bahan kodrat seperti arang, minyak
tanah dan listrik, hampir semuanya bahan logam, seperti besi, mas, perak,
platina, dll., hampir semuanya bahan pemakaian, seperti kapas, wol, kayu,
kecuali getah, tetapi bisa diganti; dan akhirnya makanan yang melimpah, karena
tanahnya luas dan subur, Soviet Rusia tak begitu membutuhkan bahan dari luar.
Inggris
cuma kecukupan arang saja. Minyak didatangkan dari semua pelosok dunia. Besi
tak cukup; mesti didatangkan dari luar. Timah dari Malaya. Hampir semua logam
yang lain-lain tak terdapat di Inggris. Kapas kurang halus dari Hindustan. Yang
halus dari Sudan (Mesir). Getah dari Malaya. Cuma +40% barang makanan
bisa dihasilkan di Negara Inggris sendiri. Sebagian besar dari daging atau
gandum mesti didatangkan dari luar (Argentina, Australia, Hindustan, dll.).
Amerika
Serikat berbahagia pula memiliki alam yang mengandung hampir semuanya jenis
bahan. Timah dan getah yang tidak ada di Amerika Serikat bisa diperoleh di
Amerika Selatan. Cuma boleh jadi sekali minyak tanah sudah hampir kering
dipompa dari kandungan bumi Amerika Serikat. Kapitalis Amerika sudah lama
insyaf akan hal ini. Sebab itulah maka Standard Oil Co. mempertajam hidungnya
mencium-cium di mana ada minyak dan sudah lama mempererat cengkramannya pada
kebanyakan sumber minyak di luar Amerika. Getah dan Timahpun adalah persoalan
terpenting buat perindustrian terpenting di Amerika Serikat ialah perindustrian
oto dan pesawat terbang.
d.
Dalam hal perburuhan.
Dengan
hancurnya beberapa biji kapitalis serta jatuhnya alat produksi di tangan
masyarakat buat masyarakat, dengan lenyapnya "hasrat mencari untung",
lenyapnya "dasar produksi yang anarkis" dan lenyapnya "kebiasaan
berlomba-lomba menghasilkan dan menjual murah" seperti di dunia kapitalis,
maka kedudukan Rakyat di Soviet Rusia tidak lagi bertinggi berendah kedudukan
buruh dan majikan, melainkan kedudukan mereka sesama pekerja.
Perbedaan
tentulah tak akan lenyap begitu saja, karena terbawa oleh pengaruh lama dan
pengaruh kapitalisme di sekitar Soviet Rusia. Perbedaan terbawa pula oleh
perbedaan pekerjaan, tetapi perbedaan itu makin lama makin berkurang, selama
penghisapan tenaga kaum buruh oleh majikan tiada berlaku, selama produksi bukan
dilakukan buat mencari untung oleh beberapa biji kapitalis yang berlomba-lomba,
melainkan buat keperluan masyarakat seluruhnya menurut satu perhitungan,
selamanya itulah pula krisis dan pengangguran tetap (permanent unemployment)
tak akan dikenal di Rusia sosialis.
Sekaya-kayanya
Amerika (dan Inggris) dan selama penghasilan cuma buat memburu untung
sebesar-besarnya oleh beberapa biji kapitalis dengan jalan berlomba-lomba
mempertinggi teknik, mengurangkan gaji buruh dan mengurangkan banyaknya buruh
dipakai maka kedudukan Rakyat dalam garis besarnya adalah kedudukan majikan dan
buruh, bertinggi berendah dan kedudukan yang mengancam dan terancam.
Kaum
buruh ialah bagian penduduk yang terbesar dalam masyarakat itu, selalu terancam
oleh pengangguran. Adapun pengangguran itu adalah suatu penyakit yang tetap
terkandung oleh masyarakat kapitalisme. Penyakit pengangguran itu bisa lenyap
kalau kapitalisme dan kaum kapitalis sendiri lenyap dari muka bumi Amerika,
Inggris & Co.
Sebelum
perang dunia kedua ini, maka pengangguran tetap di Amerika Serikat kurang lebih
11 juta orang dan Inggris kurang lebih 2 juta orang.
e.
Dalam hal pertanian.
Dengan
lenyapnya Latifudian (tuan tanah ningrat) yang memiliki tanah ratusan kilometer
persegi luasnya dan lenyapnya kasta kaum Ningrat di Rusia, maka lenyaplah pula
tindasan dan isapan kaum Ningrat atas tenaganya buruh tanah dan lenyaplah pula
akhirnya proletar tanah dalam arti lama. Dengan kemajuan kolektivisme (kerja
bersama) dan mekanisasi (pemakaian mesin) maka timbullah kaum pekerja tanah di
samping pekerja pabrik dan tambang.
Kedudukan
buruh terhadap majikan (tani terhadap tuan tanah) bertukar menjadi kedudukan
pekerja terhadap pekerja: sama rata.
Di
Amerika dan Inggris penghisapan dan penindasan farmers (tuan tanah) besar dan
menengah terhadap jutaan buruh tanah, ialah mereka yang hidup dengan gaji
semata-mata, masih marajalela. Seperti buruh mesin maka buruh tanah di Amerika,
Inggris dll., masih menderita tindasan dan penghisapan dan masih terancam oleh
pengangguran yang mengenai jutaan manusia pada waktu yang tetap pasti
datangnya.
f.
Dalam hal kebangsaan.
Di
Soviet Rusia perbedaan bentuk badan, besar tubuh, warna kulit dan perbedaan
bahasa dan kebudayaan satu golongan manusia dengan golongan manusia lainnya
tiada lagi menimbulkan pertentangan, kebencian dan permusuhan. Soviet Rusia
sanggup memusatkan semua persamaan di antara satu golongan manusia dengan
golongan manusia yang lain, umpamanya dalam keperluan hidup (politik dan
ekonomi). Sanggup pula memberi kelonggaran pada perbedaan, umpamanya tentangan
bahasa dan kebudayaan. Dengan memakai bahasa Rusia sebagai bahasa pengantar buat
seluruhnya Soviet Rusia dan membiarkan bangsa kulit putih, Turki, Mongolia
memakai dan memajukan bahasanya sendiri dalam satu "federasi" besar
atas sistem sosialisme, maka pertentangan kebangsaan hilang lenyap.
Pertentangan
kebangsaan hilang lenyap. Pertentangan majikan dan buruh yang melekat pada
sistem kapitalisme memperdalam perbedaan bangsa dan bangsa, dalam sesuatu
masyarakat kapitalisme. Dalam negara Amerika Serikat yang membanggakan
"demokrasi" dan "kemerdekaan" itu, ada tempat dalam kereta
api umpamanya, yang tiada bisa dimasuki oleh bangsa Niger (orang hitam). Bangsa
yang malang ini acap kali menderita serangan kejam, yang termashur di dunia
dengan perkataan "lynch", ialah "pukulan sampai mati",
kalau ada orang hitam yang melanggar atau disangka melanggar kehormatannya
(perempuan) bangsa kulit putih. Orang berwarna di Afrika Selatan amat
dipisahkan tempatnya dengan orang kulit putih baik dalam ekonomi, politik
ataupun pergaulan hari-hari saja. Dalam kereta kendaraan sering tertulis
"for white men only", cuma buat orang putih saja.
Masih
segar dalam peringatan kita tulisan di Shanghai di kebun umum, "Chinese
and dogs are not allowed", Tionghoa dan anjing dilarang masuk.
4. Kemungkinan Pertentangan.
Sejarah
masyarakat kita yang mengandung pertentangan sosialisme itu, logisnya, bisa
menimbulkan 4 kemungkinan. (1). Kapitalisme menang dan sosialisme lenyap; (2).
Keduanya sosialisme dan kapitalisme bersama-sama masyarakat manusia hilang
lenyap; (3). Kapitalisme dan sosialisme berkompromi; (4). Sosialisme menang
sempurna.
Bahwa
kapitalisme akan menang sempurna dan sosialisme akan lenyap sama sekali,
tidaklah mungkin. Sekarangpun di negara kapitalis yang sekuat-kuatnya,
sosialisme adalah satu faktor, satu kekuatan yang tiada bisa dibatalkan. Di
Amerika atau Inggris ada "undang-undang perburuhan" yang menjamin
penghidupan (walaupun sederhana) kaum proletar. Hak kaum buruh mendirikan
perkumpulan dan surat kabar dan mengirimkan wakilnya ke Dewan Perwakilan sudah
lama diakui dan dijalankan di Amerika, Inggris dll.
Bahwa
sosialisme dan kapitalisme keduanya bersama masyarakat manusia kita akan lenyap
dari muka bumi, tiadalah perlu banyak diperundingkan. Kemungkinan itu memang
ada, umpamanya kalau negara sosialis dan serikatnya berperang habis-habisan
dengan negara kapitalis dan serikatnya memakai senjata yang tiada lagi
mengindahkan perikemanusiaan. Tetapi kemungkinan ini beralasan pula atas
kemungkinan bahwa manusia itu sudah tak berakal dan berkemanusiaan lagi. Dengan
perkataan lain: manusia itu bukan manusia lagi.
Lebih
mungkin hal ketiga (3), bahwa kapitalisme dan sosialisme akan berkompromi, atau
dengan jalan ambil mengambil, atau sebagai dua sistem yang bertentangan, tetapi
hidup sebagai dua tetangga yang berdamai atas dasar hormat-menghormat.
Kemungkinan
ini bisa berlaku, kalau beberapa syarat bisa pula berlaku.
Pertama: pada satu pihak
dunia Sosialis cukup mempunyai "bahan" buat per-industriannya buat
menjamin penghidupan yang cukup tinggi buat penduduknya dan teknik yang cukup
kuat buat pertahanan masyarakatnya terhadap serangan Dunia Kapitalis yang
mungkin terjadi. Pada lain pihak Dunia Kapitalis mesti tetap punya pasar buat
membeli bahan pabrik, pasar buat menjual hasil pabrik dan daerah buat menanam
modalnya. Karena modalya dan pabriknya kaum kapitalis senantiasa bertambah
besar itu adalah syarat hidupnya kapitalisme pada satu pihak, tetapi pada pihak
lain jajahan dan pasar sekarang saja sudah amat sempit buat seluruhnya
kapitalisme di dunia, maka susahlah kalau tidak mustahil, yang dunia
kapitalisme bisa terus hidupnya. Atau dunia kapitalisme akan terpaksa bertempur
dengan dunia Sosialis atau akan meletus kegembungan diri sendiri.
Tiap-tiap
krisis, pengangguran dan pemogokan umum di dunia kapitalis di waktu damaipun
akan menambah simpati kaum proletar di negara kapitalis tehradap negara
sosialis yang tak mengenal penyakit krisis, pengangguran dan pemogokan umum
semacam itu.
Sebaliknya
pula kebusukan negara kapitalis itu akan menambah cemburu, kecurigaan dan
kebencian kaum kapitalis di negara kapitalis terhadap kemakmuran dan ketenraman
negara sosialis itu. Pada lagi di waktu revolusi dalam salah satu negara
kapitalis atau di masa peperangan imperialis, sudahlah buat Negara Sosialis dan
Negara Kapitalis buat menjauhi peperangan satu sama lainnya.
Kedua: pembagian hasil di
antara kaum kapitalis dan kaum buruh, yang berupa untung dll. (termasuk bunga
uang gaji dan pensiun) buat kaum borjuis serta upah buat kaum proletar,
haruslah semakin lama semakin mendekati sama rata dengan tidak melalui jalan
revolusi. Tetapi kesulitan penyelesaian itu dengan damai amat susah sekali
diperoleh, kalau tidak mustahil. Karena memperbesar upah buat kelas-buruh
berarti memperkecil untung buat kaum borjuis. Kalau untungnya kecil, maka bunga
uang buat meminjam modal itu sendirinya naik. Sendirinya pula harga barang
pemakaian sehari-hari naik. Sendirinya pula, akhirnya, upah yang diperbesar
tadi dibatalkan oleh harga-harga keperluan buruh sehari-hari naik itu. Kenaikan
upah itu tak berguna. Kaum buruh perlu berusaha kembali menaikan upahnya dengan
jalan pemogokan. Lain pula kalau upah buruh amat tinggi, maka kaum borjuis
mencoba mendapatkan dan memakai mesin baru yang lebih cepat dan kuat
(mekanisasi).
Dengan
begini maka terpaksa pula sebagian kaum buruh dilepas, sebab mesin baru yang
cepat-kuat tadi membutuhkan sedikit orang saja. Dengan begitu maka timbullah
pula pengganguran. Semua percobaan buat menaikkan upah dengan jalan pemogokan
dari pihak kaum pekerja dan jalan mengurangi banyak pekerja (pengangguran)
dengan jalan mekanisasi dari pihak kaum kapitalis ialah bunga api yang
sewaktu-waktu bisa membakar minyak tanah revolusi dalam masyarakat kapitalisme.
Ketiga: Kedudukan Negara
Penjajah dan Negara Terjajah (seperti Inggris dan Hindustan) mesti dengan
secara damai pula mendekati keadaan dua Negara Merdeka. Tetapi buat Negara
Penjajah ini berarti kehilangan pasar buat membeli bahan yang murah, kehilangan
pasar tempat menjual hasil pabriknya dengan harga tetap mahal dan kehilangan
daerah yang tetap aman buat menanam modal yang tetap besar untungnya. Karena
kemerdekaan tulen buat Negara Terjajah itu berarti mengendalikan harga bahannya
dan di mana bisa memakai bahannya itu untuk pabriknya sendiri. Selainnya dari
pada itu memakai pasar dalam negaranya sendiri buat menjual hasil pabriknya
sendiri dan kalau perlu dengan menolak sama sekali masuknya atau mempajaki
barang pabrik Negara Asing yang bisa menjadi saingan buat hasil pabriknya
sendiri. Akhirnya di mana ada kesempatan negara dulunya terjajah, tetapi
sekarang Merdeka tulen, andaikan secara kapitalis itu tentulah akan memakai
daerahnya sendiri buat menanam modalnya sendiri. Pada tingkat permulaan mungkin
sesuatu Negara baru Merdeka itu mau dan perlu memakai modal asing, tetapi dalam
tempo sedikit saja modal asing itu akan takut dan ngeri sendiri melihat
kemajuan dan persaingan hebat dari Negara baru itu. Umumnya Asia dan Afrika
mempunyai banyak bahan dan tenaga yang murah harganya. Membangunkan kapitalisme
Asia seluruhnya berarti buat kapitalisme Eropa dan Amerika membangunkan saingan
perdagangan yang kalau diperbandingkan dengan perdagangan Jepang sebelum perang
Dunia ke II, adalah seperti perbandingan gajah dengan lalat.
Keempat: Ketiganya Almarhum
Negara Fasis, yakni Jerman, Italia dan Jepang tetap bisa dikangkangi dan
diinjak lehernya. Ini membutuhkan kekuatan dan persatuan kokoh antara Bekas
Sekutu, ialah Inggris, Amerika dan Rusia. Sedikit saja kekuatan atau persatuan
mengangkangi dan menekan ketiga negara yang berjumlah penduduk + 200
juta itu longgar, maka akan bangunlah kembali negara bekas fasisyang akan
mendapatkan bermacam-macam jalan buat menimbulkan kembali perlawanan membalas
dendam. Sekarang belum lagi negara menang berunding dengan negara kalah buat
menentukan nasib negara-kalah itu, sudah timbul percekcokan hebat antara 3 negara
menang, yakni Inggris, Amerika dan Rusia.
Boleh
jadi sekali kalau perundingan sudah dimulai akan timbul pertentangan, malah
permusuhan yang hebat, yang tak bisa dipadamkan. Sekarang pun sudah terdengar
kabar, bahwa masing-masing negara menang akan mengurus perdamaian dengan bagian
negara kalah yang didudukinya saja. Dengan begitu, maka negara kalah akan
berupa terbagi-bagi. Tetapi begitu pula negara menang. Jikalau negara menang
itu terbagi-bagi, maka akan terbukalah jalan buat mereka negara kalah dengan
jalan tertutup, setengah terbuka dan akhirnya terang-terangan bersatu-diri dan
mengadakan perlawanan seperti dilakukan di Jerman sesudah Perang Dunia ke-I. Apakah
jalan persatuan dan imperialisme Jerman itu kelak akan dipimpin oleh partai
fasis pula atau oleh bentuk lain, bolehlah diserahkan kepada sejarah saja.
Tetapi sudahlah beberapa kali sejarah Jerman membuktikan, bahwa bangsa Jerman
tak bisa dikangkangi, dikendalikan oleh negara asing ataupun dibagi-bagi
kedaulatan, kemerdekaan, daerah atau administrasinya, buat selama-lamanya.
Mengingat
kesulitan 4 perkara ini sebagai syarat buat negara sosialis dan negara
kapitalis mengadakan kompromi, maka keadaan berkompromi itu adalah seolah-olah
surga yang mesti didapat setelah melalui jembatan rambut menyeberangi api
neraka.
Kemungkinan
terakhir, keempat (4) ialah: Kemenangan sempurna pada pihak sosialisme atas
kapitalisme. Ini tiada akan berarti bahwa kapitalisme akan lenyap sama sekali.
Sebab hasilnya (positive-result) yang dibawa oleh kapitalisme ialah teknik,
administrasi dan kerja bersama dalam sesuatu perindustrian, akan dibawa terus,
bahkan dimajukan oleh sosialisme. Kemenangan sosialisme yang sempurna berarti,
bahwa sosialismelah sistem yang akan diakui dan dijalankan di seluruh dunia.
Dalam garis besarnya ini berarti: usaha mencocokkan produksi dan distribusi
dengan cara teratur (rational), kerja bersama (cooperation), dan tergabung
(coordination), untuk kemakmuran tiap-tiap anggota masyarakat yang bekerja di
seluruh dunia. Akan lenyaplah cara menghasilkan menurut kehendak dan keperluan
seseorang kapitalis, buat mencari untung seseorang diri. Akan hilanglah
perlombaan menjual murah dan mencari untung besar dan berhubung dengan itu,
hilanglah pengangguran, krisis, imperialisme, peperangan dan penjajahan.
Alasan
buat kepastian kemenangan sosialisme atas kapitalisme adalah bermacam-macam, di
antaranya adalah:
Pertama: Dalam hal politik.
Dalam
masyarakat kapitalis, maka beberapa biji kapitalis dengan hartanya membikin
birokrasi dan menyewa kaki-tangannya buat menindas dan menghisap golongan
terbesar dalam masyarakat, ialah pekerja otak. Dalam masyarakat sosialis, maka
harta perseorangan buat kemakmuran tiap-tiap anggota masyarakat. Dalam
masyarakat semacam ini kekuasaan politik tiada lagi dimonopoli oleh beberapa biji
kapitalis buat kepentingan dirinya sendiri, melainkan oleh semua yang bekerja.
Kedua: Dalam hal ekonomi.
Dalam
masyarakat kapitalis pendapat baru (teknik) dipakai buat memukul perusahaan
saingan. Mesin baru bisa mengadakan barang yang lebih banyak, lebih bagus dan
lebih murah. Tetapi sebaliknya sering pula mesin baru dibeli oleh satu
monopoli, terus dibuang atau dipendam karena takut kalau mesin baru menimbulkan
terlampau banyak pengangguran, jadinya mengguncangkan pasar pula. Kalau
pengangguran tiba-tiba terjadi, maka sebagian besar kaum buruh kehilangan upah.
Jadinya
mereka tidak sanggup membeli apa-apa walaupun mesin baru bisa mengadakan barang
yang bagus dan murah. Kalau barang tak laku, pabrik terpaksa pula ditutup.
Masyarakat sosialis, yang tidak berdasarkan concurrentie itu, melainkan
berdasarkan perhitungan atas apa dan berapa keperluannya masyarakat itu, akan
bergembira kalau seseorang anggotanya mendapatkan mesin baru buat memperbanyak,
mempercepat dan memperbagus hasilnya. Syahdan keperluan dan keinginan manusia
itu tak ada hingganya. Sesudah keperluan makan tertutup, orang mau pakaian.
Seusudah keduanya tertutup, orang mau kendaraan. Seterusnya orang mau
bunyi-bunyian dll. Makan dan minumanpun adalah bermacam-macam tingkatnya, dari
yang perlu buat hidup seperti nasi, sampai ke goreng ayam, sate perkedel, dll. Pakaian:
dari celana karung sampai mori, palmbeach dsbnya. Kendaraan: dari kuda dan
kereta angin sampai ke oto dan pesawat terbang. Bunyi-bunyian dari biola sampai
radio. Demikianlah seterusnya, dari yang perlu sampai ke setengah mewah dan
mewah. Berhubung dengan tak ada batasnya keinginan manusia itu maka tak pula
ada batasnya buat kemajuan teknik dan temannya itu ilmu. Produksi bisa
membumbung setinggi-tingginya.
Seperti
sudah dibayangkan lebih dahulu, maka dalam masyarakat kapitalis tak ada
kecocokan antara produksi dan distribusi. Barang itu dihasilkan oleh beberapa
biji kapitalis, dengan tak merembukan banyak dan sifat barangnya satu sama
lainnya, menurut rancangan. Kemajuan barang tadi dijual di pasar dan dibeli
oleh yang mampu saja. Mungkin barang itu kurang, kalau kemampuan melebihi.
Mungkin pula barang itu kelebihan, kalau kemampuan si pembeli kekurangan.
Celakanya kalau barang itu kekurangan, maka harganya naik, dan untungnya besar.
Dalam hal ini beberapa biji kapitalis yang sama-sama menghasilkan barang yang
kurang tadi, dengan tidak berembuk satu sama lainnya memperbanyak barang
sekuat-kuatnya. Tiba-tiba barang itu melimpah. Harganya merosot. Untung kecil,
hilang berganti menjadi kerugian. Parbik terus ditutup dan pengangguran timbul.
Dalam
masyarakat sosialis, maka banyak dan sifatnya barang yang akan dihasilkan
dihitung lebih dahulu oleh satu badan yang dibentuk oleh masyarakat itu
sendiri. Banyak dan sifatnya hasil semua (pabrik, tambang, kebun) yang sudah
dimiliki oleh masyarakat itu, dicocokkan lebih dahulu dengan keperluan dan
haknya anggota masyarakat yang bekerja. Banyak hasil dan pemakaian hasil
tiadalah diombang-ambingkan oleh kekuatan membeli seseorang anggota masyarakat
lagi, melainkan didasarkan atas perhitungan yang nyata, ialah keperluan
masing-masing anggota yang bekerja. Dalam masyarakat yang sosialis perhitungan
itu masih berdasarkan upah orang yang bekerja, atau sebagian atas upah dan
sebagian atas keperluan masusia umumnya. Dalam masyarakat komunisme penghasilan
(produksi) berdasarkan: tiap-tiap orang kerja menurut kesanggupannya. Pembagian
hasil berdasarkan: tiap-tiap orang mengambil hasil menurut keperluannya.
Ketiga: Dalam hal
diplomasi.
Dalam
masyarakat dunia kapitalis maka Negara yang kapitalis yang kaya dan kuat dalam
kemiliteran dan teknik bisa memaksa kemauannya sendiri atas negara yang lemah
buat dijadikan jajahan: ialah pasar tetap buat membeli bahan, menjual hasil
pabrik dan mengembangkan modalnya. Pemaksaan itu (Imperialisme) menimbulkan
peperangan dengan Negara lemah tadi atau dengan negara lain karena ingin pula
mempunyai jajahan seperti itu atau lantaran takut kalau negara perampas bermula
akan bertambah kuat dan bertambah berbahaya buat dirinya sendiri.
Dalam
masyarakat dunia sosialis, semua bahan dunia bisa di hitung dan dikumpulkan
oleh satu badan yang dibentuk oleh masyarakat dunia itu. Barang bahan itu bisa
diperoleh diri sesuatu negara yang punya, dengan penukaran dengan hasil pabrik
atau uangnya negara yang membutuhkan barang bahan itu. Dengan hilangnya
rebut-merebut pasar buat membeli bahan dan menjual barang-pabrik dengan
lenyapnya usaha mencari untung dan bunga uang, maka hilanglah pula alasan dan
dasar yang terpenting buat peperangan.
Keuntungan
masyarakat sosialis dalam hal sosial, kebudayaan dll., amat terlampau banyak.
Tetapi kelebihan kekokohan masyarkaat sosialis dalam hal politik, ekonomi, dan
diplomasi seperti diuraikan di atas tadi sudah cukup memberi jaminan bahwa
masyarakat sosialis mesti menang. Sejarah masyarakat sudah membuktikan bahwa
masyarakat sosialis mesti menang. Sejarah masyarkaat sudah membuktikan bahwa
masyarakat yang lebih kokoh ekonomi, teknik dan politiknya menggantikan yang
lebih lemah, masyarakat feodal menggantikan masyarakat budak, dan masyarakat
kapitalis menggantikan masyarakat feodal. Sekaranglah jamannya buat maysarakat
sosialis menggulingkan masyarakat kapitalis. Atau dunia kita terpaksa kembali
menjunjung "undang-undang rimba" (the law of the jungle) dalam pergaluan
satu negara dengan lain. Dengan bertambah cepatnya maju teknik perang
(bom-atom) maka bertambah cepatlah pula masyarakat kapitalis itu didorong oleh
"undang-undang rimba" itu ke perang dunia ke II sampai hancur lebur
semuanya masyarakat kita manusia.
5. UNO Sebagai
PENDAMAI.
Buat
menegakkan perdamaian dunia belumlah cukup kalau League of Nations (Serikat
Bangsa) ditukar saja dengan United Nations Organitation (UNO). Tidak saja
namanya, tetapi juga "sikapnya" mesti ditukar.
League
of Nations, lebih dikenal di jaman penjajahan Belanda dengan nama Volkenbond,
cukup penting dan mulia maksudnya, ialah: menyelesaikan perselisihan Negara dan
Negara dengan jalan perundingan. Cukup kuat pula "sanction"nya, ialah
hukuman atas negara bersalah sebagai jaminan sesuatu putusan bersama dalam
League itu. Kalau nyata sesuatu negara bersalah karena membahayakan perdamaian
dunia, maka negara itu harus diboikot. Tetapi Jepang yang sudah nyata salahnya,
karena terang bersikap ceroboh (aggressive) di Mancuria terhadap Tiongkok
(1931) tiada diboikot. Sebabnya itu ialah lantaran pemboikotan terhadap Jepang
itu dianggap pembukaan peperangan dunia. Jadi orang takut akibatnya menjalankan
putusan League of Nations tadi, putusan bulat dari semua negara anggota,
kecuali Siam. Ketakutan League of Nations kepada akibatnya memboikot Jepang,
menimbukan akibat yang lebih menakutkan lagi. Kecerobohan Fasis Italia terhadap
Abessinia dan kecongkakan Musolini terhadap League segera dibuntuti dengan
kecerobohan Nazi Jerman terhadap Polandia, Norwegia dll. Di Eropa dan
kecongkakan Hitler terhadap League. Akhirnya maka "sikap" lemah,
takut akibat-kecil tadi berujung pada Perang Dunia ke II, akibat
sebesar-besarnya.
Kalau
UNO dari mulanya akan bersikap lemah pula seperti Badan yang diwarisinya maka
UNO pun akan mewarisi nasibnya League of Nations. Tidak saja UNO harus
mempunyai wujud yang nyata, organisasi yang teguh, serta "sanction"
yang terang tertulis, tetapi terutama pula UNO mesti berani menanggung
akibatnya menjalankan sesuatu putusan yang sah.
Seperti
League of Nations, maka UNO bermaksud penting mulia menegakkan perdamaian dunia
dengan jalan menyelesaikan pertikaian negara dan negara. Sanctionnya UNO lebih
tegas, pasti dan kuat dari sanction-nya League of Nations.
Kalau
sesuatu negara terang ceroboh, maka menurut undang-undang UNO, tidak saja harus
diboikot dalam arti ekonomi atau perhubungan, tetapi juga boleh digempur.
Sifatnya
sesuatu kecerobohan itu terang pula termaktub dengan Anggaran Dasarnya UNO
Kecerobohan itu dalam hakekatnya didasarkan atas pelanggaran dua hak sesuatu
bangsa, yakni pertama menentukan pemerintahnya sendiri (right of self
determination) dan kedua mempertahanakan Kemerdekaan Negaranya (right of self
defence).
Pelanggaran
itu berlaku, kalau salah satu dari lima perkara yang ditentukan pada salah atu
konferensi dunia berlaku, ialah: (1). kalau sesuatu negara mengumumkan perang
pada negara lain (sudah tentu yang bukan menyerang!); (2). mengerahkan tentara
daratnya buat menyerang; (3). mengerahkan armadanya dan pesawat terbangnya; (4).
mempersenjatai sesuatu golongan dalam negara lain yang menyerang negara lain
itu; (5). mengepung ekonominya negara lain (blokade ekonomi).
Yang
akan menjadi ujian buat UNO kelak terutama sekali adalah dua persoalan:
1.
Bagaimana sikap UNO terhadap bangsa yang melepaskan dirinya dari salah satu
bentuk penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan yang diperolehnya terhadap
serangan luar.
2.
Bagaimana sikap UNO terhadap negara yang maju dengan perminataan mempunyai
pasar-tetap, baik berupa protection (perlindungan), commonwealth ataupun free
state (persoalan "the haves and the haves not").
Persoalan
I
Berhubung
dengan persoalan 1) apakah UNO akan menganggap sesuatu negara yang
"menyerang" satu bangsa yang memerdekakan dirinya dan mempertahankan
kemerdekaannya itu adalah satu negara "ceroboh"? Apakah UNO dalam hal
ini akan memboikot atau mengempur negara ceroboh itu?
Dalam
arti yang tegas-hidup buat Indonesia sekarang pertanyaan itu kita boleh susun,
sebagai berikut:
Apakah
si Licik-Pendusta Diplomasi Inggris dengan bonekanya si
Congkak-Cacah-Camar-Ceroboh tetapi pengecut Belanda, yang memakai tentara
darat, laut dan udara, mengadakan pengepungan ekonomi, mempersenjatai dan
mengerahkan Jepang dan Bangsa Indonesia yang bodoh-goblok menyerang bangsa Indonesia
yang memerdekakan dirinya dan mempertahankan kemerdekaannya selama 8 bulan ini,
bukan satu kecerobohan?
Kalau
belum terang, apakah UNO tak patut mengirimkan satu komisi yang terdiri dari
beberapa Negara, termasuk juga negara yang tiada berkepentingan minyak tanah,
getah atau timah di Indonesia ini? apakah sikap Inggris dan bonekanya Belanda
dibenarkan, apakah ini tidak akan berarti membenarkan "penjajahan"
dan membatalkan "hak kemerdekaan sesuatu bangsa" (right of
self-determination) dan "hak mempertahankan diri" (right of
self-defence) ialah dua tiang tempat berdirinya UNO?
Kalau
seandainya Inggris dan bonekanya Belanda memang melanggar kemerdekaan Indonesia
dan memang ceroboh, tiadakah perlu Inggris Belanda diboikot dan digempur?
apakah sikap sikap lemah seperti terhadap Jepang pada tahun 1931 pula yang akan
diambil?
Satu
pepatah yang masyur sekali berhubung dengan sikap yang mesti dipakai oleh para
hakim dalam satu perkara di salah satu Negara demokratis yang kuno di Indonesia
di jaman lampau berbunyi: "Tiba di mata dipicingkan dan tiba di perut
dikempiskan". Artinya itu kalau yang bersalah itu adalah berdekatan dengan
para hakim maka perkara itu ditutup saja. Menurut dasar negara itu juga
patutlah: "Tinggi kayu aru dilangkahi dan rendah bilang-bilang
diseluduki". Artinya, walaupun yang kiranya bersalah itu berkedudukan
tinggi, maka para hakim mesti berani melangkahi, berani melakukan hukuman,
ialah kalau perlu. Jika yang diperiksa itu rendah kedudukannya dalam
masyarakat, maka para hakim harus lebih merendah (hati) lagi: lebih objektif
dan lebih ramah-tamah.
Tetapi
apakah negara kecil-kecil dan negara besar-ponakan Inggris, apakah (our cousin)
Amerika Serikat akan bisa, berani mau sampai hati mengambil tindakan terhadap
Inggris? Teranglah Amerika Serikat sampai hati "me-atomi" satu negara
Asia, seperti Jepang, tetapi apakah Amerika Serikat akan berani, mau dan sampai
hati menegor, memboikot atau menggempur Inggris, Nica kalau terang bersalah?
Apakah
dalam hal ini berlaku pepatah kuno di atas: "Tiba di mata dipicingkan,
tiba di perut dikempiskan?
Kalau
tidak sanggup, maka cuma satu jalan yang patut dipilih oleh Amerika Serikat. "Tinggalkan"
UNO seperti dulu Amerika meninggalkan League. Kalau Amerika Serikat tetap
tinggal duduk dalam UNO maka dia ikut tanggung akibat yang lebih besar:
kecerobohan bebas dari hukuman terus-menerus, bahkan dapat sanction, ialah
"cap" pula dari UNO sampai…… ke Perang Dunia 3.
Persoalan
II.
Karena
rapatnya perhubungan persoalan pertama di atas dengan persoalan kedua, maka
dalam pemecahannya persoalan pertama sudah termasuk pula pemecahan persoalan
kedua ini: yaknim boleh atau tidakkah dibenarkan oleh UNO permintaan baru untuk
mempunyai pasar tetap, berupa commonwealth atau free state?
Seandainya
kelak sesudah beberapa tahun salah satu negara Jerman, Italia, Jepang atau
ketiganya serentak bangun kembali atau negara baru seperti Tiongkok atau
Brazil, dll., memajukan permintaan di atas, apakah UNO akan menolak saja
permintaan semacam itu? Tegasnya, permintaan semacam itu berhubungan rapat
dengan persoalan "the haves and the haves not", yang punya tak punya
jajahan atau pasar tetap.
Dalam
hal ini apakah alasan "imperialisme licik, bohong, jahanam Inggris"
dan bonekanya Belanda-Perancis buat menolak permintaan negara kapitalis baru,
yang memang butuh pula dengan pasar itu?
Kalau
Inggris menolak buat orang lain dan membenarkan buat dirinya sendiri seperti
terhadap Jerman, Italia, Jepang di jaman League, maka akibatnya penolakan itu
akan diwarisi pula oleh UNO Kebangunan Jerman, Italia, Jepang ditambah negara
kapitalis baru…….. akhirnya perang dunia ke 3, dan bubarnya UNO karena
"tak jujur", munafiknya sendiri.
Kalau
Inggris membenarkan negara kalah ditambah beberapa negara baru berjajahan,
sedangkan semua jajahan sudah dibagi-bagi di antara Inggris dan bonekanya, maka
ini buat kapitalisme imperialisme Inggris dan para bonekanya
"berhara-kiri" ialah membunuh diri sendiri.
6. Idonesia,
Serba-Serbi.
Penyakit "ist" dan "isme".
"Ist"
ialah akhiran kata, beralasan bahasa asing seperti juga "isme".
"Ist" mengartikan seseorang, sebagai pengikut orang yang berarti,
umumnya dalam dunia berpikir. Jadi Marxist, ialah pengikutnya Marx.
"Isme" ialah paham, sebagai buah pikiran seseorang ahli pikir.
Budhisme umpamanya, ialah buah pikiran ahli pikir Hindustan di masa dahulu,
bernama Budha. "Sosialisme" banyak coraknya, tetapi yang dinamai
"scientific-sosialisme", atau sosialisme menurut ilmu pasti dibentuk
oleh Marx dan teman pembentuknya Engels.
Sesuatu
"isme" itu tentulah dibentuk pada "satu masa", dalam
"suasana dan keadaan tertentu" dengan memakai "cara berpikir
yang tertentu" serta "wujud dan penjuru penilik yang pasti"
pula. Budhisme di atas dibentuk oleh Gautama Budha + 2500 tahun lampau
dalam masyarakat pertanian dan pertukangan yang sederhana dan agak tentram
dengan cara berpikir logika berdasarkan idealisme dengan wujud melenyapkan
kasta Hindu buat sama-rata di antara Rakyat di masa itu.
Sosialisme,
bentukan Marx-Engels, timbul + 100 tahun lampau dalam masyarakat
kapitalisme muda, tetapi bergelora dengan cara berpikir dialektis berdasarkan
kebendaan (materialisme) dengan wujud melenyapkan kelas borjuis menuju
masyarakat sama-rata di antara kaum pekerja seluruh dunia.
Banyak
sekali bahayanya mengakui diri "ist" yang sebenarnya dan mengandung
"isme" tulen, sambil menuduh orang lain sebagai "ist" palsu
dan pengikut " isme" lancung. Apalagi kalau masa revolusi dalam iklim
yang termasyur panas dalam segala-gala dan dalam masyarakat yang mengandung 93%
buta huruf kita ini.
Banyak
orang yang tak bisa membedakan "cara berfikir" (metode) dan buah
(hasil) berpikir. Seorang guru yang mengajarkan "cara" menjelaskan
satu persoalan (perhitungan) mungkin salah perhitungannya sedangkan muridnya
mungkin benar. Mungkin si Guru tadi "silap", karena terburu-buru,
salah baca dll, sedangkan "cara" (metode) menghitungnya sudah tentu
benar. Demikian pula tak akan mustahil kalau sekiranya "perhitungan"
Marx sendiri -- yang manusia juga -- dalam politik, ekonomi dll. silap, karena
belum nyata semua bukti politik, ekonomi dll. di masa hidupnya itu. Meskipun
begitu Marx tetap "guru" dalam sebenarnya dalam "cara"
berpikir "dialektika-materialistis" itu. Dalam hal banding-membanding
perhitungan politik, ekonomi dll. Di Indonesia dengan paham Marx 100 tahun yang
lampau orang mesti berlaku awas sekali. Janganlah dilupakan, bahwa suasana dan
keadaan politik, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Eropa dahulu dan sekarang
berlainan dengan keadaan di Indonesia sekarang. Lagi pula kalau membawa-bawa
Kautyskisme, Leninisme, Stalinisme, Trotskyisme ke Indonesia ini, janganlah
ditelan paham, perhitungan atau sikap mereka itu bulat mentah begitu saja.
Karena
paham perhitungan atau sikap mereka itu adalah hasil perhitungan politik,
ekonomi, kebudayaan yang bersejarah berlainan dari pada Indonesia kita di alam
panas ini. Akhirnya kalau meraba-raba pertikaian di antara salah satu
"isme" di atas dengan salah satu lainnya, janganlah lupa mengemukakan
suasana persoalan mereka itu dalam arti seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.
Kalau tidak begitu, maka kekacauan yang akan ditimbulkan oleh pengertian
setengah-setengah itu lebih besar dari pada tiada memajukan isme dan pertikaian
isme itu sama sekali. Jarang orang bisa menduga korban bisikan palsu saja dalam
masyarkat yang mengandung 93% buta huruf ini. Yang beruntung tentulah musuh!.
Lebih
baik pakai saja "metode" berpikirnya Marx serta syarat penting dalam
sosialisme, buat dilaksanakan atas bahan politik, ekonomi, kebudayaan, sejarah
dan jiwa revolusioner Rakyat Indonesia sekarang ini menentang imperlialisme,
buat mewujudkan masyarkat yang cocok dengan kekuatan lahir batin Rakyat
Indonesia dalam suasana internasional yang bergelora ini. Kalau hasil
perhitungan kita itu disetujui dan dijalankan oleh Rakyat Indonesia, maka hal
itu adalah bukti yang senyata-nyatanya, bahwa perhitungan tiada salah tak
berapa salahnya. "The proof of the pudding is in the eating",
pengalaman itulah guru yang sebaik-baiknya.
Ekonomi
Di
lain tempat sudah dilakukan kupasan tentang watak dan daerah kapital internasional
di Indonesia sebelum Belanda menyerah kepada Jepang di bulan Maret 1942.
Sepintas lalu perlu dituliskan di sini beberapa hal yang berhubungan dengan hal
yang tersebut sebagai "gelang penyambung" saja dalam "rantai
karangan" kami ini.
Perusahaan
Indonesia di jaman Belanda ialah perindustrian dan pertanian bahan mentah dan
barang mewah. Bahan mentah dan bahan mewah itu tiadalah diadakan buat Rakyat
Indonesia melainkan buat diperdagangkan oleh Belanda dengan negara yang
membutuhi. Barang mewah, seperti teh, kopi, gula tembakau dll. sebagian besar
dipakai oleh Belanda sendiri di Negeri Belanda, sebagian kecil oleh Rakyat
Indonesia, tetapi sebagian besar untuk diperdagangkan ke semua penjuru dunia.
Barang bahan seperti kapok, getah, kopra, sisal, palm-alie dll. sebagian besar
pula buat diperdagangkan. Hasil tambang seperti minyak tanah, arang, timah,
bauxite, emas, dan intan sebagian kecil sekali diperdagangkan oleh Belanda ke
luar negeri.
Hampir
semua mesin buat pabrik gula, teh, kopi, padi, kina, kopra dll., mesin buat
tambang minyak, arang, timah, emas dll., adalah barang yang bukan dibikin oleh
Belanda baik di Indonesia ataupun di negeri Belanda, melainkan barang yang
dibeli oleh pedagang Belanda dari Inggris, Jerman dll. Seperti negeri Belanda
sendiri, maka Indonesia bukanlah negeri tempatnya perindustrian berat, ialah
tempatnya "mesin pembikin mesin" atau tempatnya "mesin
ibu". Bukan karena tak ada bahan buat membikin mesin, seperti besi dan
campurannya bauxite, allumunium dll, atau bukan pula karena tak ada modal,
tenaga ataupun pasar dalam negeri, tetapi pertama sekali berhubungan dengan
kecakapan dan semangatnya si penjajah Belanda, sebagian penduduk negara
pertanian dan pedagang. Kedua berhubungan dengan terikatnya Belanda dalam hal
ekonomi, politik, dan diplomasi kepada Inggris, tuan besarnya, dengan
menimbulkan persaingan membikin berbagai-bagai mesin di Indonesia ini. Apalagi
kalau Belanda itu mendapat perintah halus (pas op hoor!) dari Inggris
"majikannya" supaya jangan sekali-kali berlaku demikian.
Kapital
Internasional di Indonesia ini berpusat pada Anglo-Dutch, Inggris-Belanda.
Dalam perusahaan "mengerok" minyak bumi dari pangkuan bumi kita,
seperti BPM yang termasyur itu, Inggris menanamkan modal 40% dan Belanda 60%.
Ini belum berapa hebat eratnya ikatan Inggris ke lehernya kapitalis Belanda di
Indonesia yang oleh dunia luar dikenal sebagai "Dustch-Est-Indies (Hindia
Belanda). Kalau dikaji pula dalam-dalam artinya "perjanjian"
Anglo-Dutch tentang "getah dan timah" di Malaya dan "getah dan
timah" di Indonesia buat mengendalikan pasar di dunia dan artinya
Singapura buat ekspor dan impor keluar dan ke dalam Indonesia ini, maka di
belakang tanda nama (naambord) "Dutch-Indies" itu sebenarnya tertulis
"Anglo-Dutch-Indies".
Di
sekitarnya kapital "Anglo-Dutch" itulah terdapat kapital Amerika,
Tiongkok, Perancis, Jepang dan sebagainya.
Sudah
diketahui bahwa "untung" modal Belanda di Indonesia dipukul rata F
500.000.000 (uang lama) setahun. Sedangkan begrooting (anggaran-uang) negara
pukul ratanya belum lagi F 400.000.000. Dalam hal ini sudah termasuk pula
pensiun pegawai Belanda. Untung F 500.000.000 ditambah sebagian dari F
400.000.000 terus mengalir ke negeri Belanda. Uang itu ditabungkan atau
dibungakan dengan jalan memindahkannya ke Amerika, Jerman atau lain tempat.
Sisanya uang tadi dipakai buat spekulasi di pasar (beurs) di Amsterdam dan di
Rotterdam. Kalau sebagian saja uang F 500.000.000 itu dipakai buat
"industrialisasi" di Indonesia, sudah lama Indonesia mempunyai
industri enteng dan berat cukup buat kemakmuran dan pertahanan Indonesia
setinggi-tingginya dan sehebat-hebatnya. Tetapi kemakmuran Indonesia itu harus
cukup digambarkan oleh Departemen Ekonomi dengan hasil perhitungan Huender.
Menurut perhitungan itu, maka pencarian si "inlander" cuma sebenggol
sehari. Si Belanda lain memutar-mutar "kecelakaan" "si
"inlander" ini menjadi "kebahagiaan" dengan mengatakan
bahwa si "inlander" bisa hidup dengan sebenggol sehari.
Perkara
pertahanan Indonesia, maka pintu gerbang kita, yang anehnya pula kebetulan
dijaga oleh Jenderal Ten Poorten (di pintu gerbang), dengan
"batuknya" Jepang sudah dibukakan dengan tergopoh-gopoh.
Kebanggaan
Belanda terhadap dunia luar atas kerendahannya keperluan si
"inlander" yang "dilindunginya" itu, ditambah pula dengan
penghinaan atau kecerdasan bangsa Indonesia. Si Belanda selalu dengungkan
dengan lisan dan tulisan ajaran pada murid-inlander, bahwa semua tambang,
pabrik, kereta, kapal, kebun dan kantor yang dibangunkan oleh Belanda itu
memberi penghidupan dan menjamin keamanan bangsa Indonesia. Bukan sebaliknya,
bahwa semuanya itu adalah alat-perkakas pemeras tenaganya si
"inlander" buat kemakmuran dan memewahkan hidupnya si Belanda.
Didikan
sekolah Belanda, propaganda surat kabar dan buku kesusastraannya akhirnya,
tetapi tak kurang pentingnya di beberapa pulah tahun belakangan ini
"Kristening Politik" yang dijalankan imperialisme Belanda,
menghasilkan satu golongan bangsa Indonesia, yang karena kurang perkataan yang
lebih tepat kami sebutkan saja dengan nama baru ialah "inlanders-alat".
Di antara jenis sejawatnya, "inlanders-alat" kita ini tak ada taranya
di seluruh dunia ini, baikpun di jajahan ataupun di negara merdeka.
"Inlanders-alat" ini terdapat dalam Badan pemerintah, kepolisian dan
kemiliteran imperialisme Belanda. Reserve besar dari "inlanders-alat"
ini terdapat pada golongan intelligensia, ber- atau tak bertitel.
Titel
ini buat mereka "inlanders-alat" cuma memberi jaminan kecerdasan
dalam hal yang berhubungan dengan teknik dan ilmu yang tak bersangkutan dengan
ilmu masyarakat saja. Dalam semua ilmu yang berhubungan dengan masyarakat,
teristimewa politik, ekonomi mereka menunjukan sifat mereka yang teristimewa
pula sebagai "inlanders-alat". Tidak ada di seluruh dunia ini yang
lebih gampang dipakai oleh imperialisme asing buat melakukan kemajuannya dari
pada "inlanders-alat" ini, ialah hasil pendidikan sekolah Belanda dan
sekolah zending yang dibantunya dengan segala tipu-dustanya.
Sebagai
alat pemerintah, maka "inlanders-alat" mendapatkan tempat paling
cocok seperti "kandang bernaung". Seolah-olah tak ada lagi kandang
yang lebih bagus buat dirinya dari pada kandang yang dibikinkan oleh tuannya.
Seakan-akan tak ada lagi nasi dan tulang yang lebih enak dari pada nasi dan
tulang yang dilemparkan tuannya kepadanya. Telinganya siap-sedia mendengarkan
perintah tuannya. Matanya tajam buat menerkam mangsa dan bangsanya sendiri,
kalau perintah datang dari "atas" ialah dari mereka yang menurut ilmu
dan pahamnya yang memberi pelajaran penghidupan dan perlindungan pada diri dan bangsanya.
Begitu setianya pada tuannya, sehingga pukulan yang diberikan kepadanya,
dianggap sebagai hukuman adil terhadap dirinya. Tak ada yang berat hukuman itu
buat dirinya. Kalau kadang-kadang hukuman dan pukulan itu menghilangkan
kesabarannya bukanlah karena rasa keadilan, kebangsaan, kehormatan atas diri
sendiri dan kemerdekaan sebagai manusia atau bangsa. Melainkan karena agak lama
ia menunggu kesempatan, bilamana dengan ekor di antara kaki belakangnya ia
diberi izin boleh kembali menjilat-jilat kaki tuannya dan menjalankan perintah
tuannya itu dengan lebih cepat dan menjalankan perintah tuannya itu dengan
lebih cepat dan kalau lebih perlu lebih kejam dan bengis terhadap bangsanya
sendiri, semata-mata buat kesenangan tuan "ndoro"nya itu.
Imperialisme
Jepang mendapatkan alat yang baik sekali dari "inlanders-alat" ini,
yang memang berada dalam keadaan budak yang kehilangan tuan. Manusia yang bisa
menerima perintah semacam ini sudahlah tentu menderita kesengsaraan dan
membutuhkan "tuan". Sedikit saja lagi usaha yang perlu dilakukan oleh
tuan baru, yang menggelari dirinya "saudara-tua". Beri makan
secukupnya pada "inlanders-alat" yang ditinggalkan tuannya tadi dan
tukar saja perkataan "bevel" (perintah) dengan kata "merei",
sendirinya jawab "inlanders-alat" yang dulu berbunyi
"ja-meneer" bertukar "hai", semua pekerjaan sebagai alatnya
imperialisme asing akan berjalan terus.
Jepang
tak mempunyai sumber minyak di negerinya. Perlu minyak dari Indonesia. Tak
mempunyai besi cukup. Sudah lama besi itu didatangkan dari Malaya dan Tiongkok.
Jepang tahu pula bahwa Borneo, Sulawesi, dan Sumatera banyak mengandung logam
besi. Jepang tak mempunyai timah, bauxite, getah, makanan dll. Semuanya ada di
Indonesia. Ringkasnya Jepang paling miskin tentangan bahan buat makanan dan
industri-berat, tetapi sebaliknya paling kaya tentangan nafsu mengangkangi
seluruh dunia dan menempeleng serta membagero-kan siapa yang tak setuju dengan
maksudnya.
Saudara
tua kita juga amat insyaf, bahwa kalau Indonesia diangkat menjadi negara industri-berat,
lambat laun, kekuasaan akan pindah dari negara Jepang, yang miskin itu ke
Indonesia, apalagi kalau Indonesia dimerdekakan! Barang bahan penting buat
industri-berat mesti diangkat ke Jepang 5000 km jauhnya dari Indonesia. Di
Jepang mesti terpusat industri berat. Sendirinya di Jepang akan terpusat
kepandaian buat teknik, kimia dan ilmu lainnya. Indonesia mesti terus ditekan
sebagai negara perusahaan bahan mentah dan pertanian buat makanan. Sedikit saja
Indonesia meningkat ke industri berat, Jepang mesti kalah oleh Indonesia,
karena semua bahan berada di Indonesia. Jadi Indonesia mesti tetap ditekan,
tinggal tetap negara bahan mentah dan pertanian. Politik pendidikan dan
kebudayaan Indonesia mesti dicocokkan dengan kedudukannya sebagai "negara-alat"
dalam "Asia-Timur-Raya", ialah alat pula buat mengangkangi seluruh
Asia dan akhirnya seluruh dunia menurut Rencana Tanaka.
Sudah
siap "inlanders-alat" para peminpin rakyat dan intelligensia sebagai
reserve, buat menjalankan administrasi, perindustrian, pertanian Indonesia,
warisan dari Imperialisme Belanda, buat dipakai oleh imperialisme Jepang
menegakkan "Asia-Timur-Raya" tadi. Pamong Pradja, Tyuuo-Sngi-In, Para
Kakka made in Japan, Pemimpin Besar, Tengah dan Kecil atas "Panca Darma",
semuanya "Kirei" berdiri mendengar "Komando" dari
Tenno-Heika di Tokyo.
Puluan
ribu pemuda dilatih sebagi Heiho, pembantu serdadu Jepang, dikirimkan ke semua
pulau di Indonesia, bahkan juga ke Birma dan Siam buat "orang suci"
di Asia Timur Raya. Para "Kakka" Indonesia memihak kepada Jepang,
bukan karena persoalan kalah-menang, melainkan karena Jepang berada pada
"kebenaran, keadilan, dan kesucian"……… katanya.
Diketahui
sekarang, bahwa 3 atau 4 juta "romusha" mati karena memang kekurangan
pakaian, tempat tinggal, obat-obatan dan makanan. Mereka (biasanya diculik)
dikerahkan buat meninggalkan desa, pekerjaan dan anak isteri, menggali lubang
pertahanan militer, lapangan terbang dll. Keperluan militer di mana-mana.
Buat
membalas "jasa" Jepang menetapkan Indonesia negara pertanian, dan
perusahaan bahan semata-mata, dengan memeras keringat, dan darah putera-puteri
(pelayan Indonesia) maka ada pula kakka yang setuju dengan penyerahan Eklatan
dan Pahang kepada Siam, dan Semenangjung Melayu, Borneo Utara dan……… Shonanto,
Yakni pusat strategi seluruhnya Indonesia bersama Birma, Siam Annam dan
Filipina……… kepada militerisme Jepang.
"Inlanders-alat"
tetapi konsekuen dengan watak dan sejarahnya sebagai alat imperialisme asing.
B.
INDONESIA KELUAR.
Beberapa
persoalan yang terpenting yang mengenai dunia luar umumnya dalam garis besarnya
tentulah pula mengenai Indonesia. Indonesia tiadalah bisa lepas dari pada
persoalan yang berhubungan dengan pertentangan sosialisme dengan kapitalisme,
pertentangan si Penjajah (the haves) dan Yang-Ingin-Menjajah (the haves not),
pertentangan si Penjajah dan si Terjajah, serta akhirnya pertanyaan "Hari
Depannya" UNO. Tetapi beberapa persamaan dunia Indonesia dengan dunia luar
itu tiadalah boleh menyesatkan kita ke daerah cara berpikir yang sering disebut
dengan cara "mekanis", ialah cara jalannya mesin yang tak berotak
itu. Karena persoalan ini atau itu dipecahkan di luar Indonesia dengan hasil
demikian, maka persoalan itu mesti dipecahkan di Indonesia dengan hasil serupa
itu pula, dengan tiada mengindahkan beberapa perbedaan. Yang terpenting ialah
membentuk persoalan itu di Indonesia ini (het stellen van het probleem) dan
cara (metode) yang dipakai buat memecahkan persoalan itu. Bukanlah hasil
pemecahan itu yang terpenting. Tidak saja persamaan dalam garis besarnya yang
mesti diperhatikan, tetapi juga beberapa perbedaan, walaupun kecil rupanya.
Tiadalah boleh dilupakan, bahwa beberapa perbedaan kecil itu kalau dikumpulkan
bisa menjadi perbedaan besar (kuantitas menjadi kualitas, perbedaan banyak
bertukar menjadi perbedaan sifat). Buat membentuk persoalan dan memecahkan
persoalan itu di Indonesia ini perlulah pula kemerdekaan berpikir dan
keberanian. Keberanian dan kemerdekaan berpikir dalam hal membentuk persoalan
dan memecahkan persoalan itulah yang membawa Lenin kepada sistem baru kepada
hasil perhitungan dalam hal organisasi dan taktik strategi. Kalau Lenin
meng-aminkan saja apa yang dimajukan oleh Karl Kautsky, pendeta Internasional
II, dalam hal taktik strategi, dan menghapalkan saja pendapat Kautsky & Co
di Eropa Barat dengan tiada memperhatikan perbedaan Rusia dengan Eropa Barat,
maka Rusia tak akan sampai meningkat ke masa Diktator Proletariat, ke Rencana 5
tahun, pertanian kolektif, dll. Lenin dan para kawannya tak akan bisa lebih
jauh berpikir dan bertindak dari kaum Mensheviki atau Sosial-Revolusioner.
Dengan memakai cara berpikir Dialektis Materialisme dan memperhatikan dasar
komunisme dalam garis besarnya, mungkin sekali Indonesia akan mendapatkan
sistem yang berlain rupa dengan Negara Luar, meskipun tiada berlainan sifat,
ialah dalam hal Organisasi, Taktik dan Strategi.
Bagaimanapun
juga karena banyak persamaan tadi dengan Dunia Luar, seperti tersebut pada
permulaan fasal in, maka uraian yang bersangkutan boleh diperpendek saja.
1.
Diplomasi Dan Diplomat.
Diplomasi
Indonesia semenjak hampir 10 bulan ini sudah sangat terlibat dalam
"perhitungan" banwa imperialisme Inggris itu bisa dipisahkan
(di-isolir) dari pada imperialisme Belanda dan ditumbukkan kepada imperialisme
Belanda. Berdasarkan perhitungan ini, maka dianggap amat untunglah si Diplomat
kita, yang berikhtiar mengadu-dombakan Inggris dengan Belanda. Dengan demikian
diharapkan paling sedikitnya si Inggris akan memusuhi si Belanda dan Indonesia
mendapatkan kesempatan buat mempersiapkan diri. Tetapi nyatalah sekarang, bahwa
sudah berbulan-bulan berdiplomasi hasil yang sebenarnya dari pada
"perhitungan" ini ialah: pada satu pihak Inggris menyerahkan
Surabaya, Semarang, Bandung, dll. kepada Belanda yang dikeluarkannya dari
kantongnya dan memintakan daerah antara Ci Sedane dan Ci Tarum buat dipakai si
Belanda sebagai batu-peloncat buat menjajah Indonesia kembali, permintaan mana
katanya dikabulkan oleh para pembesar Indonesia. Pada lain pihak pergerakan
revolusioner ditindas keras (Kongres "Persatuan Perjuangan" 17 Maret
di Madiun) serta badan pemerintahan dan ketentaraan hendak dipindahkan kepada
kaum-jinak (moderat). Pengharapan palsu masuk ke dalam kalbu segolongan bangsa
Indonesia. Hal ini berakibat melemahkan semangat Rakyat di samping Belanda
mempersiapkan diri. Seandainya si Diplomat kita berpikir dan berlaku jujur,
maka di sinilah kita mendapat contoh yang tepat, yang menggambarkan perbedaan
antara memahamkan sesuatu teori dengan mengapalkan saja teori itu. Pula
mengambarkan perbedaan melaksanakan teori itu dengan mempelajari
sungguh-sungguh keadaan di tempat melaksanakannya dengan meniru-niru saja
pelaksanaan teori tadi di lain tempat dan di lain tempo: perbedaan pelaksanaan
secara dialektis dengan pelaksanaan secara mekanis seperti mesin.
Teori
devide-et-empire, mengadu-dombakan bangsa kontra bangsa ataupun golongan
melawan golongan memangnya dalam dipahamkan serta jitu dilaksanakan oleh
Kerajaan Romawi di jaman kuno dan oleh Inggris dan Belanda lebih dari 300 tahun
di belakangan ini. Tetapi janganlah dilupakan "machtsfaktor" (faktor
kekuasaan) yang dipakai dengan perhitungan di sampingnya atau di belakangnya
pelaksanaan politik mengadu-dombakan itu. Dan apakah faktor kekuasaan yang ada
lahir dan batin di Indonesia cukup dikenal, disusun, dan dipakai oleh si
Diplomat Indonesia?
Adakah
gerakan tentara atau gerakan Murba yang diatur dan dipakai dengan
"perhitungan" membantu gerakan "lidah" si diplomat?
Ataukah
semua diplomasi dipusatkan kepada gerakan lidahnya si Diplomat itu saja? Hal
yang terpenting pula apakah "perhitungan" bahwa imperialisme Inggris
itu bisa dipisahkan dan diadu-dombakan dengan imperialisme Belanda? Di atas
tadi sudah dikemukakan, bahwa Dutch Indies itu dalam arti ekonomi ialah
Anglo-Dutch-Indies.
Hasil
terpenting buat kemakmuran dan pertahanan Indonesia seperti minyak tanah dan
karet, sudah dikendali oleh kongsi minyak kepunyaan Anglo-Dutch dan kebun getah
Inggris yang ada di Indonesia ini. Singapura, simpang jalan dunia terletak di
tengah-tengah kepulauan Indonesia sudah mengendalikan perdagangan keluar dan
masuk Indonesia. Perjanjian Anglo-Dutch tentang penghasilan penjualan getah dan
timah yang dibikin tiap-tiap tahun, yang mengenai harga ratusan juta rupiah
sudah mengekang jalannya ekonomi Indonesia. Ringkasnya dalam hal ekonomi
imperialisme Inggris dengan sempurna dan efektif mengekang imperialisme
Belanda. Kalau Sir Hendrik Deterding diberi gelar Sir oleh Inggris, maka ini
bukan berarti keulungan si Hendrik ini tentangan lain hal daripada keulungan
menjadi kaki-tangannya imperialisme Inggris. Titel itu diberikan oleh Inggris
di mana ia mendapatakan kaki-tangannya yang patuh, buat mengekang ekonomi dan
politik negara yang mau dijadikan atau sudah dijadikan mangsanya. Di Hongkong
diberikan kepada Tionghoa Sir Robert Ho Tung buat mengapusin seluruhnya
Tiongkok. Di Hindustan titel itu dihamburkan kepada beberapa biji orang Hindu
yang ikhlas menjalankan peran sebagai kaki-tangan imperialisme Inggris lahir
ataupun batin, seperti seseorang menghamburkan tulang-tulang kepada anjing yang
disukainya. Malaya pun tiada kelupaan. Hartawan Besar Sultan Johor di tempat
strategi dunia yang terpenting "beruntung" pula mendapat titel Sir
itu. Sepintas lalu hal ini kelihatan perkara kecil saja. Tetapi kalau
kepentingan Malaka dan Singapura dalam hal ekonomi dan strategi dipelajari
dalam-dalam, maka kalung "Sir" yang dianugerahkan oleh Raja Inggris
kepada Ibrahim, Sultan Hartawan Johor itu besar sekali maknanya. Sir Ibrahim
sudah memberi kekuasaan besar dalam perekonomian kerajaan Johor kepada kapital
Inggris, Sir Ibrahim salah seorang otokrat terkaya di Asia, menaruh simpanan
besar di Bank Inggris. Sir Ibrahim akhirnya adalah turunan pula dari pada
keluarga Sultan Johor yang hidup di masa Stamford Raffles, lebih dari 100 tahun
lampau. Salah seorang putra Sultan Johor tadi berhak mewarisi Singapura, tetapi
karena gila ditolak oleh Rakyat Johor sebagai Raja dan sebagai ahli-waris pulau
Singapura. Ahli-waris yang gila ini d culik dan diajak berunding oleh Raffles
di Singapura. Hasil perundingan ini pada suatu pihak Putra gila yang ditolak
oleh Rakyat Johor tadi beruntung diakui oleh Raffles. Pada lain pihak Raffles
beruntung dapat membeli Singapura dengan harga $60.000 (enam puluh ribu
dollar). Kecerdasan Raffles ialah satu dari pada pujaan dunia imperialisme
Inggris – tiadalah terletak pada ketangkasan matanya melihat kepentingan
Singapura buat ekonomi dan strategi. 1500 tahun lampau kearajaan Sriwijaya
sudah insyaf akan hal ini. 500 tahun lampau kerajaan Majapahit penuh insyaf
akan keinsyafan seluruhnya di Sriwijaya tadi. Rafles sebagai ahli sejarah
Indonesia tentulah lebih insyaf dari pada siapapun juga, akan hal, bahwa
bukanlah dia Raffles yang pertama sekali menampak kepentingannya Singapura
dipandang dari sudut perdagangan dan strategi. Tetapi dia cukup cerdas buat
menaksir, bahwa kalau ia berhubungan dengan orang Indonesia yang sedikit saja
cerdas ia tak akan mendapat Singapura dengan harga $60.000. Ia perlu berunding
dengan orang gila, buat membeli Singapura dengan harga gila.
Kemarin
bandit, perampok, sekarang sesudah menjadi raja, berlagak dermawan. Hal ini
lazim di dunia feodal. Kemarin tukang catut atau tukang smokkel, dan sesudah
kaya-raya berlagak menjadi dermawan. Hal ini masih lazim di dunia kapitalisme.
Kemarin merampok negara merdeka, sekarang berlagak menjadi pelindung ataupun
"Ratu Adil". Inipun lazim di dunia imperialisme. Tangan kanan
membacok tangan kiri mengobati supaya si mangsa bisa dipakai sebagai budak.
Sesudahnya Inggris mencatut Singapura dan merampok Malaka, maka dia berlagak
sebagai pelindung. Demikian para Sultan dilambuk, dikenyangkan dan di-Sir,
supaya mereka merampas dan memeras Rakyatnya buat kepentingan karet dan timah
kapitalis Inggris di Malaka. Dengan memakai para Sultan di Semenanjung Tanah
Malaka umumnya dan "Sir" Ibrahim khususnya di samping Sir Hendry
Deterding sebagai kaki-tangannya di Indonesia, maka dalam hakekatnya
imperialisme Inggris sudah menguasai seluruhnya Indonesia, termasuk Malaka dan
Borneo Utara dalam hal politik dan ekonomi.
Dalam
hal strategi kepentingan Singapura lebih nyata lagi. Ambillah jangka dan bikin
satu lingkaran dengan radius 150 mil. Dalam lingkaran itu terletak Birma, Siam,
Annam, Filipina, seluruhnya Republik Indonesia dan Australia. Inilah yang kita
pernah namai Aslia (Asia-Australia). Menurut ahli Barat penduduk di Aslia itu
termasuk ke dalam satu bangsa. Sepintas lalu kelihatan bahwa bagian bumi ini
dikuasai oleh iklim yang sama dan musim yang sama (monsun). Jadi watak
ekonominya pun mempunyai banyak persamaan. Berhubung dengan itu membutuhkan
satu koordinasi perekonomian. Tetapi yang kita terutama mau kemukakan di sini
ialah kepentingan lingkaran ini dipandang dari penjuru strategi. Dengan
Singapura sebagai pusat, maka menurut kekuatannya pesawat terbang Perang Dunia
ke II, Aslia terletak dalam "flying radius" (lingkaran terbang).
Lingkaran teknik atom yang berada di Australia (?) tiada akan mengecilkan arti
Singapura dan Aslia.
Menurut
U.P dalam surat kabar Hindustan The Bharat Yuoti, 5 Mei, 1946 ini, maka dalam
konferensi commonwealth Inggris pada tanggal 3 Mei di London yang diketuai oleh
Perdana Menteri Attlee, maka pemerintah Inggris mengusulkan supaya Australia
berunding dengan Belanda buat memperoleh Bandung dan beberapa pelabuhan penting
buat melindungi Kerajaan (Empire) Inggris di bagian Selatan dan Barat Daya-nya
Pasifik. Australia dengan tegas menolak usulan ini karena tiada menghendaki
akibatnya diplomasi imperialis semacam itu. Australia tiada ingin memusuhi
Republik Indonesia. Bahkan sebaliknya Australia mengharap adanya Pemerintah
Rakyat (popular government) di Indonesia dengan siapa Australia ingin hendak
mengadakan Alliance (persekutuan), sekali lagi kelihatan politik mulus
jahanamnya Inggris terhadap Indonesia. Walaupun gagal Indonesia mesti selalu
berlaku awas selama imperialisme Inggris masih berada di sekitarnya Aslia ini,
dan belum dibongkar sampai ke akar-akarnya.
Nyatalah
di sini, bahwa Inggris menganggap Aslia dalam hal strategi sebagai satu unit
kesatuan. Jepang tentu tidak ketinggalan. Ini hari Singapura direbut Jepang
pada tanggal 13 Februari 1942, besoknya Singapura ditukar namanya menjadi
Shonanto (Kota Gemilang). Seluruh Aslia dinamainya Selatan. Sriwijaya dan
Majapahit sudah cukup mengerti akan persatuan daerah Aslia itu dalam
segala-gala.
Gerakan
politik, diplomasi dan strategi Sriwijaya dan Majapahit juga dengan segala
keinsyafan ditujukan ke arah kesatuan daerah Aslia itu. Oleh orang Tionghoa pun
semuanya itu dinamai Huana (bahasa Hokkian). Sekarang kalau kita, Rakyat
Indonesia revolusioner, ingin mengadakan rencana yang praktis, yang penting
buat kemakmuran dan terutama pula buat keamanan Republik Indonesia sekarang dan
di hari depan, maka tiadalah boleh kita ketinggalan oleh paham 500 tahun lampau
(Majapahit) apalagi oleh paham yang sudah masak 1500 tahun lampau (Sriwijaya).
Berbahaya
selalu keadaan Republik Indonesia dalam ekonomi dan strategi kalau kita tidak
insyaf akan artinya politik dan strategi Rafles dan Yamasita. Walaupun ada
Federasi Perancis dan Filipina Merdeka, tetapi dengan adanya Hongkong (Inggris)
maka praktisnya Aslia adalah efektif dikuasai oleh Armada Inggris. Di tangan
imperialisme Inggrislah sebenarnya terletak kekuasaan ekonomi dan militer buat
mengangkangi seluruh Aslia. Imperialisme Inggris dan Belanda dan Perancis
sebagai boneka para Sultan atau Raja dan sebagian intelligensia sebagai kaki
tangan maka di masa damai dia mengendalikan politik-ekonomi Aslia. Dengan
Singapura sebagai Dasar Armada dan Pesawat, serta Australia Putih dan Ceylon
sebagai garis kedua (teknik atom?), maka imperialisme Inggris di waktu perang
berniat menguasai seluruhnya Aslia (Asia-Australia). Mau tidak mau, dalam
prakteknya Republik Indonesia, Merdeka 100% mesti bertentangan dengan
Imperialisme Inggris. Di waktu damai kepentingan ekonomi Indonesia Merdeka 100%
mesti bertentangan dengan kepentingan ekonomi penjajahan Inggris. Dalam masa
perang Singapura akan mengancam Indonesia Merdeka, yang tiada mau dibonekakan
oleh Imperialisme Inggris. Real-politik, politik sebenarnya, (bukan impian)
memaksa Indonesia pada satu pihak berhadapan muka dengan imperialisme Inggris.
Maka real politiklah pula pada lain pihak yang akan memaksa Indonesia Merdeka
mengumpulkan semua tenaga revolusioner dalam lingkaran Aslia, flying-radius,
buat ditumbukkan kepada imperialisme Inggris.
Kita
percaya bahwa taktik-strategi yang cerdas, organisasi yang elastis (seperti
karet) dengan usaha yang penuh kesabaran ketetapan hati, kita sanggup
berhadapan muka dengan imperialisme Inggris Singa Ompong itu.
Maka
berhubungan dengan semua di atas pula, semua percobaan "diplomat
ulung" di Indonesia ini berusaha memisahkan Belanda dan Inggris dan
mengadu-dombakan Inggris dengan Belanda adalah seorang "cerdik" yang
mencoba memisahkan dan mengadu-dombakan kepala buaya dengan ekornya.
Semujur-mujurnya si Diplomat ulung tadi ia cuma bisa menghindarkan dirinya dari
pukulan ekor buaya itu. Tetapi semalang-malangnya si Cerdik itu dia pasti akan
masuk lebih dalam di rangkungan buaya tadi.
Adalah
tiga syarat yang terutama kalau seorang ingin hendak menjalankan diplomasi
bersandar kepada Devide et empera itu dalam keadaan revolusioner sekarang.
Pertama sekali, kekuatan diri sendiri dan kepercayaan atas diri sendiri
mestinya ada cukup. Kedua, diplomasi itu mesti bersifat revolusioner yang ada
dalam negeri. Ketiga, diplomasi devide-et-empera yang revolusioner itu mesti
ditujukan kepada bangunan-musuh yang mengandung pertentangan sesungguhnya,
ialah pertentangan keperluan (ekonomi). Kalau seseorang diplomat Indonesia yang
revolusioner mengemukakan pertentangan-tajam dalam hal keperluan penting antara
Inggris dan Amerika, bahkan dengan Australia (commonwealth-Inggris), dan
pertentangan itu terus akan berlaku selama Indonesia itu masih berada dalam
ruangan kemerdekaan nasional, kita tak akan menyangkal (membantah), memangnya
diplomasi-bambu-runcing dengan program minimum berlaku dalam suasana
pertentangan hebat di antara gabungan Kapitalisme dan Imperialisme Asing, yang
berada di Indonesia di jaman Belanda.
Si
Pengelamun, Si-Tukang-Berpangku-Tangan, Si-Serba-Tak-Bisa tetapi nasionalis dan
percaya saja kepada siapa saja kecuali pada diri sendiri, Si-Pengharap
Pertolongan-Luar, dalam waktu damai boleh menertawakan atau mengecilkan artinya
Aslia, tetapi sebagai gabungan revolusioner dalam lingkaran-terbang
(flying-sphere) dengan Singapura sebagai pusat. Mereka boleh bermimpi-mimpi
mengharapkan pertolongan jatuh dari langit, sambil menyeburkan isme ini atau
itu ke kiri ke kanan. Mereka boleh terus berpangku tangan sambil bermimpi
melayang ke langit sampai........ revolusi atau peperangan akan melemparkan
mereka kembali ke dunia nyata, kembali ke tanah yang keras itu. Sesudah hampir
sepuluh bulan si Tukang-Maki dan mengejek sering dengan memakai kedok
internasionalis tetapi nasionalis yang bisa dipakai Nica, Jepang ataupun Sibar dalam
prakteknya mestinya sudah insyaf, bahwa dalam revolusi atau peperangan, maka
Rakyat Indonesia dalam suasana dan keadaan internasional seperti sekarang
terpaksa berdiri atas kaki sendiri, pada organisasi sendiri, bersandar pada
otak, hati dan jantung sendiri, pada kecerdasan, keberanian dan ketabahan hati
sendiri. Teristimewa pula mesti berdiri atas alat hidup sendiri dan senjata
sendiri, walaupun hanya bambu runcing saja. Di samping kepercayaan dan tindakan
berdasarkan kekuatan diri sendiri yang sebenarnya, haruslah kita berusaha
meluaskan lapangan perjuangan ke daerah yang memberi kemungkinan memberi hasil
(Aslia). Baru bertindak begitu rupa, supaya dapat merebut simpati dan
pertolongan tak langsung dari opini publik di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.
Semata-mata menyandarkan paham, organisasi dan aksi atas kekuatan yang tiada
bisa dipakai sekarang, karena jauh atau belum bisa keluar, ataupun kalau keluar
belum tentu bisa dipakai menurut kehendak atau kepentingan kita, sama juga
dengan sikap seseorang yang ingin menamai diri seorang revolusioner, tetapi
takut kepada revolusi. Dalam perjuangan yang sebenarnya ini memang nyata, siapa
yang revolusioner di waktu revolusi dan siapa yang revolusioner di waktu damai:
Si Pembelalang di dalam gelap, Si-penggertak dari sebalik gunung.
Persatuan
Perjuangan yang didirikan pada tanggal 5 Januari 1946 tahun ini, cukup
memperhatikan kekuatan kawan dan lawan, cukup memperhatikan sifat dan
susunannya semua golongan yang ada dalam Indonesia (social-structure), sifat
dan tingkatnya revolusi Indonesia, kepentingan dan pertentangan dalam
kapitalisme dan imperialisme Asing. Persatuan yang diikat oleh Minimum-Program
yang revolusioner terasa perlunya setelah di saat itu nyata kelemahan
perjuangan, disebabkan oleh banyaknya partai dan banyaknya laskar. Pada
beberapa tempat seperti Surabaya, Tegal, Pekalongan, dan Ciamis sudah timbul
sengketa di antara laskar dan laskar, serta partai dan partai. Kalau Persatuan
Pejuangan tak tampil ke muka, mungkin sengketa tadi akan lebih mendalam dan
berakhir pada perang saudara, yang menguntungkan musuh.
Belum
lagi 2 (dua) bulan Persatuan Perjuangan, yang sanggup mengikat 141 organisasi
politik, sosial, ekonomi, dan militer, berjalan maka datanglah undangan dari
pihak pemerintah Republik buat bersama membentuk Kabinet Baru, sesudahnya
kabinet lama, Kabinet Soetan Sjahrir meletakkan jabatannya. Persatuan
Perjuangan menolak campur membentuk Kabinet Baru, bukan karena tiada sanggup
menerima "tanggung-jawab" seperti dibisikkan oleh satu pihak ke sana
sini, melainkan karena ada hakekatnya Presiden menghendaki supaya yang
"terpentingnya" dalam Minimum-Program dibatalkan! Sebenarnya susah
sekali mengetahui berapa luasnya dan di mana batasnya kekuasaan
"Presiden" Republik Indonesia di masa revolusi ini.
Undang-undang
Dasar yang memusatkan kekuasaan dan tanggung jawab pada Presiden dan praktek
memerintah sekarang yang memusatkan kekuasan dan tanggung jawab pada Perdana
Menteri cuma membingungkan yang mempelajari saja. Si Pelajar akan lebih bingung
lagi kalau diketahui bahwa Presiden berdiam di Yogyakarta sedangkan Perdana
Menterinya di kota Nica Jakarta, yang sudah dicelupnya kembali dengan nama
"Batavia". Sebenarnya Persatuan Perjuangan sudah siap sedia dengan
para calon yang sanggup menerima pangkat menteri dengan atau tiada dengan Tan
Malaka. Tetapi setelah ditentukan "disiplin" terhadap mereka yang
akan menerima pangkat menteri yang akan membatalkan Minimum-Program, maka
tiadalah seorang juga di antara para calon tersebut yang masuk ke dalam kabinet
Sjahrir yang ke-2. Sebenarnya patut dipuji sikap para calon yang lebih
mementingkan dasar, prinsip daripada pangkat.
Bukankah
Rakyat dan Pemuda bertempur mengorbankan jiwanya buat dasar, prinsip yang nyata
dan sah? Janganlah disalahkan para calon Persatuan Perjuangan yang memegang
teguh dasar, haluan Revolusi Indonesia sekarang!
Semenjak
terbentuknya minimum-program ialah 4 atau 5 bulan sampai sekarang, maka
belumlah ada kelihatan cacatnya salah satu dari 7 pasal yang dikemukakan. Malah
sebaliknya, kalau salah satu daripada 7 pasal itu dilanggar, dilemahkan atau
dibelokkan, maka nyata sekali sikap dan tindakan rakyat terhadap tindakan
semacam itu. Pelucutan Jepang yang bermula hampir dilakukan yang berlainan
dengan tulisan dan lisan pasal 4, mengadakan perlawanan sekeras-kerasnya dari
pihak rakyat di daerah Surakarta.
Sebab
itulah rupanya tak jadi diadakan Markas Sekutu, seperti di Solo, ialah menurut
pengumuman yang bermula diterima rakyat Solo. Tetapi apakah sudah cukup jaminan
supaya tentara Jepang dari Pulau Galang kelak betul-betul akan dikirim ke
Jepang dan bukan ke salah satu pulau di Indonesia, itu tiadalah bisa
dipastikan.
Tulisan
dan lisan pasal 4 itu memang bermaksud supaya seperti yang sudah-sudah terjadi
di mana-mana tempat tentara Jepang jangan dipakai lagi buat merobohkan Republik
Indonesia. Yang amat penting pula tentulah pasal 1 berhubungan dengan
"perundingan" Minimum-Program menuntut supaya perundingan itu
berdasar atas pengakuan kemerdekaan 100%. Artinya kemerdekaan 100% mesti lebih dahulu
diakui. Perundingan yang akan dilakukan ialah buat menetapkan pengakuan itu dan
membuat perjanjian yang berdasarkan kemerdekaan 100% itu. Dengan perkataan
lain, perundingan itu adalah perundingan dua negara merdeka. Bahwa dalam
keadaan perang sekarang kemerdekaan 100% bisa dicapai dengan "goyangan
lidah" itu adalah berlawanan dengan pikiran sehat, dengan sejarah manusia
dan berlawanan dengan "sifatnya" sesuatu "perundingan".
Bukankah berunding itu berarti tawar-menawar, memberi dan menerima, tolak
angsur? Dimanakah lagi letaknya "tawar-menawar" kalau satu pihak mau
mendapatkan 100% yang sebelum berunding dibantah keras oleh lain pihak? Mungkin
mendapatkan 90% ataupun dalam teori 99%, tetapi perundingan yang tiada
berdasarkan atas pengakuan kemerdekaan 100% tidak akan mendapatkan yang 100%
itu. Seandainya tercapai kemerdekaan 99%, bahkan 100% pun, tetapi kalau pasal 6
dan 7 dibatalkan, dilemahkan atau dibelokkan, maka lambat laun kemerdekaan 99%
atau 100% tadi akan turun sampai 50% atau 10%. Kalau kapitalisme asing kembali
bermarajalela seperti sebelum Jepang masuk, maka Parlemen Pemerintah Pusat,
Daerah, kota dan desa Indonesia akan segera "dikebiri", kalau tidak
dibeli sama sekali oleh kapital asing yang kuat dan teguh itu.
Jadinya
pasal 6 dan 7 yang ingin menyita perindustrian dan perkebunan "musuh"
itu adalah satu jaminan. Pertama supaya kemerdekaan di atas tetap 100%. Kedua
supaya revolusi anti-imperialisme ini cukup memberi jaminan kekuasan dan
kemakmuran kepada proletar mesin dan tanah. Ketiga supaya proletar mesin dan
tanah kelak sesudah Indonesia merdeka 100%, dengan menjalankan "Rencana
Ekonomi", segera bisa meningkat ke negara berdasarkan sosialisme yang
mempunyai cukup alat mempertahankan kemakmuran dan kemerdekaannya, karena sudah
mempunyai industri berat berdasarkan bahan dan tenaga yang ada di Indonesia
ini.
Syukurlah
pula pasal menyita dari Minimum Program tu sudah disetujui bahkan dijalankan
oleh proletar mesin dan tanah, di mana ada pabrik, tambang dan kebun musuh
berada.
Cocok
dengan kehendak dan tindakan Inggris mendudukkan kembali Imperialisme Belanda
di Indonesia dan bersama dengan kaum "moderate" (jinak) Indonesia
memberantas kaum "extremist", maka sesudah Kongres Persatuan
Perjuangan di Madiun pada bulan Maret tanggal 17, para pemimpin seperti Abikusno,
Mr. Gatot, Sayuti Melik, Mr. Jamin, Chairoel Saleh, Soekarni dan Tan Malaka
ditangkap setengah resmi, setengah tidak dengan tak ada tuduhan apa-apa.
Sampai
dua setengah bulan (2 Mei 1946) ketika bagian brosur ini ditulis belum juga
diperiksa perkaranya. Rupanya radio Hilversum-lah yang pertama tahu akan
terjadinya penangkapan dan Belandalah yang amat bergembira lantaran penangkapan
ini.
Penangkapan
itu dilakukan pada tanggal 17 Maret 1946. Sedangkan radio Belanda di Jakarta
dan Hilversum sudah mendengungkan berita yang amat menggembirakan mereka itu ke
seluruh dunia pada tanggal 16 Maret 1946. Menurut kabar radio baru ini maka
Komisi van Poll memandang penangkapan itu sebagai bukti "kekuatan
lebihnya" PM Sjahrir daripada Tan Malaka. Tetapi "kekuatan lebih"
itu terbantah pula oleh penyiaran radio Belanda juga tentangan laporan van Poll
itu juga, yang mengatakan bahwa penangkapan Tan Malaka amat menyukarkan
perundingan Belanda dengan "Nederlandsch-Indie" itu. Sebenarnya
"kekuatan lebih" itu baru kelak ternyata apabila rakyat menerima usul
si Belanda, yang rupanya sudah percaya benar akan kekuatan Sutan Sjahrir itu.
Kalau Rakyat tiada menerima usul Belanda itu, maka penangkapan yang
"tiada" berdasar undang-undang yang sudah tercantum dan disahkan itu,
melainkan karena perbedaan politik itu saja bisa pula menimbulkan akibat yang
tiada disangka-sangka dan dikehendaki. Usul Belanda yang tiada selama lagi akan
dimajukan oleh van Mook, terutama dalam mengakui Indonesia seluruhnya dalam
status otonomi, walaupun katanya, nama Indonesia dalam statussemacam itu boleh
dinamakan Republik. Dengan begitu Belanda sudah menginjak-injak kemerdekaan dan
kedaulatan Rakyat Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Terhadap keluar, negeri Indonesia tak bersuara sama sekali.
Terhadap
ke dalam Belanda merobek-robek daerah (teritori), administrasi dan perekonomian
Indonesia. Belanda akan kembali mengatur pegawai Indonesia dan kembali
menduduki pabrik, tambang dan kebunnya serta memasukkan kapital asing dengan
tak ada batasnya. Disampingnya itu "Hindia Belanda" yang
"Autonoom" itu harus mengakui hutang "Hindia-Belanda"
sebelum Jepang masuk. Kalau semua usul itu kelak diterima, maka kemerdekaan
yang jauh kurang dari 100% dalam politik itu akan diturunkan pula sekian persen
oleh hutang Indonesia tadi dan oleh kekuasaan pegawai-cap-Belanda serta oleh
bermaharaja-lelanya kapitalisme di pemerintahan pusat dan daerah. Kekuatan
lebih yang ditimpakan atas pemimpin-pemimpin Persatuan Perjuangan, yang berdiri
atas pengakuan 100% itu akan berupa kekuatan nol % terhadap kapitalisme dan
imperialisme asing. Bagaimana juga memutar lidah dan pena, otonomi Indonesia di
mana kapitalisme asing merajalela akan membawa Indonesia kembali ke jurang
perbudakan, mungkin lebih dari sediakala.
Selama
dua setengah bulan Persatuan Perjuangan berdiri, maka persatuan yang
berdasarkan perjuangan itu dikenalkan kepada seluruh lapisan Rakyat, dari
Sultan-Sunan sampai ke kaum jembel. Front anti imperialis ini mengambil rakyat
sebulat-bulatnya, sepenuh-penuhnya buat mempertahankan kemerdekaan Republik
100%.
Sebagai
langkah pertama siasat ini mesti diambil. Siasat semacam itu dicocokkan dengan
keadaan Indonesia dan dengan sejarah revolusi di mana-mana di dunia.
Pertarungan yang dua setengah bulan itu sudah memberi ujian kepada semua
lapisan tadi. Ternyata sudah setelah penangkapan Madiun terjadi ujian tadi
sudah membawa pembelaan kemerdekaan Indonesia ke tingkat kedua. Kaum borjuis
tengah, sebelah atas, ialah sebagian kaum saudagar, Pamong Praja, dan intelligensia
sudah melempem dan berbalik muka. Mereka tidak tahan menjalankan ujian itu,
asyik memikirkan bagaimana menghentikan perjuangan ini dan kembali menduduki
kursi di sudut-sudut kantor yang dituan-besari oleh Belanda. Sikap melempem di
tengah revolusi itu bukanlah monopolinya kaum tengah Indonesia saja. Memang itu
sifatnya kaum tengah, ialah maju-mundur lebih banyak mundur daripada maju dan
kalau terlampau berat lekas mundur, dan memilih pihak yang kiranya menang.
Borjuis tengah Indonesia, seperti saudagar tengah, Pamong-Praja dan
intelligensia memang tak bisa konsekuen baik dalam revolusi nasional ataupun
dalam revolusi sosial.
Sifat
memilih dan membidik siapa yang kuat dan akan menang dalam pergulatan itu
memangnya terbawa oleh susunan ekonomi dan sosial Indonesia. Kaum tengah
Indonesia tak mempunyai tempat bersandar maupun dalam ekonomi ataupun dalam
politik. Saudagar tengah Indonesia tak kenal sama saudagar importor sendiri,
pabrikant (pemilik pabrik) Indonesia sendiri atau pun bankir sendiri. Mereka
bersandar pada Importir asing, pabrik-asing dan bankir asing. Demikian pula
Pamong Praja dan reservenya, ialah kaum intelligensia bersandar pada
imperialisme asing.
Tak
ada Parlemen atau pemerintah nasional yang bisa dijadikan tujuan dalam usaha
mereka mencari pangkat. Imperialisme Belanda dalam penjajahan 350 tahun itu
jaya menghasilkan satu golongan pamong-praja dan reservenya, golongan
intelligensia yang mempunyai semangat ingin memasuki kantor gubernur di bawah
perintah sep Belanda, "semangat inlander". Semangat inlander ini amat
tebal dan tak gampang diombang-ambingkan oleh semangat revolusioner. Kalau
sep-Belanda hilang seperti pada penyerahan Belanda 8 Maret 1942, maka
"para inlander" merasa bahagia mendapatkan "sep-baru" dan
mempelajari "jongkok" baru, ialah jongkok ala Nippon.
Apabila
rakyat memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agusuts 1945, maka
"para-inlander" dengan setengah percaya dan setengah tak percaya
memasuki kantor Republik, tetapi apabila "sep-lama" datang, maka
gelisah lagi. Sekarang dengan memuncaknya perjuangan, maka sudah banyak para
inlanders tadi yang mengenal kembali "his masters voice" itu (suara
tuannya). Mereka kembali bersedia menerima perintah tuan-lama buat keperluan
tuan lama itu, kalau perlu menentang kemauan bangsa sendiri.
Kini
mereka para inlanders menunggu saat bilamana mereka dengan aman bisa melompat
sambil berteriak-teriak: Tuan-besar sudah kembali! Sifat kaum tengah memang
tengah memang sangsi bolak-balik di antara golongan atas dan bawah. Di mana ada
kapital nasional dan borjuis nasional yang kukuh kuat, maka dalam masa revolusi
kaum tengahnya sangsi bolak-balik di antara borjuis atas dan proletar nasional.
Akhirnya di tengah-tengah kesukaran perjuangan mereka membelok kepada yang
kiranya akan menang. Di Indonesia kapital dan borjuis yang kuat-kukuh itu
terdiri dari bangsa asing. Mungkin pada permulaan perjuangan para inladers
memihak kepada rakyat-murba. Tetapi kalau perjuangan itu sedikit lama dan
tampaknya sukar, maka mereka akan mengabdi kepada kapital dan borjuis asing
manapun juga. Dalam dua setengah bulan Persatuan Perjuangan itu berdiri, aliran
"para-inlanders" terasa benar. Makin keras desakan
Sekutu-Inggris-Belanda dengan "moderate"nya, makin keras pula
semangat para inlanders dalam Persatuan Perjuangan membatalkan "minimum
program" yang memang revolusioner itu sama sekali, atau men-sabot,
membelokan, melemahkan artinya. Sesudah penangkapan Madiun proses ini berlaku
lebih cepat dan lebih nyata lagi. Tetapi dengan melemahkan, membelokkan, bahkan
seandainya dengan membatalkan Minimum Program sama sekali ini tiada berarti
rakyat Indonesia dengan Pemudanya akan bisa dibelokkan dilemahkan ataupun
dipatahkan semangatnya membela kemerdekaan 100% dan menolak kapitalisme asing.
Mungkin
nama Persatuan Perjuangan dan Minimum Program akan dijadikan barang
"bisikan", bahkan mungkin bisa ditutup sama sekali, tetapi selama
rakyat dan pemudanya terus memperjuangkan kemerdekaan 100% dan penolakan
kapitalisme asing, maka selama itulah pula Persatuan Perjuangan, yang berarti
Persatuan mereka yang berjuang, serta Minimum Programnya, akan berlaku. Nama
kumpulan atau program baru mungkin bisa menipu rakyat dan pemudanya, sebagian
atau seluruhnya buat sementara waktu, tetapi tidak buat selama-lamanya.
Semenjak
penangkapan Madiun dengan radio Hilversumnya, nyatalah sudah bahwa Persatuan
Perjuangan dan program minimum sudah meningkat ke periode (musim) kedua dalam
perjuangan anti-imperialisme dan revolusi-nasional ini. Dalam periode kedua ini
kaum setengah ke sini setengah ke sana, setengah revolusioner dan setengah
kompromis itu mesti disingkirkan sama sekali. Karena mereka sudah nyata, dan
memegang terus mereka itu berarti melemahkan barisan perjuangan. Persatuan
Perjuangan bukanlah berarti kumpulan kaum revolusioner dan kaum kompromis yang
lengkap siap dengan 1001 perkataan buat menyelimuti politik kompromisnya.
Sesudah penangkapan Madiun maka perjuangan revolusi Indonesia mesti
dikembalikan ke tangan mereka yang tegas-tegas mengakui kemerdekaan 100%,
menolak perundingan yang tiada berdasarkan perngakuan 100% itu dan tegas terang
menolak kapitalisme asing dengan siasat menyita perusahaan musuh. Pembersihan
mesti dilakukan.
Dan
dalam masa pembersihan itu mesti dilakukan dengan cepat dan kalau perlu dengan
deras-tangkas. Kalau tidak maka kaum kompromis akan jaya melembekkan semangat
perjuangan, membelokkan atau mematahkan perjuangan itu sama sekali dan
mengembalikan Indonesia ke status penjajahan dengan atau tidak-dengan nama
"Republik".
Setengah
kaum tengah bagian atas yang dipelopori oleh "ahli" politik dan
"ahli" diplomasi serta para pamong praja dan intelligensia sudah
terjerumus atau sengaja menerjunkan dirinya k etengah-tengah barisan Nica. Kaum
pembelok, yang sudah menjalankan rolnya dengan terbuka, setengah tertutup atau
sama sekali bersembunyi itu mesti di-isolir, dipisahkan atau sama sekali
diberantas dari perjuangan revolusioner. Persatuan Perjuangan revolusioner
mesti terdiri dari kaum dan golongan revolusioner saja. Dalam periode kedua
ini, sesudah ujian dua setengah bulan ini, maka golongan yang tetap
revolusioner ialah: Pertama, golongan proletariat perindusterian, yakni buruh
pabrik, bengkel, tambang, pengangkutan, listrik, percetakan, PTT dll. Kedua,
proletariat tani, ialah buruh kebun bersama dengan kaum tani biasa, kaum tani
menengah, sampai ke tani sederhana (kerja dan cukup buat keluarga sendiri
saja), terus ke setengah tani, setengah buruh tani. Ketiga, kaum Marhaen ialah
pedagang kecil, warga-kecil seperti juru tulis, guru, dan intelligensia miskin
di kota-kota. Semuanya golongan ketiga ini menghendaki sungguh lenyapnya
imperialisme asing dan berdirinya terus Republik Indonesia, dan banyak sekali
memberikan pengorbanan harta dan jiwanya dalam semua garis pertempuran. Ketiga
golongan yang masih revolusioner dalam periode kedua di masa revolusi nasional
ini lebih kurang terikat oleh aliran pula, yakni aliran ke-Islaman, kebangsaan,
dan keproletaran (sosialisme, komunisme ataupun anarkis-sindikalisme). Ketiga
aliran ini terus menerus mempengaruhi pergerakan anti-imperialisme di Indonesia
selama lebih 40 tahun di belakang ini. Dalam periode kedua inipun ketiga aliran
itu tiadalah bisa diabaikan.
PARI
tiada akan melupakan tiga aliran yang terbuka atau tertutup pada sanubari tiga
golongan tersebut di atas. Ketiga aliran itu masing-masingnya lebih kurang
mempengaruhi masing-masingnya ketiga golongan tadi. Tetapi boleh jadi sekali
dan sepatutnyalah pula ke-Islaman lebih tebal dari pada kaum tani, kebangsaan
lebih tebal pada kaum marhaen dan ke-proletaran pada golongan proletariat.
PARI
mesti mencocokkan organisasi, prinsip, paham, taktik-strategi dan slogannya
dengan kekuatan-revolusioner dalam negeri dan teman penyambutnya di luar negeri
serta dengan keadaan dalam dan luar Indonesia buat melakukan program minimum
dan maksimumnya. Pencocokan itu mesti senantiasa dilakukan dan diperoleh
berhubung dengan perubahan musim (periode) perjuangan dan peralihan pusat
kekuatan dari golongan ke golongan yang revolusioner. Buat periode kedua ini
cukuplah sudah Minimum Programnya Persatuan Perjuangan, yang kalau dirasa perlu
bisa ditambah di sana sini, dengan tiada mengurangi semangatnya yang
revolusioner.
Setelah
kemerdekaan 100% tercapai, maka akan berlakulah program maksimum, yang
maksudnya menuju kepada Indonesia berdasarkan sosialisme, bersandarkan kekuatan
diri dan mengingat keadaan di sekitar Indonesia. Pertama sekali amat tidak
bijaksana mengumumkan program maksimum pada musim revolusi-nasional demokratis
ini.
2.
Hari Dan Tangkisan.
Akan
terlampau jauh ke muka kalau kita di sini menguraikan program maksimum. Kita
yang di tengah-tengah perjuangan yang sungguh ini, di tengah-tengah dentuman
bom, meriam, dan mortir, wajib memusatkan semua pikiran, perhatian dan kemauan
pada barang yang nyata dan praktis saja. Sekejap kita melayangkan meninggalkan
daratan, sebegitulah pula kita melalaikan perjuangan yang sebenarnya dan
meringankan pekerjaan musuh memerangi kita. Cukuplah sudah kalau diperingatkan
saja bahwa setelah revolusi-nasional-demokratis yang sempurna kelak sudah
berlaku dan kemerdekaan 100% tercapai, maka program maksimum yakni sosialisme
100% akan segera dijalankan. Mungkin apa tidaknya sosialisme 100% bisa
dijalankan adalah sama sekali tergantung pada kekuatan lahir-batin Indonesia
sendiri dan keadaan di sekitar Indonesia.
Memeriksa
dan menguraikan kemungkinan di sektor Indonesia akan memakan banyak waktu dan
tempat. Tetapi semua kemungkinan bisa dibulatkan seperti berikut: Pertama, Perang Dunia ke-3 timbul. Dalam hal
ini, tentulah sendirinya Indonesia akan berhadapan dengan persoalan sosialisme
dalam suasana peperangan. Kemungkinan pertama ini membawa kemungkinan terlibat
atau tidaknya Indonesia dalam perang dunia ke-3 itu. Kedua, dunia akan
mengalami perdamaian beberapa lama sesudahnya kemerdekaan 100% tercapai. Dalam
hal ini persoalan sosialisme di Indonesia harus diselesaikan dengan sifat dan
cara berlainan dari pada di waktu peperangan.
Tuduhan Trotskyisme
Tuduhan
yang berdasarkan kebenaran memang perlu dijalankan buat membersihkan suasan
yang keruh. Tetapi sesuatu tuduhan yang jujur mesti berdasarkan bukti yang
nyata.
Tuduhan
berdasarkan kebohongan atau tuduhan lancang yang tiada sengaja dilakukanpun
bisa menikam diri sendiri. Salah satu sebab yang langsung memusnahkan Partai
Gerondine dalam Revolusi Perancis (tahun 1789) ialah tuduhan lancang terhadap
Partai Jacobin.
Sering
pula "tuduhan lancang" dilakukan buat menyembunyikan diri sendiri.
Masuk golongan inilah tuduhan lancang seorang maling yang sengaja
berteriak-teriak: Tangkap maling. Perhatian ramai dipusatkan kepada pihak lain
dengan maksud melindungi maling yang sebenarnya.
Dalam
buku resmi "History of the Communist Party of the Soviet Union
(Bolsheviks)", disahkan oleh CC Partai Komunis Uni Soviet (Bolsheviks)
1938, Moskow 1942, salah satu sifat "Trotskyisme" yang terpenting
dimajukan ialah seperti tercantum dalam muka 288-289 seperti berikut:
"First
there were the "Left" shouters, political freaks like Lominadze,
Shatskin and others, who argued the NEP means a rennuciation of the gains of
the October Revolution, a return to capitalism ...
"Then
there were the downright capitulators, like Trotsky, Radek, Zinoviev,
Sokolnikov, Kamenev, Shylapnikov, Bhukarin, Rykov, and other who did not
believe that Socialist development of our country was possible, bowed before
the "omnipotence" of capitalism and in their endeavour to strengthen
the position of capitalism in the Soviet country demanded far-reaching
concessions to private capital, both home and foreign and the surrender of a
number of key positions of the Soviet power in the economic field to private
capitalists, the latter to act either as concessionaries or as partners of the
State in mixed joint stock companies."
"Both
groups were alien to Marxism and Leninism."
Indonesianya:
"Pertama
adalah "Kaum kiri" yang besar mulut, orang tak tetap dalam politik
seperti Lominadze Shatskin dll. yang memajukan bahwa NEP itu (Politik Ekonomi
Baru, 1922) ialah pembatalan kemenangan Revolusi Oktober, pengembalian ke
kapitalisme...
"Kemudian
ada lagi capitalors (penyerah) tulen, seperti Trotsky, Radek, Zinoviev,
Sokolnikov, Kamenev, Shlyapikov, Bhukarin, Rykov dll mereka yang tak percaya
akan kemungkinan kemajuan sosialisme di dalam negeri kita, bertekuk lutut
terhadap "kemahakuasanya" kapitalisme dan dalam percobaan mereka
memperkuat kedudukan kapitalisme Soviet Rusia, menuntut pemberian konsesi
(concession) yang berakibat jauh sekali kepada kapital swasta, baik kapital
dalam ataupun di luar negeri, dan menuntut penyerahan beberapa kunci kekuasaan
pemerintah Soviet dalam lapangan ekonomi kepada para kapitalis swasta, yang di
belakang ini akan diterima sebagai concessionaries (penyewa) atau sebagai rekan
(partner) dari Negara (Soviet) dalam Perseroan Campuran (Mixed Joint Stock
Companies)."
"Kedua
golongan di atas tak bersangkutan dengan Marxisme dan Leninisme."
Halaman
262 kitab tersebut:
"They
proposed that we should throw ourselves on the tender mercies of the foreign
capitalists, surrender to them, in the form of concessions branches of industry
that of vital necessity to the Soviet State. They proposed that we pay the
Tsarist government’s debts annuled by the October Revolution. The Party
stigmatized these capitulatory proposals as treachery".
Indonesianya:
"Mereka
(Trotsky CS) mengusulkan supaya kita menyerahkan diri kita ke bawah belas
kasihannya kaum kapitalis asing, menyerahkan kepada mereka penyewaan
(concessions) cabang industri yang penting sekali buat negara Soviet. Mereka
mengusulkan supaya kita membayar hutangnya Tsar, yang sudah dibatalkan oleh
Revolusi Oktober. Partai Komunis Rusia men-cap usulan menyerah ini sebagai satu
Penghianatan." (spasi dari pencatat).
Teranglah
sudah bahwa satu dua perkara yang penting dalam perbedaan Stalinisme dan
Trotskyisme, menurut buku yang baru saja kami peroleh ini, ialah perkara sikap
Soviet Rusia dan CP Rusia terhadap 1.e Hutang pemerintah Tsar dan 2.e
kapitalisme Asing di Rusia. Kedua hal itu ditolak oleh pihak Stalin, dan diakui
oleh pihak Trotsky.
Bukankah
pasal 6 dan 7 dalam program minimum itu menyita dan menolak kapitalisme asing?
Tentang
hutang "Hindia Belanda" menurut PARI sudahlah tentu pula mesti
dibayar oleh Belanda sendiri. Republik Indonesia berhak dan wajib menolak
hutang "Hindia Belanda" yang sudah lenyap itu, dan gagah
mempertahankan kapital asing dan Rakyat Indonesia di bawah perlindungannya itu.
Buat
pembaca yang arif bijaksana, jujur dan mau mengerti mestinya cukup terang
sikapnya seseorang Trotskyist terhadap "hutang dan kapitalisme asing"
di bawah pemerintah yang sudah dilenyapkan oleh revolusi, yakni menurut buku
yang resmi di Soviet Rusia yang dipimpin oleh Stalin.
Memang
perkara "hutang dan kapitalisme asing" itu keduanya amat penting buat
jalannya revolusi nasional dan revolusi-sosial Indonesia di hari depan. PARI
nyata memberi jawaban yang cocok dengan "sikap resminya" Partai
Komunis di Rusia di bawah pimpinan Joseph Stalin.
Mereka
yang mengindahkan tuduhan "Trotskyist" terhadap PARI atau pada siapa
saja hendaknya dengan catatan di atas ini bisa memeriksa benar-salahnya tuduhan
itu. Seterusnya bisa pula menentukan masuk golongan mana si Penuduh: 1)
golongan penuduh yang jujur dan berbukti cukupkah, atau 2) golongan penuduh
yang lancang berdasarkan kebohongan tetapi tiada dengan niat buruk atau 3)
golongan penuduh yang lancang dan sengaja bohong, lantaran dengki, chisist,
khianat atau niat busuk yang lain-lain.
Atas
catatan penting di atas sebagai batu ujian, maka seseorang Penuduh mungkin bisa
diputar menjadi si Tertuduh. Seseorang yang ingin menyembunyikan maksudnya
sendiri yang sebenarnya. Umpamanya tentang "diplomasi"nya yang katanya
berdasarkan perhitungan, atau pada politiknya yang sudah pernah atau masih
terlibat dalam perkakas imperialisme: Hokokai, Nica atau Sibar.
Nama
Partai tiadalah begitu penting. Mudah menukarnya. Asal saja isinya tetap.
Partai Komunis Rusia sendiri sampai 3 kali bertukar nama! Yang penting ialah
sifat (essence) revolusioner pada tiap-tiap tingkat dan keadaan perjuangan.
Jangan terlibat dalam aksi kontra revolusi, provokasi atau oportunisme.
Marxisme itu bukanlah satu dogma, satu kaji hapalan. Melainkan satu pedoman
perjuangan klas.
Satu
metode, dialektis-materialistis yang mesti dilaksanakan cocok dengan tempo dan
tempat.
PARI
semenjak hampir 20 tahun, berfilsafat Marxisme, yang dengan siasat leninisme,
menuju ke arah revolusi nasional, revolusi sosial, ke masyarakat sosialis,
sampai ke masyarakat komunis di seluruh dunia.
3.
Perkara Keributan Tahun 1926.
Banyak
orang di Indonesia ini, terutama di antara "komunis" sendiri yang
menyalahkan saya dan menimpakan kegagalan percobaan menggulingkan pemerintah
Belanda di tahun itu pada bahu saya. Apalagi pemuda sekarang yang pada masa itu
baru atau belum lahir selalu dikeruhkan kepalanya oleh satu golongan
teristimewa anti Tan Malaka. Golongan anti Tan malaka ini bekerja keras di
jaman Belanda, Jepang apalagi sekarang, di jaman Republik Sukarno-Hatta ini.
Perkara
anti dan pro itu sudah tentu semestinyalah dalam satu perjuangan politik.
Sedangkan dalam perjuangan agama yang semestinya suci itu dan perjuangan
science, ilmu yang mestinya objektif tenang itu golongan anti dan pro itu
tiadalah sedikit banyaknya. Sudahlah cukup disebut, bahwa Nabi Isa mengenal
Yudas dan para pendeta Yahudi ialah musuh yang mengirimnya ketiang gantungan.
Nabi Muhammad bermusuh mati-matian dengan Abu Jahil. Lenin pernah dituduh
sebagai spion Jerman oleh musuhnya.
Cuma
lucunya dalam propaganda anti Tan malaka itu mereka yang dikatakan berlawanan
dengan saya itu adalah mereka yang saya sendiri tiada sangka atau percaya
begitu saja akan berlaku begitu. Sdr. Musso yang katanya mengadakan anti
propaganda terhadap saya, lebih kurang 10 tahun sesudah kejadian tahun 1926
itu, belum sampai saya kenal diri. Anehnya Sdr. Musso selalu saya kemukakan di
luar Indonesia, dalam surat di Manila, sebagai salah seorang pahlawan Indonesia
yang berjuang menentang imperialisme Belanda. Alimin adalah tiga kali datang
menjumpai saya di luar negeri, sebagai utusan PKI dan atas anjuran saya
sendiri. Alimin berada di samping saya di Manila ketika putusan mengadakan
revolusi itu dikirimkan kepada saya. Sdr. Aliminlah yang membawa putusan saya
sebagai thesis dan Aliminlah yang menjadi utusan saya.
Mesti
diperingatkan di sini, bahwa di masa itu keduanya Sdr. Alimin dan Musso baru
saja meninggalkan Serikat Islam di bawah pimpinan Almarhum Cokroaminoto dan
Haji Agoes Salim, dan memasuki PKI. Para Komunis lama, yang dianggap tahu
seluk-beluknya PKI seperti Sdr. Semaoen, Darsono, Soebakat dan saya sendiri
berada di luar Indonesia serta Almarhum Soenono mati dalam bui. PKI berada di
bawah pimpinan kebanyakan orang muda atau baru dan kurang pengalaman.
Berhubung
dengan beberapa hal yang bisa menyinggung-nyinggung aksi komunis di luar negeri
dan karena saya sendiri memang tak suka memperdulikan tuduhan yang saya tahu
bohong, tak beralasan dan semata-mata provokasinya musuh, maka selama ini semua
tuduhan itu saya biarkan saja. Saya percaya bahwa sejarah ada di pihak saya.
Dari semua pihak yang saya percayai, saya dengar, bahwa sikap saya pada tahun
1926-27 itu 100% dibenarkan oleh instansi (tingkat) yang tertinggi. Dengan
mereka yang tak tahu seluk-beluknya kedudukan satu Partai Komunis pada satu
negara sebagai seksi, cabang Komintern atau Internasional III, tuduhan yang
berhubungan dengan tahun 1926 itu, selamanya ini saya pikir baik dibiarkan
saja. Apalagi "resminya" Internasional III atau Komintern sudah
dibubarkan pada tahun 1943. Lagi pula selalu saya pikir, bahwa tiadalah rasanya
membikin lebih enak perasaan ratusan teman seperjuangan saya sendiri, yang
hampir 20 tahun menderita sengsara hidup karena akibatnya keributan tahun 1926
itu di Digoel yang sekarang kembali ke tempatnya masing-masing, kalau mereka
insaf, bahwa mereka adalah korban provokasi musuh! Kelak kalau mereka perlu
dibicarakan kembali, hal itu tak ada orang akan lebih bergembira dari pada saya
sendiri. Cuma perkara itu mesti dibicarakan oleh badan yang kompeten, bevoegd,
berhak membicarakannya dan tentulah mestinya satu Hakim Komisi Internasional.
Tetapi
sebab dalam revolusi Indonesia sekarang ini, Agen NICA dan korbannya orang
Indonesia bergiat mengadakan propaganda anti Tan Malaka itu, maka saya perlu
mengemukakan beberapa hal. Bukan sebagai pleidoi, pembebasan yang sempurna,
sebab si penuduh yang sebenarnya, saksi yang sebenarnya tak ada apalagi Hakim
yang berhak, ialah yang ditetapkan oleh Komintern sendiri, melainkan sebagai
petunjuk, suggestion, kepada yang berkepentingan dan bisa berpikir
tenang-saksama. Perkara yang saya anggap intern, perkara dalam, masih terpaksa
ditunda sampai berhadapan dengan Hakim yang sah. Dan rahasia saya itu pastilah
hebat.
Putusan
mengadakan pemberontakan itu diambil oleh 11 wakil PKI pada 25 Desember tahun
1925, di Candi Prambanan, Yogyakarta buat dilakukan pada tanggal 18 bulan Juni
1926. Keributan itu terjadi pada 12/13 November 1926, jadi hampir satu tahun di
belakang putusan Prambanan tadi. Putusan itu didesak oleh ancaman Belanda yang
berniat melarang PKI. Tidak boleh dikatakan semuanya atau sebagian besar para
pemimpin (cabang) diajak berembuk masak-masak lebih dahulu sebelum putusan
diambil.
Buat
memendekan uraian ini putusan itu saya namai saja Putusan Prambanan.
Beberapa
suggestion saya akan kemukakan di bawah ini, ialah:
a.
Perkara Serba-serbi.
Putusan
Prambanan itu saya terima di Manila pada permulaan bulan Maret. Saya diundang
datang ke Singapura! Tetapi bukan buat merundingkan siap apa tidaknya PKI buat
memimpin revolusi pada satu jajahan. Apa corak Politik-Ekonomi yang dituju.
Juga bukan buat merundingkan caranya memimpin pemberontakan pada jajahan
tersebut.
Saya
diundang datang ke Singapura buat pergi ke Moskow bersama Sdr. Musso untuk
meminta bantuan (bantuan lahir semata-mata!) oleh karena putusan semacam itu
saya anggap terlanjur bertentangan dengan aturan Komintern, dan saya sendiri
masih memerlukan perawatan dokter yang istimewa, serta akhirnya Sdr. Alimin
patut cukup dan menyanggupkan pergi ke Singapura sebagai wakil saya buat
sementara waktu maka perjalanan saya ditunda sampai keadaan mengizinkan. Saya
tiba di Singapura pada 6 Mei 1926. tetapi malangnya, barusan saja Sdr. Alimin
dan Musso berangkat ke Moskow. Saya dapati Sdr. Subakat tak diajak berembuk,
thesis dan usul saya tak sampai pada Sdr. Musso dan Sdr. Soegono merasa sama
sekali belum siap untuk memimpin satu pemberontakan. Bahkan Sdr. Soegono
sendiri yang ingin berjumpa dengan saya, Soegono sendiri ketua VSTP yakin, bahwa
mogok umum pun masih susah buat diadakan di masa itu (VSTP kumpulan Spoor dan
tram personel), adalah salah satu kumpulan yang mempunyai sejarah yang paling
tua dan paling gemilang di Indonesia. Kumpulan itu mulanya dipimpin oleh Sosial
Demokrat Belanda seperti Sneevliet, Baars, Dekker, Bergsma dan oleh Sdr.
Semaoen dan Kadarisman. VSTP mempunyai sejarah revolusioner yang gemilang belum
ada taranya tentangan organisasinya di Indonesia kita ini. di bawah pimpinan
lama pernah mempunyai anggota-membayar-kontribusi sampai 17.000, mempunyai
gedung buat kantor, percetakan, propagandis dan surat kabar yang amat rapi
aturannya. Tetapi di bawah pimpinan Soegono tahun 1926 itu, disebabkan sebagian
besar oleh fraksi dan akhirnya karena memang krisis sudah lalu maka anggota
VSTP merosot sampai 4 atau 5.000 (yang aktif saja).
Ditinggalkan
oleh Sdr. Alimin dan Musso, kami (Sdr. Subakat buruan di Singapura, saya dan
Sdr. Jamaludin Tamim yang baru datang dari Jakarta buat menjalankan instruksi
pimpinan PKI) melanjutkan pekerjaan kami.
Kami
berada di Singapura sampai sehabis keributan Bantan dan Silungkang. Sdr. Alimin
dan Musso kembali dari Moskow sehabisnya keributan itulah pula!
b.
Perkara Otoritas Instansi
Pada
tahun 1923, saya oleh Komintern diberi surat kuasa mengawasi pergerakan Komunis
di semua negeri Selatan, Indonesia, Filipina, Birma, Siam, Malaka dan Indo
China. Oleh Provintern dan dengan persetujuan Konferensi Canton, tahun 1924
buat memimpin Secretariaat dan Majalah "The Dawn" untuk kaum pelaut
seluruhnya Pasifik termasuk Hindustan dan Jepang. Saya langsung bertanggung
jawab terhadap Komintern dalam gerakan Komunisme dan terhadap Provintern dalam
gerakan pelaut di tempat tersebut. Tak ada instansi yang lebih rendah berada di
Asia tempat saya bertanya. Ini dijelaskan benar oleh wakil Komintern dan
Provintern kepada saya dimestikan mengambil keputusan sendiri dan bertanggung
jawab sendiri kepada Komintern dan Provintern. Kepercayaan dan tanggung jawab
sebesar itu tentulah mengandung resiko yang besar pula, apalagi terhadap diri
saya sendiri. Banyak pemimpin lain yang lebih tua dan lebih berpengalaman dari
pada saya baik orang Eropa ataupun orang Asia di masa itu. Hal ini tentulah
menguntungkan pula. Tetapi buruk baik pekerjaan sayalah yang menangung langsung
ke Moskow! Kurang pengalaman sendiri mengerjakan pekerjaan internasional di
samping mereka yang lebih berpengalaman memperteguh rasa tanggung jawab
terhadap kedua organisasi dunia tersebut.
Keduanya
Komintern dan Provintern mempunyai Anggaran Dasar tertentu. Aturan bekerja
tertentu, Program tertentu, Taktik-Strategi tertentu yang mesti dicocokkan pula
dengan dua atau tiga Kongres di Moskow di masa lampau dan akhirnya dengan garis
besar yang sudah dirancang oleh Marx-Engels. Mengawasi gerakan Partai Komunis
dan Vakbon di Indonesia, berarti menjaga supaya dijalankannya gerakan itu
jangan menyimpang dari garis besarnya seperti tersebut di atas. Membiarkan
Partai Komunis Indonesia, yang adalah ialah seksi cabang dari Komintern,
menyimpang dari aturan atau dasar Komintern artinya saya sebagai pengawas bisa
dipecat, di-Royeer oleh Komintern. Tanggung jawab saya yang pertama sekali
sebagai wakil dari Komintern tentulah terhadap Komintern sendiri, bukan kepada
PKI. Dalam thesis ke-sekian (49?) yang diterima Kongres ke (3?) di Moskow,
ditetapkan bahwa wakil Komintern itu terhadap seksi mempunyai hak mengusul,
mengkritik, bahkan hak VETO (melarang sesuatu putusan).
Nah!
Sekarang memutuskan membikin revolusi enam bulan di waktu depan itu oleh
beberapa pemimpin saja, oleh satu Partai Komunis sebagai seksi Komintern di
tempat terpenting di dunia ini, ialah Indonesia saya anggap bertentangan dengan
kekuasaan (autoritiet) PKI sebagai seksi dari Komintern. Pertama sekali saya
pikir bahwa hal penting yang mengenai seluruh dunia itu mesti diputuskan di
Moskow bersama Partai Komunis lainnya. Di Moskowlah mestinya bersama-sama
diperiksa apakah organisasi, class struggle (dalam organisasi), kesiapan
anggota PKI dalam hal Komunisme dan percobaan klas, serta kesiapan partai
Komunis lain buat menyambut dan membantu revolusi Indonesia di bawah pimpinan
PKI itu semuanya sudah siap sedia. Perkara senjata adalah barang tersambil, tak
mengenai dasar serta organisasi dan taktik-strategi gerakan komunisme. Senjata
itu memang boleh dicari ke semua tempat dan di segenap tempo. Tetapi senjata
komunis yang sebenarnya ialah rancangan politik, organisasi, semboyan dan
propaganda-agitasi. Senjata yang dipegang oleh balatentara imperialisme Belanda
itu dalam keadaan yang sungguh revolusioner mudah direbut dengan lidah, pena
dan tangan dan bambu-runcing. Bacalah "Semangat Muda" tentang hal
senjata itu. Sekarang nyata kebenarannya!
Seandainya
pemberontakan Indonesia akan "diterbitkan" dan dipimpin oleh satu
partai nasionalis atau ke-islaman, maka PKI sebagai seksi Komintern sudah tentu
tak perlu bertanggung jawab terhadap Komintern. Tetapi dalam hal ini PKI bisa
juga membantu dengan langsung atau tak langsung dengan tiada perlu langsung
bertanggung jawab terhadap Komintern.
Maka
berhubung dengan kedudukan PKI sebagai seksi cabang dan kedudukan saya sendiri
sebagai wakil Komintern maka saya yakin betul, bahwa saya wajib mengambil sikap
yang tepat-cepat. Tetapi sikap itu tiadalah sampai menjatuhkan Veto, ialah hak
melarang. Melainkan mengusulkan, supaya lebih dahulu sebelum pergi ke Moskow,
meminta bantuan itu, kita mengadakan konferensi di Singapura, yang diwakili
oleh semua cabang yang penting. Di sana akan dibicarakan, sikap dan aksi apakah
yang pantas diadakan buat menyambut larangan terhadap PKI. Sikap dan aksi itu
mesti revolusioner, tetapi mesti cocok dengan kekuatan diri sendiri yang ada
dan tersembunyi dan cocok pula dengan kekuatan musuh yang ada dan tersembunyi.
(Lihatlah Menuju Republik Indonesia, Semangat Muda, dan Aksi di Indonesia yang
ditulis di masa itu). Larangan Belanda semacam itu tak boleh menyebabkan putus
asa atau mata gelap seorang Marxist, Leninist.
Sekali-kali
tak boleh memberi kesempatan pada percobaan provokasi musuh. Partai Komunis
Jerman dll, negeri Barat, bahkan Rusia sendiri sering berhadapan dengan
larangan ini dan itu. Tetapi tiada perlu satu larangan itu dibalas dengan
pemberontakan.
Berapa
kali Partai Komunis Jerman atau Rusia terpaksa lari bekerja ke bawah tanah,
sampai tempo dan tempatnya buat keluar dan menyerang datang. Itulah yang
dinamai elastis dalam gerakan komunis. Organisasi, taktik-strategi mesti
dicocokkan dengan pekerjaan terbuka atau tertutup. Kalau perlu maka HQ (Pusat
Pimpinan) bisa dipindahkan buat sementara tempo ke lain tempat. Saya mengusul
supaya di Singapura diadakan reserve HQ.
Jadi
bukan maksud, sikap dan aksi saya pada tahun 1926, buat melarang aksi
revolusioner, melainkan menarik kembali sikap dan tindakan yang saya rasa tidak
tepat (Putusan Prambanan) ke sikap dan tindakan yang tepat ialah cocok dengan
dasar komunisme dan Putusan Kongres yang sudah diambil beberapa kali di Moskow,
dan cocok dengan otoritas Komintern dalam gerakan yang mengenai dunia
Internasional.
Tetapi
sebelumnya pergerakan PKI di bawah kembali ke jalan komunisme (pengunduran
teratur) haruslah lebih dahulu dicabut kembali Putusan Prambanan yang saya
anggap bukannya kekuasaan otoritas PKI sebagai seksi cabang Komintern,
semata-mata.
Pencabutan
Putusan Prambanan itulah langkah pertama. Langkah kedua ialah menentukan sikap
yang komunistis, berdasarkan Massa Aksi dengan tuntutan yang nyata-dirasa, yang
kalau kekuatan, keadaan organisasi mengizinkan, naik terus sampai dengan
revolusi nasional dan sosial. Sebelum Putusan Prambanan itu dicabut, maka
kekacauan sajalah yang akan menimpa pergerakan revolusioner Indonesia.
Sebagai
wakil Komintern saya anggap saya berhak dan wajib mengusulkan cabut-kembali,
Putusan Prambanan, karena putusan itu tiada diambil dengan persetujuan, bahkan
tiada dengan pengetahuan Komintern ataupun wakilnya lebih dahulu. Putusan
Prambanan tiada dicabut kembali. Akibatnya aksi yang dilakukan oleh PKI menurut
Putusan Prambanan dengan tiada persetujuan lebih dahulu dari Komintern, ialah
instansi yang saya anggap perlu diberitahukan lebih dahulu dalam perkara
sepenting itu, saya tolak seluruhnya kalau ditimpakan kepada saya.
Kewajiban
saya buat mengusulkan mencabut kembali putusan yang tiada sah itu sudah saya
jalankan. Juga cukup usul dari pihak saya dan teman seperjuangan seperti
Subakat dll. di luar dan di dalam Indonesia. Buat membawa kembali PKI ke jalan
Massa-Aksi dan komunisme. Dalam hal ini saya rasa saya cuma menjalankan
kewajiban dan tanggung jawab saya terhadap Rakyat Indonesia, PKI, dan
Komintern. Mungkin ada yang berkhianat kepada PKI ataupun Komintern, atau
dengan sadar atau tidak menjerumuskan Rakyat Indonesia dan PKI ke jurusan
malapetaka. Saya katakan sekali lagi mungkin; saya tak tahu orangnya. Tetapi
saya sanggup mempertahankan sikap saya di hadapan mahkamah Revolusioner
Internasional yang sah, di tempat dan tempo manapun juga di hari depan.
c.
Perkara Cooperasi (kerja bersama) Internasional
Kaum
buruh sedunia bersatulah!
Inilah
seruan Manifesto Komunis lebih kurang 100 tahun lampau. Komintern adalah Badan
Proletar revolusioner sedunia yang menjadi pelaksana seruan kaum buruh di bawah
pimpinan Marx dan Enges tadi. PKI sebagai Seksi Komintern wajib menterjemahkan
dan melaksanakan persatuan itu dalam suasana Indonesia dan dunia sekitarnya
pada tahun 1926.
Adakah
pimpinan PKI cukup memperhatikan hal itu?
Seandainya
PKI belum menggabungkan diri dalam sesuatu badan Internasional sebagai Partai
Komunis, sepatutnyalah dia lebih dahulu menduga keadaan di dalam dan di luar
Indonesia kalau mengambil satu tindakan! Cara berpikir ialah Materialisme
Dialektis. Menurut filsafatnya Materialisme Dialektis maka kodrat revolusioner
dari masa murba itu turun naik dengan turun dan naiknya keadaan ekonomi. Di
waktu krisis hebat memuncak, maka hebat memuncaklah pula keinsyafan, perasaan
serta kemajuan kaum proletariat. Di masa ini mungkin kapitalis Internasional
bercakar-cakar, pecah belah atau bermusuhan dan kekuatan proletariat dalam dan
luar negeri lebih mudah dipersatukan. Inilah masanya buat proletariat sesuatu
negeri buat mengadakan menurut kekuatan dalam dan luar!
Sebaliknya
di masa Hoch Konjuktur, di masa makmur, di masa produksi memuncak, di masa
hampir semua kaum buruh mendapat pekerjaan, maka kendorlah keinsyafan, perasaan
dan kemauan revolusioner itu di golongan proletariat sendiri kecuali pada
sebagian kecil, ialah golongan pelopornya. Di masa semacam ini kapitalis
Internasional sedang membagi-bagi untungnya dan proletariat di dalam dan di
luar negeri lebih susah dipersatukan dan dikerahkan buat menyerang musuh
bersama secara revolusioner. Bukahlah di masa makmur itu saat yang paling baik
buat mengadakan serangan revolusioner terhadap kapitalisme. Aksi menambah gaji
memanglah baik buat dijalankan. Tetapi semua aksi revolusioner biasanya kandas,
karena kelemahan nafsu berkorban.
Bagaimanakah
keadaan nasional dan internasional pada tahun 1926.
Kita
ketahui bahwa krisis hebat mengamuk pada tahun 1918 sampai 1922. Pada tahun
1926 itu roda ekonomi sedang berputar menuju ke puncak kemakmuran. Tahun 1929
krisis mengamuk kembali di seluruh dunia. Hal ini tidak diharapkan pada tahun
1917-1922, tetapi hal ini benar terjadi. Hal ini di Rusia dirasa amat penting
sekali. Berhubung dengan hal ini apakah revolusi dunia mesti didorong ataukah
Rusia baik membelok dahulu ke perusahaan membangun. Inilah pertanyaan yang
timbul dalam kepala tiap-tiap komunis di mana-mana terutama di Rusia. Mendorong
revolusi dunia artinya mempersulit kedudukan Rusia di dunia Internasional dan
membangunkan kembali semangat kapital dunia memblokir dan menyerang Soviet
Rusia. Beginilah paham satu pihak di masa ini. kita masih ingat bagaimana
"Surat Zinoviev" dipakai oleh kaum reaksioner Inggris buat memukul
kaum kiri dalam pemilihan umum di Inggris. Pada masa itu Zinoviev, yang katanya
mengirimkan surat pada kaum buruh Inggris, adalah ketua Komintern. Sekarang
nyata pada kita, bahwa Partai Komunis Rusia tiada mengambil tindakan yang
disangsikan hasilnya. Rusia membelok menukar ke lapangan membangun, ialah
menjalankan Rencana Ekonomi 5 tahun. Ini dijalankan dengan jaya. Rencana
Ekonomi 5 tahun sudah tentu membutuhkan damai buat pertukaran barang dengan
dunia kapitalis. Rusia menjual minyak dan gandum dan membeli mesin dari negara
kapitalis. Tuduhan dunia kapitalis bahwa Komintern adalah alat pemerintah Rusia
selalu dijawab: bahwa Komintern adalah satu Badan yang terpisah dari Pemerintah
Soviet Rusia.
Adakah
PKI memperhatikan keadaan Internasional di masa itu?
Saya
tak mendengar hal itu diperundingkan di rapat manapun juga. Juga tiada dikaji
masak-masak ataupun diperundingkan keadaan ekonomi di dalam negeri. Sudah
diketahui sekarang bahwa hampir semua pabrik gula pada tahun 1926 dibuka
kembali. Kebon getah, teh, kopi, kina, palm-olie (minyak sawit), tembakau dll,
serta tambang emas, intan, timah dan minyak sedang asyik bekerja mengeluarkan
hasil bertimbun-timbun. Kereta dan kapal sedang giat mengangkut hasil kapitalis
melimpah-limpah. Sebagian besar proletariat tanah dan mesin bisa bekerja dengan
upah yang menghidupkan mereka sebagai kuli. Bukanlah pada masa ini memuncaknya
keinsyafan, perasaan dan kemauan proletariat buat diorganisir dan dikerahkan
menyerang kapitalisme Belanda yang pada saat itu tentulah siap buat dibantu
oleh kapital Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat di sekitar dunia.
Saya
selalu mendapat laporan dari PKI di masa ini! Almarhum Aliarcham, ketua PKI
selambat-lambatnya seminggu sekali melaporkan aktivitasnya, usahanya partai di
mana saja saya berada. Demikian pula saudara Sekretaris Partai di masa itu.
Tetapi sebelumnya surat Putusan Prambanan itu dikirimkan kepada saya, tiadalah
ada satu patah katapun diarahkan kepada perundingan buat memeriksa kemungkinan
sesuatu percobaan revolusi langsung di bawah bendera PKI sebagai seksi
Komintern. Tiba-tiba saya menerima Putusan Prambanan dan undangan ke Moskow
buat meminta bantuan. Malangnya pula beberapa hari sebelumnya saya menerima
surat "undangan" itu saya menerima surat bahwa Almarhum Aliarcham
sudah ditangkap dan dibuang.
Almarhum
Aliarcham di masa itu baru sedikit umurnya di atas 20 tahun. Dia ingin keluar
berjumpa dengan saya. Laporannya kepada saya membuktikan kecerdasan dan
semangat revolusioner yang menyala-nyala. Bukti pula menyatakan, bahwa sikap
komunis ada padanya, ialah berani mengakui kesalahan dan ikhlas pula mencabut
kembali langkah yang sudah terlanjur. Kehilangan Aliarcham buat partai seperti
juga kehilangan komunis-lama, seperti Soegono, di masa itu dan sekarang pun
saya anggap satu kehilangan yang sungguh merugikan.
Ringkasnya
kemungkinan jaya atau gagalnya satu revolusi yang langsung dipimpin PKI yang
sudah tentu membawa pusatnya ialah Komintern, tiadalah diperundingkan dengan
para teman yang berkepentingan. Akibatnya aksi PKI sebagai cabang Komintern,
yang tentu akan membawa-bawa Rusia pula tiada diperundingkan. Juga tiada
perundingan bagaimana dan berapa jauhnya kaum revolusioner di Filipina, Annam
dll. dan partai komunis di Amerika, Perancis, dan Inggris bisa memberi bantuan.
Kalau hal ini diperundingkan di Moskow lebih dahulu, sudahlah pasti putusan
seperti di Prambanan tak akan berlaku ataupun timbul.
Semua
uraian kita di atas tiada berarti bahwa gerakan revolusioner bahkan revolusi
pun umpamanya revolusi yang bersifat anti-imperialsme untuk nasional tidak
mungkin. Ini memangnya mungkin. Saya sendiri selalu memajukan kemungkinan itu
baik di Moskow ataupun di Asia ini. tetapi program, organisasi, taktik-strategi
serta semboyan pun mesti dicocokkan dengan keadaan dan kekuatan yang nyata atau
tersembunyi baik di dalam maupun di luar negeri Indonesia.
d.
Perkara Organisasi
Banyak
pekara yang berhubungan dengan organisasi yang sudah saya uraikan dalam tiga BROSUR
terdahulu di sekitarnya tahun 1926 itu. Uraian itu tak perlu diulang lagi.
Saya
pikir, bahwa organisasi PKI tahun 1926 masih banyak mengandung kekurangan. Maka
kekurangan itu banyak pula mempengaruhi PKI terdorong ke jurusan PUTCH, ialah
aksi bersandarkan semata-mata senjata kemiliteran. Bukannya bersandar pada
Massa-Aksi yang bersandar pada murba yang bergerak terus menerus disebabkan
terutama oleh keadaan politik-ekonomi, menuju kepada tuntutan yang berjiwa hak
politik-ekonomi pula.
Apakah
motive-force, kodrat penggeraknya sesuatu partai komunis?
Hasrat
sesuatu Partai Komunis, ialah mengubah masyarakat yang berdasarkan produksi
kapitalis, ialah penghasilan dengan cara memeras (exploitation) tenaga buruh,
untuk, dua tiga lusin kapitalis, melalui jalan Massa-Aksi-Teratur, menjadi
masyarakat sosialis, pada tingkat permulaan, yakni mengadakan hasil secara
rasional (terkendali) buat seluruhnya masyarakat yang kerja menuju ke
masyarakat komunis. Di dunia sosialis isepan (exploitation) itu dilenyapkan. Di
dunia Komunis, maka Staat,
Negara sebagai alat penindas kaum buruh lenyaplah pula.
Golongan
apakah yang lebih pantas lagi dalam masyarakat buat menjalankan perubahan
masyarakat kapitalis itu menjadi masyarakat sosialis (nanti Komunis) selainnya
dari pada golongan yang sehari-hari diisap dan ditindas dalam pekerjaannya
dalam semua perusahaan kapitalis? Dalam perusahaan kapitalis, yang menghasilkan
besar-besaran dengan alat mesin modern dan administrasi secara modern pulalah
terdapat proletariat modern. Di sinilah proletariat diikatkan pada mesin
modern, diorganisir dan di-disiplin secara modern, scientific menurut ilmu.
Di
dalam perusahaan modern inilah sesuatu partai komunis harusnya mencari calon
buat motive-force, kodrat-penggerak revolusi sosial. Tingkat pertama yang
baiknya ditempuh oleh pekerja-murba dalam dunia organisasi ialah serikat buruh.
Sebagian (tak semuanya) pekerja yang insyaf akan keadaan hidupnya mempersatukan
diri buat maksud yang pertama ialah memperbaiki nasib hidupnya (tambahan gaji,
kekurangan lama kerja, hak mogok dll). Dari serikat buruh sebagai organisasi
buruh tingkat pertama inilah partai komunis seharusnya mencari calon buat
anggotanya. Dari anggota serikat buruh-lah disaring para anggota partai
komunis, yakni pelopor, kodrat-penggerak, motive-force dalam revolusi sosial.
Tak pula perlu banyak asal saja cerdas, jujur, aktif dan bisa memimpin atau
mempengaruhi seluruh serikat buruh tadi.
Syahdan
dalam gerakan Rakyat berperang, maka kita lihat pertama kader-opsir, yang
memimpin tentara tetap. Di sekitarnya tentara tetap di bawah pimpinan
kader-opsir, itu kita lihat reserve dan seluruh rakyat.
Tak
berapa bedanya dengan itu maka kita wujudkan dalam gerakan revolusi sosial
partai komunis sebagai kader opsir yang memimpin serikat buruh. serikat buruh
itu seolah-olah tentara tetapdi atas tadi. Di sekitarnya serikat buruh, yang
memimpin oleh partai komunis kita lihat pekerja seluruhnya dan Rakyat lainnya.
Memang
para saudagar kecil bangsa Indonesia terdesak oleh saudagar asing. Majikan
perusahaan kecil Indonesia (perusahaan batik umpamanya) terdesak majikan
perusahaan asing. Semuanya pedagang kecil, tukang warung kecil, sampai penjual
sate dan gado-gado, disampingnya warga-kota yang kecil seperti juru-tulis,
tukang, intelligensia-miskin, yang semuanya kita namai saja warga-miskin,
terdesak sungguh oleh kapital asing. Tetapi tiada langsung terdesaknya. Mereka
berada di luar kebun, tambang, pabrik, kereta, dan perkapalan asing. Mereka
tiada diikat oleh mesin, administrasi, organisasi dan disiplin-nya kapital
asing dalam satu perusahaan asing. Sebab itulah, maka tak tepat kalau mereka
dijadikan motive-force dalam gerakan komunis. Setengah atau satu lusin di
antara mereka yang cerdas, jujur, dan berani yang terikat oleh filsafat
materialisme dialektis dan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat tentulah
patut diterima di dalam partai komunis. Tetapi umumnya mereka warga-miskin ini
berhasrat dan berfilsafat hidup yang berlainan dari pada proletariat modern.
Memasukkan mereka terlampau banyak ke dalam partai komunis niscaya akan
memperlemah dasar tujuan partai komunis. Mayoritas, lebih dari setengahnya
banyak warga kecil dalam partai komunis mudah membelokkan partai komunis ke
lapangan anarkisme atau oportunisme, putsch atau kontra-revolusi. Mayoritas sebagian
besar dari pada anggota sesuatu partai komunis buat menjaga kesehatannya partai
itu harus terdiri dari proletariat industri. Para pekerja industri beratlah
yang sepatutnya mendapat perhatian pertama buat dijadikan anggota partai
komunis.
Sebermula,
maka harus diinsafkan lebih dahulu, oleh para pemimpin Komunis Indonesia, bahwa
Indonesia ini (pada tahun 1926 itu!) adalah satu jajahan. Kapitalisme di sini
ialah kapitalisme penjajahan dan penjajah yang amat terbelakang pula dalam
per-industrian berat di negaranya sendiri Belanda! Perusahaan Indonesia
sebagian besar terdiri dari perusahaan bahan, seperti getah, timah, dan kina,
perusahaan barang mewah seperti teh, gula, kopi, tembakau. Memang ada
perusahaan penting (vital) seperti minyak bumi dan arang, di samping
pengangkutan modern, seperti perkongsian kereta api dan perkapalan. Tetapi
perindustrian berat seperti tambang besi, perusahaan baja dan mesin, perusahaan
barang kimia dan listrik dan akhirnya industri mesin bikin mesin, atau industri
induk, belum lagi muncul sama sekali, walaupun bahan serta tenaga melimpah di
kepulauan Indonesia ini. Lantaran semangat ahli-keju dan tukang warung serta
kedudukan perekonomian sebagai jongos Inggris, maka pikiran dan perhatian
Belanda tak sampai dan tak mungkin sampai kepada industri induk tadi.
Indonesia
belum sampai ke tingkat perindustrian berat dan baru berada pada pemulaan
industri enteng, seperti perusahaan kain, kertas, tinta dan pena. Tetapi
perkebunan, pertambangan, pengangkutan serta perdagangan sudah dijalankan
secara modern sekali dan mempunyai sifat internasional. Pada perusahaan yang
sudah sampai ke tingkat tertinggi dalam perusahaan yang adalah seharusnya PKI
memperedarkan matanya. Kepada perusahaan yang paling modern mesinnya, yang
paling up-to-date (baru) administrasinya, yang paling penting hasilnya buat
dalam dan luar Indonesia dan akhirnya kepada buruh yang paling banyak terpusat,
paling tersusun terdisiplin, jadinya mereka yang paling merasa pula isepan dan
tindasannyalah perhatian dan usaha yang pertama seharusnya ditujukan.
Dengan
jalan terbuka kalau bisa dan jalan tertutup kalau terpaksa, PKI seharusnya
memusatkan semua perhatian usaha dan tenaganya terutama sekali kepada buruh
minyak di Cepu, Wonokromo, Palembang, Deli, Balikpapan dan Tarakan. Di sinilah
terkumpulnya 120.000 atau mungkin lebih proletariat tulen-modern-produktif,
menghasilkan barang penting buat dunia seharusnya. Di sini PKI baru boleh
dikatakan mendapat kemenangan tentangan pengaruh dan organisasi kalau bisa
mengikat separuh atau lebih proletariat otak dan tangan. Setelah serikat buruh
tertanam di semua sumber minyak tersebut, dan setelah mendapatkan cukup calon
buat didik dan disiplin oleh PKI sebagai para anggotanya, barulah bisa PKI
berkata, bahwa dia sudah mempunyai pimpinan atas proletariat minyak. Kalau
kelak bendera PKI cabang Komintern dikibarkan di atas tambang dan pabrik minyak
tersebut, dan kapitalis Belanda-Inggris dan Amerika mengirimkan kapal perang
dan pesawat udaranya buat membela "harta bendanya" di semua tempat tersebut
dan pasti akan dibelanya maka barulah boleh dikatakan ada jaminan, bahwa
revolusi sosial (termasuk nasional) di sana akan dibela, mati-matian secara
Komunis, cocok dengan Organisasi Program, Taktik-Strategi-nya, Otoritas dan
Namanya Komintern.
Sepadan
dengan kepentingan perusahaan minyak tanah, maka perusahaan lain-lainnya pun
mesti mendapat perhatian sepenuhnya pula. Perusahaan itu ialah perusahaan besi
dan bengkel seperti Bengkel Manggari di Jakarta, ACW di Bandung, Braat dan
Nagel & Co di Surabaya, 180 atau kurang pabrik gula di Jawa, tambang arang
di Sawah Lunto (+ 40.000 buruh kontrak dan rantai!) tambang timah di
Bangka dan Belitung, tambang emas di Bengkulu dan Minangkabau. Haruslah pula
dimasuki ratusan kebun modern dan pabrik kecil-kecil di mana-mana. Setelah
proletariat yang menghasilkan barang ini tersusun dalam serikat buruh dan
saringannya dilatih, diuji dan akhirnya diterima sebagai anggota aktif dalam
PKI maka dijalankan pula atau disampingkan pula pekerjaan dalam perusahaan
kereta-api, perkapalan, kantor, sekolah dan polisi serta tentara.
Patut
diperingatkan di sini bahwa bukannya Serikat Rakyat yang mestinya dijadikan
onderbouw, ialah lantai bawahnya PKI, melainkan serikat buruh, menurut
kepentingan buruhnya dalam dunia perekonomian. Sebaliknya tidak pula Serikat
Rakyat mesti dimatikan otomatis, menurut salah satu putusan Kongres PKI di
Yogya, Desember 1924! Ini juga bertentangan dengan putusan Komintern pada
ketika saya berada di Asia. Saya sendiri tidak mengetahui putusan mematikan Serikat
Rakyat, sebelumnya saya mengetahui putusan Komintern tadi. Menurut pikiran saya
Serikat Rakyat berhak dan patut berdiri di samping PKI dan di bawah pimpinan
semangat (spiritual leadership) PKI seperti mudah dimaklumi warga-miskin adalah
hasil imperialisme dan kapitalisme juga, dan bermusuhan terus dengan kapital
imperialis sebelumnya Negara Nasional Indonesia didirikan. Memang semangat
ke-revolusioneran-nya turun naik menurut kemakmuran dan krisis ekonomi di
Indonesia: turun semangat memberontak sebagai golongan dalam waktu kemakmuran,
dan naik di waktu krisis. Ini adalah hal biasa! Juga terjadi di antara golongan
proletariat.
Dari
Almarhum Aliarcham sendiri saya menerima laporan tentang mematikan (sendirinya)
Serikat Rakyat. Saya tentu tidak setuju, Saya sedang berkirim-kiriman surat
(dari Manila) membereskan persoalan Serikat Rakyat itu. Tetapi malangnya pula
Sdr. Aliarcham ditangkap dan dibuang.
Di
Moskow laporan saya tentang banyak anggota PKI pada tahun 1922 selalu mendapat
gangguan saja kiri kanan "Bagaimana" tanya para komunis dari beberapa
negara dari yang muda remaja sampai beruban, bagaimana bisa 40.000 banyaknya
anggota PKI. Sedangkan Amerika di masa itu baru mempunyai 2 atau 3000. Tiongkok
paling banyak 100 orang dan Hindustan cuma beberapa lusin saja? Apakah industri
yang ada di Ternate, yang beruntung mempunyai 1.300 anggota yang aktif dan taat
itu tanya mereka itu pula.
Dari
salah satu buku statistik (Yaarboek?) di Balai Pembacaan Jakarta kita bisa baca
berapa orang di antara mereka revolusioner di Digul yang boleh dinamai
proletariat yang dimaksudkan di Moskow dan dunia Barat. Kalau saya tak silap
cuma beberapa orang saja. Sebagian besar adalah pedagang kecil dan guru sekolah
dasar atau langgar.
Kaum
pemberontak di Silungkang anggota PKI terdiri dari para saudagar yang masuk
golongan kaya buat perdagangan Indonesia, seperti para saudagar di Lawean
(solo), di Kota Gede (Yogyakarta) dan di Kudus. Di samping Silungkang terdapat
tambang arang Sawah-Lunto, perusahaan terbesar buat seluruhnya Indonesia,
dengan + 40.000 buruh tambang yang paling terhina, terperas dan
tertindas. Tetapi PKI belum lagi bisa mengatasi kesulitan mengorganisir buruh
tambang itu. Asistent Residen di sana daya memperkosa percobaan mendirikan
serikat buruh.
Para
pemberontak Silungkang tentulah tiada memakai materialiasme dialektis sebagai
obor pergerakan melainkan dalam hakekatnya perasaan kebangsaan. Tiadalah
mementingkan murba dan massa aksi melainkan keberanian dan senjata. Tiadalah
pula mementingkan tuntutan politik-ekonomi yang nyata melainkan kebencian pada
pemerintah asing dan kapitalisme asing.
Para
pemberontak Banten pula menjadi anggota PKI tentulah pula dalam filsafat hidup
dan perjuangannya tiada berdasarkan Materialisme Dialektis, melainkan keteguhan
kepercayaan pada Allah. Tiadalah mementingkan murba dan massa aksi teratur
melainkan iman dan ketabahan, bahkan tak memperdulikan senjata
"lahir" sama sekali atau taktik strategi berjuang sama sekali.
Bukanlah tuntutan Politik-Ekonomi yang nyata yang dituju, melainkan Masyarakat
berdasarkan ke Islaman.
Tak
kurang memang tak perlu kurang artinya kaum saudagar dan kaum Islam dalam
masyarakat kita. Tak pula mestinya kurang kejujuran, keberanian dan ketabahan
mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Tetapi pencaharian hidup yang berlain-lain
yang menimbulkan wujud, muslihat dan minat berjuang berlain-lain pula.
Berhubungan dengan hal ini sepatutnyalah para saudagar, alim-ulama dan umat
Islam umumnya mempunyai Partai istimewa yang bergandengan tangan dengan Partai
Komunis, dalam satu gabungan Nasional.
Pikiran
saya, bahwa dalam Partai Komunis terlampau banyak beranggota non-proletariat
dan terlampau sedikit proletariat (mesin) dan mungkin belum lagi 1% kaum
proletariat mesin dan tanah, pabrik, tambang dan kebun yang jumlahnya barang
kali lebih kurang 3.000.000 di masa itu masuk ke dalam serikat buruh, amat
disetujui oleh Almarhum Aliarcham.
Sdr.
Aliarcham memasuki pabrik gula di daerah Surabaya. Menurut laporannya terakhir
sudah mempunyai serikat buruh beranggota 200.000 orang. Tetapi ini berarti
memasuki sarang macan. Laporan inilah yang terakhir saya terima dari Sdr.
Aliarcham. Ditangkap dan dibuang. Semuanya menunjukkan bahwa PKI tidak
mempunyai kader yang proletaris tulen. Belum mempunyai reserve ialah serikat
buruh yang mengikat, umpamanya setengah saja dari proletariat mesin dan tanah.
Dengan begitu maka PKI mudah akan terdorong oleh non-proletariat kelaparan
putsch.
e.
Saat menerkam dan kesimpulan
Dalam
"Naar de Republik Indonesia" (1924) dan Massa Aksi (1926) sudah luas
dalam saya uraikan siasat massa aksi. Di sini cuma sedikit tambahan saja akan
disampaikan.
Baik
dalam perjuangan dua orang jago silat ataupun dua tim sepak bola, apalagi dalam
peperangan negara dan negara maka saat bila akan menerkam itu amat penting sekali
buat diperhatikan.
Saat
itu pada instansi, tingkat terakhirnya, ialah ketika kita mempunyai kekuatan
sebesar-besarnya dan musuh sekecil-kecilnya. Pada saat itulah bisa dilakukan
pukulan terakhir (strategic-blow).
Maksud
pukulan terakhir itu ialah dengan cepat, sekonyong-konyong dan dengan kekuatan
sebesar-besarnya menerkam rantai terlemah tentara musuh dengan maksud
memutuskan rantai organisasinya serta akhirnya menghancur-leburkan seluruhnya
tentara musuh itu.
Saat
menerkam itu teramat penting pula dalam perjuangan revolusioner berdasarkan
massa-aksi-teratur. Pukulan terakhir itulah pula yang diwujudkan oleh massa
aksi teratur itu.
Tetapi
ada banyak perbedaan antara tentara perang dengan tentara revolusi. Yang paling
mencolok mata di antara perbedaan yang banyak itu ialah: Pertama, Tentara
Perang itu sudah lebih dahulu bisa dihitung banyak prajuritnya, baikpun kader,
Tentara tetap atau reservenya. Tetapi tentara revolusi itu tak bisa ditetapkan
Partai, Serikat buruh dan lain-lain kumpulan serta rakyat revolusioner yang
akan membantu dengan pasti. Kedua, bahwa latihan tentara perang sudah bisa
dilakukan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya di waktu damai. Latihan partai,
serikat buruh dan kumpulan Rakyat tiadalah bisa dilatih betul kalau tidak ada
krisis ekonomi atau politik. Ketiga, senjata tentara perang sesuatu negara bisa
ditentukan lebih dahulu, baik di waktu damai ataupun tambahnya di waktu perang
dengan jalan membeli atau membikin sendiri. Tetapi tentara revolusi sudahlah
tentu tentaranya golongan orang miskin, pastilah pula amat sedikit di waktu
damai, tetapi mungkin amat banyak di musim reovlusi (contoh revolusi Perancis,
Rusia dan Indonesia sekarang).
Baik
perkara banyak orang (massa), latihan berjuang ataupun persenjataan satu
golongan pemberontak, boleh dikatakan sama sekali tergantung pada psychology ,
ialah jiwanya Rakyat murba pada sesuatu negara.
Menurut
filsafat berdasarkan Materialisme, kebendaan, maka jiwa murba tadi
terombang-ambing lantaran keadaan lahir, kebendaan, ialah susah mudahnya mendapatkan
makanan, pakaian, perumahan dll. Dalam dunia kapitaisme keadan lahir ini
berpusat pada susah-mudahnya mendapatkan pekerjaan ialah jalan mendapatkan
upah, ialah jalan pula mendapatkan makanan, pakaian dan perumahan tadi. Di
musim rodanya kapitalisme berputar lancar, mudahlah mendapatkan benda, matter,
keperluan hidup itu. Karena mudahnya itu, maka yang revolusioner-pun bisa
menjadi lembek, lena, lalai. Di musim rodanya kapitalisme berhenti berputar,
atau krisis susahlah atau mustahillah mendapatkan benda tadi buat keperluan
hidup. Sesabar-sabar dan sealimnya orang dia bisa menjadi mata gelap, merasa
sendiri dan melihat anak istri kelaparan, bertelanjang dan bergelandangan di
hujan panas. Kaum berpikir bisa menjadi revolusioner di masa krisis seperti
itu.
Menurut
filsafat Materialisme yang bersandar pada Dialektisme, pertentangan, maka
pikiran revolusioner itu melantun (terugkaatsenrebound) kembali kepada MATTER,
kebendaan, seperti penghidupan, produksi-distribusi, akhirnya kepada negara dan
produksi-distribusi (ekonomi) lama dan membangunkan yang baru. Jiwa semacam ini
dinamai revolusioner.
Ringkasnya
di musim krisislah bisa diharapkan tentara revolusioner yang besar,
giat-berlatih secara massa-aksi seperti mogok-demonstrasi yang mempunyai maksud
yang pasti-terbatas disertai oleh tuntutan pasti-terbatas pula (clear-cut-aim).
Dalam latihan itu kelak bisa ternyata berapa jauhnya murba yang beraksi itu
bisa dipimpin dengan selamat, ialah supaya pengorbanan bisa sekecil-kecilnya
dan hasil yang diperoleh adalah sebesar-besarnya. Kalau krisis memangnya
mendalam, berhubungan dengan itu jiwa Rakyat memangnya positive revolusioner,
maka jiwa Rakyat Murba Indonesia yang menyala-nyala itu pastilah akan
menjilat-jilat benteng pertahanan imperialisme Belanda, dan memasuki
sanubarinya serdadu yang bersenjata dalam benteng itu. Senjata yang disimpan
oleh serdadu yang berdiam dalam benteng Cimahi, Magelang, dan Bandung itu, akan
dikembalikan kepada Rakyat revolusioner buat diganti menjadi prajurit
revolusioner dari penjual kepala bertukar menjadi pahlawan revolusi.
Bila
saatnya menerkam, sampai bila pukulan terakhir bisa dijatuhkan dan saatnya
benteng imperialisme Belanda menyerah bulat-bulat dengan serdadu dan senjatanya
tergantung pada beberapa faktor:
a.
Keadaan ekonomi (ada tidaknya krisis).
Di
atas tadi sudah diterangkan bahwa tahun 1926, ialah musim (cyclus) naiknya
kapitalisme dunia (Hoch-Konjucktur). Getah, minyak, timah, emas, intan, gula,
kopi, teh, kina dll laku lagi. Kaum buruh sebagian besar terisap lagi oleh
perusahaan pabrik, tambang, kabun dan pengangkutan. Semangat revolusioner buat
seluruhnya Rakyat terpukul oleh kemakmuran sementara itu. Dibanding dengan
tahun 1945, sesudah perang dunia 5 ½ tahun dan Rakyat Indonesia diisap,
dirampoki mesin, emas-intan-berlian, padi dan gadisnya: ditindas, ditampar dan
dibunuh serdadu perampoknya Tenno Haika, maka kemakmuran dan ketentaraman tahun
1926 kalau dibandingkan dengan kemakmuran dan ketentraman tahun 1946 adalah
benar-benar seperti perbedaan bumi dengan langit. Jiwa Rakyat (semangat
revolusioner) perbandingannya cocok dengan perbandingan keadaan lahir itu.
Walaupun
demikian dalam tulisan saya (Naar de Repulik Indonesia, Massa-Aksi dan Semangat
Muda) saya akui penuh keadaan dan semangat revolusioner di Indonesia. Lebih
revolusioner daripada di beberapa negara lain karena seperti saya tulis dalam
"Naar de Republik Indonesia" di Indonesia seluruhnya Rakyat tak akan
kehilngan apa-apa dalam revolusi, kecuali belenggunya. Lantaran di Indonesia
lemah sekali kaum tengah yang bisa menghambat gelombang revolusi Indonesia,
kalau betul-betul murbanya bersatu dan berdisiplin menuju ke satu program yang
sesuai dengan kekuatan dirinya sendiri.
b.
Partai berdisiplin.
Partai
Komunis ialah pelopornya revolusi. Di negara merdeka, demokratis-kapitalis,
maka partai komunis itu terutama memimpin proletariat meruntuhkan negara
kapitalis itu, sambil me-netralisir kaum tengah (menjaga jangan sampai sebagian
kaum tengah dipakai melawan proletariat, bahkan sebaliknya sebagian lagi bisa
digerakkan membantu proletariat).
Di
negara setengah feodalis setengah kapitalis, maka partai komunis memimpin
revolusi pada tingkat pertama ke negara demokratis, dan menurut keadaan dalam
dan luar negeri seberapa bisa mendorong ke revolusi sosial.
Di
negara jajahan yang kapitalis, maka partai komunis pada tingkat pertama
memimpin revolusi anti imperialisme buat mendirikan negara demokratis, serta
selanjutnya menurut keadaan dalam dan luar negeri mendorong ke revolusi sosial,
ialah seberapa bisa pula.
Taktik
strategi perjuangan di negara setengah feodalis dan setengah kapitalis dan di
negara jajahan itu amat kompleks, sulit dan berhubungan dengan itu partai
komunis, mestinya amat elastis: sanggup menyesuaikan dirinya dengan keadaan dan
tingkatnya (phase) revolusi dengan tiada boleh melupakan ke-revolusionerannya.
Bagaimana
memimpin golongan yang sekarang revolusioner (borjuis tengah dan bawah) dan
besoknya sebelum atau sesudahnya mencapai kemerdekaan demokratis bisa dengan
sekejap mata membalik menjadi kontra-revolusioner, inilah persoalan yang sukar
dalam keadaan begini.
Dalam
perjuangan maju-mundur itu, dengan teman seperjuangan (kaum borjuis atas,
tengah dan bawah) yang sekarang kawan, besoknya bisa menjadi lawan itu, maka
disiplin partai komunis itu mestinya tegap seperti baja. Putusan yang diambil
dengan persetujuan suara lebih dalam perundingan demokratis, serta masak-masak,
mesti dijalankan oleh seluruhnya partai, bahkan oleh suara kurang pun
(minoritas)...........
Perhatikan
suara lebih dan perundingan demokratis!
Disiplin
itu mudah dijalankan kalau memang sebagian besar anggotanya sendiri terdiri
dari proletariat industri modern yang sudah paham benar atas Materialisme
Dialektis. Susah atau mustahil dijalankan kalau sebagian besar anggotanya
terdiri dari bojuis tengah (Silungkang dll.) serta Islam revolusioner (Banten,
Minangkabau dll.).
Lebih
mudah disuruh maju di waktu krisis, kalau terlampau banyak beranggota warga
miskin, yang umumnya condong kepada fasisme atau anarkisme itu. Lebih mudah
disuruh mundur di waktu kemakmuran, kalau terlampau banyak ber-anggota warga
miskin dan tengah, karena mereka umumnya condong oportunisme.
c.
Seluruhnya rakyat di bawah pimpinan (disiplin partai komunis).
Hampir
seluruhnya Rakyat Rusia Proletariat mesin dan tanah, serta sebagian besar kaum
tengahnya -- sesudah mendapat pengalaman yang berharga dalam perjuangan yang
lama yang mundur maju semenjak dari tahun 1905 sampai tahun 1917 -- akhirnya di
bulan Nopember 1917 itu sudah sampai mengakui otoritasnya Partai Komunis Rusia.
Terkaman terakhir pada bulan Nopember tahun 1917 diadakan sesudah partai
komunis mendapat kemenangan yang nyata dalam pemogokan, demonstrasi, pemilihan
kota, daerah dan nasional dan akhirnya di kalangan tentara, ialah kaum buruh
tani yang bersenjata.
Seperti
disebut di atas, maka disamping PKI yang sebagian besar dari anggotanya itu
bukanlah proletariat mesin dan tanah, cuma berada beberapa serikat buruh yang
mengikat paling banyaknya 1% saja dari seluruhnya proletariat. Yang paling
teguh organisasinya bukanlah pula buruh produktif, mengadakan hasil, melainkan
buruh pengangkutan (VSTP). Buruh pabrik, tambang dan kebun masih cerai sahaja.
Pada
tahun 1926, maka Serikat Islam masih berdiri terus dan belum mendapat kecocokan
dengan PKI. Serikat Budi Utomo, Pasundan, Sumatera, Minahasa, dan Ambon masih
berdiri sebagai benteng propinsialisme
Dengan
demikian, maka pertama PKI belum bisa secara organisatoris, tersusun mengikat
seluruhnya golongan proletariat dengan perantaraan serikat buruh. Kedua belum
pula bisa mengikat warga miskin, yang banyak terdapat di bawah pimpinan atau
seluruhnya Serikat Islam, apalagi kaum tengah, seperti saudagar atasan, Pamong
Praja (BB) dan intelligensia miskin. Ketiga propinsialisme belum lagi ditarik
ke jurusan nasionalisme secara organisatoris.
Sedikit
saja pemberontakan, kalau berlaku, mendapat perlawanan dari imperialisme
Belanda, maka semua golongan atas dan tengah yang dipengaruhi Islamisme dan
propinsialisme itu bisa disusun dan dipakai oleh imperialisme Belanda menentang
pemberontakan di bawah pimpinan PKI.
Sekarang
saja (May 1946) sudah Rakyat Indonesia 3 ½ tahun lamanya menyaksikan
dengan matanya sendiri kelemahan Belanda terhadap Jepang, menyaksikan dengan
matanya sendiri kerendahan watak budi pekerti, bahkan moralnya Belanda.... bekas
Tuan dan Nyonya Besar serta Noni...... dan mendirikan Republik merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945, masih bisa Belanda memakai agama dan propinsialisme,
bahkan nasionalisme dan sosialisme buat meruntuhkan Republik Indonesia dan
mengembalikan Indonesia ke Status penjajahan.
Cuma
partai komunis, beranggota sebagian besar proletariat mesin, yang memimpin atau
mempengaruhi serikat buruh dan Sarekat Rakyat Miksin; Partai komunis, yang
berfilsafat Materialisme Dialektis dan menjalankan putusan yang diambil oleh
Kongres Komintern-lah yang mempunyai pengharapan buat memimpin gerakan
revolusioner di Indonesia sampai ke tingkat yang cocok dengan kekuatan dalam
dirinya sendiri dan bantuan diplomasi dan moril dari dunia luar.
Seluruhnya
Rakyat baru boleh dikatakan berada di bawah pimpinan Partai Komunis itu jikalau
Rakyat seluruhnya bisa dimajukan -- kalau saatnya tiba dan dimundurkan kalau
terpaksa -- dengan tiada mengurangi kepercayaan rakyat murba pada Partai
Komunis itu. Takut mencabut kembali sesuatu putusan yang sudah diambil beberapa
pemimpin, karena takut Rakyat akan marah berarti bahwa Rakyat itu belum lagi di
bawah pimpinannya Partai tadi.
d.
Tuntutan yang nyata dan semboyan.
Membentuk
tuntutan politik dan ekonomi yang nyata dan dirasa oleh Rakyat umumnya dan klas
proletariat khususnya, adalah satu perbuatan yang amat sulit. Cuma mereka yang
sudah paham betul tentangan dasarnya filsafat Materialisme Dialektis dan cukup
paham tentangan sejarah, kebudayaan, penghidupan dan jiwanya Rakyat Indonesia-lah
yang bisa membentuk tuntutan politik ekonomi serta semboyan yang nyata dan
terasa itu buat Rakyat Indonesia ini. tuntutan yang nyata dan terasa itu yang
bisa menggetarkan jiwa seluruhnya murba berjuang itu, memperteguh imannya dan
menimbulkan keikhlasan berkorban.
Semboyan
yang tepatlah yang menggetarkan jiwa Rakyat Perancis dalam masa pemberontakan
tahun 1789 terhadap feodalisme, yang mendorong mereka berkorban menanam
Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan (Liberte, Egalite, Fraternite) di
seluruh benua Eropa.
Semboyan
dan tuntutan yang konkrit, nyata terasa, yang dibentuk oleh satu partai
proletariat yang sudah lolos dalam beberapa ujian Massa-Aksi, besar-kecil,
politik dan ekonomi partai yang cakap bijaksana mencocokkan semboyan dan
tuntutan itu dengan jiwanya proletariat mesin dan tani di Rusia pada tiap-tiap
fase perjuangan itulah pula perkara yang maha penting dalam revolusi di Rusia.
Tuntutan
dan semboyan yang nyata terasa itu adalah tercantum pula dalam salah satu
putusan dalam salah satunya Kongres Komintern.
Apabila
salah seorang dari kami menanyakan pada seorang pemimpin PKI apakah semboyan
dan tuntutan yang akan dimajukan kalau kelak Putusan Prambanan dijalankan, maka
dijawabnya: "Bunuh Belanda".
Memangnya
perang Jambi (1916) juga memajukan semboyan semacam itu. Tetapi semboyan
Komunis hendaknya lain dari itu.
Apabila
salah seorang dari pada mereka yang hendak menjalankan Putusan Prambanan itu
ditanyai pula, apakah ujian buat seseorang, yang sudah berjanji ikut menyerbu
itu, maka dijawabnya: "Siapa berani majulah ke depan! ".
Di
Silungkang banyak kejadian aneh, setelah dentuman bedil sebenarnya terdengar
serta pasukan serdadu sebenarnya dilihat oleh "would be" bakal
pemeberontak itu!
e.
Semangat prajurit.
Salah
seorang ahli jiwa memajukan tiga perkara yang umumnya ditakuti oleh manusia
yakni: (1). ular, (2). darah manusia mengalir, (3). mayat. Tiap-tiap pembaca
bisalah memeriksa kebenaran perkatannya itu.
Tiadalah
seorang pula bisa menyangkal kebenaran satu pepatah yang bunyinya: Habis geli
karena digelitik. Hilanglah geli telapak kaki kalau selalu digelitik (raba)
atau bergeseran dengan tanah. Hilanglah pula ketakutan pada ular, darah atau
mayat itu kalau selalu melihatnya. Tukang potong sapi apalagi algojo tentu tak
begitu takut sama darah mengalir seperti seorang vegetarian (tak makan daging)
berasal dari Dravide (keling) umpamanya.
350
tahun bangsa Indonesia diperas, ditindas dan dilucuti senjata serta dilemahkan
semangat perangnya. Memang sebelumnya imperialisme Belanda masuk, bangsa
Indonesialah salah satu bangsa pelaut yang paling berani di seluruh dunia ini.
Darah pemberani itu tidak hilang di jaman Belanda itu, tetapi terpendam, karena
tidak ada lagi latihan perang. Apalagi di kota-kota besar di mana si-inlander
menghamba sebagai juru-tulis, jongos dan kuli. Semangat keprajuritan itu dan
latihan bertempur itu boleh dikatan hilang sama sekali. Taktik muslihat perang
yang sangat dikenal dan digemari oleh nenek moyang kita, silat dengan pisau
atau kelewang tak berapa dikenal oleh sebagian besar bangsa Indonesia.
Pada
tahun 1926 itu sering saya dengar, memang bisa berjanji ini atau itu sebelumnya
musuh sebenarnya kelihatan, tetapi berapa orang yang bisa menembak, kalau
Moskow umpamanya besok mengirimkan lebih banyak senjata dari yang ada di
tangannya Belanda. Siapa yang bisa terbang di antara orang PKI kalau Moskow
seandainya mengirimkan pesawat penggempur ataupun pengebom.
Jangan
dilupakan, bahwa bangsa Perancis, tahun 1789, adalah satu bangsa yang paling
war-like, bersemangat perang di masa revolusi itu. Bangsa Rusia seluruh lelaki
yang kuat memanggul senapan dan sudah berperang selama 3 ½ tahun ketika
mengibarkan bendera merah pada tahun 1917 itu.
Sekarang
kita bisa membandingkan semangat keprajuritan bangsa Indonesia 1926 dengan kaum
revolusioner di Perancis dan Rusia itu, bahkan lebih tepat dengan keprajuritan
di masa sekarang tahun 1946. Memang Jepang melatih, mungkin 2.000.000 pemuda
(Keibodan, Seinendan, Pelopor Heiho, Peta, Jibakutai) buat memperluas kerajaan
Dai Nippon. Tetapi memangnya pula perkataan Marx: Kapitalisme itu menggali
kuburnya sendiri.
Kalau
tak ada latihan Jepang yang hebat, lebih hebat dan jitu dari pada latihan
Belanda, Inggris atau Amerika selama dua tiga tahun itu, maka mustahil prajurit
Indonesia dengan "bambu runcing" saja bisa merebut bedil, tank,
pesawat dan kapal perang seperti di Surabaya. Masakan prajurit Indonesia bisa 7
bulan sampai sekarang menahan serangan udara, laut dan darat di Surabaya dan
Semarang itu. Masakan prajurit Indonesia dengan senjata sedikit yang direbutnya
itu sering menghalaukan Nica, Inggris, Ghurka, bahkan gurunya sendiri ialah
yang paling berani dan cakap berperang di antara 4 bangsa itu: Jepang. Masakan
Krawang dan Bandung bisa dipertahankan sekuat-kuatnya! Semuanya akan lebih
nyata, kalau diplomasi ulung, yang berdasarkan "perhitungan" itu
tidak dijalankan, yakni menghentikan perang kalau Inggris-Gurka-Nica terkepung,
dan pasti menemui ajalnya kalau diteruskan.
f.
Pertentangan dalam Internasional Kapitalisme sendiri.
Soal
pertentangan yang ada di antara beberapa negara kapitalis satu dengan lainnya
amat besar pula artinya buat Rusia dan sangat diperhatikan oleh Partai
Bolshevik. Apabila Rusia merobohkan Tsarisme dan menyita harta benda kapital
asing (Perancis, Inggris, Jerman) maka mereka yang empunya pabrik dan tambang
di Rusia, dan berpiutang kepada Tsar itu satu sama lainnya tak saja
bertentangan melainkan sudah berperang. Inggris, Perancis dan Jerman tak bisa
bersatu menuntut pinjaman uang, pabrik, dan tambangnya, karena satu sama
lainnya lemah melemahkan dengan akibat melemahkan kedua pihak yang berperang
terhadap Revolusi Rusia. Rusia pada permulaan revolusi mendapat banyak
keuntungan dari pertentangan kapital internasional tadi.
Imperialisme
Inggris, Belanda, Perancis dan Amerika yang semuanya tentu akan menentang
habis-habisan satu revolusi Indonesia yang akan dipimpin oleh PKI seksi
Komintern pada tahun 1926 itu amat rapat bersatu. Mereka sedang rapat bersatu
menentang Komintern dan Rusia yang masih dalam keadaan lemah dalam ekonomi dan
teknik yang belum lagi menjalankan rencana 5 tahunnya, belum lagi mempunyai
bomber penggempur dan armada itu. Mereka tak akan membiarkan satu negara baru
yang terang-terangan dipimpin oleh satu seksi Komintern berdiri terus.
Mereka
sekarang pun tak akan membiarkan begitu saja berdrinya satu negara yang
terang-terangan menegakkan Republik Komunis di Indonesia, tetapi persatuan di
antara empat imperialisme di atas tadi tidak seperti di tahun 1926 lagi, dan
Soviet Rusia bukan lagi bayi melainkan Negara Komunis yang sudah akil-balig.
Tegasnya perbandingan kekuatan kawan-kawan di tahun 1926 jauh berlainan dari
pada di masa ini. Dahulu amat merugikan Indonesia. Berhubungan dengan itu, maka
program (minimum dan maksimum), serta taktik-strateginya revolusi di tahun 1926
mesti dicocokkan betul dengan perbandingan kekuatan lawan dan kawan itu,
tersembunyi ataupun terbuka.
Menjawab
pertanyaan di atas, yaitu bilakah saat menerkam itu tiba, maka berhubung dengan
enam perkara yang dimajukan di atas, (1). Tahun 1926 bukannya tahun krisis, (2).
Partai belum cukup berdisiplin, (3). Belum lagi seluruhnya Rakyat berada di
bawah pimpinan (disiplin) PKI, (4). Tuntutan yang nyata dan semboyan tak
dipikirkan, (5). Semangat keprajuritan Rakyat Indonesia memangnya kendor
sekali, dan (6). Imperialisme Internasional bersatu menentang yang berbau
Komunisme, tentulah belum bisa dijawab begitu saja.
Baru
bisa dijawab dalam pengalaman. Sesudah PKI di-proletarirkan, serikat buruh
dimajukan, warga-miskin disusun pula dalam sususan istimewa, dan aksi ekonomi
serta politik yang berjiwa pada tuntutan yang nyata-terasa dijalankan baikpun
secara terbuka atau tertutup, maka barulah kelak bisa diketahui bila pukulan
terakhir, ialah saat menerkam dilakukan.
Syahdan
saat menerkam dengan pukulan terakhir itu sama artinya dengan saat mendapatkan
suara terbanyak, dalam partai, kumpulan Rakyat, serikat buruh dan seluruhnya
Rakyat, termasuk serdadu.
Ini
pasti tak bisa ditentukan 6 bulan lebih dahulu! Cuma Joyo Boyo yang katanya
bisa menentukan bulan dan tanggal kejadian di hari depan itu. Pemimpin Komunis
besar di Baratpun sering gagal mengenal "psychological moment"
saat-jiwa memuncak itu dalam massa aksi yang teratur yang sudah ada. Apalagi
mengenal 6 bulan di depan! Perhitungan yang berdasarkan Materialisme Dialektis
bukanlah ramalan Pak Belalang.
Apalagi
perkara "mengadakan" revolusi! Barangkali malaikat bisa
"mengadakan" revolusi itu tetapi kaum komunis cuma bisa mempersiapkan
diri dan menyambut datangnya revolusi, sebagai "resultante" (hasil
dan akibat) dari 1001 perkara. Yang bisa dicetak itu ialah "putsch".
C.
KESIMPULAN
Kedudukan
PKI terhadap Komintern, tanggung jawab saya kepada Komintern, Rakyat Indonesia
dan semua anggota PKI sendiri, memaksa saya mencocokkan Putusan Prambanan,
ialah "mengadakan" pemberontakan 6 bulan di hari depan itu (pecahnya
hampir setahun di belakang!) dengan dasar Komunisme umumnya dan dengan semua
putusan Kongres Komintern khususnya.
Pendapat
saya tentang Putusan Prambanan.
1.
Berhubung dengan otoritas dan kebiasaan maka tindakan itu melanggar otoritas
Komintern. Tindakan sepenting itu, karena mengenai dunia internasional, wajib
dirundingkan lebih dahulu dengan Komintern. Sekurangnya dengan wakil Komintern
di Asia ini, ialah saya sendiri.
2.
Berhubung dengan kerja bersama, cooperation, maka putusan sepenting itu
sebaiknyalah kalau diperundingkan dengan wakil beberapa Partai Komunis yang
bisa langsung atau tak langsung bisa memberi usul, kritik atau bantuan seperti
dengan partai komunis Australia, Belanda, Inggris, Amerika dan Annam.
3.
Berhubung dengan organisasi, maka saya anggap sosial-structure (susunan
golongan) dalam PKI jauh dari pada tepat. Keinsyafan atau filsafatnya
pertarungan kelas masih kurang, serta disiplin masih amat lemah. Disampingnya
itu kaum buruh industri, kaum warga-miskin (aliran nasionalisme dan ke-Islaman)
belum lagi terikat dalam organisasi yang pantas.
4.
Berhubung dengan taktik-strategi, maka dipengaruhi oleh aliran anarkisme,
oportunisme dan fanatisme. Taktik-strategi bersandarkan massa aksi, program,
tuntutan, serta semboyan yang nyata belum cukup dipahamkan. Kekuatan
lawan-kawan kurang diperhatikan, serta kekuatan semuanya amat dipusatkan pada
kekuatan senjata saja.
Maka
berhubung dengan semua perkara di ataslah maka saya rasa ada kewajiban saya
mengusulkan adanya konferensi lengkap di Singapura. Di sini akan dibicarakan
perkara patut apa tidaknya dicabut kembali putusan, yang saya pikir terlanjur
dan di belakangnya amat menggelisahkan dan mengacaukan beberapa cabang PKI yang
heran mendengarkan putusan tersebut. Sesudahnya itu baru dibicarakan sikap dan
tindakan yang mesti diambil yang cocok dengan keadaan, kekuatan sendiri dan
putusan Kongres Komintern. Salah satunya dari pada usul saya itu ialah
mendirikan pusat sebagai reserve di Singapura.
Usul
saya yang dibawa oleh Sdr. Alimin disebabkan beberapa hal (yang belum bisa
disebutkan) tak sampai ke tangan yang sepatutnya. Setiba saya di Singapura
sebenarnya masih banyak tempo buat memperbaiki yang kurang tetap dan
mengembalikan PKI ke jalan komunisme. Tetapi disebabkan banyak hal yang tak
perlu dan belum bisa dituliskan di sini, maka usaha Almarhum Subakat (Komunis
tua dan mati dalam bui), Djamaloedin Tamim (diperintahkan menjalankan Putusan
Prambanan di Sumatera), dan saya sendiri akan membawa PKI ke jalan komunisme
dan ke massa aksi itu cuma sebagian saja jaya.
PKI
terdorong oleh satu organisasi baru disampingnya ialah DO yang dipimpin oleh
darah muda yang didorong oleh nafsu terbaru. Beberapa teman di Banten yang
sudah kembali dari Digul dengan panjang lebar sekarang bisa menceritakan aksi
yang memberi akibat sedih semacam itu. Banyak pula hal yang belum bisa
dituliskan berhubung dengan aksi DO yang menyedihkan itu. Perlu disebutkan di
sini bahwa kecurangan hati, kalau ada sedikit sekali terdapat di antara para
anggota PKI dan DO umumnya mereka sangat jujur dan cukup merasa tanggung jawab.
Tetapi kesulitan berhubungan, darah panas, belum cukup memahamkan arti Massa
Aksi dan kerja tertutup, maka provokasi Belanda, bisa menjerumuskan ribuan
anggota kader revolusi Indonesia ke rumah penjara di beberapa tempat dan ke
Digul sarang malaria itu. Pasti PKI akan membikin sejarah yang jauh lebih
gemilang kalautak mendapat tamparan sebesar itu dan mempunyai kebijakan
memimpin seluruhnya partai ke bawah tanah. Semua Partai Nasionalis sesudah PKI
ternyata kini cuma perkumpulan buat mempersiapkan diri menerima bintang dan
pertintah Tenno Haika saja.
PARI,
Partai Republik Indonesia, didirikan lama sesudahnya keributan tahun 1926
selesai. Alasan terutama ialah karena:
1.
Hampir semua pemimpin PKI yang bertanggung jawab sesudah dimasukkan ke bui atau
dibuang ke Digul. Perhitungan tepat atau tidaknya tindakan yang sudah diambil
pada tahun 1926 seperti wajib dan lazim dijalankan oleh Partai Komunis di Barat
tak bisa kami jalankan lagi.
Mengeritik
tindakan yang lampau, mengakui kesalahan kalau perlu, adalah satu sikap yang
paling diutamakan oleh Partai Komunis Rusia. Tetapi memakai terus nama PKI yang
tiada mengemukakan kesalahan di masa lampau kami rasa tidaklah akan menambah
perbaikan jalannya pergerakan revolusi Indonesia. Sesudah kesalahan diketahui
dan diakui barulah langkah baru bisa dijalankan! Begitulah pula sikap kaum
Komunis di Barat!
2.
Habisnya anggota PKI yang kami kenal dari luar negeri dan putusnya perhubungan
memberi kemungkinan kelak ada mereka yang akan meneruskan pekerjaan PKI lama
dengan tersembunyi dan dengan hati curang. Bahaya provokasi semacam ini kami
anggap besar sekali. Mungkin karena sengaja berniat jahat atau tidak berniat
jahat begitu. Tetapi lantaran kurang paham dan pengalaman maka mungkin PKI
karena popular namanya disesatkan kepada paham dan aksi yang bertentangan
dengan dasar komunisme umumnya dan Putusan Kongres Komintern Khususnya.
Pengalaman
Indonesia dengan PKI yang dikenalkan oleh V.d Plas PKI di bawah pimpinan Jepang,
PKI dengan Mr. Joesoef sebagai ketua, PKI tahun 1936, PKI tahun 1941 dll. semua
membuktikan berapa susahnya memimpin satu Partai Komunis di sesuatu jajahan
seperti Indonesia. 1001 kejadian yang menyedihkan dan menyeramkan yang
berhubungan dengan provokas Jepang terhadap PKI. Nama PKI yang mempunyai
sejarah baik dari tahun 1917 sampai tahun 1926 memang bisa menarik murba dan
menjerumuskan murba, cerdas dingin, serta hati yang sabar-jujur penuh dengan
rasa tanggung jawab terhadap proletariat dan rakyat Indonesia, proletariat
internasional dan dasar Komunis sendiri.
3.
Komunisme dan PKI karena populernya sudah sampai ke tingkat menimbulkan
fanatisme di antara Rakyat, terutama yang buta huruf. Lebih tepat lagi kalau
dikatakan sudah sampai dia mengganti fanatisme terhadap Islam dan Turki dengan
fanatik kepada Komunisme dan Rusia. Pada tiap-tiap pemberontakan di Sumatera di
masa lampau, mesti diperhubungkan berita bohong bahwa kapal perang Turki sudah
berlabuh di pesisir buat membantu kaum muslimin. Pada pemberontakan PKI di Jawa
dan Sumatera kapal perang Rusialah yang menjadi buah berita bohong itu. Jepang
memakai tipu semacam itu pula dan dapat memperangkap dan membunuh
"komunis" yang kerja tertutup kabarnya puluhan banyaknya.
Semangat
berjuang yang didorong oleh fanatisme pun ada tempatnya dalam lapangan
revolusi. Tetapi Partai Komunis, seperti Cabang Komintern, wajib dihindarkan
daripada cara berpikir yang tidak berdasarkan barang yang nyata.
Sembarang
fanatisme sudah membawa seseorang pergerakan revolusi ke jurang oportunisme,
fasisme ataupun putsch.
4.
Kekuasaan yang diberikan Komintern pada saya (tahun 1922) di daerah yang
meliputi beberapa negara, yang praktisnya boleh dinamakan Aslia memberi
suggestion, petunjuk kepada diri saya, bahwa semua negara ini memangnya mesti
digabung menjadi satu. Teori bangsa (oleh Haddon, Smith, Bastian, CR Logan
dll.) membuktikan kesatuan bangsa di Aslia itu. Tanah dan iklim memperkuat pula
kesatuan itu. Sejarah Sriwijaya dan Majapahit sudah menuju tepat ke situ.
Jepang buat keperluan rampokan dan perampok serta bajak lautnya sudah
mempraktekkan kesatuan itu. Dahulu dalam "perantauan" saya di Aslia
itu saya sudah mendapat keyakinan bahwa kesatuan bumi-iklim, kebangsaan,
perekonomian, kejiwaan (psychology) diperkuat oleh kesatuan musuh imperialis di
bawah tali pengendalinya imperialisme Inggris, dengan Singapura sebagai pusat
perdagangan dan strategi, bahwa kesatuan Aslia itu mesti dibentuk dengan jalan
revolusioner berdasarkan ekonomi dan proletariat menuju ke internasional.
Bahwasanya
atas empat dasar saya terutama di atas ini, maka barang siapa yang tak menunggu
emas jatuh dari langit, melainkan berjalan dengan mata terbuka di atas tanah
yang kesat (kasar) ini sekarang sudah bisa menyaksikan kebenaran PARI dalam
hampir semua garis dasarnya.
Nama
dan isi kata Republik itu sudah mempengaruhi dunia intelligensia semenjak lebih
dari 10 tahun lampau. Pengaruh itu kelihatan memuncak di waktu republik hendak
didirikan, 17 Agustus 1945. Di sekitarnya buku saya "Naar de Republik
Indonesia" (tahun 1924), "Ke arah Indonesia Merdeka" (tahun 1932
oleh Drs. Moh. Hatta), "Mencapai Indonesia Merdeka" (tahun 1932 oleh
Ir. Soekarno) adalah perhubungan erat yang kelak oleh ahli sejarah akan
diuraikan (Ktr. Moh Yamin). Komiter van Actie, bermarkas besar di Menteng 31,
bukanlah berasingan dengan PARI, walaupun kami sendiri tak kenal mengenal di
waktu itu (keterangan lanjut oleh Sdr. Soekarni!).
Nyatalah
sudah bahwa Republik adalah satu nama yang tepat buat Indonesia pada tingkat
nasional dan internasional sekarang. Nama Republik itu kelak gampang ditambah
dengan perkataan seperti Demokratis, Sosialis, ataupun Komunis, ialah menurut
keadaan dan kekuataan lawan dan kawan di dalam dan di luar negeri Indonesia dan
menurut sifatnya Republik itu sebagai hasil perjuangan yang sebenarnya. Dalam
salah satu surat kabar Inggris maka dalam pidatonya Stalin (Ktr. Sajoeti Malik)
dapat dibaca kalimat yang pendek, tetapi tepat menyinggung keributan tahun
1926. Di sana disebut "the Indonesian Communist Party wrongly aroused the
Soviet power" atau PKI salah mengemukakan kekuasaan Soviet. Memang begitu
pendirian Moskow yang saya dengar sesudah tahun 1926.
Saya
baru sekarang mendengar keterangan Sdr. Sajoeti Melik yang menambah
kepastiannya itu. Tetapi pendirian itulah yang saya pegang serta menambah
mendorong saya mendirikan PARI, Partai Republik Indonesia, (Juni 1927). Sedikit
orang yang tahu dan mau tahu terutama di Asia ini, bahwa kekuasaan Soviet itu
adalah pelaksanaan Revolusi Komunis, seterusnya Revolusi Komunis itu tiadalah
bisa dilakukan pada sembarang tempat dan sembarang tempo saja. Cukuplah sudah,
bahkan sudah lebih dari cukup kalau pada permulaan revolusi di sesuatu jajahan
seperti Indonesia ini, Revolusi itu dipimpin oleh satu partai dengan nama
apapun juga. Asal pimpinan itu berada dalam obor Komunisme (Materialisme
Dialektis). Pada salah satu daerah luas di Asia saya kenal satu kumpulan besar
yang mengikat seluruhnya Rakyat. Kumpulan itu dinamai "The Road to Heaven
" atau "Jalan ke Surga". Kumpulan itu diakui oleh Komintern
sebagai symphatizer, bersimpati. Nama kumpulan itu bukanlah nama ejekan atau
kedok! Memang daerah itu dikuasai oleh pendeta Budha dan seluruh rakyat
beragama Budha. Tetapi sebab sifatnya memang revolusioner maka Komintern yang
bukannya gerombolan orang doktriner atau Fanatis, maka kumpulan "Jalan ke
Surga " pun boleh dianggap satu kekuatan revolusioner.
Cuma
mereka yang lebih mengindahkan nama dari pada isi, yang fanatik sama nama dan
tak mengindahkan isi saja yang lekas menuduh berkhianat atau Trotskyist kalau
seorang merasa bahwa nama itu buat sementara baik ditukar!
Tetapi
mereka terutama memperhatikan metode (cara) berpikir revolusioner, untuk aksi
revolusioner dalam massa revolusioner, lekas bisa tahu siapa yang sungguh
revolusioner dan siapa yang lidahnya saja memberontak. Kita sekarang (Revolusi
Solo 2 Juni) sudah sampai ke tingkat kedua. Dimana kelihatan dua barisan
bersenjata di tangan sedang berhadapan satu dengan lainnya: Pihak
buruh-Tani-Marhaen Indonesia berhadapan dengan Nica, feodalisme dan
Inlanders-alat-alat Belanda.
Siapa
yang bersandar pada kedua pihak akan kehilangan kepercayaan dari kedua pihak
itu dan akhirnya jatuh terlentang sendirinya. Dan siapa yang mau diam berdiri
di tengah-tengah akan diam mati terjepit di antara dua pihak itu pula. Seperti
kata pepatah: Gajah berjuang sama gajah, pelanduk (sang kancil) mati di tengah!
Akhirulkalam:
Pertama sekali: Sikap saya
pada tahun 1926, ialah menarik kembali PKI ke jalan komunisme. Putusan
Prambanan saya anggap bertentangan dengan dasar organisasi, taktik, dan
strategi Komintern dan beberapa putusan dalam Kongres Komintern.
Menurut
keterangan yang saya terima Putusan Prambanan itupun tak dibenarkan Komintern.
Para utusan PKI ke Moskow tak mendapatkan yang dimaksud melainkan membawa
(terlambat datangnya) program yang cocok sekali dengan usul yang saya kirimkan
ke Moskow sebelumnya mereka berangkat.
Kalau
sikap saya menuntut dicabut kembali putusan yang saya anggap bertentangan
dengan dasar komunisme dan putusan Kongres Komintern, maka saya, sebagai wakil
Komintern pada tahun 1926 itu kalau dianggap pengkhianat terhadap proletariat
dan rakyat Indonesia, terhadap PKI dan Komintern dan akhirnya pada proletariat
Internasional maka saya akan berkhianat sekali lagi kalau berhadapan dengan persoalan
semacam itu pula.
Saya
sanggup kelak berhadapan dengan hakim Internasional yang sah dan Komunis buat
memeriksa siapa yang sebenarnya bersalah dan kalau perlu yang patut dihukum
berhubung dengan keributan tahun 1926 dan semua akibatnya itu.
Kedua: Semenjak hampir 20
tahun PARI berdiri sudah terbukti banyak kebenaran dalam garis besarnya. Juga
di sini nyata kebenarannya pepatah: The proof of the pudding is in the eating,
atau pengalaman itulah hakim yang sebenarnya.
Terbuktilah
sudah bahwa dasarnya PARI banyak yang sudah dilaksanakan dalam revolusi
sekarang. Banyak anggota PARI yang mengambil bagian dalam revolusi yang
sebenarnya ini. Terbuktilah pula benarnya taksiran PARI 20 tahun lampau, bahwa
dalam perjuangan akan datang boleh jadi sekali rakyat Indonesia akan terpaksa
bersandar pada kekuatan dirinya sendiri. PARI menang bersandar pada dasar
"zelf help" tolong diri sendiri.
Memangnya
karena bermacam-macam hal terpaksa begitu. Sudah sepuluh bulan rakyat serta
pemuda Indonesia menentang perampok Internasional (Inggris, Gurka, Jepang,
Nica) dengan otak sendiri, kepercayaan atas diri sendiri, dengan bambu runcing
sebagai modal senjata yang pertama!
Perjuangan
sekarang dan di hari depan pastilah pula akan melaksanakan dasar tujuan PARI
yang ke arah "Aslia" – Asia australia. Syahdan Semenanjung Malaka di
benua Asia sudah seratus persen berdiri di atas tuntutan Indonesia ialah:
pergabungan dengan Republik Indonesia yang merdeka 100%.
Australia
menuju kecerdasan dan sikap yang jujur – konsekuen. Baru ini di London
Australia menolak sikap Inggris dan Belanda menjajah Indonesia dan
mempermalukan keinginannya sendiri membikin persekutuan perang dengan Popular
Government (Pemerintahan Rakyat) dalam Indonesia merdeka 100%.
Dua
tiga pasukan pun fanatis, doktriner, atau dogmatis tak akan bisa menahan arus
banjir ke jurusan Aslia itu selama undang-undang politik ekonomi berlaku.
Ketahuilah
bahwa kaum komunis yang membentuk Rusia sampai menjadi negara seperti di masa
ini, bukanlah kaum dogmatis melainkan revolusioner, yang bisa mencocokkan teori
komunisme dengan keadaan: yang memakai Komunisme, bukan sebagai dogma, kaji
hapalan, melainkan sebagai guide, penunjuk jalan buat aksi.
Dengan
hakim komunis internasional yang sah, saya juga sanggup berhadapan buat membela
berdirinya PARI. Perkara nama itu, kalau memang kelak masanya sampai saya
sendiri akan bergembira mengembalikan nama yang sebenarnya, seperti saya
bergembira bisa melemparkan nama Hasan, Fuentes, Tan Ming Seng, Howard Low dan
sebagainya dan mendapat nama sekarang di masa berterang-terangan ini.
Di
samping PID Belanda memakai nama Tan Malaka palsu, demikianlah dia
mempropagandakan dengan s.k Menara Merah-nya bahwa Tan Malaka yang sebenarnya
sudah di-royeer (dipecat) oleh Komintern.
Saya
sendiri baru sekarang mendengar kabar yang mengherankan itu! Tetapi sekarang
sudah boleh saya umumkan bahwa tahun 1932 saya masih mendapat kepercayaan
Komintern. Penangkapan di Hongkong (10 Oktober 1932) menurut kabar Inggris,
ialah ketika saya dalam perjalanan ke Siam. Tetapi bukanlah Siam yang menjadi
tujuan, bahkan Hindustan, British India yang dikangkangi Inggris itu sendiri.
Saya
lepas dari semua perangkap yang dipasang di masa dan sesudahnya tangkapan itu
tetapi semenjak tahun 1932 sampai 25 Agustus 1935, saya lepas pula dari semua
perhubungan dengan teman yang saya kenal di Indonesia, Asia dan Eropa. Saya
terpaksa kerja sendiri di mana saya berada.
Saya
tahu Komintern belum pernah me-royeer seorang utusan atau anggota yang pernah
diberinya kepercayaan penuh sebelum bertemu dengan orang itu sendiri dan
terbukti kesalahannya. Saya yang pernah menjadi wakil Komintern itu dan juga
wakil Provintern (ini tak perlu dirahasiakan lagi) tak mungkin akan di-royeer
begitu saja sebelum saya dipanggil dan diperiksa tuduhan kalau ada. Tak mungkin
Komintern akan bertindak atas hasutan atau tuduhan palsu saja, zonder
dikonfontirkan orang yang dianggapnya bersalah itu. Saya sendiri tak pernah
dikonfrontir oleh siapapun juga, dimanapun juga, berhubung dengan tuduhan
apapun juga. Bahkan menerima surat pun tidak, karena seperti saya sebutkan di
atas putus perhubungan tadi dan hidup terumbang-ambing karena kemiskinan dan
kesehatan amat terganggu.
Kepada
si penuduh yang bisa tahu tempat tinggal saya saja, di mana saya di-royeer itu
saya akan hadiahkan jamu urat syaraf yang paling manjur sekali sebagai upah
kecakapannya yang luar biasa itu dan obat urat syarafnya yang rupanya amat
terganggu itu.
Saya
sendiri yakin, bahwa penyiar kabar royeeran itu tak tahu di mana saya ketika
itu. Tetapi saya yakin pula, bahwa mestinya dia tahu di mana Tan Malaka palsu,
di mana Tan Malaka sebenarnya diroyeer itu!
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar