Sabtu, 03 Oktober 2015

George Habash, Pejuang Revolusioner Palestina

George Habash lahir di tanggal 2 Agustus 1926 di Lydda, Palestina. Ia berasal dari keluarga Kristen yang cukup berada. Mereka tinggal di tengah-tengah lingkungan umat Islam Palestina yang sangat toleran dan inklusif, di mana semua umat yang berbeda agama dan keyakinan bisa hidup dengan penuh kedamaian selama berabad-abad lamanya. Suasana yang penuh perdamaian dan toleransi ini berubah total setelah meletusnya perang Arab-Israel tahun 1948. Habash sekeluarga diusir oleh tentara Zionis yang picik dan rasis, yang tak menghendaki bangsa selain Yahudi, baik yang beragama Islam maupun Kristen hidup di Palestina. Dan bukan hanya keluarganya, hampir semua orang Kristen Palestina juga diusir oleh kaum Zionis Yahudi dari tanah airnya. Sikap picik kaum Yahudi ini, yang selalu menonjolkan sikap anti inklusif dan anti pluralisme dan mau benarnya sendiri, akhirnya membangkitkan perlawanan dari Habash.

Setelah melihat penderitaan bangsanya, baik yang Islam maupun Kristen, akhirnya Habash membentuk organisasi bersenjata yang bertujuan untuk menumpas kaum rasis Zionis dan berjuang membebaskan tanah Palestina, mengembalikan Palestina sebagai tanah yang penuh kedamaian dan toleransi seperti saat dihuni kakek buyutnya dulu.

Habash adalah seorang dokter. Semasa masih kuliah di Beirut ia bertemu Wadi Haddad yang juga penganut Kristen. Mereka kemudian mendirikan ANM (Arab Nationalist Movement) pada tahun 1951. Setelah berakhirnya perang tahun 1967, banyak orang Arab yang merasa kecewa dengan kepemimpinan Nasser. Habash juga merasakan perlu adanya reformasi. Ia kemudian membubarkan ANM dan membentuk PFLP (Popular Front for the Liberation of Palestine). Pada masa kejayaannya, PFLP merupakan faksi terbesar kedua di PLO setelah Al-Fatah yang dipimpin oleh Arafat.

Secara ideologi, PFLP sangat dipengaruhi oleh nasionalisme Arab dan Marxisme-Leninisme. Sebagian besar generasi pembentuk PFLP dipengaruhi oleh pemikiran Franz Fanon, Lenin, Mao Zedong, Ho Chi Minh, dan Che Guevara. Bagi PFLP, pembebasan Palestina tidak mungkin berhasil tanpa pembebasan Arab secara keseluruhan dari sisa-sisa feodalisme dan penjajahan barat.

Dalam perkembangannya, PFLP makin dipengaruhi oleh model Revolusi Tiongkok dan perlawanan rakyat Vietnam. Di tahun 1969, Habash mengungkapkan, sejak 1967 kami menemukan kebenaran yang tak terbantahkan, bahwa pembebasan Palestina harus mengikuti contoh Tiongkok dan Vietnam.

Menjelang tahun 1970-an, PFLP terkenal ke seantero dunia karena aksi pembajakan pesawat. Aksi pertama dilakukan pada bulan Agustus 1969 terhadap pesawat Boeing 707 milik maskapai Trans World Airlines saat terbang dari Roma menuju Athena. Salah satu pelaku aksi pembajakan ini adalah Laila Khalid, pejuang perempuan PFLP. Aksi kedua dilakukan September 1970 terhadap pesawat El Ai milik Israel.

Mengenai taktik ini, Habash menjelaskan, membajak pesawat lebih berdampak ketimbang membunuh ratusan tentara Israel di medan pertempuran. Dengan taktik pembajakan itu, PFLP berharap mendapat perhatian dunia terkait persoalan Palestina. Maklum, saat itu Perdana Menteri Israel Golda Meir menyangkal keberadaan bangsa Palestina.

Tahun 1972, Habash sangat terpukul atas kematian seorang kawannya, Ghassan Kanafani, yang dibunuh oleh agen Mossad. Sejak itu Habash mulai menderita stroke. Ia sendiri berulangkali menjadi sasaran pembunuhan oleh agen-agen Israel.

Dalam hal politik, Habash bukan tipe kiri yang kaku. Baginya, sepanjang punya tujuan yang sama bagi pembebasan Palestina, maka kerjasama dimungkinkan. Hal itulah yang menyebabkan PFLP sempat menjadi bagian dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Namun, di tahun 1974, Habash membekukan keanggotaan PFLP di PLO setelah mengetahui Arafat bekerja untuk ‘solusi dua negara’. Padahal, FPFLP memperjuangkan pembebasan nasional Palestina. Namun, di tahun yang sama, Habash mendorong pembentukan “Rejectionist Front”, yang menyerukan pengorbanan terhadap setiap jengkal tanah Palestina.

Ia termasuk tokoh yang sangat keras menentang kaum Zionis dan segala upaya perdamaian dengan mereka. Sepanjang hidupnya ia mengambil sikap oposan terhadap Yasser Arafat yang dianggapnya lebih lunak. Karena sikap kerasnya terhadap kaum Zionis, bahkan rekan-rekannya anggota PLO yang muslim sering mengkritik Habash. Bersama dengan rekan setianya Wadi Haddad, ia mempelopori perjuangan bersenjata melawan kaum rasis Zionis dan sponsornya, terutama negara rasis Amerika, yang pada saat itu juga giat menindas orang kulit hitam di negaranya, yang sampai-sampai menewaskan Martin Luther King Jr. pejuang hak asasi kulit hitam.

Dari PFLP tadi terlahir juga organisasi sempalan DFLP yang beraliran lebih militan lagi, yang dipimpin Nayef Hawatmeh. Sebagaimana Habash, Hawatmeh ini seorang pejuang Palestina yang beragama Kristen juga. Meski demikian, PFLP yang dipimpin Habash tadi lebih populer karena perjuangannya yang sangat gigih melawan kaum Yahudi. Selama masa kepemimpinan Habash sebagai Sekjen PFLP, faksi ini dikenal sebagai salah satu organisasi bersenjata Palestina yang paling berbahaya karena sikap mereka yang sangat militan menentang kaum Zionis dan segala kebijaksanaan rasis mereka. PFLP melakukan banyak serangan bersenjata ke berbagai belahan dunia, dengan sasaran utama kaum rasis Yahudi beserta para sponsornya. Dalam perjuangannya mereka juga sering menjalin kerjasama dengan para pejuang dari Amerika Latin, seperti dengan Sandinista misalnya.

Semenjak tahun 1980-an, kesehatan Habash mulai memburuk, dan pengaruhnya di PLFP mulai berkurang. Pada tahun 1990-an PFLP juga mulai kalah pengaruh dengan organisasi seperti Hamas dan Jihad Islam yang juga tak kalah militannya.

Pada tahun 1987, sehubungan dengan meletusnya gerakan “intifadah”, Habash menyerukan perlunya persatuan nasional bagi seluruh kekuatan politik di Palestina dalam kerangka pembebasan nasional. Ini kemudian ditindaklanjuti dengan Kongres Nasional Palestina di Aljazair, 1988. Ia juga menuntut agar kontradiksi di kalangan kekuatan atau faksi-faksi politik di Palestina diselesaikan secara demokratis.

Tahun 1993, Yasser Arafat mewakili PLO menandatangani Perjanjian Oslo. Perjanjian ini menempatkan Palestina sebagai pemerintahan terbatas, yang disebut Otorita Palestina, yang hanya membawahi Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Bagi Habash, perjanjian Oslo telah menghianati tujuan awal perjuangan pembebasan Palestina, yakni mengusir Israel dan mendirikan negara Palestina yang merdeka dan demokratis. Habash pun menuding Arafat telah menjual gerakan pembebasan Palestina.

Sebagai konsekuensinya, FPFLP bersama dengan 10 faksi lainnya, termasuk Hamas, membentuk ‘Blok 10’ untuk menolak perjanjian Oslo. Sejak terbentuknya Otorita Palestina, Habash bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki di wilayah yang dibawahi oleh Otorita Palestina dan menolak mengakuinya.

Memang, seperti dicatat oleh As’ad AbuKhalil, seorang professor politik di California State University George Habash adalah antitesa dari Yasser Arafat, “Habash dikenal sangat jujur, sementara Arafat kurang jujur. Habash dikenal konsisten, sementara Arafat kurang konsisten. Habash sangat teguh pada prinsip, sementara Arafat agak licik. Habash sangat sederhana, sedangkan Arafat sangat arogan. Habash toleran dengan perbedaan pendapat, sedangkan Arafat sangat otokratis.”

Meskipun belum sukses mengusir Israel dari tanah Palestina, Habash tak pernah patah semangat. Bagi As’ad AbuKhalil, Habash mewakili sosok pejuang Palestina yang patut dicontoh. Ia mendedikasikan hidupnya, bahkan setiap detiknya, bagi pembebasan Palestina dan menegakkan martabat kemanusiaan.

Pada tahun 2000 posisi Habash sebagai Sekjen akhirnya digantikan oleh Abu Ali Mustafa. Walau pengaruhnya saat ini sudah semakin menyurut, nama Habash tetap populer di banyak kalangan rakyat Palestina yang menghargai ideologi revolusionernya, prinsipnya yang kuat, serta gaya hidupnya yang mencerminkan sikap kaum intelektual. Pada pemilu Palestina tahun 2000 PFLP masih sempat merebut angka 4,2 persen. Pemerintah Iran juga merupakan pendukung PFLP, organisasi yang didirikan dan dipimpin oleh orang Kristen Palestina tersebut.

Meski demikian, bagi musuh bebuyutannya, yakni Israel dan Amerika, tentu saja Habash sangat tidak populer. Bagi kedua negara tersebut Habash adalah one of the most lethal terrorists of the 20th century. Hal yang saat ini ditujukan ke berbagai organisasi Islam. Dan tahukah Anda apa salah satu tujuan utama organisasi-organisasi Islam itu melakukan berbagai serangan ke posisi Amerika dan Israel.? Sama dengan Habash, yakni membebaskan tanah Palestina dari kaum rasis Yahudi beserta sponsornya. Mengembalikan Palestina ke masa yang penuh toleransi dan perdamaian seperti sebelum berdirinya negara Zionis Israel, di mana umat Islam dan Kristen dan juga semua agama yang ada di Palestina lainnya bisa hidup berdampingan dengan damai satu sama lain selama berabad lamanya. Dan kita tahu bahwa berdirinya negara Yahudi itu telah merusak suasana perdamaian dan penuh toleransi tersebut. Kekacauan di Timur Tengah pun tetap terjadi hingga sekarang.

Habash beserta anak buahnya pun sangat mendukung perjuangan umat Islam tersebut. Demikian pula Edward Said. Demikian pula semua orang Kristen di Palestina, termasuk Hanan Asrawi, juga Suha Tawil, istri Arafat, yang juga beragama Kristen. Istri Arafat memang beragama Kristen, suatu hal yang tentunya sangat mustahil terjadi di Israel sampai kiamat. Apakah mungkin seorang PM Israel mempunyai istri orang Palestina yang beragama Kristen.? Mustahil ia akan bakal dipilih oleh rakyat Israel yang rata-rata picik dan rasis itu. Apalagi bila istrinya beragama Islam.

Semakin menyurutnya dukungan kepada PFLP pada saat ini mungkin antara lain karena jumlah orang Kristen di Palestina menyusut drastis semenjak masa pendudukan Israel. Mereka yang kebetulan studi di luar negeri dilarang pulang kembali dan dicabut kewarganegaraannya. Banyak pula yang mengalami tekanan dan intimidasi sehingga mereka lalu mengungsi. Pada tahun 1930-an, penduduk Palestina sekitar 20% adalah umat Kristen, sekarang tinggal 1,6%. Sedangkan penduduk Yerusalem dulu malah mayoritas adalah orang Kristen, di atas 51%, sekarang mereka tinggal 2%. Jadi, sebelum berdirinya negara Israel, secara de facto Yerusalem sebenarnya sudah dikuasai orang Kristen, yakni Arab-Kristen. Apalagi, dalam bidang pendidikan, sosial dan ekonomi umat Kristen Palestina lebih makmur dibandingkan dengan umat Islamnya. Oleh karena itu, orang Yahudi biasanya lebih suka merampas tanah dan menyita rumah-rumah milik umat Kristen Palestina karena tentu saja lebih bagus dan besar. Juga merampas tanah-tanah milik gereja untuk dijadikan pemukiman Yahudi. Tentang masalah ini lihat antara lain Jonathan Cook, Israel's Purging of Palestinian Christian dan Donald Wagner Palestinian Christian: A Historic Community at Risk? Tulisan Donald Wagner itu dibuka dengan tewasnya Johnny Thaljiya, seorang remaja Palestina yang baru berusia 17 tahun, sesaat setelah ia pulang menghadiri misa di gereja. Lihat kedua artikel tersebut di bawah paragraph terakhir tulisan ini.

Karena kebodohan mayoritas orang Kristen di Amerika dan Eropa yang tak paham apa-apa tentang Timur Tengah, maka mereka malah mendukung negara Israel yang rasis, mendukung pembantaian saudara seagamanya sendiri. Rata-rata umat Kristen di Indonesia juga mendukung Israel yang membantai saudara sesama Kristen mereka sendiri, sebuah kebodohan yang sama. Karena begitu mudahnya menelan mentah-mentah propaganda di TV dan media. Akibatnya, umat Kristen Palestina sekarang sudah hampir punah, setiap tahun semakin berkurang jumlahnya.

Walau umatnya sudah berkurang drastis, semua pemimpin gereja di Palestina dari beragam aliran tetap solid mendukung perjuangan PLO, Hamas, PFLP dan organisasi-organisasi Palestina lainnya. Bahkan, para pendeta Kristen Arab Palestina itu dengan terang-terangan mendoakan para pejuang Hamas agar bisa masuk surga, walau jelas-jelas mereka itu beragama Islam. Suatu hal yang tentunya membuat sengit pemerintah Israel dan kaum fundamentalis Amerika, termasuk juga kalangan persnya, kepada para pemimpin gereja tersebut. Lalu memfitnah mereka dengan beragam dakwaan, antara lain menjuluki Uskup Yerusalem, Michel Sabbah, sebagai Islamic Patriarch.

Ooh ya, tentu saja jangan pernah berharap berita tentang dukungan Patriarch Yerusalem kepada para pejuang Palestina itu akan diulas oleh di tivi-tivi. Yang akan diulas besar-besaran oleh mereka tentu saja adalah intimidasi dan teror orang Islam kepada umat Kristen Palestina. Hanya orang dungu yang akan percaya dengan berita-berita propaganda semacam itu. Buat apa Arafat meneror Suha Tawil istrinya sendiri beserta keluarga besarnya? Mereka keluarga yang harmonis. Sialnya, ratusan juta orang dungu di Eropa dan Amerika pada umumnya dengan patuh akan mengangguk-angguk takzim menelan mentah-mentah propaganda tersebut.

George Habash meninggal di Amman, Yordania, tanggal 26 Januari 2008 pada usia 81 tahun. Upacara pemakamannya diadakan di sebuah gereja di kota Amman. Ia meninggal dengan tenang di antara umat Islam yang selama ini dengan setia berjuang bersamanya. Pada saat meninggalnya, Presiden Palestina Mahmud Abbas, yang tentu saja seorang muslim, mengumumkan masa berkabung selama tiga hari untuk menghormatinya. Pemimpin Hamas di Gaza, Ismail Haniya, juga turut berkabung dan mengatakan bahwa Habash sepanjang hidupnya telah berjuang demi membela tanah Palestina. Ini tentunya membuktikan kebesaran hati dan sikap inklusif dari Hamas, organisasi yang oleh propaganda Amerika dan Yahudi selalu dikatakan sebaliknya. Sedangkan kelompok Jihad Islam menyebut Habash sebagai tipe pemimpin sejati. Rakyat di kota-kota di Tepi Barat juga turun ke jalan untuk turut mengenang perjuangannya. Sebaliknya, pemerintah Israel yang rasis itu malah melarang rakyat Palestina untuk mengadakan upacara berkabung.

Demikianlah sekilas riwayat hidup George Habash beserta perjuangannya menentang kaum rasis Zionis. Jadi, ternyata prinsip jihad ini bukan hanya terdapat di kalangan umat Islam Palestina, tetapi juga umat Kristen di sana. Bangsa Palestina berjuang bahu-membahu melawan kaum Zionis beserta para sponsornya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar