I. KE ZAMAN KOMUNISME
Tiap-tiap pergaulan hidup
di muka bumi ini, baik di Asia atau Eropa, baik dulu ataupun sekarang, terdiri
oleh klassen atau kasta, yakni kasta tinggi, rendah. dan tengah.
Menurut pikiran KARL
MARX, maka timbulnya kasta tadi, yaitu disebabkan oleh perkakas mengadakan
hasil, seperti cangkul, pahat dan mesin. Adanya kasta tadi pada sesuatu
pergaulan hidup, menyebabkan, maka politik, Agama dan adat, dalam pergaulan
hidup itu bersifat kekastaan atau bertinggi berendah. Ringkasnya perkara
mengadakan hasil, menimbulkan kasta, dan kasta itu menimbulkan paham politik,
agama dan adat yang semuanya bersifat kekastaan. Oleh sebab itu kata Marx lagi,
semua sejarah dari semua bangsa, ialah pertandingan antara kasta rendah dan
tinggi, antara yang terhisap dan yang menghisap, antara yang terhimpit dan yang
menghimpit. Demikianlah pada Zaman Feodalisme atau Zaman Bangsawan, Kaum Hartawan
yang terhimpit itu bertanding dengan kaum Bangsawan dan Raja yang
menghimpitnya. Di Eropa pada tahun 1789 Kaum Hartawan di Prancis bisa
mengalahkan Kaum Bangsawan dan mendirikan Peraturan Kemodalan seperti macam
sekarang.
Dalam hal itu pertandingan
belum lagi berhenti. Karena pada Zaman Kemodalan sekarang, pertentangan kasta
makin tajam, ialah antara Kaum Buruh yang terbanyak dan tertindas itu dengan
Kaum Hartawan, yang terkecil, tetapi terkaya dan terkuasa itu.
Berhubung dengan lebar dan
dalamnya pertandingan dalam Zaman Kemodalan ini, maka kelak Kaum Buruh, kalau
menang ia tidak saja akan memerdekakan dirinya sendiri, seperti dulu Kaum
Hartawan, melainkan akan memerdekakan seluruh pergaulan hidup dan sekalian
manusia. Dan oleh sebab Kaum Hartawan di seluruh dunia bersatu, maka haruslah
pula Kaum Buruh seluruh dunia bersatu, buat manghancurkan musuhnya.
1. Watak Zaman-Bangsawan
Pada Zaman-Bangsawan, maka
perkakas di sawah dan ladang, hanyalah cangkul atau bajak. Di tempat
pertukangan, pahat atau ketam yang semuanya diangkat dengan tangan. Hasil
sawah, pertukangan dan pertenunan, cuma buat keperluan masing-masing orang atau
masing-masing famili saja. Kalau ada berlebih dari keperluan itu, barulah
dijual, supaya bisa membeli kain, cangkul atau bajak. Jadi perniagaan baru
mulai timbul.
Ringkasnya pada
Zaman-Bangsawan perkakas kecil, hasil sedikit dan buat keperluan masing-masing
famili saja. Sisa keperluan satu-satu famili juga sedikit, sebab itu perniagaan
masih lemah.
Beberapa tani, tukang dan
saudagar pada Zaman Bangsawan berkumpullah mendirikan desa atau kota. Buat
menjaga keamanan dalam desa tadi dan mempertahankan desa tadi pada musuh, maka
mereka mendirikan Pemerintah Desa. Anggota biasanya terdiri dari orang yang tua,
yang pandai, cerdik, berani dan mendapat kepercayaan dari orang banyak. Pangkat
memerintah negeri akhirnya jadi turun menurun dari bapak ke anak. Sekarang
penduduk desa sudah mulai terbagi atas kasta: Tani, Tukang, Saudagar dan
kasta-memerintah, yaitu Bangsawan. Apabila desa tadi banyak berperang-perangan,
maka makin besar kuasanya Kaum Bangsawan dan makin dalam kebangsawanan.
Kemudian dua desa atau beberapa desa mulai mangadakan perserikatan buat
mempertahankan diri kepada serangan dari luar. Urusan negeri dan peperangan
sekarang jatuh di tangan seorang Bangsawan yang tetinggi, yang sekarang
berpangkat Raja dan berkuasa lebih dari Bangsawan yang sudah-sudah. Makin
banyak peperangan dan kemenangannya Raja itu, makin besar kekuasaannya turun
menurun.
Negeri bertambah besar,
kekuasaan makin tertumpuk kepada Raja dan Bangsawan, kekayaan makin tertumpuk
kepada Kaum Hartawan serta kaum Buruh dan Tani makin terhisap dan tertindas.
Supaya Buruh dan Tani yang
terbanyak itu, takluk saja kepada Kaum Raja dan Bangsawan, maka harus diadakan
Agama, Didikan dan Adat yang bersifat kekastaan atau kebudakan.
Gereja atau mesjid jatuh
di tangan Kaum Bangsawan juga, anaknya Rakyat diajar jongkok dan menyembah,
sedangkan anaknya Raja serta Bangsawan diajar memukul, memaki dan menerjang.
Demikianlah wataknya
Zaman-Bangsawan itu di India, di Jawa atau Tiongkok dan Jepang.
2. Watak Zaman Hartawan
Kira-kira 200 tahun yang
lalu, kaum Hartawan di Eropa makin bertambah kaya. Pertukangan, dan pertenunan
yang dulu kecil-kecil, dan buat keperluan masing-masing famili saja, sekarang
sudah terkumpul pada satu pabrik. yang memakai beratus-ratus kuli. Perniagaan
sudah jauh melewati batas desa atau negeri. Bank sudah meminjamkan kepada atau
menerima uang simpanan dari seluruh penduduk negeri.
Tetapi, walaupun kekayaan
Kaum-Hartawan sangat maju, kekuasaannya masih tinggal seperti dulu. Raja dan
Bangsawan masih bisa ambil pajak sehekendak hatinya. Kemerdekaan Kaum-Hartawan
buat mengirim barang dari satu negeri ke negeri lain sangat terhambat, karena
barang-barangnya acap kali dipajaki oleh Bangsawan atau Raja. Juga Kaum
Pendeta, yakni keturunan Bangsawan tak kecil keganasannya.
Buat merdeka mendirikan
pabrik dan kirim mengirim barang, maka Kaum Hartawan mesti merdeka dalam urusan
politik-Negeri.
Dengan pertolongan Tani
dan Buruh, maka Kaum Hartawan pada tahun 1789 bisa menghancurkan semua
kekuasaan Kaum Bangsawan dan Raja Prancis. Sekarang urusan ekonomi, dan politik
luar serta dalam negeri sama sekali jatuh di bawah tangan Kaum Hartawan dan
Wakilnya.
Sekarang Modal bisa tumbuh
dan menjalar kiri kanan dengan leluasa. Dalam satu pabrik tidak seratus atau
dua ratus, melainkan sudah sampai 30 ribu orang kuli kerja (Inggris, Jerman dan
Amerika). Hasilnya dalam satu jam saja sudah beribu-ribu pikul. Mengangkutnya
hasil tidak lagi dengan bahu, kerbau atau kuda, melainkan dengan kereta atau
kapal yang cepatnya seperti petir. Dengan kelingking saja satu sekerup dibuka,
mesin yang kuatnya sejuta kuda berputar dengan sendirinya saja. Kirim mengirim
dan pesan memesan barang ke empat penjuru alam dijalankan dengan kawat atau
radio. Dari Asia dan Afrika tiap-tiap hari diangkut barang-barang yang mesti
dikerjakan dalam pabrik di Eropa, dan dari Eropa atau Amerika tiap-tiap jam
berjalan kapal yang mengangkut barang-barang pabrik ke Asia dan Afrika.
Ringkasnya mesin kerja dengan kuat dan cepat, Kuli terkumpul pada satu pabrik
saja sampai beribu-ribu, pekerjaan teratur dari satu administrasi-pabrik dan
dikerjakan bersama-sama, sedangkan perniagaan sudah internasional.
Tetapi seperti pada
Zaman-Bangsawan ada pertentangan antara Kaum Bangsawan dan Kaum Hartawan,
begitulah juga pada Zaman Hartawan atau Kemodalan ada pertentangan antara Kaum
Hartawan dan Kaum Buruh serta Tani. Seperti ZamanBangsawan mengandung Benih-Hartawan
yang kelak akan menghancurkan Kaum-Bangsawan sendiri, demikianlah pula
Zaman-Hartawan kita ini mengandung Benih Buruh yang kelak akan menghancurkan
Kaum Hartawan.
Keyakinan ini kita Kaum
Komunis tidak diperoleh dari limau-purut atau ujung jari, seperti tukang-tukang
ramal, tetapi kita peroleh dari bukti yang nyata.
Pertentangan-pertentangan
yang nyata dan tak bisa didamaikan pada Zaman-Kapitalisme atau Hartawan, ialah:
I. Hak-Milik. Pada Zaman-Hartawan, seperti
juga pada Zaman-Bangsawan maka perkakas mengadakan hasil itu berpisah dari
orang yang mengadakan hasil, yakni Kaum-Buruh. Sebab perkakas itu bukan
kepunyaan Kaum-Buruh, melainkan satu atau dua orang Hartawan, maka hasil yang
diadakan oleh Kaum-Buruh tidaklah kepunyaan Kaum-Buruh sendiri, melainkan
kepunyaan yang memiliki perkakas, seperti: tanah, pabrik, kereta, kapal dan
lain-lainnya. Kaum Hartawan tak bekerja, tetapi ia memiliki hasil. Kaum Buruh
membanting tulang, tetapi tak memiliki hasil yang diadakannya sendiri. Sebabnya,
maka dunia sampai terbalik begitu, ialah karena hak-Milik, yang pada semua
negeri Bangsawan diaku sah oleh Wet (Bahasa Belanda untuk hukum - catatan
editor) dan agama, sekarang dalam Zaman-Hartawan menjadi racun. Dengan alasan
hak Milik itu, modal kecil menjadi besar, perusahaan kecil terpukul oleh yang
besar dan tani kecil terpukul oleh tani besar, sehingga tukang-tukang kecil dan
tanitani tidak lagi berpunya apa-apa. Kaum yang tidak berpunya ini, terpaksa
menjual tenaganya pada Kaum Hartawan dengan harga seberapanya saja, asal bisa
menolak bahaya lapar dan mati. Jadi sebab hak Milik tadi pergaulan hidup
terbagi dua: l. Kaum Hartawan Sang tersedikit orangnya, tetapi memiliki
Perkakas dan Hasil, dan 2. Kaum Buruh, yang terbanyak orangnya, yang sungguhpun
mengadakan hasil tak memiliki hasil itu, karena ia orang upahan saja.
II. Anarkisme. Sungguhpun dalam satu pabrik
ada teratur banyak dan caranya mengadakan basil, tetapi satu pabrik
berpukul-pukulan dengan yang lain. Kalau satu negeri mempunyai misalnya 100
pabrik kain, maka tiap-tiap pabrik ada mengatur dan menentukan banyak hasil
yang mau diadakan, buat masing-masingnya, tetapi yang 100 pabrik tadi tidak
mengatur banyak hasil buat seluruh negeri, melainkan masing-masing mengadakan
hasil buat memukul yang lain. Makin banyak hasil dapat makin murah harganya
barang, sehingga lawannya terpukul dan jatuh. Kalau hasil tiba-tiba menjadi
terlampau banyak, harga terlampau murah, dan pabrik tertutup, seperti teh,
getah dan minyak di Indonesia baru-baru ini. Walaupun Rakyat perlu memakai
hasil itu, tetapi yang punya tidak akan membagikan pada Rakyat, malah lebih
suka membuang hasil itu, seperti Kapitalis-Gandum di Amerika pada tahun 1922.
Jadi hasil yang diadakan oleh 100 pabrik tadi bukanlah buat negeri dan
penduduknya, melainkan buat perniagaan dan pukul-memukul dalam perniagaan.
Demikianlah Kaum Hartawan mengadakan hasil tidak rasional, yakni menurut
keperluan orang banyak, melainkan anarkistis, yakni sesukanya saja, buat
mencari untung.
III. Mesin. Buat pukul-memukul dalam
perniagaan atau concurrensi, Kaum Hartawan memakai mesin baru. Dengan jalan
begitu hasil dengan cepat menjadi berlipat ganda, sehingga harganya barang itu
bisa murah sekali. Tuan pabrik yang masih memakai mesin tua, tidak bisa
menghasilkan begitu banyak dan begitu cepat. Harga barangnya tinggal mahal, dan
akhirnya ia jatuh. Tetapi mesin baru tadi mengurangkan tangan yang
mengangkatnya, karena mesin itu bisa dijalankan dengan uap atau listrik saja.
Berhubung dengan memakai mesin baru, beribu-ribu buruh dilepas, karena
melimpah. Tiap-tiap negeri di Zaman Hartawan penuh dengan limpahan Buruh, yakni
buruh yang dilemparkan dan tidak bisa dapat kerja. Limpahan Buruh ini, selalu
bertambah-tambah, karena mesin baru tiba-tiba menaikkan hasil, dan tiba-tiba
naiknya hasil tiba-tiba pula mendatangkan krisis yakni jatuh harga barang.
Kalau krisis datang beribu, berjuta buruh dilepas. Ringkasnya Zaman-Hartawan
penuh mempunyai perkakas (mesin), dan penuh mempunyai hasil, tetapi sebaliknya
berjuta manusia tanpa pekerjaan dan hidup dalam kelaparan. Nyatalah sudah Kaum
Hartawan tidak bisa mengurus keperluan Rakyat.
IV. Kasta. Pada Zaman-Hartawan satu kongsi
perniagaan bisa maju dengan dua jalan: pertama dengan memukul, kedua dengan
berkawan. Kalau satu kongsi mempunyai modal yang besar, tentu ia dengan
sementara menurunkan harga barangnya, bisa menjatuhkan musuhnya. Tetapi kalau
mereka sama-sama kuat, maka ia mencoba berserikat. Dengan perserikatan mereka
mudah menaikan harga barang dengan sekehendak hatinya, karena tak ada
persaingan lagi. Yang kerugian tentulah Rakyat juga, yang terpaksa membayar.
Dengan jalan berserikat itu dua atau tiga maatschappy (perusahaan) menjadi
sindikat. Sindikat ini kurang teratur lagi, karena masih banyak kepala yang
mengurus, ialah kepala-kepala dari maatschappy (perusahaan) yang berserikat.
Supaya urusan lekas, maka kepala yang banyak tadi ditukar jadi satu, sehingga
perniagaan bertambah kuat, urusan rapi dan lekas, karena urusan
ge-centraliseerd yakni mempunyai satu kepala saja. Inilah namanya trust. Trust
ini bisa berserikat lagi dengan trust lain, seperti trust besi dengan trust
arang, sehingga harga arang dan besi boleh dibikin sekehendak yang punya trust.
Di Jerman umpamanya Stinnes tidak mempunyai satu, melainkan bermacam-macam
trust, seperti arang, besi, kertas, kereta, kapal, Banken, kayu, dan
sebagainya. Jadi pertama harga grondstof atau barang asli, yang perlu
dikerjakan di pabrik bisa rendah sesuka Stinnes saja. Sebaliknya fabriekswaren
atau barang pabrik boleh dia naikkan sesuka hatinya, karena pabrik, kereta,
kapal dan surat kabar buat advertensi sama sekali jatuh ditangannya. Jadi semua
kongsi, maatschappy (perusahaan) dan Sindikat jatuh di bawah
combinatie-trust-Stinnes. Semua urusan ekonomi di Jerman hampir tergenggam di
tangan satu manusia saja. Juga Bank dari kongsi kecil menjadi Sindikat,
Sindikat menjadi trust dan Trust-Combinaties. Jadi semua urusan Bank jatuh di
bawah kekuasaan satu manusia pula (Stinnes). Bank pada tiap-tiap negeri memberi
pinjaman pada industri. Supaya ia dapat untung tetap, maka ia adakan kontrol
pada industri tadi. Akhirnya industri jatuh di bawah kekuasaan Bank. Bank
memberi pinjam uang pada negeri, sebab itu menteri pada suatu negeri kemodalan
harus cocok dengan Direktur Bank. Begitulah semua menteri di Amerika mesti
tunduk pada Bankir Morgan, Jerman pada Stinnes, Prancis pada lauchuer dan
sebagainya. Bank pada suatu negeri acap memberi pinjaman uang kepada negeri
lain. Supaya bunga terus diterima, Menteri luar harus menjaga keperluan itu,
dan kalau perlu haruslah negeri luar itu dijadikan jajahan. Dengan jalan begitu
barang jajahan bisa tetap masuk (kopi, gula, kapas, dll.) orang jajahan tetap
beli barang pabrik (kain, mesin, dll.) dan bayar hutang. Nyatalah sudah, bahwa
kemajuan kapitalisme mengumpulkan kekuasaan pada satu dua orang. Seorang Bankir
menguasai industri negeri, pemerintah negeri dan koloni. Kaum modal pada
sesuatu negeri semakin hari semakin bertambah kaya dan bertambah sedikit, kaum
buruh bertambah banyak dan bertambah miskin. Pertentangan Hartawan dan Buruh
bertambah tajam, sehingga puteran kasta yakni revolusi sosial tak bisa
dihindarkan. Salah satu Hartawan atau Buruh mesti hancur.
V. Imperialisme. Anarkisme dalam hal
mengadakan menyebabkan Kaum-Hartawan dalam sesuatu negeri satu dengan lainnya
berpukul-pukulan dan hancur- menghancurkan. Walaupun mereka terhadap kepada
negeri lain ada bersatu, tetapi anarkisme tadi juga menyebabkan beberapa negeri
di atas dunia ini satu sama lainnya berpukul pukulan dan hancur-menghancurkan
pula. Tiadalah satu negeri mengadakan hasil buat keperluan seluruh dunia,
melainan buat perniagaan dan persaingan. Satu negeri yang perlu memakai barang
jajahan buat pabriknya seperti kapas, getah, dan sebagainya mau sendiri saja
memiliki barang asli atau grondstof itu. Ia sendiri saja mau memiliki negeri
jajahan itu sebagai pasar barang pabriknya (besi, mesin, kain-kain, kertas
dll.) dan ia sendiri saja mau meminjamkan uang pada jajahan itu, supaya ia
sendiri saja pula mendapat bunga yang tetap. Berhubung dengan keperluan
industri dan perniagaannya, maka ia sendiri pula mau menggenggam politik negeri
jajahan itu. Politik imperialisme ini menyebabkan yang satu negeri
berdengki-dengkian dan bermusuh-musuhan dengan negeri yang lain Hal ini
menaikkan persiapan peperangan pada tiap-tiap negeri imperialisme dan akhirnya
mengadakan peperangan dunia. Demikianlah peperangan dunia yang baru ini, yang
memakan jiwa 10.000.000 manusia dan beribu juta harta disebabkan oleh pertentangan
antara imperialisme Inggris dan Jerman. Sesudah Jerman kalah, maka timbul lagi
sekarang pertentangan antara imperialisme yakni Inggris dan Prancis di Eropa
dan lebih tajam lagi Jepang dan Amerika di Asia Timur. Nyatalah sudah, bahwa
imperialisme tak bisa dibunuh selama kapitalisme dan anarkisme dalam hal
mengadakan hasil masih tetap. Sebab itu peperangan dunia pada tiap-tiap waktu
masih mengancam kita.
Kelima penyakit kemodalan
yang kita sebutkan diatas ini tiadalah bisa sembuh, karena sudah terbawa oleh
diri kemodalan sendiri. Penyakit itu lah yang menyebabkan Kaum Hartawan
bertambah penakut dan bertambah sedikit orangnya dan sebaliknya penyakit itu
lah yang menyebabkan Kaum Buruh bertambah miskin, tetapi bertambah rajin kerja
(sebab terpaksa) bertambah tertindas, tetapi bertambah revolusioner dan
bertambah banyak orangnya. Krisis ekonomi dan politik bertambah dekat, artinya
ini cuma revolusi sosial atau putaran-kasta sajalah yang bisa mengobati krisis
itu, dan menghindarkan bala yang bisa menimpa seluruh manusia diatas dunia ini:
"Kaum Hartawan yang
malas dan sedikit itu haruslah turun, serta Kaum Buruh yang terbanyak dan
mengadakan hasil itu, harus memiliki hasil itu dan membagikan hasil itu buat
kastanya sendiri dan sekalian orang yang kerja. Ringkasnya Kaum Buruh harus
merebut kekuasaan ekonomi dan politik dunia".
3. Zaman Diktatur Proletar
Kaum Agama mengambarkan
surga persis seperti kehendak nafsunya sendiri. Begitu juga Kaum Utopis,
seperti Thomas More, Saint Simon, Fourier dan Robert Owen menggambarkan
masyarakat yang sempurna di dunia ini persis seperti nafsunya masing-masing.
Kita Kaum Komunis tidak
mengambil gambaran Komunisme itu dari nafsu seorang tukang mimpi atau ahli
nujum saja. Kita tidak disuruh Karl Marx buat menghapalkan saja sifat-sifat
Komunisme dan terus tinggal mendoa saja supaya Surga Dunia itu datang.
Melainkan kita mendapat keterangan yang jelas dari Marx, bahwa kemajuan
Feodalisme di dunia ini membawa kemajuan Kapitalisme, dan kemajuan Kapitalisme
sekarang ini membawa kemajuan Komunisme. Sebagaimana Kaum Bangsawan sudah
terpukul oleh Kaum Hartawan, begitu juga kelak Kaum Hartawan akan dikalahkan
oleh Buruh. Kalahnya itu bukanlah pula oleh sebab-sebab yang mistik atau gaibgaib
melainkan atas sebab-sebab yang nyata, yang bisa dilihat dan dirasa.
Tidaklah pula datangnya
Komunisme itu tiba-tiba saja, seperti surga akan terkembang sesudah hari
kiamat, tetapi berangsur-angsur, yakni seperti Zaman Kemodalan sendiri yang
dulu datangnya juga berangsur-angsur. Dimana pertentangan sangat dalam, seperti
di Rusia, maka putaran kasta Buruh dengan Hartawan itu akan disertai dengan
banjir darah. Dimana pertentangan itu, selalu dikurang-kurangi, karena Kaum
hartawan selalu kasih konsesi atau kemunduran, seperti bisa terjadi di Inggris,
maka putaran kasta tadi, boleh jadi tidak berapa menuntut jiwa. Tetapi buat
seluruh dunia putaran-kasta itu tiada akan terjadi dengan damai, seperti juga
putaran kasta Bangsawan dengan Hartawan dulunya tiadalah terjadi dengan damai.
Tingkat yang mula-mula
mesti kita tempuh di atas Zaman-Kemodalan ini ialah Dictaturnya-Proletar.
Bukanlah pada satu negeri saja seperti Rusia, tetapi buat di seluruh dunia.
Pada tingkat Diktator-Proletar ini, semua Perkakas Hasil, seperti Pabrik
Tambang, Tanah, Kereta, Kapal, Gudang-Gudang dll. dimiliki oleh Kaum-Buruh dan
diserahkan pada negaranya Kaum Buruh. Semua urusan buat mengadakan hasil, jatuh
di bawah pimpinan Kaum-Buruh sendiri, yang di jalankan oleh Wakil-Wakil yang
dipilih oleh Kaum Buruh itu tidak lagi ditetapkan buat perniagaan dan mencari
untung saja, tetapi terutama buat keperluan Rakyat. Anarkisme dalam hal
mengadakan hasil akan hilang dan berganti dengan rasionalisme, yakni mengadakan
hasil menurut keperluan Rakyat. Kaum buruh berhenti menjadi orang upahan yang
dibayar sebagaimana suka si Kapitalis saja, karena Buruh sekarang sudah
memiliki perkakas hasil yang diadakannya sendiri. Sepadan dengan itu
Kasta-Buruh, sebagai Kasta upahan atau budak hilang dan berganti dengan Kasta
Pekerja yang campur mengurus pekerjaannya dan memiliki hasil yang
dikerjakannya. Oleh karena sekarang mengadakan hasil tidak lagi dengan
sesukanya seorang Kapitalis buat perniagaan saja, maka hasil tak akan melimpah
lagi, sehingga bisa mendatangkan krisis atau mesti menimbulkan politik merebut
jajahan buat pasarnya barang limpahan itu. Jadi politik imperialisme akan
hilang dan berganti dengan tukar-menukar barang, seperti barang Eropa dengan
Afrika atau Asia, satu negeri dengan yang lain. Berhubung dengan hilangnya
politik imperialisme, maka akan hilang pula militarisme dan hilang pula
peperangan dunia buat merebut jajahan dan pasar.
Supaya Kaum Buruh aman dan
sentosa memiliki perusahaan dan semua hasilnya perusahaan, maka haruslah ia
merebut politik-negeri. Kaum-Hartawan dan budaknya dari Kasta Tengah atau Kaum
Sosial-Demokrat haruslah diusir dari pemerintahan negeri. Kalau tidak begitu ia
akan memogoki (saboteeren) semua peraturan yang baik buat Kaum-Buruh dan
menunggu waktu yang baik, dimana ia bisa memakai laskar, armada, justisi, polisi
dan bui buat menindas peraturan ekonomi kaum buruh, seperti yang kita
rancangkan diatas. Bersama dengan Pemerintah-negeri, haruslah dengan sekejap
Laskar, Armada, Justisi, Polisi dan Didikan dijadikan merah. Artinya itu, semua
anggota ini, haruslah jatuh di bawah kekuasaan Kaum-Buruh dan seberapa bisa
diisi dengan Kasta Kaum Buruh sendiri.
Dengan Pemerintah Merah,
Tentara Merah, Polisi Merah, dan Didikan Merah, maka Kaum Buruh bisa menjaga
peraturan mengadakan hasil dan haknya atas hasil itu, terhadap kepada musuh
baik di dalam atau pun di luar negeri, yang tak putus akan mencoba merebut
kembali kekuasaannya yang hilang itu.
Apabila sesudah
bertahun-tahun Kaum Hartawan sama sekali hancur, seperti dulu juga Kaum
Bangsawan sama sekali hancur, maka barulah lambat laum anggota-anggota Ekonomi
Merah, Politik Merah, Didikan Merah dan Justisi Merah berhenti menjadi perkakas
penginjak Kemodalan dan Kaum Hartawan, dan menjadi perkakas buat mendatangkan
Komunisme. Pada Zaman Komunisme, kasta akan hilang, tindasan dan isapan akan
hilang, kekayaan, kepintaran, pengetahuan, kesenian, dan literatur akan menjadi
miliknya orang bersama.
Jadi Komunisme itu
bukanlah ilmu batin, yang datangnya sesudah habis dibakar kemenyan sepikul,
melainkan suatu peraturan buat pergaulan hidup yang sudah terkandung sendiri
oleh pergaulan hidup yang sekarang ini. Lekas datangnya itu bergantung sebagian
besar dari cakap dan kuatnya Kaum-Buruh Dunia, mendatangkan Diktatur Proletar,
yakni memerahkan peraturan ekonomi dan politiknya Kaum Hartawan yang ada
sekarang.
4. Taktik
Pada Zaman-Feodalisme,
maka Taktik buat mendatangkan pemerintah baru itu, yakni dengan ramal dan
kemenyan. Seorang guru atau Kiyai, tahu membaca dalam buku atau di ujung
jarinya, kapan Ratu Adil atau Imam Madhi akan datang. Dengan jimat dan
kemenyan, maka Kaum Revolusioner-feodal bisa mengalahkan musuh. Psikologi atau
semangat semacam ini lahir dari keadaan cara mengadakan hasil juga. Pada
Zaman-Feodalisme itu mengadakan hasil terutama dengan cangkul. Kalau tanahpun
subur, si Tani rajin mencangkul, tetapi hujan tak turun-turun tentu padi tak
dapat. Apa itu hujan, buat si Tani, yang belum pernah dengar Natuurkunde atau
ilmu-alam adalah perkara kasih atau bencinya Tuhan. Dia bergantung kepada Tuhan
itu, dan cara mendapatkan hujan tidak lain dari membakar kemenyan. Bukanlah
seperti buruh-pabrik, yang sama sekali tak tergantung pada alam, malah memakai
alam itu uap dan elektris kapan ia suka dan berapa ia suka. Sebab itu si Tani
pasif atau penerima dan si Buruh aktif atau jalan. Sifat itu terbawa-bawa dan
juga buat mendatangkan pemerintah baru, tak lain akal buat si Tani melainkan
nujjum, jimat dan kemenyan.
Di antara Kaum-Buruh
industri adalah tiga taktik yang terutama dimajukan: Anarkisme, Reformisme dan
Revolusioner.
Taktik Anarkisme lahirnya
pada pertengahan Abad yang lalu. Kaum Anarkis, percaya, bahwa kalau tiap-tiap
pembesar Kaum-Hartawan di bom, diracun atau ditikam, maka mereka akan takut
memerintah. Si Penindas akan hilang, dan Komunisme akan datang sendirinya saja.
Jadi mereka tidak memakai tingkat Diktatur Proletar seperti kaum Komunis,
dan.tidak memperdulikan organisasi massa-aksi atau aksi ramai-ramai yang
teratur. Bahwa semuanya itu mimpi tak perlu dibentangkan disini. Kaum Hartawan
dengan polisi, justisi dan tentaranya adalah sangat teratur dan mempunyai
disiplin yang sangat keras. Dan kalau satu pembesar terbunuh, maka seribu lagi
gantinya. Sebab itu, kalau Kaum-Buruh tak berkelahi teratur dan mempunyai
disiplin yang keras ia mesti kalah. Anarkisme belum pernah menang. Cuma pada
waktu Bakunin masih ada, disana sini di negeri yang achterlyk atau mundur
kapitalismenya seperti di Selatan Jerman, di Balkan ia bisa bikin huru hara.
Tetapi di negeri yang sudah maju kapitalismenya pada masa itu (tahun 1850) seperti
Inggris, Bakuninisme sama sekali tak bisa dijalankan. Di Rusia sendiri pada
tahun 1917 dan sekarang di Jerman Anarkisme sama sekali tak berarti. Sebab kaum
anarkis tak mau mengakui aturan dan disiplin itu, maka ia tak bisa membikin
perserikatan, malah mudah berpecah-pecahan, dan bertengkar-tengkaran. Sebab ia
mengukur kemarahan Rakyat yang tertindas itu kepada yang menindas bukan dengan
alasan ekonomi, melainkan dengan kemarahannya personal, maka ia mudah kena
provokasi, dan terdorong, sehingga ia terisolasi dari orang banyak, dan
akhirnya kalah.
Taktik Kaum Sindikalis,
yang juga beralaskan Anarckisme yang terutama berpengaruh di sebelah Selatan
Eropa dan Amerika Selatan pun tak bisa mencukupi kekuatan buat memerangi
kemodalan zaman sekarang. Kaum Syndicalist itu anti-parlemen dan anti-politik.
Sebab itu Kaum Syndicalist tak mau mengirim wakil ke parlemennya kaum Hartawan.
Sebaliknya ia menyangka, bahwa Serikat Buruh itulah yang tertinggi. Sudahlah
tentu dasar anti-politik dan anti-parlemen itu salah sekali. Dengan sikap
begitu, Kaum-Buruh tak tahu akan politiknya Kaum-hartawan, sedangkan politik
dan ekonomi itu bersanak sudara. Politik tidak lain dari geconcentreerde
ekonomi, artinya itu, politik ialah pusatnya urusan ekonomi. Apabila Kaum-Buruh
akan menyia‑nyiakan politik, yakni pusatnya ekonomi kaum Hartawan itu, mereka
akan mudah terjerat kaki dan lehernya.
Taktik Kaum Sosial
Demokrat tak perlu kita uraikan di sini dengan panjang lebar. Mereka itu
percaya bahwa Modal dan Tenaga (Arbeid) tak bertentangan. Begitu juga Hartawan
dan Buruh bisa sama-sama jalan. Sebab itu Kaum Sosial Demokrat memasuki
Parlemennya Kaum Hartawan. Mereka percaya, bahwa kalau kelak dengan jalam damai
mereka bisa mengadakan wakil lebih banyak dari Hartawan, maka Hartawan akan
kalah suara dan akan mundur saja. Sesudahnya itu perusahaan ekonomi boleh
dijatuhkan ke tangan Buruh. Berhubungan dengan itu, maka Kaum Sosial Demokrat
anti-revolusioner dan aksinya ialah merebut bangku Parlemen saja. Sepadan
dengan keyakinan ini, maka Kaum Sosial Demokrat, dimana-mana sudah menjadi Kaum
Penghianat. Pembunuhan jiwa Buruh yang 10.000.000 dalam peperangan besar baru
lalu, ialah terjadi dengan bantuan Sosial Demokrat, yang selalu bantu
Begrooting Kaum Hartawan dimana-mana. Di sekalian jajahan, Sosial Demokrat
membantu politiknya Kaum Imperialist buat menindas bangsa Timur. Di Jerman,
Ebert, Noske dan Scheidemann sudah merasakan, bahwa Parlemen itu tak mudah
dijadikan anggota Kaum Buruh. Dimana dulu, Sosial Demokrat mendapat Meerderheid
atau Suara Kelebihan dalam Ryksdag (Parlemen), sekarang mereka jadi boneka
saja, dan pemerintah sama sekali jatuh di tangan Fasis. Oleh karena Sosial
Demokrat pada tahun 1918-1923 tidak memerahkan Justisi, Kementerian, Laskar dan
Polisi, maka anggota-anggota ini dengan rahasia mengumpulkan kekuatannya di
bawah selimutnya Sosial-Demokrat. Oleh karena kaum reaksi Jerman sekarang di
bawah Presiden Jendral bisa sembelih semua Sosial Demokrat, yang dulu tuannya
itu.
Taktik Merah, atau taktik
revolusioner tidak saja di Rusia sudah menjatuhkan kemodalan, dan bisa
mempertahankan Soviet sudah lebih dari 8 tahun, tetapi dimana-mana di dunia,
Eropa Barat, Amerika, Tiongkok, Jepang, India dan Indonesia sedang
membingungkan yang berkuasa. Taktik merah tidak bersarang di jimat atau kemenyan,
melainkan berurat pada keadaan hidupnya Rakyat yang tertindas. Kita tidak
anti-parlemen seperti Kaum Syndicalist, tetapi tidak pula parlemener seperti si
Pengkhianat Sosial Demokrat. Kita masuki Parlemen, buat membuka topengnya Kaum
Hartawan dan Sosial Demokrat, tetapi sama sekali tiada mengharapkan hasilnya
yang konkrit atau nyata dari aksi di Parlemen itu. Kita tahu, bahwa sebagian
besar dari Buruh masih mengikut Sosial Demokrat dan percaya pada
Parlementarisme. Sebab itu kita masuki Parlemen itu buat memecahkan dari dalam.
Dalam pada itu kita lebih pentingkan mengatur kekuatan Buruh, Tani dan sekalian
Rakyat yang tertindas di luar Parlemen. Semuanya aksi dan pertarungannya Buruh,
Tani dan penduduk kota, baik ekonomi ataupun politik mesti kita campuri. Bukan
buat menipu mereka dan memperdamaikan dengan Hartawan seperti laku Sosial
Demokrat, melainkan buat membantu mendorong, dan kalau bisa menghancurkan
Hartawan dan budakbudaknya. Menurut kekuatan kita dan Rakyat yang percaya pada
kita, maka kalau bisa semua aksi ekonomi kita besarkan jadi mogok umum, kalau
perlu ditambah dengan boikot dan demonstrasi. Dari mogok umum, boikot dan
demonstrasi yang dilakukan di seluruh negeri itulah bisa lahir pemberontakan
buat merebut politik negeri dan mendirikan Diktatornya Proletar.
5. Rusia
Seperti Pemberontakan
Hartawan kepada Bangsawan di buka oleh Hartawan Prancis pada tahun 1789,
begitulah Pemberontakan Buruh kepada Hartawan dimulai oleh Buruh Rusia kepada
Hartawan disana. Seperti Revolusi 1789 di Perancis didahului oleh revolusi
kecil di Inggris pada tahun 1650 (Cromwell), begitu pula diktatur proletar di
Rusia tidak sama sekali baru, karena sudah didahului oleh Komune Paris pada
tahun 1870, pada percobaan 1870 Karl Marx, dan Lenin banyak mendapat pelajaran buat
menyempurnakan diktaturnya Proletar.
Pada Revolusi Prancis kita
bisa mempelajari, bahwa kemenangan Kaum Hartawan yang masih revolusioner itu
turun naik. Republik-Hartawan yang didirikan pada tahun 1789 cuma bisa berdiri
5 tahun saja. Kemudian datang Napoleon yang akhirnya jadi Kaisar dan sesudahnya
Napoleon jatuh maka berturut turut Raja keturunan Lodewyk XVI, (yang dipancung
kepalanya oleh kaum pada revolusioner) bisa kembali memerintah. Barulah pada
tahun 1849, maka Republik Hartawan bisa kembali lagi, yang walaupun sementara
disambung oleh Napoleon III, sampai sekarang bisa terus berdiri. Jadi tidak
kurang dari 60 tahun Prancis berkelahi dengan kalah menang buat demokrasi dan
Parlemenarisme cara kemodalan. Dalam waktu Prancis berjuang dengan Bangsawan itu,
maka berturut-turut negeri menjatuhkan Raja dan Bangsawannya seperti Belanda
dan dimana-mana kekuasaan Bangsawan dan Raja di potong-potong seperti Jerman,
Italia, Spanyol, dll. Ringkasnya berpuluh tahun Hartawan di seluruh dunia mesti
berperang dengan kalah dan menang baru bisa menghancurkan Raja dan Bangsawannya
sama sekali.
Ini pengajaran yang dalam
artinya buat kita. Dunia Hartawan yang berpuluh-puluh kali lebih kukuh dari
dunia Bangsawan tentulah takkan bisa kita hancurkan dalam satu hari.
Kita tahu, bahwa reaksi di
seluruh dunia sekarang bertambah hebat. Karena kaum Sosial Demokrat pada tahun
1917-1923 berkhianat, maka Revolusi Rusia tak diikuti oleh negeri lain-lain.
Kaum Reaksi di belakang baju Sosial Demokrat, yang dikemukakan di Jerman buat melindungi
Kaum Hartawan bisa bernapas kembali dan mengumpulkan semua senjatanya, yang
pada tahun 1918-1923 hampir sama sekali hilang dari tangannya. Sekarang di
Jerman Kaum Reaksi sudah mengancam dengan pemerintah Fasis, yakni diktaturnya
Kaum Hartawan. Kaum Hartawan tidak akan memakai Parlemen lagi melainkan tangan
besi, seperti Mussolini di Italia. Hartawan akan lemparkan demokrasi, dan atur
ekonomi dengan memaksa kaum buruh kerja, dengan gaji sedikit, dan waktu yang
lama, dan menghancurkan semua pergerakan revolusioner, dengan jalan kasar.
Begitu juga di Prancis, dimana ekonomi kusut, Fasis sudah siap. Di Inggris,
dimana pada 2 atau 3 bulan lagi disangka akan datang frisis sekarang Fasis
sudah mengasah-asah pedang kiri kanan dan mengumpulkan uang dan senjata. Di
Amerika, dimana Kaum Komunis mulai maju, Klu Klux Klan, sudah jadi Fasis, dan
selalu sedia akan menghancurkan pergerakan merah. Tentulah Fasis dapat sokongan
dari Kaum Hartawan baik lahir ataupun batin.
Tetapi makin gelap jalan
di muka, makin terang buat kita suluh yang di belakang. Sejarah menyaksikan
kita, bahwa pertandingan kasta itu, bukanlah permainan, melainkan suatu
kemestian pergaulan hidup dan suatu kewajiban sebagai manusia. Kalau musuh kita
mengasah-asah pedang, maka jawab kita lain tidak hanyalah menegapkan barisan
dan mempertajam senjata lahir dan batin. Pekerjaan yang sudah dimulai oleh
Rusia dengan korban beribu-ribu jiwa, tiadalah boleh kita khianati dengan
kelembekan atau dengan meninggalkan dasar yang sudah kita peluk.
Walaupun di kiri kanan ada
reaksi, kita mesti terus menyusun tentara yang ada di negeri kita. Kalau kawan
kita pada waktu yang di muka ini, baik di Rusia ataupun Eropa Barat dan Amerika
dapat serangan, maka kita harus tidak mundur malah merebut kemenangan pada
barisan yang kita duduki, yakni: di muka Rakyat Indonesia.
II. KEADAAN INDONESIA
1. Ekonomi
Adapun sifat kapitalisme
di jajahan, seperti Indonesia dan Asia lain, adalah berlainan sekali dengan
kapitalisme di Belanda dan Eropa lain. Disana lahir dan majunya kapitalisme itu
terbawa oleh keperluan negeri sendiri, sedangkan di sini lahir dan majunya
kemodalan itu terbawa oleh keperluan bangsa asing. Sebab itu di Eropa majunya
kapitalisme itu dengan jalan menurut alam atau Organisch, sedangkan di
Indonesia kunstamatig atau bikinan. Berpadan dengan hal itu, Kapitalisme di
Eropa ada sehat dan sempurna, sedangkan yang di Indonesia verkracht atau
terperkosa, seolah-olah sepokok kayu yang kena kelindungan.
Kapitalisme di Eropa
membagi negeri atas kota dan desa. Di kota terdapat perusahaan atau industri
dari kain, besi, batu, kertas dll. Sedangkan di desa terdapat gandum, sayur,
sapi, domba dan hasil buat lain-lain makanan. Jadi dipukul rata kota
memperusahakan barang pabrik dan desa mengadakan hasil tanah dan ternak. Bagian
pekerjaan di kota dengan desa itu bertambah terang sekali pada negeri yang
sangat maju permodalannya
Tentulah hasil pabrik di
kota itu, gunanya, terutama buat penduduk kota sendiri. Sisanya itu ditukarkan
dengan makanan yang dihasilkan oleh desa. Begitulah kain, pisau, perkakas
rumah, baja, dll yang dibikin di kota ditukar dengan gandum, sayur, daging, dll
yang dihasilkan di desa, yakni dengan sisa yang dimakan oleh penduduk desa.
Pada negeri kemodalan yang belum terang imperialistis, dan sehat ekonominya seperti
Amerika sebelum perang 1914-1918, maka jumlah harga sisa barang kota itu hampir
sama dengan harga sisa hasil tanah di desa. Begitulah asal majunya kemodalan
dan perusahaan, yakni dari pertukaran barang pabrik di kota-kota dan hasil
tanah di desa-desa. Makin maju perusahaan di kota, makin banyak penduduk desa
lari ke kota mencari pekerjaan, kepandaian atau kepalsiran, karena di kota
terkumpul, pabrik, sekolah, bioskop, rumah komedi, dll.
Di Indonesia juga akan
bisa begitu, kalau Belanda tak datang dan membunuh perusahaan kecil-kecil, buat
membikin kapal, kain, barang-barang besi, seperti sudah ada di Tuban, Gresik,
dll. Perusahaan kecil-kecil itu juga akan jadi besar, memakai uap dan listrik
seperti di Eropa dan Amerika. Kota-kota Indonesia juga akan menarik penduduk
desa dengan lekas dan bertambah hari bertambah maju penduduk, pabrik dan kaum
buruhnya. Juga di kota Indonesia akan diadakan kain, bajak buat desa, dan
desa-desa terutama hasilnya buat penduduk kota-kota Indonesia sendiri.
Tetapi sebab Belanda
dengan hukum melarang membuat kapal dan membunuh perusahaan anak negeri dengan
memasukkan barang pabrik yang murah harganya, maka kota dan desa kita jadi lain
sifatnya dari kota di Eropa. Kota kita tidak ada yang menghasilkan, kain, bajak
dan perkakas lain buat desa-desa, karena semua barang, ini dimonopoli atau
diborong oleh Belanda. Desa kita tidak buat mengadakan hasil untuk penduduk
kota, melainkan terutama buat tebu, teh, kopi, getah d. s. g. bukan buat
keperluan negeri dan Bumiputera, melainkan buat untung si Pengisap yang tidur
di Belanda. Sebab itu desa dan kota kita satu dengan lainnya tidak bergandengan
dan tali bertali seperti pada suatu negeri yang sehat ekonominya, melainkan
keduanya buat pengisi perut besar si Lintah Darat yang tidur di Belanda itu
saja. Berhubung dengan hal ini, maka majunya kapitalisme di negeri kita jadi
kunstmatig atau tak sehat.
Sebab perusahaan di negeri
kita tidak buat keperluan anak bumi putera sendiri, maka barang yang perlu buat
hidup kita, harus dibeli dari negeri lain dengan harga sesukanya orang lain itu
saja. Dan oleh karena tanah di Jawa terdesak oleh kebun-kebun besar, maka
beras, yakni nyawa kita, mesti datang dari negeri lain.
Demikianlah pada tahun
1922 Rakyat membeli barang kain yang masuk ada kira-kira F. 182.531.000. Di
jajahan lain seperti India, Tiongkok dan Filipina barang pakaian sudah bisa
dibikin dinegeri sendiri. Jadi disana uang Rakyat bayaran kain itu tinggal di
negeri sendiri, sedangkan di Indonesia terbang kesakunya Lintah Darat Belanda.
Harga beras masuk, walaupun beras Jawa nomor 1 kualitasnya di dunia dan bangsa
Jawa memang pintar bertani pada tahun 1922 juga ada F. 74.947.000. Karena di
Jawa hampir tak ada kapital dan saudagar anak negeri, seperti di jajahan maka
untung perniagaan beras ini tidak satu peser jatuh di tangan anak negeri.
Demikianlah untung perniagaan berhubung dengan import (barang masuk) yang pada
tahun 1922 banyaknya ada F 696.300.000 itu hampir semuanya mengalir ke saku
Lintah Darat Bangsa Asing.
Sudahlah terang, bahwa total
export (harga barang keluar) yang pada tahun 1922 ada F.1.142.400.000 sama
sekali dimakan oleh Lintah Darat Belanda yang memonopoli sekalian perusahaan
besar-besar di Indonesia ini. Sedangkan di jajahan lain untung dari import dan
export itu ada sebagian jatuh di tangan anak negeri, maka di Indonesia yang
sangat subur dan kaya ini, semuanya keuntungan perniagaan dan hasilnya
perusahaan dan tanah sama sekali terbang ke perutnya Lintah Darat yang tidur,
palsir atau mondar-mandir di Belanda. Sisanya yang terlempar kepada bumiputera,
gunanya sekedar buat hidup sebentar, seperti kuda atau kerbau, yang dipakai
penarik kereta, juga mesti diberi makan.
Sebab kapitalisme
Indonesia gunanya buat memenuhi keperluan bangsa asing, yang jauh tinggalnya
itu, maka keadaan dan majunya kapitalisme Indonesia juga semata-mata menurut
keperluan bangsa asing yang tinggal di negeri asing itu. Kromo mesti menyewakan
tanah buat gula, getah dan teh dan jadi kuli Belanda mau dapat untung. Rakyat
Indonesia tak bisa dapat pabrik kain, pabrik mesin dan kapal, sebab Belanda
takut Twente dan perusahaan kain sana akan jatuh, dan juga saudagar-saudagar
Belanda, pabrik kapal dan perusahaan-perusahaan kapal yang mengangkut barang
import dan export dari Indonesia ke Belanda akan turut jatuh. Sebab itu
Indonesia mesti tinggal jadi landbow-land atau negeri-pertanian tidak negeri
perusahaan atau industri-land. Penduduknya mesti tinggal mundur (pasif) dan
mudah ditindas. Tiadalah seperti pada negeri industri, yang mempunyai buruh
yang lebih maju dan lebih aktif dan tak gampang ditindas. Selama Indonesia
tinggal jadi jajahan, maka ia tak akan bisa memajukan ekonomi dan perusahaannya
sebagaimana yang baik buat dirinya senriri, karena ia terpaut oleh Lintah Darat
Belanda, yang tak memperdulikan nasib Rakyat Indonesia.
2. Sosial
Di negeri-negeri yang
sangat maju kemodalannya, seperti Jerman dan Amerika maka Kaum Buruh itu
jumlahnya ada kurang lebih 3/4 bagian dari seluruh penduduk negeri. Artinya itu
ada 3/4 atau 75% dari penduduk yang tak berpunya apa-apa lain dari tenaganya
dan tergantung hidupnya semata-mata dari modal besar.
Sepanjang ada bahwa
perhitungan tahun 1905, maka di Jawa saja ada kira-kira 40% dari bumiputera
yang proletar atau tak berpunya apa-apa. Kalau kita taksir sekarang, berhubung
dengan bertambah majunya industri, angka itu sudah jadi 50%, maka dari penduduk
tanah Jawa yang 36 juta itu ada 18 juta yang hidupnya tergantung dari
perusahaan besar dan kecil. Tetapi di Sumatra, Borneo, Celebes, Daerah Ternate
dan sebagainya yang jumlah jiwa kira-kira 18 juta itu masih sedikit kaum
proletar. Hampir semua penduduk mempunyai tanah, modal kecil, perusahaan kecil
atau perahu penangkap ikan. Kita pikir kita akan tak berapa salah menaksir
(karena statistik yang sah belum ada ), bahwa kaum proletar di seluruh
Indonesia pada masa ini ada kira-kira 18 juta, yakni kira-kira 34% dari
penduduk yang 54 juta itu.
Tetapi di antara yang tak
berpunya, Buruh Industri masih sangat sedikit. Di Jerman umpamanya, yang jumlah
isi negeri hampir sama dengan Indonesia, yakni 60 juta ada kira-kira 2 juta
buruh-pelikan (buruh pertambangan), sedangkan di Indonesia tak lebih dari
100.000, yakni seperdua puluhnya. Buruh kereta juga kira-kira 2 juta, sedangkan
di Indonesia tak lebih dari 80,000, jadi kurang dari seperduapuluhnya di
Jerman. Berjuta-juta buruh industri model baru, seperti pada pabrik membuat
kereta, mesin, kapal, kain dll. yang ada di Jerman, sama sekali tak ada
di Indonesia. Jadi perkara banyaknya buruh industri, maka Indonesia, jauh kalahnya
oleh Jerman, Inggris dan Amerika, juga kalah oleh Jepang dan India, dimana juga
sudah terdapat buruh industri model baru.
Di Eropa, Amerika dan
Jepang yang memiliki Pabrik, Tambang, Kereta, Kapal, Bank dll itu ialah
bumiputera juga, Di Jajahan seperti India, Filipina dan Mesir sudah banyak
bumiputera sendiri yang mernpunyai industri model baru, pertanian dan
perniagaan model baru. Tetapi di Indonesia modal besar bumiputera bolehlah
dikatakan tak ada. Betul di Jawa, lebih-lebih Sumatera di antara bumiputera ada
yang mempunyai modal F.100.000 kebawah, tetapi ini masih kecil, dan urusan
perniagaan atau perusahaan yang mempunya F.50.000.000, yang memiliki tambang,
pabrik dan Bank seperti di Tiongkok, India atau Jepang, jadi kasta Hartawan
bumiputera, memang di Indonesia tak ada. Sebabnya ialah karena dulunya Belanda
dengan sengaja membunuh timbulnya modal anak negeri. Di Indonesia kasta-kasta
itu terutama kasta-tani, kasta-buruh dan kasta tengah (ambtenar, saudagar, tani
besar, kaum terpelajar d.s.g.) Di antara kasta-kasta ini, kasta inilah yang
terbanyak dan kasta buruhlah yang terkuat dan makin hari makin kuat, karena
kaum buruhlah yang geconcentreerd atau terkumpul dan ialah yang menjalankan
industri, yakni nyawanya ekonomi, dan kasta buruhlah yang akan termaju pikiran
dan wataknya dalam pergerakan ekonomi dan politik.
Dengan angka-angka saja
belum bisa kita dengan sempurna memperbandingkan majunya buruh Indonesia dengan
Eropa. Majunya itu terutama pula tergantung pada kualitas atau tingginya
industri yang ada. Kita sudah terangkan di atas, bahwa Indonesia bukanlah
industri-land melainkan terutama landbow-land, walaupun landbow atau pertanian
di Indonesia dijalankan dengan perkakas yang model baru sekali.
Berhubung dengan itu, maka
buruh Indonesia terutama bukanlah buruh industri malah buruh tani (gula, teh,
getah dan sebagaianya). Yang buruh industri betul (minyak tanah, kereta, kapal)
masih sedikit sekali. Perbedaan buruh pertanian Indonesia dengan buruh
perusahaan di Eropa itu membawa perbedaan lahir batin pula. Proletar Indonesia
masih muda, dan masih ada pertaliannya dengan familinya di desa-desa, dan acap
kali masih mempunyai tanah di desa-desa. sedangkan proletar-industri Eropa
sudah sampai ke nenek moyangnya terikat oleh pabriknya. Proletar kita masih
mundur dalam pekerjaan teknik, masih percaya sama tahayul dan masih pasif.
Proletar industri Barat sigap dan disiplin dalam pekerjaan, tak terikat oleh
tahayul lagi, serta bersikap aktif dalam pikiran dan pekerjaan.
Begitulah pula kaum-tengah
Eropa bersifat lain dari kaum tengah Indonesia. Di Indonesia sendiripun,
berbeda pula satu kasta dengan kasta yang lain dan berbeda pula satu kasta pada
satu pulau dengan kasta itu juga pada pulau lain di Indonesia. Seorang tani di
Jawa umpamanya, yang selalu campur dengan pabrik gula, yang acap naik kereta
tentulah berlainan sekali pikiran dan wataknya dengan seorang tani pemotong
sagu di daerah Ternate, yang belum pernah seumur hidupnya melihat asap pabrik
atau mendengar peluit kereta express. Ringkasnya perbedaan kemajuan industri
pada satu negeri dengan negeri lain membawa perbedaan kualitas, yakni pikiran
dan wataknya kasta-kasta di negeri negeri itu, seperti Buruh Eropa dengan Buruh
Indonesia, Tani Jawa dengan Tani di daerah Ternate.
3. Krisis-Ekonomi
Walaupun Indonesia sangat
kaya, dan pertanian serta perusahaan dijalankan dengan cara model baru sekali,
tetapi bumiputera selalu dalam kemiskinan dan urusan uang (staatsfinancien)
sudah lama selalu dalam krisis. Walaupun pada waktu perang yang baru lalu,
modal-besar mendapat untung berlipat ganda dari waktu normal atau biasa, tetapi
sebab harga barang naik dan gaji tinggal sedikit, maka kemelaratan Rakyat malah
bertambah dari yang sudah-sudah. Pada penghabisan perang, urusan uang kalang
kabut, sehingga hampir mendatangkan bangkrutnya negeri.
Sebab yang dalam, yang
mendatangkan kesengsaraan dan krisis itu, walaupun kapital-besar mendapat
untung berlipat ganda, terutama sekali, karena untung itu baik langsung atau
tak-langsung semuanya mengalir ke Eropa. Langsung karena tiap-tiap tahun
berjuta-juta uang dikirim ke Eropa, buat membauar bunga modal (dividenten) yang
masuk di industri, kereta, pelikan dan kapal tak langsung, yakni dengan jalan
perniagaan (export dan import), yang sama sekali dimiliki oleh bangsa asing
juga.
Walaupun Pemerintah
Indonesia sekarang (ambtenar, serdadu, Justisi, armada, polisi d.s.g.) gunanya
bermata-mata buat membantu dan membesarkan modal asing serta sebaliknya
penindas dart, pengisap bumiputera buat modal besar itu, tetapi uang buat
pengisi perutnya Pemerintah itu, yakni pajak, tiadalah dibayar oleh Kaum-Modal
Belanda sendiri, melainkan oleh bumiputera juga. Jadi Rakyat Indonesia tidak
saja membiarkan harta, tenaga dan kemerdekaannya dirampok oleh Kaum Modal
Belanda, tetapi mesti membayar gaji hambanya kaum modal itu, yaitu
Gubernur-jendral, Resident, Regent, Wedono, Commissaris van Politie, Jendral,
Major dan beribu-ribu hamba yang lain-lain.
Sebab Modal-Belanda tak
mau membayar gaji hambanya itu dari kantongnya sendiri, dan buat penambah
Modal-Besar di Indonesia, maka Pemerintah Belanda terpaksa meminjam uang ke
lain negeri. Sampai tahun 1923, maka banyaknya uang pinjaman itu sampai F.
1476.662.000. Dengan bunga 5%, maka saban-saban tahun mesti dibayar bunga
kepada negeri lain F.6.471.641. Bunga itu tentulah tiada dibayar dari gaji
Guberner-Jendral atau untungnya Colijn, melainkan dengan pendapatan Rakyat
juga. (Semua angka-angka ini kita petik dari Handbook of the Netherlands
East-Indie, yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiri)
Uang masuk atau inkomsten,
yakni terutama buat gaji hambanya pemerintah pada tahun 1921 ada F.769.700.000
tetapi uang keluar atau uitgaven, yakni yang dimakan oleh hamba-hamba tadi ada
F.1.055.200.000. Jadi dapat kekurangan F.285.500.000. Kekurangan itu tinggal
terus menerus, tiap-tiap tahun.
Buat pengobat krisis ini,
maka Kaum-Modal Belanda memilih hambanya Guberner-Jendral Fock.
Sebab Fock ini dulunya ia
mengaku liberal, maka buat penutup malunya sebagai liberal ia mula-mula
pura-pura mau menolong Rakyat Indonesia. Ia berjanji mau memaksa Modal-Gula
memperbaiki nasib buruh dan tani gula dengan ongkos Modal Gula sendiri. Lagi
pula ia mau memaksa Modal Besar menolong Rakyat membayar pajak yang besar itu,
supaya kekurangan pajak tadi bisa tertutup dan rakyat dapat kelonggaran
Tetapi sesudah Modal Gula
menyepak kembali, maka tuan Fock diam saja. Dan apabila Colijn, yakni Raja
Minyak menjawab "Tutup mulutmu, kalau tidak kamu saja boikot, dan pabrik
minyak kami tutup", maka tuan Fock yang liberal tadi lebih suka memihak kepada
gajinya yang beribu-ribu itu, dari pada memihak kepada Rakyat atau kepada paham
liberalismenya. Malah ia lebih menjilat ke atas dan lebih menendang ke bawah.
Keatas: Gaji ambtenaren
yang besar-besar di naikkan, laskar, armada dan polisi dibesarkan.
Kebawah: Pajak dinaikkan,
buruh dilepas dan diturunkan gajinya, uang-keluar buat pendidikan, dan
kesehatan Rakyat diturunkan.
Walaupun Fock sedikit
menaikan cukai dari barang masuk dan ke luar tetapi saudagar Belanda yang
mempunyai barang-barang itu dengan mudah bisa menaikkan harga barang-barangnya,
yang mesti dibayar oleh Rakyat yang membelinya juga (minyak, kain, korek-api
d.s.g.)
Rumah-Gadai, yang dipunyai
oleh pemerintah sendiri menaikan untungnya pula dengan jalan menaikan isapan
(Renten) pada Rakyat yang miskin juga. Sekarang ini menurut keterangan
buku-buku, Rakyat Indonesialah yang tertinggi sekali membayar pajak di dunia
ini.
Di negeri-negeri lain di
Timur seperti India, Filipina dan Tiongkok, bumiputera sendiri ada mempunyai
perusahaan, pertanian dan perniagaan besar, sehingga untungnya juga tinggal
dalam negeri sendiri, dan sebagian dari untung itu dipakai buat membayar pajak
negeri. Tetapi di Indonesia pikulan uang sama sekali tertimpa pada
Rakyat-Melarat, yang makin tahun bertambah miskin, karena semuanya untung
mengalir ke sakunya Lintah Darat yang tidur di Den Haag atau Zorgvliet.
Makin besar
Pemerintah-Indonesia meminjam uang kepada bangsa lain seperti Amerika dan
Inggris, makin berkuasa Modal Asing di Indonesia, makin habis tanah ditelan
oleh Modal-Asing itu, makin besar uang yang mengalir ke negeri sebagai bunga
dan dividen uang pinjaman itu, dan berhubung dengan itu makin dalam kemelaratan
Rakyat dan makin hebat pula krisis ekonomi yang akan datang.
Selama semua untung dari
modal-besar, baik langsung atau tak langsung sama sekali mengalir ke luar
negeri, selamanya itu Krisis ekonomi Indonesia tak bisa diobat. Betul sekarang,
Fock hampir bisa mengadakan balans-begrooting atau sama-berat uang masuk dan
uang-keluar, tetapi balance itu semata-mata memperberat pikulan Rakyat, dan
wujudnya langsung akan memperjauhkan yang memerintah dari yang terperintah dan
memperdalam krisis-politik.
4. Krisis Politik
Di Filipina, India dan
Mesir, oleh karena adanya Tani-Besar, Kapitalis besar dan Saudagar Besar dari
bumiputera sendiri, maka dalam waktu krisis politik, kaum imperialist bisa
memadamkan atau mengurangkan krisis politik itu, dengan jalan konsesi, yakni
memberikan sebagian dari kekuasaan itu kepada bumiputera. Disana kaum modal
asing mempunyai banyak sama keperluan ekonomi dengan modal bumiputera. Kalau
pada suatu jajahan, dimana Imperialisme itu masih autokratik (yakni memungut
semua kekuasaan) Rakyat bergerak menuntut kemerdekaan, seperti di India pada
tahun 1918-1923, maka kaum imperialis memukul pergerakan itu dengan konsesi
politik. Imperialisme Inggris memberi 1/2 atau 3/4 Parlemen, dimana Kaum-Modal
bumiputera boleh mengirimkan wakilnya. Oleh karena kaum-tengah dan intelektual
pada negeri yang ada mempunyai nasional-capital hampir semuanya memihak pada
nasional kapitalis itu, maka mereka itulah yang terpilih menjadi anggota dari
1/2 atau 3/4 Parlemen tadi. Oleh karena keperluan Modal-Asing dan Modal
Bumiputera banyak bersamaan, maka buat modal asing itu tak besar bahayanya,
kalau sebagian dari politik negeri terserah pada wakilnya modal kulit hitam.
Oleh karena kaum buruh dalam pertandingan buat keperluannya tak bisa membedakan
Modal hitam dan Modal putih, maka Kaum Tengah dan intelektual, yang
mempertahankan modal hitam itu terbawa-bawa mempertahankan modal putih seperti
C. R. Das pemimpin Partai-Swaray di India. Dengan konsesi politik itulah di
India Inggris menarik Kaum intelektual, yakni pemimpin pergerakan Rakyat ke
dalam Parlemen dan dengan jalan kompromi itulah ia sering-sering mengundurkan
revolusi.
Menurut pemandangan kita,
atas dasar Marxisme, maka di Indonesia, sebab tidak ada nasional-kapital, Modal
Belanda tak bisa memberi konsesi-politik yang berarti. Ia harus sendirinya
memerintah atau dengan bumiputera yang memang terang budaknya.
Kaum cap Budi-Utomo
(B.O.), Serikat-Islam (S.I.) dan Nasionale Indische Partij (N.I.P) yang dulu
terpikat oleh suara merdunya Van Limburg Stirum, sekarang kita harap sudah
yakin, bahwa mereka yang mau tinggal jadi Wakil Rakyat Indonesia tak bisa kerja
bersama-sama dengan Wakil Modal Belanda di Volksraad, dan Volksraad tak bisa
jadi 1/2 Parlemen, seperti di India atau 3/4 Parlemen seperti di Mesir dan
Filipina. Volksraad mesti tinggal semata-mata buat Kapital-Asing, dan anti
seluruh Rakyat. Tetapi oleh karena Nasionalis atau Islamis dinegeri kita tak
sepeser mengerti Marxisme, yakni kea daan dan kedudukan kasta-kasta di
Indonesia dan berhubung dengan itu politiknya kasta, maka mereka tentu masih
bingung, tak mengerti apa-apa, apa sebab Dr. Tjipto, Tjokro dan Muis disepakkan,
sesudah dipakai oleh Limburg Stirum pada waktu Krisis-politik tahun 1918. Kita
kaum Komunis yang memboikot Volksraad pun belum pernah mengadakan pemandangan
kekastaan yang jelas dan terang, kenapa Volksraad Indonesia tak bisa menjadi
Parlemen, selama Keadaan Sosial d inegeri kita masih tetap seperti sekarang.
Pemandangan kita di negeri
jajahan lain, seperti India di atas sudah sebagian memberi keterangan. Di
Indonesia tak ada Kasta-Landlords (Tuan Tanah) atau Bangsawan yang berarti
banyaknya dan kekayaannya. Kasta saudagar-besar dan Modal-Besar sama sekali tak
ada. Sebab itu kaum intelektual, yang di negeri kita baru mulai timbul belum
mempunyai kasta bumiputera tempat mereka berlindung. Sebab itu kaum
intelektual kita masih pasif. Karena didikannya di sekolah imperialis, mereka
tak mengerti, bahwa kasta mereka mesti mencampurkan diri ke kasta Buruh dan
tani, karena kasta-kasta inilah di Indonesia yang bisa merebut kemerdekaan.
Oleh karena Kasta Modal
Bumiputera di indonesia tak ada atau masih sangat kuno dan lemah serta
kasta-intelektualnya pasif, maka kalau Modal Belanda mau memberi 1/2 atau 3/4
Parlemen, haruslah ia memberi hak-politik dan Suara Memilih Wakil kepada Buruh
dan Tani. Kepada kasta-kasta kedua inilah ia harus memberi konsesi dan dengan
Rakyat melaratlah ia harus membagi kekuasaan politik.
Ini namanya contradictio
determinis, artinya itu membantah diri sendiri. Masakan yang menindas bisa
memberi 1/2 atau 3/4 senjata kepada yang tertindas, seperti si Penyamun akan
memberikan pistolnya kepada yang disamunnya. Dengan segera yang disamun akan
membunuh yang menjamun.
Semua Hukum dan Kekuasaan
yang ada di Indonesia sekarang, ialah buat membantu dan membesarkan Modal Asing
dan sebaliknya buat menginjak Rakyat Indonesia. Kalau Rakyat yang sama sekali
terinjak itu diberi hak politik, yakni senjata buat mengubah, atau menghapuskan
Hukum-Negeri tentulah tak satu Hukum akan tinggal buat mempertahankan Modal
Asing itu. Kalau di Indonesia ada kasta Modal Bumiputera yang kuat, Kasta-Terpelajar
yang kuat pula, tentulah kasta-terpelajar ini bisa ditipu oleh Modal Asing
dengan 1/2 atau 3/4 sampai 7/8 Parlemen. Dengan politik menipu kaum-terpelajar
(kaum mana terutama di jajahan sangat dipercayai oleh Rakyat), kaum
imperialist. Belanda akan bisa menipu Rakyat yang mengikut kaum-intelektual itu
dan meundurkan revolusi. Tetapi di Indonesia sebagian besar dari Rakyat ialah
Tani, Buruh dan Saudagar kecil-kecil yang sama sekali tak bersamaan
keperluannya dengan Modal Asing, malah sama sekali bertentangan. Sebab itulah
Belanda takkan bisa memberi konsesi-politik yang berarti kepada Rakyat kita.
Pertanyaan di negeri kita
tidaklah revolusioner atau evolusioner, melainkan bagaimana kita harus
mengadakan program-merah, taktik-merah, organisasi-merah, agitasi-merah dan
aksi-merah, supaya Rakyat kita dengan lekas dan dengan sedikit kerugian jiwa
bisa lekas lepas dari tindasan dan isapan Modal Belanda.
Sikap Merah kita ini
menjadikan cemas dan ketakutannya Kaum Modal Belanda, dan kecemasan serta
ketakutannya itu membesarkan, laskar, armada, polisi dan resisir pula. Hal yang
terakhir ini seterusnya menaikan pajak pula dan kenaikan pajak mendalamkan
dendam kesumat Rakyat Indonesia pada pemerintah asing ini pula. Demikianlah
satu bersangkutan dengan yang lain dan hasilnya memperdalamkan krisis ekonomi
dan politik juga. Ringkasnya sikap merah kita tidak saja berguna, buat mendidik
Rakyat Indonesia dalam politik, tetapi juga memperdalam pertentangan antara si
Penghisap dan yang Terisap, sebab itulah mencepatkan datangnya kemerdekaan.
III. PROGRAM.
Diatas kita sudah mencoba
menerangkan, bahwa krisis atau pertentangan ekonomi & politik di Indonesia
sangat tajam. Pertentangan itu, lebih-lebih, kalau kelak dicampuri oleh hal-hal
lain, seperti bahaya kelaparan atau penyakit, pada tiap-tiap waktu bisa
melahirkan revolusi.
Keyakinan ini tiadalah
kita peroleh dari satu dalil atau nujum. Juga tidak, dari ilmu kebangsaan cap
N.I.P yakni karena yang memerintah berkulit putih dan yang terperintah berkulit
hitam, yang memerintah berwatak Barat dan yang terperintah berwatak Timur.
Warna, watak atau Agama itu tak perlu mendatangkan revolusi. Kalau umpamanya di
Indonesia ada kastahartawan bumiputera yang kuat, walaupun kasta ini beragama
berkulit putih dan berwatak Timur, tetapi dengan konsesi 1/2 sampai 7/8
Parlemen, revolusi itu tiap-tiap kali bisa dihindarkan. Betul warna, agama dan
watak itu bisa menambah tajamnya pertentangan yang sudah ada, tetapi tiada bisa
menjadi hoofd-factor atau hal yang terpenting dalam sesuatu pemberontakan. Yang
bisa mendatangkan revolusi di Indonesia kita ini sewaktu-waktu ialah karena
pada krisis ekonomi dan politik, yang dipertajam oleh perbedaan watak, warna
dan agama, tak ada kasta-hartawan bumiputera, yang bisa memperdamaikan yang
memerintah dengan yang terperintah.
Sebab kita tahu, bahwa
kemodalan Belanda besok atau lusa mesti jatuh, maka haruslah kita dari sekarang
mengadakan peraturan ekonomi & politik, ialah program yang cocok dengan
kastanya partai kita, yakni partai Rakyat melarat, yang tergambar pada P.K.I
dan S.R.
Betul sesuatu program
revolusioner, yakni kehendak sesuatu golongan atau kasta, tak berarti, kalau
tak ada pergerakan revolusioner dari kasta itu sendiri. Tapi betul pula, bahwa
sesuatu pergerakan revolusioner yang tidak mempunyai basis teori, atau lantai
yang berdiri atas teori akan mati sendirinya saja. Lihatlah Budi Utomo, S.I dan
N.I.P. Ketiganya, dulu, mula-mulanya revolusioner. Tetapi tidak satu yang bisa
menggambarkan maksudnya dengan terang. Betul juga sebab jatuhnya ketiga partai
itu karena tak mempunyai disiplin, tetapi sebab yang terutama sekali ialah
mereka tak bisa membuat program yang kukuh
Juga partai kita, walaupun
di sana sini lebih terang melahirkan kehendaknya dari partai yang lain 2 di
Indonesia, belum pernah memformulasi atau menetapkan program dengan secukupnya.
Apabila kita mau tinggal memegang pimpinan revolusioner atas Rakyat melarat di
Indonesia, maka haruslah sekarang kita memaklumatkan kehendak kita, dalam
perkara ekonomi, politik, sosial d.s.g.
Adapun program itu
tiadalah bisa kita gali dari dalil yang keluar lebih dari 1300 tahun dahulu,
seperti pahamnya Haji Agust Salim, karena peraturan negeri pada zaman yang
belum mempunyai pabrik, Bank dan kereta api itu berbeda sekali dengan keadaan
negeri kita sekarang. Tiadalah pula bisa program itu kita timbulkan dari
sentimen atau perasaan kebangsaan saja Kaum N.I.P. Akhirnya tiada pula bisa
disalin dari programnya sesuatu partai komunis di Eropa atau Amerika dimana
keadaan ekonomi, politik dan sosial berbeda sekali dengan keadaan di Indonesia.
Melainkan kita harus memakai geest atau semangatnya Marxisme, buat mendirikan
program yang cocok dengan keadaan di negeri kita. Jadi cuma metode atau cara
mendirikan program itu saja bisa Marxis atau Komunis tetapi material atau
perkakas mendirikan itu ialah Indonesia.
Berpadanan dengan itu,
maka watak program kita haruslah:
a) Cocok
dengan kekuatan kita. Tuntutan kita tak boleh terlampau jauh, supaya kita
jangan lekas dilabrak oleh musuh, baik diluar atau didalam negeri, Sebaliknya
pula kita tak boleh mengadakan peraturan ekonomi & politik yang mundur,
dimana Rakyat akan tinggal terhisap dan tertindas. Berapa jauhnya tuntutan kita
itu, sebagai partai internasional, kita juga mesti memikirkan keadaan
internasional. Artinya itu, revolusi dunia, boleh jadi tiada lama lagi akan
pecah. Tetapi boleh jadi juga lebih lama dari kita kehendaki sendiri, Kalau
revolusi-dunia besok pecah, tentu kita besok pula bisa dapat pertolongan lahir
dan batin (perkakas mesin, kepandaian buat industri d.s.g) dari buruh Eropa dan
Amerika. Kita dalam hal ini tak akan celaka, kalau segera mendirikan
Diktatur-Proletar yang sempurna, yang sepadan dengan keadaan Kapitalisme
Indonesia. Tetapi kalau revolusi dunia lama lagi akan pecah, dan kita besok mendirikan
Soviet-Republik, maka kita yang terletak di antara imperialisme Inggris,
Amerika dan Prancis ini dan terpisah sekali dari kaum Buruh revolusioner di
Rusia, Eropa dan Amerika, dengan lebih lekas dan lebih kuat dari pada Rusia
akan dikepung dan dilabrak oleh imperialisme itu. Sedangkan Republik biasa saja
(demokratis) sudah akan bisa menggojangkan seluruh Asia, apalagi kalau nama
Republik itu dimerahkan pula. Tidak bisa dibantah lagi bahwa, walaupun
Indonesia terutama landbouw-land, tetapi hidup kita sudah sama dengan
industrieel land seperti Eropa. Ekonomi sudah hampir sama sekali bersifat
internasional, karena hasil industri dan landbouw kita seperti gula,
minyak-tanah, karet, kopi, kina, dll sama sekali tergantung dari perniagaan di
luar negeri kita dan pasar-pasar di luar Indonesia. Sebaliknya pula semua
keperluan hidup Rakyat Indonesia seperti kain, perkakas dan beras sama sekali
datang dari negeri lain. Kalau Inggris atau Amerika besok tak mau mangaku
kemerdekaan kita, artinya itu tak mau berniaga dengan kita, maka sehari kita
tak bisa mengurus ekonomi. Berhubung dengan itu sebentar kita akan jatuh. Jadi
jauhnya program kita haruslah sepadan dengan kekuatan kita yang ada dan cakap
menentang musuh lari atau tersembunyi, baik didalam ataupun diluar negeri.
Program itu haruslah satu lantai yang kukuh buat berjalan sendiri (kalau
revolusi dunia belum datang) atau buat berjalan bersama-sama dengan dunia
(kalau revolusi dunia sama datang dengan kemerdekaan Indonesia).
b) Bisa
menaikkan derajatnya Rakyat Indonesia. Kaum-Buruh Indonesia haruslah memiliki
perkakas hasil yang besar-besar, seperti pabrik, ondernemingen (bahasa Belanda
untuk ventures atau perusahaan - catatan editor), tambang, Kereta, Kapal dan
Banken. Mereka haruslah betul-betul berkuasa dalam hal menentukan, membuat dan
membagikan (produksi & distribusi) hasil negeri. Mereka haruslah berkuasa
betul dalam hal politik negeri. Perhubungan antara tuan dan budak, seperti yang
masih ada di Eropa (kecuali Rusia) Amerika dan Jepang, yakni negeri-negeri yang
kapitalistis pelan, haruslah dihapuskan. Untung yang berjuta‑juta yang sekarang
tiap-tiap tahun mengalir kesaku Lintah Darat Belanda, di Den Haag, haruslah
tinggal di Indonesia sendiri. Uang, ini boleh dipakai buat Didikan dan
Kesehatan Rakyat, buat membantu Kaum Tani dan saudagar kecil dan Tukang-Tukang
dengan jalan Koperasi dan terutama buat mendirikan industri model baru di
Indonesia, seperti industri pembuat kapal, kereta, mesin-mesin dan perkakas
lain-lain, pabrik kain, kertas dan membangun electrische-centrale (bahasa
Belanda untuk pembangkit tenaga listrik - catatan editor) dari sungai-sungai
dan danau-danau di Indonesia. Dengan perbutan demikian, maka niscayalah lama
lambat seluruh Rakyat Indonesia, Buruh , Tani, Tukang dan Student akan maju
derajatnya dalam hal ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan atau peradaban.
c)
Bisa menarik Indonesia ke zaman industrialisme model baru. Bahwa perusahaan
besar-besar, kepunyaan modal asing perlu dan bisa dimiliki kaum-Buruh, itu
sudahlah terang. Perlu, karena dengan jalan begitu, hasil boleh diatur dengan
rasional, yakni menurut keperluan Rakyat, bukan lagi buat di Lintah Darat di
Eropa. Bisa, karena perusahaan besar-besar itu semuanya kepunyaan Modal-Asing,
yang memperoleh harta itu dari Rakyat Indonesia juga dan tiadalah ada
Kaum-Hartawan bumiputera yang cukup kuat buat melawan politik nasionalisasi
Kaum-Buruh. Dengan pertolongan uang pada tukang, saudagar-kecil dan tani di
Indonesia, dan dengan memberi pertolongan kepada mereka mendirikan Koperasi
Negara, Pemerintah Baru di Indonesia bisa membesarkan dan mengumpulkan
perusahaan kecil-kecil yang terpancir-pancir dan bisa membawa semua perusahaan
kecil-kecil itu ke bawah pimpinannya. Semua perusahaan kecil, lama lambat akan
hilang, sebab terbawa di bawah pengaruh Pemerintah-Baru (Republik-Indonesia),
atau kalah bersaing dengan perusahaan Republik yang besar-besar. Kalau daya
upaja yang tersebut diatas ditambah lagi dengan daya upaja mendirikan
perusahaan yang model baru, maka dengan segera Indonesia, yang begitu mundur
sekarang industrinya, sesudah beberapa lama akan menjadi negeri industri model
baru di dunia penduduknya akan bertambah maju dalam segala hal dan politiknya
juga akan memeluk seluruh alam atau menjadi internasional.
d) Bisa
Mengadakan kerukunan seluruh Rakyat melarat. Kerukunan itu perlu tidak saja
buat merebut kemerdekaan dari imperialisme Belanda, tetapi juga buat
mempertahankan kemerdekaan itu keluar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang).
Walaupun Kaum-Buruh kita terkuat dari kasta-kasta lain di Indonesia, tetapi ia
sendirinya saja tentu sukar merebut kemerdekaan buat seluruh Indonesia, seperti
juga buat Sumatra, Borneo, Celebes d.s.g, dimana industri dan kaum buruh baru
mulai datang. Di Jawa sendiripun buruh industri yang betul-betul masih sedikit.
Ringkasnya, walaupun buruh bisa termuka dan bisa memberi pimpinan pada seluruh
Rakyat melarat dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi ia mesti
mendapat pertolongan dari, tani, saudagar, student, serdadu dan tukang.
Haruslah seluruh Rakyat tertindas di Indonesia terikat dalam satu "tentara‑kemerdekaan".
Tetapi ikatan itu harus berdasar ekonomi. Tani, atau tukang, tak bisa lama
diikat dengan paham kebangsaan cap N.I.P. atau B.0. atau dengan agama cap S.I.
saja. Ikatan semacam itu tidak bisa kukuh, karena tak mengandung kekuatan lahir
melainkan perasaan saja. Ikatan itu cuma bisa kekal, kalau berdasar ekonomi
jani, kalau tani, tukang dan saudagar dalam persahabatan dengan buruh itu betul‑betul
mendapat keuntungan lahir dan batin (ekonomi, politik dan sosial). N.I.P. dan
B.0. takkan bisa memperbaiki nasib kaum melarat, sebab kalau Indonesia di bawah
pimpinan mereka menjadi merdeka, maka perusahaan besar-besar akan jatuh di
bawah Angenent, Veynschenk, Raden Mas ini, atau Raden itu. Pun S.I tak akan
bisa juga karena sesudah negeri merdeka urusan ekonomi sama sekali akan jatuh
di bawah Kyai, Haji atau Sjech, seperti di Mesir Arab, Turki atau India. Tetapi
kalau P.K.I. dan S.R. yang merebut kekuasaan, ia bisa menaikan derajat si Kecil
karena lebih dulu mereka menghapuskan hak-Milik pada perusahaan besar-besar dan
menghapuskan kasta Hartawan. Sebab kasta-buruh di Indonesia bukan
Kasta-Penghisap, maka ia kelak bisa mengadakan perserikatan yang kukuh dengan
segala golongan yang terhisap dan tertindas oleh imperialisme sekarang.
e) Bisa
membangunkan semangat revolusioner seluruh Rakyat Indonesia, dengan kekal.
Betul perasaan kebangsaan dan Agama bisa menbangunkan kebencian kepada Penindas
dan mendatangkan kerukunan pada Rakyat, tetapi kebencian dan kerukunan semacam,
sangat negatif dan sementara. Sebentar menjadi dingin, seperti pepatah
Minangkabau: Panas-panas tahi ayam. Tetapi satu Program yang mempunyai lantai
teori yang kokoh dan mudah dimengertikan pada Rakyat, bisa mendatangkan keyakinan
yang tetap, karena keyakinan semacam ini berhubung betul dengan hidup dan
pikirannya hari-hari, dan bisa memberi jawab pada soal-soal ekonomi, politik
dan sosial. Dari keyakinan semacam itulah saja bisa timbul kemauan yang keras
buat mempraktikkan cita-cita yang terpeluk oleh Program itu. Sebab itu Program
yang kukuh itulah saja yang bisa membangunkan dan menetapkan semangat
revolusioner dari seluruh Rakyat Indonesia sampai maksudnya sampai.
1. Program Nasional P.K.I
& S.R.
A. Ekonomis
1. Nasionalisasi atau
memindahkan Pabrik dan Tambang (seperti pabrik gula, kina, kelapa, semen dan
tambang arang, emas, timah d.s.g.) ke tangan Pemerintah Rakyat Indonesia.
2.
Nasionalisasi Tanah dan Kebon, seperti Gula, Getah, Tebu, Kopi, Kina, Kelapa, Indigo
d.s.g.
3.
Nasionalisasi Transportasi dan Komunikasi (Kereta, Kapal, Telegraf dan
Telepon).
4.
Nasionalisasi Bank, Perusahaan dan lain-lain Anggota-Perniagaan.
5.
Electrificatie perusahaan, dan mendirikan industri model baru dengan pertolongan
Negara, seperti buat pakaian, kereta, kapal, mesin d.s.g.
6.
Mendirikan Koperasi-Rakyat dengan pertolongan Negara. Memberi perkakas dan
pertolongan pada Kaum Tani, buat memperbaiki pertanian.
7.
Emigrasi atau memindahkan sebagian penduduk Jawa dengan ongkos Negara, ke
pulau-pulau di luar Pulau jawa.
8.
Membagikan Tanah-Tanah kosong pada proletar-tani, dan memberi pertolongan pada
Tani itu buat mengerjakannya.
9.
Menghapuskan sisanya feudalisme (Yogya, Solo d.s. g) dan Tanah Partikulier,
serta membagikan tanah-tanah ini pada Tani-Tani Miskin dan Proletar Tani.
B. Politik.
1. Kemerdekaan Indonesia
yang sempurna (absolut) pada saat ini juga.
2. Mendirikan
Federasi-Republik dari kepulauan Indonesia.
3. Memanggil Rakyat-Rakyat
Indonesia yang mewakili seluruh Golongan dan Rakyat Indonesia pada saat ini
juga.
4. Memberi hak-Memilih
yang sempurna pada Rakyat Indonesia (lelaki & perempuan) pada waktu ini
juga.
C. Sosial.
1. Gaji minimum.
2. Kerja 7 jam dan
memperbaiki nasib kerja dan hidupnya Kaum Buruh.
3. Perlindungan Kerja
(Arbeidsbescherming) Kaum Buruh dengan mengakui hak buat mogok.
4. Mendapat sebagian
Untung dari Perusahaan yang besar-besar.
5. Mendirikan Rapat-Buruh
(Arbeidersiaden) pada perusahaan besar-besar.
6. Menceraikan Negara
dengan Agama, dengan mengakui Kemerdekaan Agama seluas-luasnya.
7. Memberi hak-hak
ekonomi, politik dan Sosial pada semua penduduk Indonesia lelaki dan perempuan.
8. Nasionalisasi Gedung
besar-besar, mendirikan rumah-rumah baru, dan membagikan tempat tinggal buat
Buruh-Negara.
9. Membunuh penyakit
menular dengan sekuat-kuatnya.
D. Didikan.
1. Didikan dengan
diwajibkan dan ongkosnya Negara buat semua penduduk Indonesia sampai berumur 17
tahun, didikan mana memakai bahasa Melayu sebagai bahasa utama dan bahasa
Inggris sebagai bahasa asing yang terpenting.
2. Menghapuskan
peraturan dan asas Didikan sekarang dan mendirikan peraturan dan asas baru,
yang praktis, yang langsung berhubung dengan industri yang ada dan yang akan
didirikan.
3. Memperbanyak dan
memperbaiki sekolah Pertanian Pertukangan dan Perniagaan dan menambah serta
memperbaiki sekolah tinggi buat Personel Teknik dan Administrasi yang tinggi.
E. Militer
1. Menghapuskan Laskar
yang imperialistis sekarang dan mendirikan Laskar Rakyat buat mempertahankan
Republik Indonesia.
2. Menghapuskan hidup di
tangsi dan peraturan yang menghina Kaum-Serdadu, memberi izin tinggal di
kampung dan di rumah yang dibikin buat mereka, penganggapan yang lebih baik dan
menambah gaji Kaum Serdadu Rendah,
3. Memberi hak leluasa
buat Organisasi dan Pertemuan kepada Kaum Serdadu.
F. Polisi dan Justisi.
1. Memisahkan Pemerintah
dari Polisi dan Justisi.
2. Memberi hak-sempurna
kepada tiap-tiap Pesakitan, buat mempertahankan diri di muka Hakim, dan
melepaskan seorang tertuduh dalam 24 jam, apabila keterangan dan saksi kurang
cukup.
3. Semua Perkara, yang
wettig (mempunyai cukup dasar hukum) mesti diperiksa dalam 5 hari pada tempat
yang umum, teratur dan patut.
G. Aksi-Program.
1. Menuntut 7 jam kerja.
2. Minimum Gaji dan
perbaikan Kerja dan Hidupnya Kaum Buruh.
3. Mengakui Federasi
Serikat Buruh dan hak Mogok.
4. Mengatur Tani buat
hak-ekonomi dan politik.
5. Menghapuskan Punale
Sanctie (pidana terutama atas penolakan untuk melakukan pekerjaan dan melarikan
diri - catatan editor).
6. Menghapuskan
hukum-hukum dan peraturan-peraturan buat menghambat pergerakan politik, seperti
Exorbitante-Stakings-Pers (sensor media - catatan editor) dan Onderwyswetten
dan mengaku hak leluasa buat bergerak.
7. Menuntut hak membikin
demonstrasi. Massa demonstrasi (ramai-ramai) di seluruh Indonesia buat melawan
Tindasan Bergerak dan Pajak dan buat melepaskan semua pemimpin Rakyat yang
dibui dan mengembalikan semua pemimpin Rakyat yang dibuang, massa aksi mana
harus dikuatkan oleh Mogok-Umum dan Massa-ongehoorzaamheid (tak menurut
perintah pemerintah).
8. Menuntut menghapuskan
Volksraad (dewan penasehat untuk Netherlands East Indie yang dibentuk oleh
Belanda - catatan editor), Raad van Indie (Council of Indies atau Dewan Hindia
yang dibentuk untuk mengawasi Gubernur-Jendral VOC - catatan editor) dan
Algemeene Secretarie (Seketratis Jendral - catatan editor) dan memanggil Rapat
Rakyat (Nasional Assembly) dari mana nanti akan dipilih Anggota Menjalankan
Hukum (Komite Eksekutif), yang bertanggungan kepada Rapat Rakyat.
2. Keterangan Program.
Program diatas, ialah buat
seluruh Rakyat Indonesia, yaitu Kasta-Proletar dan Non-Proletar atau yang tidak
Proletar, seperti Kasta Tukang, Saudagar Kecil, Tani, Student d.s.g yang
semuanya menghendaki Kemerdekaan sebagai Bangsa dan melawan Imperialisme
Belanda. Sebab di Indonesia tidak sampai 1% penduduk yang membenci pada
Indonesia Merdeka dan cinta pada Pemerintah Belanda, maka Program Nasional ini
tidak salah namanya, karena betul memeluk hampir semua penduduk Indonesia.
Oleh karena di Indonesia
Kasta Buruhlah yang terkumpul atau geconcentreerd (terkonsentrasi), maka ia lah
pula yang bisa memberi pimpinan pada kasta-kasta yang lain-lain yang cerai
berai itu. Pada Program ini kita melihat, bahwa Buruhlah yang termuka dalam hal
tuntutan. Terutama tuntutan ekonomi (A), Sosial (C), dan Aksi (G), sebagian
besar semata-mata buat keperluan Kaum Proletar. Tetapi dalam tuntutan Politik
(B), Didikan (D), Pengadilan (F), keperluan Buruh banyak bersamaan dengan
non-Proletar, sebab itu bisa dicampurkan. Umpamanya semua tuntutan politik (B.
dari 1-4) sama sekali boleh dipakai buat non-proletar. Tuntutan ekonomi seperti
A. 5, 6, 7 dan 8 bolehlah dikatakan terutama buat non Proletar. Sedangkan
tuntutan F dari 1-3 semata-mata buat kasta yang tidak boleh kita lupakan dan
lengahkan ialah Kaum-Serdadu.
Walaupun pada Program
Nasional, yakni buat seluruh Native atau penduduk Indonesia, semua tuntutan
kita jadikan satu, tetapi dalam propaganda dan agitasi tentulah, tuntutan yang
terutama buat Kaum Buruh tidak boleh kita pakai buat kaum Tani. Umpamanya
tututan nasionalisasi pabrik tentulah buat kaum Tani tidak sepenting perkara
pertanian dan koperasi. Jadi dalam agitasi dan propaganda kita mesti pilih
tuntutan yang konkrit atau yang nyata dan dirasa buat masing-masing kasta.
Kadang-kadang kita pentingkan betul tuntutan ekonomi seperti pada kasta Buruh
dan Tani, kadang-kadang kita pentingkan politik seperti pada penduduk kota dan
Kaum Student, kadangkadang perlu kita terangkan sikap kita terhadap kepada
agama, seperti di Solo, Yogya, Aceh, Banjarmasin.
Semua tuntutan yang diatas
tentulah yang umumnya saja. Berpuluh-puluh tuntutan kecil-kecil buat Buruh,
Tani dan Student atau Tukang, di Jawa atau Sumatera d.s.g pada kitab ini tak
bisa kita tuliskan. Program Nasional haruslah pendek dan memeluk dasar dari
tuntutan yang terutama saja. Tetapi plaatselyke Organisaties dan plaatselyk
Beleid atau kecakapan pada masing-masing tempat tak boleh melupakan tuntutan
yang plaatselyk dan penting buat satu kasta atau golongan. Umpamanya buat Kaum
Militer boleh lagi ditambah beberapa tuntutan. Begitu juga buat Buruh Gula,
buat Pelabuhan, buat Tani di d jawa, Sumatera dan Borneo, buat saudagar kecil
di mana-mana negeri, buat pemancing ikan di Madura, Ternate d.s.g, pimpinan
pada masing-masing tempat mesti mengadakan tuntutan, sehingga seluruh penduduk
Indonesia mempunyai Program buat mengubah nasib masing-masing kasta atau
golongan.
Semua tuntutan itu
haruslah konkrit atau dirasa, pendek dan terang. Dari tuntutan bersifat semacam
inilah bisa datang keyakinan dan bisa lahir aksi revolusioner.
IV. ORGANISASI.
Adapun perkara organisasi
pada suatu jajahan, seperti Indonesia adalah suatu perkara yang sangat sukar
dan penting sekali. Dari pada kuatnya organisasi kita itulah bergantungnya,
bisa atau tidakkah kita kelak memecahkan organisasi musuh yang sangat teratur
tiu. Berhubung dengan Organisasi kitalah kelak bergantungnya, bisa apa tidakkah
kita merebut Kemerdekaan, baikpun sebagai Bangsa ataupun sebagai Kasta.
Tiadalah bisa kita
putuskan semua persoalan Organisasi itu dengan perkara Agama, sehingga barang
siapa sudah "dikekahkan" dan pandai menyebut "syahadat"
bolehlah diikat di dalam satu perkumpulan. Tiada perduli apa yang satu Saudagar
Besar dan yang lain buruh atau tani melarat. Atau dengan persoalan Kebangsaan,
sehingga barangsiapa mempunyai kulit hitam atau setengah hitam bisa masuk ke
dalam satu Partai politik. Tak perduli apa yang satu Tuan Tanah dan yang lain
tak berpunya apa-apa.
Kita harus menyusun
serdadu buat merebut kemerdekaan itu menutut keperluan masing-masing, yang sama
keperluan hidup dalam satu organisasi pula, karena buat memperbaiki keperluan
hidup itulah manusia dari tiap-tiap Sejarah dan tiap-tiap bangsa bergerak dan
mengorbankan nyawanya. Oleh karena si Kapitalis bertentangan keperluannya
dengan si Buruh, baikpun mereka "Indier" cap N.I.P. ataupun
kaum-Islam cap S.I, seperti macan bertentangan keperluannya dengan sapi, oleh
karena itulah mereka dari dua Kasta itu tak boleh disusun dalam satu barisan.
Kalau mereka sementara bisa bekerja bersama-sama buat menendang musuh, seperti
di Indonesia, haruslah mereka disusun dalam berlain-lain barisan. Oleh karena
kita Marxis percaya, bahwa semua pertandingan di dunia terbawa oleh tindasan
dan kemelaratan, maka sebab itulah kita terutama bersandar atas Kaum Tertindas
dan Melarat.
Walaupun kita
internasionalistis, tiadalah bisa kita mengambil saja Organisasi Buruh di Eropa
atau Amerika dan tanpa kritik, menanam Organisasi itu di negeri kita.
Organisasi-pindahan semacam itu akan mati sendirinya saja, seperti gandum
Eropa, kalau dipindahkan ke Indonesia niscaya akan mati juga. Kita harus dengan
semangat Marxisme, memeriksa keadaan ekonomi, sosial dan kebudayaan di negeri
kita, memeriksa banyak, kuat dan kualitasnya kasta-kasta yang ada di Indonesia
dan menyusun tiap-tiap Kasta yang terhimpit pada masing-masing Barisan dan
menyusun semuanya Barisan dari semuanya Kasta itu pada Tentara Nasional, buat
memecahkan musuh dari dalam ataupun luar negeri.
1. Maksud dan Sifat-sifat
Organisasi
Maksudnya Partai
Revolusioner di Indonesia ialah buat menendang Musuh dan mempraktikkan atau
melakukan Programnya. Jadi Cara dan Sifatnya bekerja haruslah sepadan dengan
Maksudnya itu, dan sepadan pula dengan Tempat dan Keadaannya bekerja. Artinya
yang terus ialah sepadan dengan tingkat dan tajamnya perkelahian dan sepadan
dengan pulau, kota atau desa tempat kita mengadakan aksi. Berhubung dengan itu,
maka aksi kita pada waktu reaksi belum kurang ajar dan Rakyat masih lembek
berlainan den gan aksi kita, kalau reaksi kurang ajar dan Rakyat bangun dan
tetap hati. Dan lagi aksi yakni cara dan sifatnya kerja kita itu di Jawa lain
dari di Sumatera atau Ternate, di Surabaya lain dari di Cicalengka atau
Magelang, dimana industri masih lemah.
Makin plastis atau liat
seperti rotan Cara dan Sifat kerja kita itu, makin besar pengaruh Partai kita
di seluruh Indonesia dan makin dekat Maksud kita. Supaya kita bisa memimpin
seluruh Rakyat Indonesia yang tertindas itu, haruslah kita lebih dahulu bisa
memimpin Partai kita sendiri yang sebagai Avant-Garde atau Pasukan Muka dari
Rakyat yang Revolusioner itu.
Sebab itulah maksudnya
Organisasi kita, terutama buat mengatur pimpinan yang sempurna, yakni menyusun
dan mendidik kekuatan yang bisa memberi pimpinan kepada seluruh Rakyat.
Pimpinan itu baru bisa
sempurna, kalau perhubungan atau kontak dengan Rakyat sempurna pula. Tanpa
kontak satu Partai tak bisa memberi pimpinan, karena ia terlampau maju di muka
atau terlampau tinggal di belakang Rakyat.
Supaya hubungan dengan
Rakyat Melarat rapi sekali, maka Organisasi kita memeluk dasar Demokratis
Sentralisme. Artinya ini Sentralisasi Pekerjaan yang dilakukan dengan semangat
demokratis atau sama rata. Jadi semua anggota Revolusioner dan semua anggota
Revolusioner, seperti P.K.I, S.R, Serikat Buruh, JOI, d.s.g, masing-masingnya
harus bekerja menurut kekuatan masing-masing, pekerjaan mana mesti teratur dan
terkumpul. Bedanya Partai kita dengan Partai Sosial Demokrat, yakni beda
bekerja. Pada Partai Sosial Demokrat yang bekerja itu cuma pemimpinnya, tetapi
anggotanya pasif saja. Sebab itulah Partai Sosial Demokrat sangat birokratis.
Semua anggota menurut saja apa perintah pemimpinnya, sama betul dengan
demokratisnya Parlamentarisme Kaum Hartawan, yang juga terbagi atas Menteri
yang aktif dan mengerjakan sekalian pekerjaan dan anggota Parlemen, yang
kerjanya mengomong saja. Pada Partai Komunis semuanya anggota harus bekerja,
kecil atau besar (propaganda, kursus, membagi surat kabar, buku, mengerjakan
administrasi d.s.g menurut kecakapan masing-masing), sehingga demokrasi atau
sama rata kita artinya "sama rata bekerja." Sifat Demokratis
Sentralisme itulah yang bisa menghilangkan birokratisme, dan ialah yang
mendidik pimpinan sampai kuat dan plastis.
Disiplin itu, ialah
nyawanya suatu pergerakan revolusioner. Dalam pergerakan S.I sudahlah cukup
kalau seorang bersumpah "demi Allah demi Qur'an," buat menjadi
anggota. Dalam pergerakan N.I.P sudahlah cukup kalau orang yang mau jadi
anggota itu mengaku azas N.I.P. Sesudahnya ia bersumpah, atau sesudah ia
mengaku dasar itu ia boleh tidur nyenyak, dengan tiada dapat gangguan apa-apa
dari partainya. Tetapi buat pergerakan kita "mengaku Program" itu
belum lagi setengah kewajiban seorang anggota.
Partai komunis tiadalah
menghendaki "pendeta Komunis" yang hapal programnya dari muka sampai
ke belakang dan dari belakang sampai ke muka. Partai kita mau aksi atau
perbuatan, aksi yang tetap dan benar yang berpadanan dengan azas dan maksud
kita. Kalau pada waktu sebelum revolusi seorang anggota tiada mengeluarkan aksi
apa-apa, maka tiadalah bisa kita harapkan yang dia pada waktu yang penting tiba
tiba saja akan mendapat semangat yang aktif, seolah-olah mendustakan dirinya
sendiri pada waktu biasa. Ringkasnya Partai kita menuntut aksi yang tetap dan
benar, besar atau kecil dari tiap-tiap anggota. Kalau seorang anggota tiada
mencukupi perintah Partai, mengerjakan pekerjaan yang dikira berpadanan dengan
kekuatan anggota itu, maka lebih baik ia keluar saja dari pada tinggal dalam
Partai dan memberi contoh yang buruk pada kawan‑ kawannya yang lain. Tetapi
disiplin kerja atau arbeiddisipline semacam itu, tentulah pula tidak dalam
satu hari saja bisa kita jatuhkan. Kita periksa dulu keadaan satu Seksi atau
Lokal dan perkara menjatuhkan "disiplin kerja" itu harus ditimbang
betul-betul dengan pemimpin-peminpin yang sudah lama kerja. Tetapi disiplin itu
haruslah segera dijatuhkan pada seorang anggota yang mengkhianati partai, juga
pada seorang anggota yang tiada mempertahankan.
Serdadu revolusioner itu
ialah serdadu yang mengerti dan mufakat dengan Program partainya, yang selalu
bekerja sepadan dengan kekuatannya dan selalu menjaga kesentosaan partainya
terhadap kepada musuh di dalam atau di luar partainya.
Agitasi. Seperti seorang
Penambang menceraikan emas itu dari tanah dan lumpur, maka kita mengeluarkan
aksi Kaum Tertindas itu dari peri kehidupan mereka itu juga. Perkakas kita buat
mengeluarkan aksi itu ialah Agitasi. Dari dalam, betul dan kuatnya Agitasi
itulah bergantung datangnya Aksi.
Membuat Agitasi itu
tiadalah dengan "Assalamualaikum atau dalil-dalil" cap Haji Agust de
Groote ...... dengan tiada menyelesaikan persoalan hidup si Kromo hari-hari,
atau kalau menyelesaikan ia tiada berani menarik si Kromo kepada aksi. Juga
tiada seperti N.I.P yang agitasinya tiada pula lebih jauh welsprekendheid
(lancar) atau mahirnya bicara tentang darah Indier dan wataknya Indier. Kita
Kaum Komunis tak pula boleh berlaku seperti Kaum Syndicalist, yang menyangka,
bahwa kalau kita campur menuntut hak Kecil-kecil ada berlaku kompromistis, dan
cuma berharap, seperti kaum Utopis, bahwa Aksi Rakyat itu kelak datangnya akan
sama sekali tiba-tiba saja. Tidak pula seperti si Pengkhianat Kaum Sosial
Demokrat yang campur menyelesaikan persoalan si Kecil itu ialah buat menarik
mereka, supaya ia memilih Kaum Sosial Demokrat jadi anggota Parlamen, atau
supaya Kaum Buruh masuk jadi anggota Partai Sosial Demokrat. Kita Kaum Komunis
menyelesaikan persoalan si Kromo, supaya mendapat kepercayaan dari mereka,
bahwa kita betul-betul mau menolong mereka. Begitulah kita mendapat kontak
dengan mereka dan bisa menarik mereka kepada aksi yang teratur.
Agitasi itu haruslah
konkrit atau nyata sekali. Haruslah ia bersandar atas hisapan dan, tindasan si
Kecil hari-hari. Di antara Buruh, tentulah perkara gaji, lama kerja dan
penganggapan-lah perkara yang ter penting. Tiadalah perkara ini boleh kita
singkirkan, melainkan kita dengan segala kepintaran memberi jawab, yang bisa
memberi kepercayaan dan menimbulkan aksi kaum Buruh. Pada penduduk kota-kota,
dimana non-proletariers yang terbanyak itu, selalu diojak-ojak oleh Tuan Tanah,
Pemungut Pajak, Tuan Rumah, d.s.g. perkara pajak dan perkara sewa rumah itulah
perkara yang penting buat peri hidupnya Rakyat. Begitulah pula pada desa-desa,
baik di Jawa, Sumatera atau Celebes perkara tanah dan pajak itulah sangat
dirasa oleh penduduk negeri. Dalam hal ini tiadalah boleh kita memangku tangan
dan seperti seorang Pendeta menunjuk ke kitabnya, serta berkata: "Kalau
Komunisme datang semuanya itu akan hilang. Apalkanlah Komunisme supaya Zaman
Keselamatan itu lekas datang. Rajinlah saudara mengunjungi Kursus kami. Kami
tak suka main pakrol-pakrol, karena itu semua kompromis. Tahanlah lapar dan
sakit sampai Komunisme datang." Kita ulang lagi, apa saja tindasan Rakyat
kita mesti memperlihatkan kepintaran buat memberi oplossing atau jawab, mesti
mempunyai keberanian buat berdiri di muka, menuntut Haknya Rakyat, yang
tertindas. Seperti si Penambang akan mendapat emas dengan memasukan tangannya
kedalam lumpur begitulah pula kita harus bisa membawa Rakyat ke dalam Aksi,
kalau kita campuri kesakitan dan siksanya hari-hari.
Dari aksi kita hari-hari
itulah kita bisa memperoleh kepercayaan, pengaruh dan Contract yang kekal, dan
dari aksi kecil-kecil itulah bisa lahirnya aksi yang besar. Marxisme itu
bukanlah ilmu "hapalan" melainkan satu pedoman buat aksi, atau satu
richtsnur tot handelen (guide to action)
Legal atau Illegal yakni
Terbuka atau Tertutupnya, kita bekerja semuanya bergantung kepada keadaan
bekerja. Kita suka bekerja legal, karena dengan jalan umum itu Program dan
Taktik kita lekas diketahui oleh seluruh Rakyat. Tetapi kalau terpaksa, kita
mesti teruskan propaganda dan Agitasi kita dengan jalan tertutup. Walaupun kita
dipaksa berjalan tertutup, kita harus memakai dengan segala kekuatan dan
kecakapan segala jalan buat mendapat kontak dengan Rakyat. Tidak boleh kita
geisoleerd (terisolasi) atau terpisah dari Rakyat.
Di Eropa Barat kita
melihat pada waktu sebelum perang, Partai yang terbuka itu, tak bisa sama
sekali bekerja tertutup seperti Partai kita di Rusia. Sebabnya ialah karena di
Barat sangat tebal demokratisnya negeri, jadi orang bisa mendorong kiri kanan
dengan mulut. Tetapi di Rusia Partai revolusioner harus bekerja di bawah tanah.
Sebab itulah kalau Revolusi datang dan Partai revolusioner di Barat itu
terpaksa bekerja tertutup ia tidak bisa jalan seperti Partai kita di Rusia yang
tahu kerja, baik terbuka atau pun tertutup.
Partai yang selalu kerja
tertutup itu, ada mengandung bahaya, sama sekali akan kehilangan kontak dengan
Rakyat melarat. Sebab itu ia akan tidak tahu, bagaimana perasaan Rakyat, dan
kalau ia tiba-tiba keluar, Rakyat tidak mengikut, atau kalau Rakyat melarat
tiba-tiba memberontak, Partai yang tersembunyi dan kehilangan kontak tadi,
belum lagi siap.
Contoh Partai Konspirasi
atau Rahasia, yang tak mempunyai kontak itu banyak di negeri Timur, seperti.
Afdeeling B satu contoh yang baik. Sesudah anggotanya disumpahi setinggi
langit, maka ia boleh kelak menunggu "alamat" dari Alam dan menunggu
perintah dari pimpinan yang tertinggi, kapan mesti keluar. Alamat buat keluar
itu, tiadalah hal yang nyata yang beralasan ekonomi atau politik melainkan,
barang yang gaib-gaib yang kita kaum Komunis pada masa ini tak bisa mengerti lagi.
Anggotanya tak bekerja dengan sadar, memakai anggota ekonomi dan politik Rakyat
yang ada dan diaku sah oleh Pemerintah buat mendalamkan aksi, melainkan bekerja
menambah iman. Tiba-tiba ia ketahuan oleh pemerintah, dan kalau pemimpinnya di
hukum berat, Rakyat tercengang, karena ia memang tak tahu apa-apa.
Kalau kita mengatakan kita
mesti kerja tertutup, maka maksud kita bukanlah mesti meninggalkan pekerjaan
yang praktis hari-hari dan kita lakukan kerja tertutup itu ialah karena
terpaksa, seperti sekarang kita sudah terpaksa menutup sebagian dari pekerjaan.
Bukan karena kita takut melainkan karena kita tidak bodoh dan mau diprovokasi,
yakni berkelahi sebelum siap betul. Pada masa Afdeeling B tak ada hal yang
penting yang menyebabkan anggotanya perlu bersumpah gelap-gelap, karena S.I
mempunyai pengaruh berjuta-juta. Kalau S.I mempunyai pimpinan yang pantas atau
ditolak maju berterang-terangan oleh Pasukan S.I. sendiri, dan dalam S.I.
sendiri, sebagai Linker-Vleugel atau Sayap Kiri, maka 2 atau 3 biji Belanda,
yang tersesak karena ada peperangan (1914-1918) itu gampang dikirim ke pulau
Merak.
Kalau kita Kaum Komunis
terpaksa bekerja tertutup, maka kita mesti tetap tinggal bersambung dengan
Rakyat. Anggota kita mesti tinggal mengurus anggota-anggota yang masih diaku
Sah oleh yang berkuasa. Kalau Serikat Buruh umpamanya tak diaku, maka kita lari
ke koperasi, kalau inipun tak diakui kita lari lagi ke Serikat Kematian, dan
seterusnya, sampai "saat" kita datang, yakni kalau seluruh Rakyat
keluar bergerak. Bekerja dalam Organisasi yang di aku sah oleh pemerintah itu
perlunya bukan saja buat mengetahui stemming atau suaranya Rakyat, tetapi juga
buat mendidik pemimpin-pemimpin kita berbicara dan mengatur Organisasi.
Sehingga kalau Pemberontakan datang kita tidak kekurangan Orator, yakni tukang
pidato, Agitator dan Organisator yang cakap, pemuka-pemuka mana perlu sekali
buat merebut dan mempertahankan Kemerdekaan ke dalam dan ke luar Negeri.
Partai Komunis berdiri
atas Massa-Aksi, yakni Aksi beramai-ramai dan Massa-Aksi ini bersamping kepada
demonstrasi. Demonstrasi-politik, dijalankan dengan tuntutan politik. Kalau
yang menuntut cukup kuat dan gembira, maka hak-politik itu boleh direbut dengan
kekarasan.
Pada sesuatu demonstrasi,
kontak atau Perhubungan dengan Rakyat (Buruh, Tani, Tukang, Saudagar dan
Student) haruslah teguh betul. Perhubungan itu baru bisa teguh dan boleh
dipercaya, kalau Pimpinan demonstrasi itu ada mempunyai cukup wakil dari semua
Kasta yang tersebut diatas. Suara semua Wakil Kasta itu mesti didengar betul
oleh urusan demonstrasi, kalau tidak demonstrasi itu bisa terlandpur atau
ketinggalan. Sebab di Italia dan Inggris umpamanya pada waktu sesudah perang
Partai kita, yang dikhianati oleh Sosial Demokrat itu tak cukup mengadakan
Wakil dari Serikat Buruh, jadi tak cukup mengadakan kontak dengan Buruh, maka
ia jadi kalah, Di kedua negeri itu kita sudah bisa merebut politik negeri,
sebab Buruh sudah luar biasa kegembiraannya (di Inggris 1-2 juta Buruh Tambang
3 bulan mogok). Tetapi Partai Politik Komunis disana tak cukup mendapat
Suaranya Kaum Buruh itu, sebab tak cukup Wakil di dalam Partai.
Supaya demonstrasi di
Indonesia berhasil, haruslah kelak di Sentral Pimpinan Revolusioner diadakan
Wakil dari semua Pulau dan semua Kasta di Indonesia. Begitulah suara dari
segenap pihak boleh di ukur dan kita tak mudah ketinggalan seperti di Italia
atau Inggris dulu itu dan tak pula mudah terlanjur seperti pada Aksi bulan
Maret di Jerman 1921.
Demonstrasi itu menuntut
Pimpinan yang plastis dan Korban yang banyak. Pimpinan mesti selalu tahu, apa
demonstrasi mesti diperkencang lagi dengan Pemogokan atau Boikot. Dalam masa
itu Pimpinan, Surat Kabar, dan Perhubungan surat menyurat mesti ditempat yang
rahasia, yang tak bisa diketahui oleh musuh.
Sebelum demonstrasi
keluar, haruslah dibicarakan lebih dahulu tempat Demonstrator yang keluar dari
semua penjuru kota atau desa mesti bertemu, apa tuntutan yang penting buat masa
itu, apa perspektif atau Hasil demonstrasi kelak, kapan dan bagaimana mesti
dibubarkan. Bersama-sama dengan beriburibu dan berjuta-juta Demonstrator itu
ada tersembunyi Pimpinan, sebagai Staff umum atau Sidang Pimpinan, yang cukup
mendapat kabar dari manamana dan pada tiap-tiap saat bisa memberi perintah
kepada pemimpin-pemimpin yang ditaruh dipenjuru yang penting-penting, buat
memimpin sekalian pasukan demonstrasi tadi.
2. Tentara Nasional.
Berapa susahnya mengadakan
Organisasi yang tetap pada suatu jajahan seperti Indonesia, sudahlah bisa
dibuktikan oleh sejarah pergerakan Indonesia, sendiri dalam kira-kira 17 tahun
yang terakhir ini, Organisasi B.O cuma tergantung diawang-awang saja, sama
sekali tak mempunyai pengaruh diantara Rakyat. N.I.P dan S.I yang diembus
dengan "kebangsaan" dan "Agama" sekarang sudah kosong
karena pompa angin tak bisa kerja begitu lama. Organisasi itu mesti berurat
pada ekonomi dan Kasta, baru ia bisa tumbuh dengan tetap. Tetapi kita mesti
bilang terus terang, bahwa sampai sekarang pada partai kita sendiripun belumlah
jelas dan konsekuen, bahwa "Keadaan ekonomi dan Keadaan Kasta di
Indonesia" itulah yang menjadi kriteria atau ukuran dalam pertimbangan
kita buat mengadakan Organisasi. Di jajahan lain-lain seperti Mesir, India
d.s.g dimana ada Nasional Kapital yang kuat dan pergerakan Nasionalisme yang
revolusioner, maka dalam golongan Kaum Komunis sendiri adalah timbul
pertimbangan, apakah tidak baik, jangan mendirikan Partai Komunis sendiri,
melainkan memasuki Partai Nationalis yang revolusioner yang ada, dan dari
dalam, sebagai Linksche Vleogcl atau Sayap Kiri, menumpu pergerakan
Nasionalisme itu sampai ke Revolusi. Alasan pihak ini, yakni, dimana Buruh
diatur oleh Kaum Komunis berpisah dari Kaum Nasionalis, seperti sudah dilakukan
di Mesir dan India, disana pergerakan Nasionalis jadi mundur. Jadi kata pihak
ini, selama pergerakan Nasionalisme masih revolusioner, biarlah Buruh Industri,
yang menang pada tiap-tiap jajahan jadi pasukan muka pergerakan revolusioner,
diatur oleh Kaum Nasionalis, dan kita Komunis cuma menolong saja dari dalam dan
menjaga supaya pergerakan jangan jadi lembek. Maksud yang pertama toh, kata
pihak ini seterusnya melemparkan "imperialisme."
Disini tak tempatnya buat
memeriksa pertimbangan ini lebih jauh. Tetapi kita boleh mengambil pengajaran
dari pertimbangan itu, bahwa pada satu jajahan pergerakan nasionalisme itu buat
melemparkan imperialisme satu faktor atau hal yang sangat penting, yang tiada
boleh kita putuskan dengan dogma atau "kajian hapalan" saja.
Sebaliknya pula kita tidak
boleh menunjuk ke bangkai S.I dan N.I.P dan berkata : "Nah, kan perlu lagi
dihidupkan bangkai bangkai ini."
N.I.P dan S.I mati karena
ada mempunyai sebab yang dalam sekali, ialah karena tak ada Nasional Kapital
yang kuat di Indonesia, yang bisa memberi inspirasi atau semangat buat
mendirikan Program yang kokoh, Organisasi yang teratur serta Taktik yang tetap,
seperti di Mesir dan India. Oleh karena pemimpin-pemimpin B.O, N.I.P, & S.I
seperti Dauwes Dekker, Tjipto, Tjokro Aminoto dan Salim terpaut oleh Kasta dan
didikan mereka, ia tak pernah sampai ke kasta Kaum Buruh. Mereka tak bisa
mengerti, bahwa di Indonesia Kasta inilah yang kuat karena geconcentreerd
(terkonsentrasi) dan dari Kasta inilah bisa datangnya inspirasi dan pimpinan
buat merebut kemerdekaan.
Sebaliknya pula kita
Komunis tak pula boleh memandang Indonesia sabagai Negeri industri, seperti
Jerman atau Inggris, dan memikir bahwa Kebangsaan dan Agama dalam pertarungan
kemerdekaan sama sekali tak ada artinya. Dan berhubungan dengan hal ini
cukuplah kalau di Indonesia kita adakan Satu Partai Komunis saja.
Sikap inilah kira-kira
yang dipeluk oleh pihak yang mau menghapuskan S.R pada Konferensi bulan
November 1924 di Yogya. Yang dijadikan alasan, ialah :
"Kaum borjuis kecil
di Indonesia selalu kalah, juga dalam perjuangan dengan imperialisme Belanda,
yang tergambar pada B.O, N.I.P & S.I. Sebab itu S.R yang juga kumpulan
borjuis kecil tak akan bisa menang."
Demikianlah kira-kira
isinya Referaat Hoofdbestir. Kalah atau menangnya borjuis kecil di Indonesia
buat kita pada masa ini perkara "puur philosophisch" (filosofi murni)
artinya perkara timbang menimbang dengan tiada akan mendapat keputusan. Tetapi
bukanlah kesimpulan atau putusan kalah menangnya itu sekarang yang terpenting
buat kita, melainkan akuan, yang tak dibantah, malah terbawa oleh Referaat tadi
sendiri, yakni Kaum borjuis kecil masih selalu berkelahi, jadi masih
revolusioner.
Inilah yang terpenting
buat kita, dan hal ini memang apriori atau sudah termasuk ke dalam pikiran.
Kaum Borjuis Kecil, di mana-mana mau menjadi Borjuis Besar atau Hartawan-Besar.
Pada Zaman Bangsawan,
Borjuis kecil Indonesia terhambat oleh Raja dan Bangsawan kita, sebab itu ia
acap berperang dengan Bangsawan itu. Pada Zaman kita mereka terhambat oleh
imperialisme Belanda, sebab itu ia sekarang melawan imperialisme Belanda.
Perlawanan ini sudah terbawa oleh alam dan tak akan habis, selama keadaan
kasta-kasta masih tetap. Ringkasnya sekarang dalam himpitan imperialisme
Belanda, borjuis kecil kita yang kira-kira 70% banyaknya dan tak berapa bedanya
tertindas dari Kaum Buruh Industri akan tinggal revolusioner.
Berhubung dengan akuan
diatas ini maka persoalan kita seharusnya, sebelum imperialisme Belanda belum
kalah, ialah:
Bagaimana kita mesti
mengatur P.K.I. yang kuat sebagai Avant-Garde atau Pasukan-Muka dari pergerakan
revolusioner Indonesia ?
Bagaimana kita mesti
menyusun Kaum Non-Proletar, sebagai Reserve atau Pasukan Pembantu pergerakan
revolusioner ?
Bagaimana kita mesti
menarik Landstorm atau Laskar dalam waktu tersesak, dari seluruh Rakyat Melarat
?
Bagaimana kita mesti
mengadakan perhubungan antara P.K.I dan S. R. sebagai Partai Non-Proletar ?
Inilah persoalan
kemerdekaan di Indonesia. Kita mesti mengaku, bahwa Non-Proletar saja tanpa
Kaum Buruh susah mengalahkan Belanda. Sebaliknya pula Kaum Buruh tanpa
pertolongan 70% Non-Proletar tidak pula mudah akan menang. Sedangkan di Jerman,
dimana 75% dari penduduk negeri sama sekali buruh Industri model baru, pada
tahun 1923, yakni waktu yang terpenting sekali buat revolusi, kita dengan
segala daya upaja mendekati Kaum Borjuis Kecil. Juga di Rusia kemerdekaan kita
peroleh dan kita pertahankan dengan Kaum Tani besar kecil yang banyaknya 80%
itu, jadi dengan borjuis kecil juga.
Berhubungan dengan 4
persoalan yang diatas, maka kita sangka pertimbangan buat mengadakan Satu
Partai, yakni P.K.I saja buat seluruh Indonesia ada salah. Kita pikir di kota
besar-besar seperti Betawi, Semarang dan Surabaya pun sekarang mesti dilakukan
Partai Kembar, yakni P.K.I dan S.R. Dengan politik Satu Partai, baik di seluruh
Indonesia ataupun buat kota-kota besar, kita pikir, pertama kita bisa tinggal
kecil (sectarisme) atau kedua besar, seperti perut kemasukan angin.
Kecil, karena sudah kita
terangkan, bahwa Indonesia tidak negeri industri betul melainkan
landbouw-industri. Sudah pula kita perlihatkan, bahwa kota-kota kita bukan
pusatnya industri (kain, besi, mesin, kapal d.s.g). Penduduknya kota-kota kita,
terutama non-proletar, seperti tukang-tukang, dobi, saudagar kecil-kecil
seperti penjual cendol, satai d.s.g. atau Buruh Halus, seperti guru-guru,
jongos, clerk d.s.g. Yang buruh tulen di kota-kota kita masih sangat sedikit,
kalau diperbandingkan dengan jumlah penduduk. Lagi pula mereka bukan buruh
industri produktif yakni buruh yang mengadakan hasil (kain, besi, dll),
melainkan buruh pengangkut, seperti kereta, kapal dan tram, yang kecakapannya
juga kurang dari buruh industri betul. Tiadalah seperti di Berlin, London atau
New York, dimana, kalau tutup pabrik pukul satu berbunyi kita melihat sampai
1.000.000 Buruh Pabrik, yang muka, tangan dan pakaiannya berkilat-kilat dengan
minyak mesin, berduyun-duyun meninggalkan pabrik. Ini belum ada! Malah belum
seperti Bombay, dimana buruh kain saja terkumpul 150.000. Atau di Calcutta yang
mempunyai 300.000 buruh model baru, seperti buruh pelikan (tambang), kain,
mesin, kereta, kapal dll. Betul ada beratus ribu sudah terkumpul di perusahaan
gula, tetapi mereka itu buruh tani. Yang buruh pabriknya baru sedikit, dan
sebab disini ada pabrik gula, disana 50 KM lagi berdiri pabrik lagi, jadi sebab
sangat terpencar-pencar, maka kita susah pula mengatur mereka.
Ringkasnya betul buruh
kita (kereta, kapal, gula, minyak d.s.g.) lebih kuat dari non-proletar, karena
mereka menjalankan perusahan negeri, tetapi kita jangan overschatten
(overestimate atau melebih-lebihkan), melebihi perhitungan kekuatan kita. Kalau
kita bersandar semata-mata pada buruh tulen dengan mengadakan Satu Partai,
serta menghilangkan S. R. maka Partai kita akan sangat kecil.
Kalau ia dijadikan besar,
maka terpaksa ia menarik jadi anggotanya saudagar-saudagar cendol, nasi, rujak
d. s. g. Inilah namanya verwatering (mengencerkan), lebih santan dari pada air
dan seperti SI akan segera jatuh kegemukan saja. Tidak boleh tidak elemen
borjuis kecil itu, kalau masuk Partai Komunis, walaupun ia
"menghapalkan" program kita, akan membawa semangat dan wataknya
borjuis kecil (adat, logika, dan sifatnya). Betul kursus dan didikan bisa
membangunkan semangat revolusioner, tetapi sebagai Marxis kita mesti tahu
"bahwa keadaan itulah yang menentukan semangat" atau de materieele
onderbouw bepaalt den geestelyken bovenbouw. Cuma kaum Utopis dan Dogmatis yang
percaya, bahwa dengan "menghapalkan" saja satu ilmu bisa jadi orang
bersifat baru. Betul bisa satu atau dua orang yang bukan golongan buruh bisa
menjadi Komunis, tetapi sebagai kasta, Kaum borjuis kecil tak bisa dilompatkan
menjadi Komunis Revolusioner. Dan sebab di Indonesia borjuis kecil itu memang
masih terpaut oleh semangat revolusioner (sebab belum pernah menang) sebab
itulah kita gampang menyangka, bahwa sebab dia revolusioner itu ia Komunis.
Inilah bahaya yang ada kalanya kelak bisa masuk ke dalam badan PKI sendiri,
yang bisa memecahkan diri dari dalam.
Bagaimana, kalau kita
dirikan Satu Partai buat seluruh Indonesia dari kaum Buruh, dan non-proletar
kita susun dalam Serikat Buruh?
Serikat Buruh saja tak
cukup buat mereka, karena mereka borjuis kecil di negeri kita juga mempunyai
cita-cita politik. Siapapun di kota-kota atau desa-desa, apapun juga
pekerjaannya ia mau merdeka sebagai bangsa. Jadi kita harus mengadakan politik
yang sepadan dengan kehendak mereka itu. Koperasi, Serikat Buruh atau Serikat
Tani tak mencukupi cita-cita politik, lebih-lebih dari penduduk kota dan
setengah kota.
Lagi pula, kalau kita mau
mengadakan Serikat Buruh buat borjuis kecil di kota besar-besar seperti Betawi,
Semarang, Surabaya d.s.g. di kota-kota klas dua seperti Sumedang, Pekalongan,
Palembang, Banjarmasin d.s.g, berapa ribu Serikat Buruh mesti kita bikin, buat
mengikat saudagar kecil-kecil, jongos, tukang penatu d.s.g, Ini dalam
praktiknya mustahil!
Kita tidak saja di
desa-desa dan kota-kota klas dua mesti mengadakan Organisasi politik yang
memenuhi cita-cita 70% dari penduduk kita, tetapi juga di kotakota besar
seperti Betawi dan Surabaya, dimana borjusi kecilah yang terbanyak dan industri
produktif sama sekali belum ada. Baru kalau Partai Komunis bersamping dengan
Organisasi, yang memeluk beribu-ribu anggota, yang pada segenap waktu bisa
dijalankan bersama-sama, baru kita bisa mengadakan aksi politik umpamanya
demonstrasi yang berarti. Walaupun kita cuma dua atau tiga ribu, tetapi kalau
kita dalam Aksi politik sebagai Avant-Garde dikelilingi oleh beribu-ribu
Proletar & Non-proletar sebagai reserve, dan disukai oleh seluruh Rakyat
yang tertindas sebagai Landstorm, kita bisa menang.
Berhubung dengan pertimbangan
kita diatas, maka buat menjawab 4 pertanyaan tadi buat Indonesia Organisasi
yang berikutlah yang sepadan dengan keadaan kita
1. Diadakan Partai-Kembar
(PKI & S. R.), pada pusat ekonomi, politik dan Pergerakan, seperti di
Betawi, Semarang, Surabaya, Bandung, Padang dan Medan, pada pusat ekonomi
(industri) seperti Cepu, Kediri, Pelaju, Belitung, Pangkalan Brandan,
Sawah-Lunto, Balik Papan d.s.g, pada pusat politik, seperti Palembang,
Kota-Raja d.s.g., pada pusat pergerakan, baik kereta atau kapal, seperti lain
yang sudah tersebut diatas juga Banjarmasin, Makasar, Cilacap, Cirebon d.s.g.
yakni menurut pertimbangan yang lain-lain (seperti di Balik Papan sudah cukup
PKI saja).
Anggota PKI terutama mesti
dari Buruh industri, seperti dari bengkel, baik kereta ataupun pelabuhan, Buruh
Cetak, Pabrik gula, minyaktanah, tambang arang, minyak d.s.g. Golongan inilah
yang mesti jadi ruggegraat atau tulang punggungnya P.K.I.
Kursus mesti dikencangkan,
tetapi isinya mesti praktis dan berpadan dengan keadaan dan aksi di Indonesia.
Program dan Agitasi, dikencangkan betul, ialah yang berhubungan dengan industri
dan negeri. (Lihat Program Nasional!).
Kontribusi dipertinggi dan
disiplin diperkeras. Dalam semua Aksi seperti Pertemuan, Mogok dan demonstrasi
anggota P.K.I mesti dimuka.
2. Diadakan S.R. saja,
selainnya dari tempat yang tersebut diatas (1) di seluruh Indonesia, di
kota-kota klas dua, seperti Sumedang, Magelang, Paja Kumbuh, Pontianak, di
pelabuhan klas dua, di desa-desa dan gunung-gunung sampai masuk ke dalam hutan
seperti Puruk Tjau di Borneo. Tak ada tempat yang boleh di lupakan.
Anggota S.R boleh dari
sembarang kasta, asal mengakui dasar revolusioner, yakni mau mengusir
imperialisme Belanda (jadi berbeda dengan N.I.P, B.O & S.I ). Student,
saudagar, tukang, tani dan penjual ini atau itu, beragama Islam, Kong Hu Tju
atau Kristen; yang suka sama kebangsaan, agama atau anarkisme, pendeknya semua
yang benci kepada Tindasan Imperialisme bolehlah berdiri di bawah bendera S. R.
Kursus haruslah
berhubungan betul dengan "keadaan dan cita-cita mereka. Perkara
kemerdekaan sebagai Bangsa Nasional yang merdeka, perkara sewa rumah, Pajak,
pendidikan dan perkara yang lain, yang terasa betul oleh penduduk kota tak
boleh dilupakan. Dalam kesusahan hari-hari, baikpun dengan pakrol-pakrol si
Kecil di kota atau desa yang tak berhak apa-apa itu mesti ditolong oleh S. R.
Kontribusi mesti
serendah-rendahnya, karena maksud kita yang terutama, supaya menarik mereka ke
bawah pengaruh dan ke dalam aksi kita. Juga disiplin tidak bisa begitu keras,
karena hal ini sudah terbawa oleh watak mereka. Jadi maksud kita yang terutama
ialah mengumpulkan semua golongan yang tak senang hati di bawah Imperialisme
Belanda dan memimpin mereka dalam segala aksi.
3. Dengan Perantaraan
P.K.I, kalau krisis ekonomi dan politik datang kita bisa menarik terutama,
segala Buruh industri yang ada, baik yang sudah diatur dalam Serikat Buruh
ataupun yang belum di atur. Dalam Pemogokan atau demonstrasi PKI. akan memberi
pimpinan yang langsung atas semua golongan Kaum Buruh di Indonesia.
Dengan perantaraan S.R,
semua penduduk kota, seperti klerk, tukang, penjual ini atau itu, student d.s.g
dan semua penduduk desa dan gunung akan menarik dengan Tuntutan yang pantas ke
dalam Aksi, seperti Boikot dan demonstrasi buat melawan Krisis ekonomi atau
politik dan merebut Kemerdekaan. Jadi P. K. I. & S. R. keduanya mesti
menjadi Organ atau Anggota buat seluruh Rakyat Indonesia merebut Kemerdekaan.
Teranglah sudah maksud
kita bahwa kedudukan P.K.I dan S.R bukan kedudukan Bovenbouw (atas) dan
Onderbouw (bawah), yang di kursus atau tak di kursus atau tinggi berendah
(memang kita dengan semua Rakyat melarat mau ke zaman persamaan, bukan?),
melainkan kedudukan dua kasta tertindas, tetapi berlainan keperluan dan
sifatnya, oleh sebab mana mereka harus di atur dalam dua pasukan. Sebab
Buruhlah yang terkumpul dan memegang perusahaan negeri yang terutama serta
non-proletar terpencar-pencar, maka dari buruhlah bisa datang Aksi yang tetap,
Ideal atau cita-cita yang tetap, Program yang tetap dan Senjata yang tetap
(Mogok). Berhubung dengan itulah ia di Indonesia bisa memberi Pimpinan yang
tetap revolusioner. S.R berdirinya bukanlah karena internasional (memang ini
dulu pelawan semangat N.I.P) atau karena tak beragama (memang ini mengandung
dan melawan semangat S.I) melainkan karena ia berdiri atas kasta non-proletar
yang bersifat revolusioner. Kasta dan semangat revolusioner itulah yang menjadi
kriteria atau ukuran di S.R, dengan tiada melanggar Agama atau Kebangsaan,
malah mufakat, kalau Agama dan Kebangsaan itu ada memperkuat keyakinan dan
semangat Revolusioner.
4. Karena Buruhlah kasta
yang terkumpul, dan ialah yang mempunyai senjata yang tertajam, yakni mogok,
maka ialah pula yang mesti memberi pimpinan politik buat merebut kemerdekaan
Indonesia.
Walaupun Seksi atau Lokal
diatur dengan Partai Kembar, tetapi Sentral tentu mesti satu, supaya urusan,
agitasi dan aksi bisa satu pula. Supaya semua golongan di Indonesia bisa
diperhatikan keperluannya, maka pada Sentral Pimpinan Revolusioner di Betawi,
seberapa boleh kelak mesti diadakan wakil dari semua pulau, dan semua kasta
yang terutama seperti Buruh, Student, Tani dan Penduduk kota. Buat
memperhatikan kepulauan Indonesia yang begitu besar tentulah belum cukup 5 atau
6 orang duduk di Sentral Pimpinan.
Supaya agitasi buat
seluruh Indonesia dirasa betul oleh semua golongan haruslah Sentral Pimpinan
Revolusioner, membedakan agitasi buat satu negeri dengan yang lain (Jawa dengan
Sumatera atau Celebes, Padang dengan Jambi); dan satu golongan dengan golongan
lain (Buruh dan Tani atau Student dengan Penduduk kota). Berhubung dengan hal
ini pekerjaan di Sentral pimpinan haruslah dibagi-bagi (verdeling en
specialiseeren van arbeid) (partisi dan spesialisi kerja).
Supaya pimpinan tinggal
revolusioner, jangan seperti S.I atau N.I.P, haruslah baik di Sentral Pimpinan
ataupun di Seksi atau Lokal, S.R yang mayoritas atau terbanyak ialah pemimpin
Komunis. Dengan jalan begitu, kita menjaga supaya pergerakan Indonesia tinggal
proletaris dan tak menjadi oportunistis atau reformistis, yakni lembek seperti
S. I. dan N. I. P.
Demikianlah Sentral
Pimpinan Revolusioner di Indonesia, yang mengikat semua Seksi P.K.I & S. R,
semua Serikat Buruh, Koperasi, dan mengikat JOI dan Rakyat-Scholen, yang
menaruh semangat proletaris dan revolusioner, menunggu datangnya saat, dimana
ia dengan Massa-Aksi kelak akan merebut hak ekonomi dan politik.
Oleh karena Massa-Aksi itu
cuma bisa dijalankan dengan Massa, yakni beramai-ramai, maka haruslah P.K.I
yakni pemuka Kaum Buruh dan S.R yakni pasukan Muka Kaum Non-Proletar menambah
anggotanya dengan berlipat ganda. Kalau S.I pada waktu baiknya bisa
mengumpulkan sampai 1 atau 2 juta anggota (betul belum seperti anggota
sekarang), dan menurut laporan pemerintah sendiri sampai 5 atau 6 juta
simpatisan, yakni yang mufakat dengan S.I, maka kalau Taktik, Program dan
Agitasi kita benar dalam waktu di muka ini sekurangnya kita mesti dapat laskar
buat PKI 10.000 dan buat S.R 500.000. Juga anggota dari Serikat Buruh yang
terutama seperti V.S.T.P, S.P.P.L, S.P.L.I dan S.G.B haruslah berlipat ganda
banyaknya. Di Jambi, Palembang, Banjarmasin, Aceh d.s.g mesti ada
koperasi-koperasi yang kuat. Demikianlah pula JOI harus memperbanyak anggota
dan Seksinya. Di Betawi, Semarang dan Surabaya bersamping dengan P.K.I yang
bisa mempunyai 1000-2000 anggota S.R bisa mendapat 10-20.000 anggota. Kalau
sudah bisa kita mengadakan Tentara Nasional sebesar ini tidak saja Imperialisme
Belanda segenap waktu bisa hancur, tetapi juga imperialisme Asing tak akan gampang
menentang Tentara yang sebesar itu.
V. REVOLUSI.
1. Peperangan dan
Revolusi.
Sebermula maka kemajuan
Pergaulan itu diatur oleh hukum yang juga menguasai seluruh alam (hewan dan
tumbuh-tumbuhan), yang dinamai Hukum Evolusi dan Revolusi. Kedua hukum ini
sebetulnya satu, karena tak ada bedanya dalam sifat, melainkan berbeda cepatnya
bekerja.
Seperti suatu sungai harus
mengalir ke lautan, demikianlah juga pergaulan hidup kita ini menuju ke zaman
persamaan, kesentosaan dan peradaban. Seperti sungai itu mengalirnya di tempat
yang datar dengan tenang, demikianlah pergaulan hidup kita, kalau tak kuat
kasta yang menghambat maju dengan sentosa. Berhubung dengan itu, maka kekayaan,
kepandaian dan peradaban maju dengan tiada di rasa.
Tetapi seperti sungai yang
terhambat majunya oleh gunung akan menebus gunung itu, demikianlah pula
Pergaulan Hidup, yang terhambat majunya oleh satu Kasta atau Bangsa yang
menindas, akan memecahkan Kasta dan Bangsa itu.
Baik dengan damai atau
perkosa, Evolusi atau Revolusi Pergaulan Hidup kita tetap maju.
Sebagian dari kemajuan itu
terjadi dengan peperangan. Satu Bangsa memerangi yang lain, dan menghimpit
bangsa yang lain itu dengan alat senjata peperangan. Kemudian, maka bangsa yang
menang itu bertambah kaya, bertambah kuasa dan bertambah pandai, sedangkan yang
kalah bertambah miskin, serta bertambah bodoh. Nietsche, seorang filsuf atau
Pemikir Jerman, menjunjung tinggi Uebermensch, atau Dewa dalam bukunya
"Also Sprach Zarathustra" (Begitulah sabdanya Nabi Zoroaster) dan dalam
"Die Willie Zur Macht (Nafsu merebut Kekuasaan), dimana ia menggambarkan
dengan giat sifat-sifat yang perlu dipakai oleh seorang panglima perang dan
pembesar negeri. Buku-buku itu dibaca oleh Kasta Opsir di Jerman di medan
peperangan yang baru lalu ini dalam asap meriam dan hujan pelor dengan segala
keyakinan.
Nietsche, ialah
Nabi-Imperialisme, yang menyangka, bahwa peradaban itu mesti terbawa oleh
kemenangan suatu bangsa atas bangsa yang lain. Inilah filosofi imperialisme,
yakni Kultur Paksaan, Peradaban Militerisme & Peperangan, serta Peradaban
bunuh membunuh sesama manusia dengan maksud hendak menindas dan memeras bangsa
yang lemah. Nietsche ialah Zenith atau puncak Peradaban, yang tergambar oleh
Arjuno, Iskandar Zulkarnain, Napoleon dan Wilhem II.
Selamanya ada tindasan,
selamanya itulah pula ada rasa kemerdekaan. Cacingpun, yang diinjak bergerak
kiri kanan, lebih-lebih manusia yang terinjak itu akan berusaha melepaskan
dirinya dari injakan itu. Si Bengis Nero, menguatkan majunya Kaum Kristen.
George III mengadakan Washington, yang melepaskan Amerika dari tindasan
Inggris. Tsarisme di Rusia mengadakan Bolshevisme. Inggris di India melahirkan
Pergerakan Boikot dan Swaray, demikianlah tak akan putus putusnya.
Peperangan buat
Kemerdekaan tiadalah untuk menindas bangsa lain, melainkan buat melepaskan
tindasan. Satria Kemerdekaan-Bangsa, tiadalah seorang Penindas, seperti Caesar,
Napoleon dan Wilhem II, melainkan manusia yang berhati suci, berfikiran jernih
dan yang setia kepada yang tertindas. Phoseon di Griek L'Ouverture pemimpin
budak Negro, Garibaldi di Italia dan Rizal di Filipina, semuanya Satria,
laksana gambaran Kemerdekan, Kesucian, Keberanian serta Kecintaan hati. Laskar
Kemerdekaan, walaupun biasanya miskin dan tiada bersenjata, lebih kuat dari
pada Laskar Imperialisme, karena dasar dan makudnya lebih tinggi. Disiplin
laskar Kemerdekaan tiadalah pula perbudakan, seperti pada Laskar Imperialisme,
melainkan kegiatan yang suci.
Tindasan feodalisme di
Prancis, melahirkan pemikir baru, yang wujudnya mau melepaskan tindisan satu
kasta dari kasta yang lain.
Voltaire dan Rousseau,
dengan pena yang maha tajam memecahkan Feodalisme itu dan melahirkan fikiran
baru, buat zaman yang baru pula, yakni: "Kemerdekaan, Persamaan dan
Persaudaraan."
Kaum Satria baru lahir
pula, yakni buat menjalankan buah pena pemikir tadi. Mirabeau, Madame Roland,
Danton, Robespierre dan Marat, ialah satria zaman baru, zaman mana kita masuki
dengan banyak darah dan air mata mengalir. Satria Prancis tadi belumlah insaf,
bahwa Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan itu sekarang diperkosa oleh
Kapitalisme.
Pemikir baru mesti berdiri
pula. Marx dan Engels, melahirkan pikiran dan pertandingan baru: "Kaum
Proletar seluruh dunia bersatulah" Tidak lagi satu kasta dalam satu
negeri, melainkan Kasta Hartawan diseluruh dunia haruslah dihancurkan oleh
Kasta Proletar seluruh dunia, supaya datang Kemerdekaan dan Komunisme.
Lenin, Trotsky, dll
sejawatnya di Rusia sudah memperlihatkan, bagaimana besar kekuatan Kaum
Proletar itu. Sekarang di seluruh dunia Kaum Proletar sedang mengatur kekuatan
buat perkelahian yang lama, sukar dan bengis itu.
Imperialisme boleh bersiap
mengadakan kapal perang, meriam, kapal terbang, kapal selam, bom dan gas
beracun. Bangsa jajahan di Timur dan Kasta Buruh di dunia boleh sementara dihisap
dan ditindas, dan tiada apa kalau miskin dan tak bersenjata. Bangsa jajahan dan
kasta Proletar ada mempunyai senjata yang lebih tajam dari pada peluru dan bom,
yakni kerukunan.
Kalau Bangsa di jajahan
dan Kaum Proletar mengerti, serukun dan mau, maka tentara imperialisme itu akan
pecah dari dalam sendirinya karena yang memegang sekalian senjata itu ialah
Kaum Proletar juga.
Inilah senjata kita Kaum
Revolusioner yang terutama sekali: Otak, Pena dan Mulut.
Serdadu Revolusi, ialah
serdadu yang mengerti serta yakin, dan kalau saatnya sudah sampai, maka dengan
perkataan dan tangan saja ia bisa menjatuhkan musuh berapapun besarnya.
Revolusi bukanlah
peperangan imperialisme, yang dilakukan buat bunuh membunuh dan rampas
merampas. Revolusi ialah satu pertarungan lahir dan batin, dimana satu Bangsa
Tertindas atau Kasta Tertindas, melahirkan dan mengumpulkan sifat-sifat manusia
yang termulia untuk maksud yang tersuci.
2. Revolusi di Indonesia.
Objektifnya, yakni hal
keadaan negeri di Indonesia sudahlah lama masak buat Revolusi. Lepasan-Kerja
(pemecatan - catatan editor) terjadi hari-hari, dan tentara Kaum Buruh yang tak
kerja (werkeloozen) belum pernah sebesar sekarang. Gaji Kaum Buruh banyak
dikurangkan, walaupun harga barang-barang masih tetap tinggi. Pajak sudah lama
melewati kekuatan Rakyat kita.
Walaupun ekonomi dan
politik dalam krisis, tetapi Rakyat belum lagi matang revolusioner, artinya itu
belum sempurna siap dan bergerak sendirinya merebut dan memegang urusan ekonomi
dan politik Negeri. Kesadaran Rakyat kita dalam hal politik, sungguhpun sangat
cepat majunya, baru dalam permulaan, sebab itu masih satu persoalan besar,
apakah ia cukup kuat dan giat buat menentang musuh di dalam dan di luar negeri
(Inggris, Amerika dan Jepang) pada pertarungan yang tentu hebat dan lama
sekali. Rakyat Indonesia, yang belum pernah sedikitpun mempunyai hak politik,
karena, dari dulunya terhimpit oleh despotisme dan imperialisme, tentulah tiada
bisa dibangun kan dalam dua tiga tahun saja. Perkumpulan politik kita mesti
dilipat ganda banyak dan kualitas anggotanya pada masa ini juga. Berhubung
dengan itu agitasi mesti lebih dalam dari pada yang sudah-sudah. Pun Serikat
Buruh belum lagi cukup mempunyai banyak dan kualitasnya anggota, buat merebut
ekonomi dan politik Negeri dan kelak menguruskan hasil dan pembagian hasil itu
(produksi dan distribusi) serta mempertahankan negeri terhadap musuh di dalam
dan di luar negeri.
Wataknya kelak Revolusi di
Indonesia bolehlah sekarang kira-kira kita gambarkan. Tiadalah akan seperti di
Marokko umpamanya, dimana ekonomi masih sangat mundur sekali. Oleh sebab disana
pencarian hidup teutama pertanian kecil (bukanondernimingen) dan bergembala,
maka tiadalah ada keberatan Abdul Karim buat menarik Tani dan Gembala itu lari
ke gununggunung, buat meneruskan peperangan dengan Prancis dan Spanyol. Sebab
negeri sangat besar dan penduduk sangat sedikit (luas Marokko saja, yang
terletak ditepi gurun Pasir itu ada 4 1/2 Jawa, tetapi penduduk cuma 1/6 dari
Jawa, sehingga Jawa ada 27 kali serapat Marokko dan kalau Jawa sekarang
penduduknya serapat Marokko isinya tidak 36 juta melainkan 1 1/3 juta) dan
pencarian hidup gampang sekali, maka perang gerilya, yakni perang lari-larian
bisa diteruskan bertahun-tahun. Tetapi Jawa yang mempunyai isi negeri yang
nomor satu rapatnya di dunia itu, dimana tak ada tempat lagi buat berlindung
seperti Abdul Karim, dimana industri sudah sampai ke Trust dan Syndikaat,
dimana hasil sama sekali tergantung pada pasar di luar negeri, dimana tiap-tiap
tahun mesti masuk beras seharga F.75.000.000, jadi dimana ekonomi negeri sudah
sama sekali berdasar kapitalistis dan internasional, tentulah tak setahun bisa
menjalankan Karim-isme atau Dipo Negoro-isme. (Pada masa DipoNegoro penduduk
Jawa baru 5 juta).
Oleh karena di India ada
Kasta Hartawan bumi putera yang kuat, maka juga pergerakan politik
selamanya ini bisa nasionalistis tulen. Artinya itu, cuma buat
mengusir pemerintah Inggris dan mengisi pemerintah itu dengan Wakil dari
Hartawan bumi putera. hak Milik akan tinggal tetap, dan berhubung dengan itu
perusahaan yang besar-besar tiada akan jatuh di tangan Buruh industri. Buat
Rakyat Kemerdekaan di India itu tak akan berapa menambah hak ekonomi dan
politik. Dalam perkelahian menentang Imperialisme Inggris, politiknya Kaum
Nasionalis India semata-mata buat memakai Rakyat dan Buruh sabagai serdadu buat
maksud Kaum Hartawan. Oleh karena senjata mogok, buat dilawankan kepada
Inggris, juga berbahaya buat kapital nasional sendiri, maka Ghandi melarang
Kaum Buruh mogok. Senjata yang bisa dipakai oleh Kaum Nasionalis di India ialah
Boikot saja, karena boikot itu mengenai perusahaan dan perniagaan Inggris dan
membesarkan perusahaan dan oerniagaan Hartawan Bumi Putera.
Tetapi di Indonesia
senjata mogok itu bisa dipakai seluas-lusnya, karena tak ada kapital nasional
yang bisa dikenai. Mogok umum di Indonesia bisa dan mesti disertai oleh
demonstrasi umum, karena pergerakan politik kita bukan untuk satu golongan
kecil, yakni dari hartawan saja, melainkan untuk rakyat melarat yang terbanyak
itu. Rakyat Indonesia, kalau sudah merebut kekuasaan politik, bisa mengubah
nasibnya dengan lekas dan bisa menasionalisi sekalian perusahaan yang
besar-besar (kebon, pabrik, tambang, kereta, kapal, dan bank) yang sekarang di
tangan hartawan Belanda. Bersama dengan ini, maka kelak nasib buruh dan Rakyat
akan segera bisa menjadi baik.
Berhubung dengan hal
diatas, maka Revolusi Indonesia kelak akan berbeda betul dengan pemberontakan
Marokko dan pergerakan di India (Non-Cooperation clan Swaray). Revolusi
Indonesia tiadalah akan semata-mata untuk menukar kekuasaan Belanda dengan
kuasaan bumi putera (Peperangan Kemerdekaan bangsa), tetapi juga untuk menukar
kekusaan hartawan Belanda dengan Buruh Indonesia (putaran-sosial).
Jadi pergerakan kita
sekarang, ialah nasionalis sosial, dan berpadanan dengan itu perkakas bertarung
ialah perkakas militer (Karim-isme) bercampur dengan perkakas ekonomi dan
politik, yakni mogok, boikot dan demonstrasi.
Mana kelak yang lebih kuat
diantara perkakas militer dan perkakas ekonomi dan politik itu, buat seluruh
Indonesia, yang mempunyai pulau-pulau yang tiada sama kemajuannya, tiadalah
bisa kita putuskan dengan sepatah perkataan saja.
Di Jawa, sebagai sentral
ekonomi Indonesia tentulah Karim-isme cuma sebagian bisa dilakukan, yakni kalau
perkakas mogok, boikot dan demonstrasi sudah segenap waktu bisa dipakai.
Artinya itu, kalau perkumpulan politik (P.K.I & S.R) dan Serikat Buruh
sudah siap betul. Sungguhpun begitu, Kaum Serdadu tak sekejap boleh dilupakan.
Karena, kalau kelak buruh dan Rakyat bisa merebut semua kota-kota di pesisir,
tetapi benteng-benteng Bandung, Ambarawa dan Malang masih setia pada
pemerintah, maka Belanda bisa lekas mendatangkan pertolongan dari luar
Indonesia (Negeri Belanda, Inggris dan Amerika). Seperti dulu Spanyol, sesudah
3/4 di usir oleh Filipina, tiba-tiba menjual Filipina kepada Amerika, begitu
juga kelak Belanda, kalau sudah 3/4 terusir, akan mencari akal busuk. Sebab itu
benteng-benteng di Jawa, dimana kelak Belanda lari berlindung, mesti kita
persatukan dengan Rakyat merah. Dan kelak kita tak boleh menjatuhkan palu
terakhir dan menjalankan Karim-isme (kekuatan militer) sebelum kumpulan politik
dan buruh matang betul dan kaum serdadu mengerti betul akan maksud kita.
Di luar Jawa, dimana
industri masih mundur Karim-isme bisa dilakukan. Tetapi kita mesti jaga lebih
dahulu supaya Jawa sudah siap dengan senjatanya, yakni mogok, boikot dan
demonstrasi. Kalau belum siap dan Karim-isme diluar Jawa dijalankan, maka
pergerakan kita semacan itu akan sia-sia dan bisa lama memundurkan aksi.
Meskipun begitu, kalau
sekiranya Karim-isme itu di Sumatra, Borneo, Celebes atau Ternate bisa
dijalankan dengan lama dan kuat sekali, maka Belanda mesti akan dapat kesusahan
besar. Tentu ia segera akan memukul pergerakan politik dan Serikat Buruh di
Jawa, tetapi sebab ia terpaksa menaikkan pajak, semangat revolusioner akan
tetap naik di seluruh Indonesia.
Kita tahu, bahwa Anarkisme
di mana-mana, sebab kapitalisme sudah sangat teratur, tak bisa menang.
Anarkisme di India sudah masyur bertahun-tahun, tetapi tetap tinggal kalah. Di
Mesir sangat memukul pergerakan yakni sebagai provokasi, yang memberi senjata
pada Inggris buat melarang sama sekail pergerakan politik (sesudah pembunuhan
Sir Lee Stac). Pergerakan Anarkisme malah sangat mengacaukan dan melemahkan
pergerakan Buruh di Jepang. Tetapi walaupun kita sama sekali tak mempunyai
pengharapan akan mendapat Kemerdekaan Indonesia dengan jalan Anarkisme,
berhubung dengan sikap pemerintah, Anarkisme di Indonesia bisa timbul. Selama
Rakyat masih bisa mendengar pembicaraan nasibnya, protes dan maksud kita,
selamanya itu mereka bisa ditahan sampai ke Aksi Teratur. Tetapi kalau
pemerintah menutup Kawah Pergerakan, maka api revolusioner itu akan meletus di
lain tempat: "Umpamanya gula akan habis terbakar. jembatan akan runtuh,
Lokomotif terguling dan Belanda terbunuh dimana-mana." Bukan karena
kemauan P.K.I, melainkan kemauan Rakyat yang sudah putus asa, dan lari dari
organisasi kita.
Walaupun pemberontakan
Indonesia ada mengandung watak kebangsaan, tetapi, sebab ekonominya Jawa dan
sebagian dari Sumatra sudah sangat maju kapitalistis dan internasional, maka
Revolusi kita akan berwatak nasionalis-sosial, yakni campuran pergerakan
kebangsaan dan kekastaan.
Berhubung dengan wataknya
Revolusi di Indonesia itu, maka walaupun Karim-isme atau perang gerilya dan
Anarkisme (sebab kapitalisme masih muda) kelak menjadi "aanvulling"
(tambahan - catatan editor) atau tempelan dari pergerakan revolusioner, tetapi
kemerdekaan Indonesia terletak terutama pada massa aksi yang teratur:
"mogok, boikot dan demonstrasi."
Walaupun berapa juga
verleidelijk atau menggodanya Karim-isme dan Anarchisme (lebih-lebih kalau
reaksi mengamuk!) kita tidak boleh diprovokasi dan menyimpang dari jalan yang
betul, melainkan tetap mendidik sampai Rakyat bisa memegang senjata Massa aksi
yang maha tajam itu.
3. Taktik di Indonesia.
Dalam daya upaja
memecahkan imperialisme Belanda ini tak perlu kita berpusing kepada memikirkan
Sosial Demokrasi, seperti Partai kita di Eropa dan Amerika. Stokvis c.s di
negeri kita tak berani berhubung dengan rakyat, seperti juga di lain-lain
negeri jajahan Kaum Sosial Democrat sama sekali jadi ekornya imperialisme.
Cuma kita mesti menjaga,
supaya di dalam partai kita, semangat kelembekan Sosial Demokrat tak bisa
masuk.
Taktik kita terhadap
kepada revolusioner kebangsaan dan agama ialah menarik mereka kedalam S.R
Tiadalah ada salahnya, kalau kita kelak mengadaan Nasional-Platform, yakni
Barisan Revolusioner yang memeluk sekalian Partai revolusioner besar kecil yang
ada sekarang ini dan memimpin Barisan itu menjatuhkan imperialisme Belanda.
Taktik kita ke dalam
negeri, terutama menarik sekalian golongan yang tiada bersenang hati di bawah
Belanda. Kita mesti berusaha keras mengatur buruh dan tani gula yang banyaknya
barangkali lebih dari 1.000.000 itu. Buruh Kereta yang 80.000, buruh dan tani
teh, kopi, coklat, jati, getah yang tentu tak kurang dari 1.000.000 pula, buruh
minyak tanah yang kira-kira 40.000, tambang arang, emas, timah yang lebih dari
50.000 itu, buruh pelabuhan yang kira-kira 100.000 dan kuli kontrak yang
300.000 itu. Juga tiada boleh dilupakan Kaum Student yang di sekalian jajahan
jadi pasukan-muka pergerakan. Di Jambi, Palembang, Padang, Banjarmasin bumi
putera yang berada itu, perlu koperasi buat mempertahankan diri terhadap kepada
kapitalis besar. Penduduk kota nomor satu dan kota nomor dua dan desa-desa
harus semua ditarik ke dalam S.R. atau P.K.I. Disebabkan oleh bermacam-macam
hal, maka masih sangat sedikit dari semua golongan yang di atas terikat oleh
organisasi kita. Kita percaya, berapa pun besarnya reaksi dengan segala
kecakapan pada waktu di muka ini kita akan bisa melipat ganda anggota P.K.I
& S.R, Serikat Buruh, JOI d.s.g. Sedangkan Ternate suatu pulau kecil saja
ada kalanya bisa menarik anggota 13.000 dan berkontribusi beratus rupiah. Kita
sama sekali tak akan heran, kalau dijalankan betul, Jawa, Sumatra, Borneo,
Celebes, Ambon dan Bali besok atau lusa akan memeluk beratus ribu anggota, yang
bisa membayar cukup dan tetap.
Kalau kita tidak bisa
mengadakan organisasi yang bisa memeluk sekalian Kasta dan sekalian pulau
terberai-berai itu, maka pekerjaan melemparkan Imperialisme itu adalah satu
percobaan yang sangat sia-sia. Belanda bisa lari dari satu tempat ke tempat
yang lain buat berlindung dan mencari kawan. Jawa akan bisa di adu dengan
Sumatra, Menado dan Ambon sama Rakyat Islam d.s.g. Sebab itu taktik kita yang
terpenting sekali ialah mempersatukan semua pulau dan Kasta dengan Program
Minimum, yang dirasa oleh semua penduduk Indonesia.
Kalau kita bisa
mempersatukan seluruh Indonesia dan mengadakan disiplin yang keras, barulah
kita bisa memikirkan merebut kemerdekaan dan barulah bisa mempertahankan
kemerdekaan itu terhadap kepada Inggeris dan Amerika.
Inggris tentu tak suka
Indonesia akan menang. Pusat armada di Singapura (satu negeri di Indonesia
juga), gunanya buat mempertahankan dan melebarkan jajahan Inggris di Asia.
Dalam waktu peperangan, maka Singapura mudah diperhubungkan dengan Australia,
India dan HongKong. Kalau di Indonesia pecah revolusi, maka perhubungan dengan
Australia akan terancam. Inilah hal yang bisa dijadikan alasan oleh Inggris
buat menolong Belanda dan memakai Volkenbond buat membetulkan politik Inggris.
Lagi pula berjuta-juta ada Kapital Inggris di kebon getah, teh dan terutama di
Minyak Tanah, sehingga Koninkelijke Petroleum Maatschappij itu bolehlah
dikatakan perusahaan Inggris. Akhirnya kemerdekaan Indonesia akan sangat
disukai oleh Tanah Malakka dan India dan dengan lekas akan menggoncangkan
seluruh jajahan Inggris, lebih berbahaya dari segala macam pergerakan
revolusioner di Eropa.
Kita tahu bahwa ketika
Amerika memikir-mikir mau memberikan kemerdekaan pada Filipina, yang sudah lama
matang buat Zelfbestuur (managemen swadaya - catatan editor) itu ia dapat tegoran
dari Prancis, Inggris, Jepang dan Belanda. Alasan negeri-negeri imperialis, itu
akan menyebabkan semua jajahan akan lebih keras menuntut kemerdekaannya dan
akhirnya kekuasaan bangsa putih di Asia akan jatuh. Sebab itu terhadap kepada
kemerdekaan Indonesia semua Imperialis mesti akan bersatu.
Walaupun Amerika menamai
dirinya demokratis, buat kita tak kurang bahayanya. Pada tahun yang sudah dia
terpaksa membeli getah dari luar negeri F.1.500.000.000. Harga ini
F.1000.000.000 lebih mahal dari 2 tahun terlampau. Sebabnya ialah karena
Inggris yang menguasai 70%. dari semua getah di dunia bisa dengan sekehendak
hatinya menaikan harga itu, sehingga Amerika mesti membayar berlipat ganda.
Supaya ia lepas dari monopoli Inggris, maka Amerika berdamai dengan Belanda.
Boleh jadi pada waktu paling di muka ini berjuta-juta modal Amerika akan masuk
ke Indonesia buat menambah kebun getah.
Jadi ringkasnya Inggris
dan Amerika (juga Jepang) semuanya cinta pada Indonesia dan semuanya mau
menduduki. Kalau kita merdeka, tetapi tak cukup bersatu, maka seperti Tiongkok,
kaum perampok itu akan mudah adu-mengadu kita sama kita. Negeri kita akan
cerai-berai, diperintahi atau dipengaruhi oleh beberapa imperialis. Dengan
segera kita yang tiada mempunyai armada ini, kalau pikiran dan maksud tak satu
akan hancur.
Sebaliknya kita tak boleh
ngeri, asal mengerti, bahwa diantara satu imperialis dan yang lainnya, yang
semuanya mengancam kita itu ada pertentangan keperluan. Politik kita kelak
haruslah arif bijaksana mengenal pertentangan itu sewaktu-waktu dan memperdalam
pertentangan itu supaya satu sama lainnya si perampok itu berkelahi dan kita
terpelihara.
Kalau saatnya itu kelak
sudah sampai, dan kita betul bersatu, maka nakoda kapal kemerdekaan itu,
wajiblah dengan segala keyakinan, keberanian, ketetapan hati dan kepintaran
menentang ribut topan di dalam dan di luar negeri, serta awas akan batu karang
yang tersembunyi yang setiap waktu bisa menghancurkan kapal kemerdekaan itu.
4. Massa Aksi di
Indonesia..
Apabila kira-kira 30 tahun
yang lalu Bonifacio mendapat jawab dari Rizal, bahwa Filipina tak bisa membuat
Revolusi, karena tak mempunyai kapal dan bedil, maka Bonifacio dengan marah
berkata: "Bliksem (petus!). Dimana dia baca?"
Dr. Jose Rizal, ialah
seorang intelektual, yang dibuang oleh Spanyol ke sebuah pulau kecil. Ketika
Dr. Rizal akan ditembak, sesudah diadakan tuduhan yang palsu, maka Bonifacio,
yang memimpin Katipunan, yakni satu perkumpulan rahasia, mengirim wakil dengan
rahasia sekali menemui Dr. Rizal, meminta, apakah ia mau lari dari penjara dan
apakah ia mau memimpin Katipunan dalam revolusi kepada Spanyol. Dr. Rizal
menjawab seperti diatas. Mendengar jawab itu Bonifacio menyindir dengan marah,
bahwa tak ada buku sejarah, yang mengatakan, bahwa bangsa yang miskin dan
tertindas itu mesti lebih dahulu menyiapkan kapal dan bedil buat revolusi.
Bonifacio ialah seorang
Proletar tulen. Tetapi sebab sangat rajin belajar sendiri, ia cukup mengetahui
revolusi di Eropa dan Amerika. Oleh sebab keberanian, kesucian serta ketetapan
hati ia mendapat pengaruh dalam rahasia di seluruh Filipina luar biasa sekali.
Sudah lama ia bercerai dari La Liga Filipina (Persatuan Filipina) yang
didirikan oleh Dr. Rizal, karena perkumpulan ini sudah terang kompromis dan
lembek sekali. Tetapi sebab Rizal guru dari Bonifacio dan tinggal diseganinya
sebagai pemikir dan satria yang luar biasa, ia sudi menyerahkan pimpinan
Katipunan yang dibikinnya itu kepada Dr. Rizal.
Apabila akhirnya Dr. Rizal
dengan tuduhan palsu ditembak, maka seluruh rakyat Filipina meratap dan berniat
membalas dendam. "Kalau Rizal seorang yang begitu besar, sehingga sangat
disegani oleh Profesor di Eropa, yang tiada bersalah apa-apa ditembak lagi,
siapakah yang bisa bekerja buat kemerdekaan Filipina?" Inilah pertanyaan
yang lahir dalam pikiran Bumi Putera lelaki dan perempuan.
Sekaranglah datangnya saat
buat Bonifacio akan memperlihatkan kepercayaannya atas massa atau Rakyat
Filipina. Di Balintawak dekat dalam rahasia sekali Bonifacio mengumpulkan
anggotanya dan dengan "bolo" (pedang) sekerat saja mereka menyerang
tentara Spanyol yang teratur dan kuat itu. Beribu-ribu Rakyat mengikut
panggilan Katipunan dengan bolo atau tanpa bolo. Dalam beberapa pertemuan
dengan serdadu Spanyol, Rakyat Filipina, yang tak bersenjata itu merebut dengan
tangan saja senapan serdadu Spanyol. Pada tiap-tiap medan peperangan berpuluh
dan beratus senapan direbut, sehingga akhirnya cukup Rakyat mempunyai senjata
api buat melawan Spanyol.
Tiada lama antaranya, maka
bendera Rakyat yang karena miskinnya dibuat dari kain robek-robek saja terkibar
di sebagian besar dari kepulauan Filipina. Hanyalah benteng Manila saja yang
belum jatuh.
Banyak lagi contohnya
massa aksi, yakni aksi Rakyat, kalau betul sudah matang revolusioner, baik di
Eropa ataupun Asia, walaupun tiada bersenjata apa-apa bisa menundukan laskar
yang teratur.
Umpamanya L'Ouverture,
seorang budak Negro di Haiti (Amerika Tengah), yang memimpin budak miskin pula,
bisa menaklukan Inggris, Spanyol dan serdadu Napoleon berikut-ikut. Di Revolusi
Besar Prancis (1789) Rakyat yang paling miskin dan kurus kelaparan itu, sesudah
kena propaganda revolusioner bertahun-tahun, akhirnya dengan tangan dan batu
juga mengalahkan Laskar Raja dan Bangsawannya. Juga buruh di Rusia, yang miskin
itu, baik pada revolusi 1905 ataupun 1917, tiada lebih dahulu memesan
"kapal terbang" sebelum ia menyerang tentara Kaum Hartawan dan
bangsawan di Rusia.
Senjatanya Rakyat yang
betul revolusioner itu, hanyalah pena, mulut dan tangan saja. Kalau semangat
revolusioner sudah betul menjadi darah daging Rakyat melarat, maka semua
kepandaian dan senjata itu akan timbul sendirinya. Senapan bisa direbut dengan
tangan dan juga seperti di Filipina tukang rumput bisa jadi jenderal. Inilah
kemuliaan Revolusi dan kesucian si Revolusioner. Kita diatas mengambil contoh
terutama dari Filipina, sebab penduduknya lebih dekat kepada kita dari penduduk
negeri lain.
Orang tak bisa bantah,
"O, ya, mereka tinggal di negeri sejuk sebab itu kuat." Atau
"mereka berkulit putih atau berasal ini atau itu." Rakyat Filipina
juga bangsa Melayu dan diamnya juga di Khatulistiwa.
Sebaliknya, walaupun sifat
dan asal kita bersamaan, dalam hal lain-lain Rakyat Filipina lebih dalam
kecelakaan dari pada kita.
Ketika mereka memberontak
kepada Spanyol dan kemudian kepada Amerika, serta 3 tahun mendirikan Republik,
jumlah jiwa cuma 8 juta. Spanyol kira kira 25 juta, dan satu imperialisme
terbesar di dunia seperti Inggris. Amerika yang 50.000 terbunuh oleh bolo itu
terkaya, dan mempunyai 100.000.000 jiwa. Sedangkan Indonesia sekarang mempunyai
55.000.000 jiwa, dan menentang Belanda yang cuma 6 1/2 juta saja.
Kita sekarang ada
mempunyai perkakas mogok, tetapi Rakyat Filipina, sebab waktu revolusi industri
belum maju, terpaksa langsung bertanding di medan peperangan, yang menuntut
korban 100.000 jiwa mereka.
Kita lebih besar membayar
pajak dari Filipina di bawah Spanyol, yang sekarang lebih besar dari bangsa apapun
juga di dunia.
Kita masih bisa dan tetap
akan bisa menaburkan benih revolusi, karena kita cukup mempunyai propagandisten
dan surat kabar yang dibantu oleh kereta dan kapal. Sedangkan di Filipina Rizal
yang memimpin La Liga Filipina yang sejinak B.O itu ditembak, dan propaganda
terutama harus dijalankan dari luar negeri, Banifacio harus menjalankan
propagandanya di Filipina dengan sangat rahasia sekali serta dengan kaki atau
sampan kecil saja. Buku-buku dan surat kabar revolusioner, karangan Rizal, Del
Pilar, d.s.g. yang dimasukan dengan rahasia sekali dari Spanyol, Hong-Kong dan
Singapore, dibacakan oleh pasukan bacaan, yang membacakan pada Rakyat yang tak
pandai membaca itu dalam rahasia sekali, karena pemerintah menghukum dan
menyiksa keras si pembaca atau si punya buku dan surat kabar itu.
Walaupun Rakyat Filipina
lebih dalam kecelakaan dari pada kita, ia toh bisa dan berani menentang Spanyol
dan Amerika lamanya 3 tahun dan acap kali mengalahkan tentara kedua negeri yang
sangat teratur itu.
Kita satu menitpun tak ada
syak (keraguan) dan waham (ketidakpercayaan), bahwa kalau Rakyat Indonesia cukup
sadar dalam hal politik (politik bewust) dan sudah tunggang mau merebut haknya
baik ekonomi ataupun politik, juga dengan tangan dan batu saja bisa mengusir
Belanda yang dua tiga biji itu dan menolak semua musuh dari luar negeri.
Disini tiada tempatnya buat
membicarakan perkakas kita yang baik kita pakai, kalau Mogok dan demonstrasi
kelak sudah melewati batas perdamaian dan sampai sendirinya ke tingkat
perkelahian senjata. Memang kita di negeri semacam Indonesia cukup menyimpan
senjata, yang segera akan kelihatan, apabila Rakyat yang 55.000.000 juta itu
betul-betul sadar politik dan sama sekali keputusan jalan damai. Ringkasnya,
kalau semuanya Buruh, Tani, Saudagar, Student, Penduduk kota, Jongos,
Shauffeur, Serdadu, Matros, Tukang Cukur, Koki d.s.g mau merebut
kemerdekaan dan rela mengorbankan jiwa seperti Rakyat Filipina tempo hari, maka
kemerdekaan kita letaknya di ujung pena saja: "Besok Republik Indonesia
bisa ditabalkan (diproklamasikan)."
5. Rapat Rakyat Indonesia.
Saat kita buat Massa Aksi
itu sewaktu-waktu bisa datang. Krisis ekonomi dan politik yang sekarang sudah
begitu dalam akan bertambah dalam lagi, kalau umpamanya datang bahaya kelaparan
dan bahaya penyakit. Juga sikap reaksioner dari pemerintah sekarang ini sangat
memperdalam permusuhan antara Belanda dan Rakyat.
Kalau Rakyat sempurna
sadar akan haknya sebagai manusia, maka semua pembuangan dan tutupan yang
sewenang-wenang itu kelak segera akan dibalas oleh Rakyat sendirinya. Kalau
umpamanya Pimpinan melarang perbuatan semacam itu, maka Pimpinan itu sendiri
akan dilemparkan oleh Rakyat dan akan diganti oleh Rakyat sendiri dengan
pimpinan baru.
Kalau pemerintah melarang
membuat pertemuan, demonstrasi & mogok, maka ia tiada akan memperdulikan
perintah itu lagi, melainkan terus keluar memperlihatkan tiada senangnya dengan
peraturan yang ada.
Kalau pemerintah mengirim
Polisi dan Serdadu, maka Rakyat yang betul betul sadar itu sendirinya akan
mendekati Serdadu dan Polisi itu. Kalau mereka itu tak mau memihak kepada
Rakyat, maka Rakyat akan mengadakan Pasukan-Merah sendiri, mencari senjata
sendiri dan bekerja sendiri buat mempertahankan Mogok, Pertemuan, dan
demonstrasi.
Kalau Pemerintah terus
memakai "Tangan Besi" dan tiada menimbang permintaan Rakyat (yang
mengisi perutnya hamba-hamba Pemerintah itu), tetapi Rakyat belum berani
melawan berterang-terangan, maka ia akan sendirinya berjalan gelap-gelap.
Seperti di Mesir, India dan Irlandia juga di Indonesia akan kejadian sabotase,
racun-meracun dan bunuh-membunuh dengan rahasia sekali.
Semangat revolusi itu,
kalau sudah menjadi darah daging Rakyat melarat tiadalah bisa dibunuh dengan
hukum atau peluru lagi. Kalau semangat revolusi itu sudah masuk di semua kasta
dan sekalian pulau, maka datanglah saatnya buat memanggil Rapat Rakyat
Indonesia.
Proletar, Tani, Student,
Saudagar dan Serdadu haruslah dengan atau tanpa izin Pemerintah, memilih dan
mengirimkan Wakil ke suatu tempat di Indonesia buat Rapat atau Pertemuan.
Rapat Rakyat ini akan
membuat Hukum untuk Rakyat Indonesia, dan kalau pemerintah Belanda tak suka
menjalankan atau mengaku hukum itu dan tak suka pergi (sudah tentu is tak
suka!!), maka Rapat Rakyat itu mesti sendirinya menjalankan. Kalau Pemerintah
mengirim laskarnya, maka Rakyat mesti sudah bisa menjawab kiriman pemerintah
itu dengan sepatutnya (baik dengan propaganda dalam laskar itu sendiri, baikpun
dengan Tentara Merah).
Memanggil Rapat Rakyat itu
artinya mengirim ultimatum atau menentang Pemerintah sekarang, yang kita sudah
yakin tak bisa mengurus terus ekonomi dan politik negeri dan tak disukai lagi
oleh Rakyat. Panggilan kita itu haruslah dikeraskan oleh kemauan dan perbuatan
Rakyat, yang sudah terbukti pada Mogok Umum dan demonstrasi, yang tak
memperdulikan korban lagi dan dimana seluruh Rakyat melarat memperlihatkan
ketetapan hati dan kegiatan. Dalam hal ini Rapat Rakyat itu, seolah-olah
mahkotanya aksi kita dalam politik.
Tentulah Rapat Rakyat itu
baru bisa dipanggil kalau sudah lahir alamat dan tanda-tanda, bahwa Rakyat
melarat sudah matang revolusioner::
"Umpamanya kalau
mogok, pertemuan dan demonstrasi, walaupun dilarang bisa diteruskan (tentulah
kalau pimpinan merasa perlu...). Kalau tuntutan ekonomi dan politik dalam mogok
dan demonstrasi sudah kelihatan terasa dan termakan betul oleh seluruh Rakyat.
Misalnya buruh tetap menuntut tambah gaji, sebagian dari untung, merdeka
bergerak, dan disana sini sudah mendirikan dewan buruh atau rapat buruh buat
menguruskan hasil serta sudah merebut pabrik atau kebun terutama di
SOLO-VALLEY, atau Daerah Kali Solo, yakni pusatnya ekonomi Indonesia. Kalau
berhari dan berbulan (seperti di Mesir, India, Tiongkok, Jerman dan Rusia)
Rakyat Indonesia berdemonstrasi menuntut di hapuskan pajak, menuntut Algemeen
Kiesrech (hak umum untuk memilih - catatan editor), Rapat-Rakyat, Kemerdekaan
dan tuntutan politik dll. Kalau Rakyat yang 55 juta itu, lebih suka mati dari
pada hidup seperti budak dan ketawa melihat kuda dan karet polisi. Kalau bui
dibongkar dan pemimpin dikeluarkan. Kalau buruh kereta dan kapal mungkir
membawa pemimpinnya ke tempat buangan. Kalau kaum serdadu mungkir menindas
pergerakan dan mungkir menembak Rakyat yang tak bersenjata dan tak bersalah
itu. Kalau Belanda tidur dengan pistol di tangannya, dan tak berani makan,
kalau makanannya tidak diperiksa oleh dokter lebih dahulu..."
Inilah semuanya tanda dan
alamat, bahwa semangat revolusi itu sudah berurat dalam dan menjalar
kemana-mana, serta tiada bisa diobat lagi, kecuali dengan kemerdekaan.
Barulah datang saatnya
buat pimpinan revolusioner itu menimbang kekuatan kawan dan lawan, mengumpulkan
Tentara Nasional dan mengerahkan tentara itu terhadap kepada musuh di dalam dan
di luar negeri.
Sebelumnya saat buat
bertanding habis-habisan itu datang, maka pekerjaan kita yang terutama terus:
"Pertama Agitasi, kedua Agitasi dan ketiga Agitasi."
Kalau Bonifacio, seorang
proletar tulen, dengan jiwa selalu terancam dan dimana perkakas buat propaganda
dan agitasi belum secukup di Indonesia bisa mengadakan Nasional Organisasi pada
beratus-ratus kepulauan Filipina, maka kita di Indonesia Selatan dengan jiwa 55
juta dan perkakas lahir batin lebih dari cukup, tak boleh lekas putus asa dan
tak boleh lekas menyimpang dari jalan yang betul.
Kita, sebagai Kaum Marxis,
mesti tinggal bersandar pada keperluan, kemauan dan kekuatan massa, yakni
Rakyat melarat dan kalau mereka belum masak-revolusioner dan belum siap
menentang musuh dalam dan luar negeri yang sangat teratur itu, maka kita tak
boleh diprovokasi oleh musuh, yakni tertipu bertarung pada tempat dan saat yang
tidak kita kehendaki.
Semua pemberontakan
Indonesia, kalau Rakyat belum matang revolusioner akan sia-sia belaka. Semua
macam "putch" (pemberontakan tiba-tiba dari satu golongan kecil)
harus kita singkiri dan musuhi. Kalau pemberontakan semacam itu sekiranya
menang, maka Indonesia merdeka itu akan segera jatuh di tangan seorang militer.
Dalam hal ini tiadalah politik dan rakyat yang berkuasa melainkan tangan besi
seorang Militer. Hal ini terjadi di Tiongkok pada tahun 1911, dimana kekuasaan
politik segera lepas dari Dr. Sun Yat Sen dan jatuh di tangan Yuan Shi Kai
& Co.
Aksi ekonomi dan politik
yang menempuh Rapat Rakyat itulah buat kita jalan yang tentu dan sentosa buat
merebut kemerdekaan, menjatuhkan segala kekuasaan negeri pada Kaum politik, dan
menghindarkan diktaturnya dan tindasan Kaum Militer dari bangsa Indonesia
sendiri.
6. Revolusioner Komunis.
Pada suatu negeri yang
banyak mengandung sisa feodalisme, serta bibit kapitalisme, seperti Indonesia,
sangatlah susah sekali buat menjadi komunis. Sisa feodalisme membawa agama dan
politik, yang walaupun bisa revolusioner (seperti Dipo Negoro) tetapi sifatnya
feodalistis. Demikianlah B.O & N.I.P yang percaya, bahwa Kerajaan cara
Majapahit bisa dibangunkan lagi atau S.I yang dulunya percaya, bahwa Kerajaan
Islam dan Kalifatullah yakni peraturan feodalisme akan bisa dibangunkan lagi.
Kapitalisme jajahan yang
masih muda di negeri kita itu, mengandung bermacam-macam bibit pula. Ada yang
bersifat kapitalistis, seperti juga terbawa oleh 3 partai yang tersebut diatas
tadi, yang menghendaki modal Indonesia. Buruhnya yang masih muda itu ada pula
mengandung anarkisme, yakni paham borjuis kecil yang dikalahkan oleh
Modal-Besar. Demikianlah Anarkis di Eropa, yang hidup pada zaman yang lalu
seperti Waffling, Proudon, Bakunin d.s.g mewakili kasta borjuis kecil atau
kasta buruh yang kemarinnya borjuis kecil. Sebab borjuis kecil itu individualis
(berdiri sendiri), karena ia si berpunya kecil, maka perkakasnya bertarung juga
individualistis (memakai bom) dan tak tahu bersama-sama.
Tetapi buruh industri model
baru, yang selalu kerja bersama-sama dan berdisiplin (karena kapitalisme
memaksa begitu), membawa wataknya bersama itu menentang kapitalisme. Sebab
itulah pada buruh industri, dan cuma pada buruh industri saja terbawa
"kerja bersama" dan "bertarung bersama" dan dengan didikan
lekas bisa hilang individualisme. Makin maju kapitalisme makin hilang anakisme
(seperti Inggris dan Jerman) dan makin maju "kerja bersama" dan
"aksi Bersama."
Jadi revolusioner agama,
feodalistis, revolusioner hartawan dan anarkistis cuma perkara yang lalu, yang
besok kalau industri maju, akan hilang seperti abu ditiup angin, dan berganti
dengan revolusioner komunis.
Dasarnya revolusioner
komunis, tiadalah perasaan, seperti pada revolusioner yang lain-lain tadi,
melainkan pengetahuan. Adanya revolusi kita percaya, karena perbantahan kasta.
Di Indonesia karena kasta modal Belanda tak bisa kompromi dengan Rakyat
Indonesia. Datangnya revolusi tidak tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan
kalau Krisis ekonomi dan politik sudah cukup dalam dan Rakyat sudah cukup
sadar. Revolusi itu bisa berhasil, kalau banyak dan kualitas anggota, dan
pengaruhnya partai kita sudah mencukupi.
Kalau keadaan ekonomi dan
politik sudah cukup matang-revolusioner, tetapi Rakyat dan Partai kita belum
siap, maka kita komunis mesti bisa menahan perasaan kita sebagai individu,
menyingkiri segala percobaan avonturisme atau sia-sia dan menunggu bertarung
sampai Rakyat dan Partai kita siap. Tiadalah sekejap kita boleh ditarik
perasaan, melainkan tetap berdiri atas pengetahuan. Tentu kita menjunjung
tinggi keberanian Partai kita, kalau disana atau sini didorong oleh musuh.
Imperialis putih ialah,
politik Amerika semacam itu akan atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan
kekayaannya tetapi tidak seperti individu, melainkan bersama dengan Massa dan
buat Rakyat Melarat itu pula. Aksi dan keberanian individual buat kita sangat
sedikit harganya.
Kalau keadaan ekonomi
& politik umpamanya sementara berubah baik, dan Rakyat jadi sementara
lembek, maka kita tak boleh jadi refomis, seperti Sosial Demokrat atau jadi
mata gelap seperti anarkis, melainkan tetap meneruskan Aksi revolusioner yang
sepadan dengan keadaan. Kita tahu, bahwa Kapitalisme tak bisa mengatur negeri
dan besoknya krisis mesti datang lagi.
Strategi kita tiadalah
bersandar atas perasaan, seperti kebangsaan atau keberanian sebagai individu
(melemparkan bom), melainkan bersandar pada pengetahuan tentangan ekonomi &
politik Negeri dan pengetahuan yang dalam sekali atas psikologi atau tabiat
Rakyat kita, tabiat mana turun naik sepadan dengan keadaan ekonomi. Bagaimana
keadaan industri, pertanian dan perniagaan serta sikapnya imperialisme Belanda
haruslah kita ketahui betul, karena keadaan inilah yang menurun naikkan
semangat revolusionernya seluruh Rakyat melarat.
Kalau krisis dalam, rakyat
melarat matang revolusioner. Partai kita sempurna mempunyai kekuatan, disiplin
dan pengaruh, serta musuh di dalam dan di luar negeri kebingungan, maka barulah
General Staff kita mengumpulkan segala kekuatan yang ada dan mengorbankan tenaga
dan jiwa buat kemerdekaan sebagai bangsa dan sebagai kasta..
Hai Rakyat Melarat !!
Berapa lamakah lagi kamu
mau menderita injakan dan tindasan semacam ini? Tiadakah kamu tahu bahwa sangat
besar kekuatan mu yang tersembunyi? Tiadakah kamu insaf, bahwa kerukunanmu
artinya kemerdekaan buat kamu dan keturunanmu? Beranikah kamu terus hidup dalam
perbudakan dan menyarankan anak cucumu juga jadi budak ?
Hai Kawan-Kawan Separtai
!!
Ketahuilah, bahwa Rakyat
kita, yang beribu tahun diajar jongkok, yang belum pernah mempunyai hak sebagai
manusia itu tak mudah dididik. Janganlah kamu putus asa, kalau daya upayamu
tidak lekas memperlihatkan hasil yang nyata. Teruskan pekerjaanmu yang
maha-mulia itu, di tengah-tengah ratap tangis Rakyat melarat. Teruskan
pekerjaanmu, walaupun bui, buangan, tonggak gantungan selalu mengancam.
Ketahuilah, bahwa didikan itulah yang sangat ditakuti oleh musuh kita. Karena
tak ada bangsa atau kasta yang mengerti di dunia ini yang rela ditindas dan
dihisap...
Kawan-Kawan !!!
Janganlah segan belajar
dan membaca! Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan
pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak Rakyat. Tuntutlah
pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga, dalam pekerjaanmu, dalam bui ataupun
buangan! Janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur
mengira sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan 55 juta
manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa pengetahuan itu
kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan menuntut segala
macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah
!!
Kalau saatnya datang,
berdirilah tegak di tengah-tengah Rakyat, menentang peluru dan bayonetnya
musuh. Jangan dilupakan ideal kita komunis: "Menang atau mati dalam Massa
Aksi."
Di tanganmu tergenggam
Kemerdekaan-Indonesia, yakni Kekapaan, Keselamatan, Kepandaian dan Peradaban...
Kamu Kaum Revolusioner !!
Kelak Rakyat keturunanmu
dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas
kuburanmu: "Disini bersemayam Semangat Revolusioner"
Tokyo, Januari 1926.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar