Sako (gelar) seorang
penghulu adalah salah satu harta pusaka yang bersifat immaterial yang diwarisi
dari nenek moyang Suku Minang secara turun temurun.
Sesuai dengan ketentuan
adat jika seorang penghulu meninggal dunia, maka soko (gelar) yang disandangnya
akan jatuh kepada salah seorang anak kemenakan yang bertali darah sesuai dengan
mekanisme pemilihan seorang penghulu menurut ketentuan adat.
Jika seorang penghulu /
ninik mamak meninggal ada 4 kemungkinan yang akan terjadi terhadap soko (gelar)
yang disandangnya yang dalam adat disebut dengan “sifat soko nan ampek” yaitu :
1. Dipakai
Yang dimaksud dengan
dipakai adalah gelar pusako (soko) tersebut telah memenuhi persyaratan
sepanjang adat untuk disandang / dijabat oleh salah seorang dari anak kemenakan
yang bersangkutan. Dengan kata lain telah ada kesepakatan diantara anak
kemenakan yang sepayung sapatagak. Ketentuan adat tentang ini menyatakan :
Tagak panghulu
sapakat kaum, tagak rajo sapakat rantau
Lah bulek aia
ka pambuluh, lah bulek kato kamufakat
Lah data
balantai papan, lah licin balantai kulik
Rumahlah sudah
tokok tak babunyi
Api lah padam
puntuang tak barasok
Setelah itu dilanjutkan
dengan upacara peresmian setelah mendapat persetujuan dari ninik mamak pasukuan
serta kerapatan adat nagari untuk dipakai/disandang/dijabat oleh anak kemenakan
yang telah disepakati tersebut (Darah di
kacau, dagiang dilapah, tanduak ditanam).
2. Dilipek
Yang dimaksud dengan
dilipek adalah apabila diantara anak kemenakan tidak ada kata sepakat tentang
calon yang akan menjabat soko (gelar). Dengan kata lain diantara ahli waris
terjadi pertentangan dan perselisihan tentang calon yang akan ditetapkan untuk
menyandang (memakai) gelar tersebut. Menjelang terjadi kesepakatan diantara
ahli waris (anak kemenakan) maka gelar pusako (soko) tersebut buat sementara
dilipek dulu, ibarat kain atau baju, karena orang yang akan memakainya belum
jelas.
Biasanya untuk malipek
gelar ini dibebani dengan sejumlah kewajiban tertentu oleh kerapatan adat
nagari yang bersangkutan.
Dari penjelasan diatas
jelas terlihat bagi kita bahwa kata sepakat (mufakat) diantara anak kemenakan
yang sekaum (ahli waris) merupakan syarat mutlak untuk dapat dipakainya suatu
soko (gelar) di Minangkabau, seperti apa yang ditegaskan oleh kaedah adat yang
berbunyi :
“tagak panghulu sapakat
kaum, tagak rajo sapakat rantau”
3. Ditaruah / Tataruah
Yang dimaksud dengan
ditaruah / tataruah yaitu suatu soko (gelar pusako) belum dapat dipakai, karena
didalam kaum tersebut belum ada kemenakan laki-laki yang berhak untuk
menyandang soko (gelar pusako) tersebut, keadaan ini di sebut dengan putuih
warih jantan) yang ada hanya ahli waris (kemenakan) yang perempuan saja. Sampai
lahir seorang ahli waris laki-laki dalam kaum tersebut, maka status dari soko
(gelar pusako) tersebut dalam adat Minangkabau disebut ditaruah/tataruah atau
disimpan saja dulu sampai orang yang akan memakai gelar atau soko tersebut
lahir dalam kaum tersebut, yaitu seorang waris laki-laki (anak kemenakan laki
yang bertali darah).
4. Dibanam / Tabanam
Yang dimaksud dengan soko
(gelar-pusako) berstatus dibanam/tabanam, apabila di dalam kaum tersebut tidak
ada lagi waris laki-laki yang bertali darah yang berhak memakai gelar pusaka
(sako) tersebut, atau dalam bahasa adat disebut dengan “Putuih warih nasab”.
Kalau bertemu keadaan yang demikian, maka soko (gelar pusako) dari kaum
tersebut buat selama-lamanya tidak dipakai lagi.
Kok putuih warih nasab
Salamo aie ilia, salamo
gagak itam
Nan soko dianyuik ka aie
dareh
Dibuang ka tanah lakang
Nan soko tak bapakai lai
Jadi kesimpulan dari sifat
sako nan ampek adalah bahwa suatu sako berstatus dipakai apabila sapakat sagalo
waris, dilipek apabila bacupang waris (belum sepakat sagalo waris), ditaruah
/tataruah apabila putuih waris jantan, dibanam/tabanam apabila putuih (putus)
waris nasab dalam suatu kaum.
salam kenal sahabat . izin tulisannya si share di blog saya
BalasHapus