I. Pemimpin dan Nagari Minangkabau.
Dari
perspeltif menejerial, leadership (kepemimpinan) adalah kemampuan dan
seni seorang leader (pemimpin) dalam memotivasi dan mengkoordinasikan
personal/ kelompok dalam melaksanakan tupoksi, kewenangan dan tanggung jawab
untuk mencapai tujuan bersama.
Leader
terkemuka di Nagari (desa Minang sekarang) pihak penyelenggara pemerintahan
adalah Wali Nagari dan Bamus dan dari pihak subkultur (budaya khusus
masyarakat) adat Minangkabau adalah KAN (Kerapatan Adat Nagari). Trio (tiga)
pemimpin nagari ini sebenarnya berpotensi mengambil posisi trias politika
seperti yang ditunjukan dalam sejarah kepemimpinan di nagari Minang dahulu
ketika pemerintahan nagari itu setangkut dengan pemerintahan adat.
Pembagian
kekuasaannya: (1) Wali Nagari sebagai kepala pemerintahan berfungsi
eksekutif, (2) Bamus sebagai legislatif lembaga musyawarah pihak
pemerintah bersama lembaga musyawarah pihak masyarakat adat KAN, sedangkan (3) KAN
sendiri difungsikan kembali seperti KN (Kerapatan Nagari) dulu berfungsi
sebagai lembaga yudikatif (lembaga penegak hukum) di nagari. Bamus dan KAN
bisa-bisa saja seperti kabinet dua kamar di Australia yakni majelis rendah dan
majelis tinggi.
Dari
perspektif adat Minangkabau, posisi pemimpin di nagari Minang tadi adalah orang
yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Tidak jauh jarak antara
pemimpin dan yang dipimpin., Artinya pemimpin di Minang dekat dengan kaum
(masyarakat) yang dipimpinnya.
Kepemimpinan
di Minangkabau dari perspektif Sumber Daya Manusia (SDM) adalah dijabat
fungsionaris/ pimpinan/ pemangku adat yakni “urang nan ampek jinih” yakni (1)
penghulu (tagak di pintu adat), (2) manti (tagak di pintu susah), (3) malin (m)
tagak di pintu agama dan (4) dubalang/ hulu balang (tagak di pintu mati).
Unsur
malin diperkuat fungsionaris “urang jinih nan ampek” yakni (1) imam (mengimami
kaum), (2) katik (memberi fatwa kaum), (3) bila (mengajak kaum ke jalan Allah)
dan (4) qadhi (mengurus NTCR anak kapanakan).
Sifat
kepemimpinan Minangkabau mengidentifikasi sifat nabi saw yakni (1) siddiq
(benar), (2) amanah (dipercaya), (3) fathanah (cerdas) dan (4) tabligh
(sosialisasi/ mendidik).
Sistem
yang dipakai ada dua mekanisme:
1) Sistem kalarasan
“koto piliang”.
Mekanismenya perintah tuntas (turun
dari atas), karena protap birokrasinya bajanjang naik batanggo turun, dalam
pengalaman Indonesia mirip demokrasi terpimpin di zaman orba dan demokrasi
Pancasila masa orba.
2) Sistim kalarasan “bodi
caniago”.
Mekanismenya pertimbangan
perintah timba (timbul dari bawah), karena protap birokrasinya adalah
partisipatif (dari rakyat) sesuai dengan prinsip dasarnya “duduk samo randah
tagak samo tinggi”, dalam pengalaman pemerintah demokrasi sosial (social
democratic).
Fiosofi
kepemimpinan Minangkabau adalah abs-sbk (adat basandi syara’ – syara’ basandi
Kitabullah) diemplementasikan dalam mekanisme sm-am (syara’ mangato – adat
mamakai).
II.
Macam-Macam Kepemimpinan Minangkabau.
Ada
tiga macam kepemimpinan dalam masyarakat Minangkabau yaitu dapat diuraikan
sebagai berikut:
A.
Kepemimpinan Penghulu
Penghulu
sejak era Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan, berfungsi
sebagai pemimpin dalam kaum sukunya. Ia sebagai leader melindungi kepentingan
anak kemenakan (masyarakat) yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab kepada
kaumnya, karena ia dipilih oleh kaumnya (ninik mamak kaum dan mandeh/ perempuan
dalam kaum) dengan kriteria antara lain: baligh, berakal sehat, sopan santun,
ramah tamah, rendah hati,, punya keteladanan, punya gezah/ kharisma, punya
harta dsb. Proses kader secara informal adat calon penghulu sudah teruji dalam
memimpin mulai pengalaman berharga dalam memimpin lingkungan mamak rumah (adik
– kakak – kapanakan saparuik), se-jurai, sampai ke kaum suku dan dihormati suku
lain di nagari.
Penghulu
di dalam adat Minangkabau disebut penghulu dengan panggilan sehari-hari “Datuak“.
Penghulu itu hulu (ketua) dalam kaum suku di nagari. Tugasnya luas meliputi
segala persoalan dan masalah yang terkait dengan anak kemenakan dan kaumnya,
maka datuk itu sebenarnya ketua Ninik Mamak. Penghulu dalam menjalankan
tugasnya dibantu oleh beberapa perangkat yang disebut dengan pemangku adat,
yakni manti, malim dan dubalang di samping wakilnya langsung
disebut panungkek.
Panungkek
dapat mewakili penghulu dalam tugas-tugas umum masyarakat adat seperti alek
(pesta/ kenduri) kaum sukunya, menghadiri ucok/ ucapan (undangan) alek di luar
paruik, jurai dan atau di luar alek sukunya di nagari. Menghadiri suatu rapat
(musyawarah) dan dalam tugas yang prinsipil seperti memimpin rapat “urang nan
ampat jinih” atau mengambil keputusan dalam suku/ kaum penghulu tidak boleh
diwakili oleh panungkek.
Adapun
yang dimaksud dengan “urang nan ampek jinih” adalah:
1. Penghulu Adat
Penghulu merupakan ketua ninik mamak
dalam sukunya. Ia mempunyai otoritas mengurus adat, karenanya disebut tagak
di pintu adat. Pemimpin adat disebut penghulu merupakan pemimpin yang
tertinggi dalam sebuah suku, kepemimpinannya kompleks di samping bersifat
privat yakni memimpin anak dan kemenakannya juga memimpin kaumnya, juga
memimpin sukunya dalam berhubungan dengan suku-suku lain dalam nagari.
2. Manti Adat
Manti disebut-sebut asal katanya dari
menteri. Kedudukannya berada pada pintu susah. Ia banyak disusahkan
menyelesaikan yang kusut dan menjernihkan yang keruh. Dalam alek
ia yang mempalegakan kato untuk mencari kata mufakat sebagai
pertimbangan pengambilan keputusan adat. “Biang tabuak gantiang putuih”
(keputusan) berada di tangan penghulu. pemerintahan adat. Manti juga mempunyai
tugas mengawasi kaum sukunya dalam praktek “adat mamakai” baik adat nan
sabana adat, adat nan teradat, adat nan diadatkan dan adat istiadat.
3. Malin Adat
Malin salah seorang pembantu penghulu
dalam bidang agama. Tugasnya mulai dari pengajaran mengaji, menunaikan Rukun
Islam juga menunjukan dan mengajari kapanakan (masyarakat) berakhlak atau taat
mengamalkan agama Islam serta mengarahkan kapanakan ke jalan yang lurus dan
diredhai oleh Allah swt. Tugas malim ini dibantu “urang jinih nan ampek” yakni:
(1) imam, (2) katik, (3) bila dan (4) qadhi.
4. Dubalan Adat
Dubalang merupakan
seorang pembantu penghulu dalam bidang ketahanan dan keamanan. Dubalang berasal
dari kata hulubalang, yang bertugas menjaga huru hara yang mengancam ketahanan
dan kemanan baik dalam lingkungan kaum sukunya maupun salingka nagari. Karena
beratnya tugas dubalang, disebut posisinya tagak di pintu mati.
Keempat
orang ampek jinih ini merupakan jabatan pemangku adat yang diturunkan secara
turn temurun dari mamak ke kapanakan. Pewarisan pusaka itu digariskan nilai
petitih sebagai berikut:
Biriek-biriek turun ka sawah
Tibo disamak taruih ka halaman
Dari ninak turun ka mamak
Dari mamak turun ka kamanakan
B.
Kepemimpinan Mamak
Mamak
adalah saudara laki-laki dari pihak ibu. Semua saudara laki-laki ibu baik adik
maupun kakaknya yang sudah dewasa/ menikah disebut mamak. Secara khusus mamak
bukanlah sekedar saudara laki-laki ibu akan tetapi mamak adalah seseorang yang
dituakan dan dianggap cakap dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan sistim
matrilineal di Minangkabau.
Di
dalam kehidupan masyarakat Minangkabau laki-laki memiliki dua fungsi, yaitu
sebagai kepala keluarga/ rumah tangga (tunganai) dan sebagai mamak. Artinya
laki-laki itu juga menjadi pemimpin dari adik-adik dan kapanakannya. Sebagai
seorang mamak ia diharapkan mengawasi adik dan kemenakannya yang perempuan
serta mengurus dalam hal-hal yang berhubungan dengan tata cara bernagari atau
bermasyarakat, hal ini menjadi tanggung jawab mamak, seperti mamang adat
berikut:
Pucuak paku kacang balimbiang
Ambieak tampuruang lenggang-lenggokkan
Bawo manurun ka saruaso
Tanamlah siriah di ureknyo
Anak dipangku kemanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
Tenggang sarato jo adatnyo
Artinya
jadi seorang mamak itu di samping memelihara anak-anaknya (sebagai ayah di
rumah anaknya) juga harus membimbing kemenakan (di dalam kaum sukunya),
memelihara kampung jan binaso.
C.
Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan (Tali Tigo Sapilin)
“Tungku
tigo sajarangan” alam yang sesungguhnya adalah 3 tungku disusun di atasnya
dijarangkan periuk/ belanga/ kuali dijarangkan dan di dalamnya ada makanan/
minuman yang mau dimasak. “Tali tigo sapilin” adalah 3 jurai tali yang dijalin
menjadi satu tali dan kuat. Tungku itu panas, di situ kayu bersilang, api
dihidupkan dengan bahan bakar kayu, di saat itu pula nasi menjadi masak. Fakta
empiris kekuatan susunan 3 tungku sajarangan itu bersinergi dengan energi panas
api yang dihidup karena kayu disilang-silangkan di dalamnya.
Basilang kayu dalam tungku
Di situ makonyo api hiduik
Filosofinya,
ketiga unsur kepemimpinan Minang itu bila bermusyawarah dapat menghasilkan
keputusan yang bulat dan punya kekuatan menghadapi persoalan yang dihadapi.
Sistim tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin adalah (1) anggo tanggo
(AD/ART), (2) raso jo pareso (UU) dan (3) alua jo patuik (hukum). Leadernya
merupakan kepemimpinan kolektif 3 unsur fungsionaris (1) ninik mamak, (2) alim
ulama, dan (3) cadiak pandai.
Untuk
lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan tungku tigo sajarangan akan dijelaskan
unsur-unsur yang terkait dalam tungku tigo sajarangan itu sebagai berikut:
1. Ninik Mamak
Di
dalam urusan adat Minangkabau Ninik Mamak adalah orang yang dituakan berfungsi
KK dalam rumah tangga kaum paruk/ jurai. Ninik mamak merupakan unsur mamak
rumah/ jurai tunggania/ mamak kapalo kaum/ mamak kapalo warih dan ninik mamak
kaum suku yang kepimpinannya diketuai/ dipenghului penghulu (datuk). Penghulu
diperkuat urang nan ampek jinih dan urang jinih nan ampek. Dalam adat
Minangkabau telah dijelaskan bahwa mamak itu adalah pemimpin dan yang
dipimpinnya adalah anak kemenakan (masyarakat).
Kedudukan
mamak dalam adat Minangkabau adalah memegang gelar pusako dan menguasai sako
yaitu warisan kehormatan dan harta termasuk lahan (hutan, ladang dan sawah).
Walaupun sawah itu dpelihara dan digunakan kaum perempuan, tetapi penguasaannya
atas harta tersebut dipegang mamak tunganai/ lelaki tertua di dalam paruik..
Kumpulan mamak-mamak tadi dan diketuai tunganai di paruik/ jurai dan diketuai
penghulu dalam kaum suku semuanya itu Ninik Mamak.
Mamak
rumah di rumah tangga orang tuanya yaitu rumah gadang, mereka mempunyai tiga
kewajiban:
1) Memelihara harta
pusaka dan mengusahakan bagaimana cara menambah harta kaumnya;
2) Mengawasi dan
melindungi serta mengayomi kapanakan (masyarakat)
3) Menunjukajari serta
menegakan hukum dalam pelanggaran hukum adat, agama dan negara.
Mamak
yang barajo jo penghulu (ketua mamak) di Minang tugasnya adalah
menjalankan pemerintahan adat. Kalau tersandung minta fatwa dari ulama dan diperintahkan
penghulu untuk diamalkan anak kapanakan (rakyat) di bawah pengawasan ninik
mamak.
2. Alim Ulama
Alim
Ulama adalah
orang yang alim dan tahu tentang agama. Seseorang yang alim adalah orang yang
memeliki ilmu agama yang sangat luas dan memiliki iman kuat. Alim ulama ini
disebut juga dengan suluah bendang dalam nagari, makasudnya alim ulama
berfungsi sebagai penerang kehidupan di masyarakat yang bertugas mengurus
persoalan ibadah masyarakat dalam nagari di samping itu, ia juga bertugas untuk
mengelola lembaga pendidikan yang diadakan di mesjid-mesjid dan surau-surau.
Kalau nama saja alim tak banyak ilmu dan tak kuat iman bisa beraku: banyak
alim rusak agama/ banyak cadiak rusak nagari.
Kedudukan
alim ulama dihormati kerena ilmu dan keteladanan imannya. Jika penghulu
tingginya karena ditinggikan (dianjuang) dan gadangnya karena diamba dan
jabatan penghulu ini dipegangnya secara turun temurun, tetapi seseorang ulama
dalam masyarakat adalah karena ilmu yang dituntutnya dan ia menduduki jabatan
ulama karena kemampuan pribadinya, ketaatan dengan kesungguhannya. Jabatan ini
tidak dapat diturunkan, kecuali kalau anak atau kemenakannya mau menuntut ilmu
agama dan ia mampu pula menjadi panutan masyarakat tentang agama. Walaupun
seseorang itu mempunyai ilmu yang tinggi dalam bidang agama tapi tidak mampu
menyebarkannya lewat tabligh-tabligh dan belum diakui kepemimpinannya sebagai
ulama oleh masyarakat belumlah boleh disebut ulama.
Fungsi
alim ulama dalam masyarakat adalah pengikat tali lahir batin dan memberi contoh
dan teladan/ panutan dan sebagai suluh bendang dalam nagari. Ulama itu
berkewajiban menunjukkan yang baik dan yang buruk, menyatakan yang terlarang
(nahi) dan tersuruh (amar) oleh agama Islam. Tegasnya tugas ulama di Minang
memberi fatwa.
3. Cerdik Pandai
Cerdik
pandai artinya kumpulan orang pandai-pandai atau disebut cerdik cendikia. Orang
yang cerdik ialah orang yang cepat mengerti dan berfikir cepat dan pandai
mencari pemecahan suatu masalah serta sangat teliti.
Kedudukan
kaum cerdik pandai di Minang sejalan fungsinya “teliti”. Orang yang dapat
mempergunakan ilmu dan pengetahuannya untuk kepentingan hidup, pribadi dan
untuk masyarakat karena kemampuannya dan kecerdikannya dalam kehidupan di
masyarakat. Cerdik cendekia pasti jadi orang cerdik pandai. Kepemimpinan
seorang cerdik pandai itu diakui masyarakat dan bersama-sama dengan penghulu
dan alim ulama menjadi pemimpin kolektif pula di nagari dan kepemimpinannya
didudukan oleh anak kapanakan di suku/ nagarinya. Tugasnya kalau ulama memberi
fatwa, perintah pada penghulu dan teliti pada cadiak pandai.
III.
Hubungan Kerja KAN dan Pemerintahan Nagari (Wali Nagari + Bamus)
KAN
(Kerapatan Adat Nagari) dulu pernah namanya KN (Kerapatan Nagari) ketika
pemerintahan nagari setangkup dengan pemerintahan adat, yakni ketika itu Kapalo
Nagari (Penghulu Palo) dipilih dari penghulu dalam KN (Kerapatan Nagari).
Penghulu Palo itu berfungsi sebagai eksekutif, KN ketika itu berfungsi
legislatif dan yudikatif. Kemudian dalam perjalanan sejarah nagari Minang KN
berubah menjadi DPRW (Dewan Perwakilan Rakyat Wilayah), DPRN (Dewan Perwakilan
Rakyat Nagari), BMN (Badan Musyawarah Nagari) ditunjuk Muspika, kemudian
menjadi KAN Tahun 1983 (UU5/79 + Perda 13/1982) masih terasa berfungsi legislatif
dan yudikatif.
Di
era otonomi dengan Perda 9/2000 diamandemen dengan Perda 2/2007 KAN tetap ada
tetapi sudah dimarjinalkan dan dihapus secara tidak langsung fungsinya sebagai
legislatif dan yudikatif di nagari. Tahun 1999 posisi KAN digantikan BMAS dalam
pemerintahan dan Tahun 2007 posisi KAN digusur Bamus. Sebenarnya masih ada
peluang, tergantung komitmen nagari dan dikukuhkan Pemkab (Perda, Perbup atau
AK Bupati) kembali menempatkan KAN sebagai berfungsi yudikatif menyelesaikan sengketa
nagari secara mekanisme informal di samping bersama Bamus menjadi legislatif
sebagai lembaga tempat bermusyawarah, dan wali nagari sebagai eksekutif/ kepala
pemerintah nagari.
KAN
sejak awal setidaknya menjalankan tupoksi sesuai kewenangan dan tanggung
jawabnya, yakni di samping mengembangkan kekayaan Nagari, pembinaan dan pengembangan adat, peningkatan Kesejahteraan masyarakat
Nagari dan keuangan Nagari yang paling penting lagi adalah fungsi pelaksana
perdamaian adat (penegak hukum secara adat) dan hukum pada umumnya secara
mekanisme informal.
Peranan KAN ini
semakin terpinggirkan dengan keluarnya Perda 9/2000 dan Perda 2/2007. Perda ini
merugikan dan tidak adil (blamming the victims) terhadap masyarakat
adat. KAN (termasuk unsur ninik mamak) dalam pemilihan Bamus disamabesarkan dan
disamakan posisinya dengan unsur Pemuda (kapanakan), Bundo Kandung, Alim Ulama
dan Cadik Pandai. Padahal semua unsur itu kecuali pemuda berada dalam unsur KAN
seluruhnya sejak dahulu.
Akibat
disamakan posisi KAN dengan unsur-unsur nagari tadi oleh Perda di era otonomi
ini berakibat fatal, memicu konflik kelembagaan di nagari. Suasana kehidupan
bernagari semakin tidak bisa direvitalisasikan yang pada gilirannya
Pemerintahan Nagari (Wali Nagari + Bamus) sulit memacu kinerjanya
merevitalisasi kehidupan bernagari, karena suasana gaduh dan konflik di nagari
melelahkan berfikir dan tak terarah bekerja.
Pengalaman
pemilihan Bamus, betapa banyak kasus di nagari KAN dilecehkan unsur Pemuda di
samping 3 unsur lainnya (CP, AU dan BK), karena salah memahami Perda di era
otonomi ini. Dianggap KAN samo gadang dengan unsur lainnya termasuk
Pemuda. Kondisi ini memicu kapanakan (pemuda) mandago mamak., yang dalam
hukum adat dapat dijatuhkan sanksi hukum adat. Hal itu disebabkan karena merasa
sama besar dalam pemilihan Bamus dan KAN sendiri kurang pandai pula
memposisikan diri sebagai lembaga besar di nagari.
Kalau sudah
merasa sama besar pemuda dengan KAN dalam persaingan politik bisa-bisa muncul
ucapan mandago itu: apo juo lai urusan yang tuo-tuo nan babaju hitam
kolai. Itu ungkapan meniadakan ninik mamak dan mandago mamak.
Ungkapan mandago itu muncul dari kapanakan bisa-bisa takabau itu,
karena melanggar komitmen kaumnya sendiri, memilih dan melewakan yang berbaju
hitam itu dengan menyembelih kerbau. Dalam persaingan politik ala demokrasi
yang tidak berakar pada budaya Minang, ungkapan itu bisa terjadi setiap saat,
meski tidak dibenarkan oleh nilai adat dan syarak sebagai acuan.
Tetapi kalau
KAN sendiri pandai memposisikan diri, jangan menyamabesarkan diri dengan 4
unsur tadi (P, CP, AU, BK) tetapi kembalikan mereka ke unsur-unsur dalam
lingkup KAN mungkin aman. Sebab bagaimana pun di Minang ini semua unsur pada
perinsipnya hanya dua unsur saja yakni kalau tidak ia keponakan pasti mamak. Kapanakan ketika ketek, lah
gadang menjadi mamak apapun kedudukannya (menteri, gubernur, bupati, camat,
wali nagari, kapalo kampung, ketua pemuda, ketua cadiak pandai, ketua Bundo
Kandung, ketua alim ulama, ketua KAN sendiri, dosen, dokter, hakim, jaksa,
polisi, tentara dsb tetap semuanya kapanakan atau ninik mamak di Minang).
Mempraktekannya,
pemilihan Bamus sendiri misalnya, jangan KAN mengatasnamakan ninik mamak
mencalonkan diri, meskipun berbunyi dalam Perda 2/2007 unsur ninik mamak di
samping 4 unsur lainnya sebagai unsur yang memilih dan dipilih. Bawa 4 unsur
itu oleh KAN musyawarah, tanya pemuda siapa calonnya, tanya BK siapa calonnya,
tanya ulama siapa calonnya, tanya cadiak pandai siapa calonnya. 4 calon dari 4
unsur itu, direstui sebagai calon dari KAN. Pasti 4 calon itu ninik mamak
nagari.
Mekanisme
penyaluran aspirasi/ pikiran/ saran/ usulan 4 unsur yang dibulatkan dan
disalurkan KAN itu dapat diskemakan sebagai berikut:
·
KAN Musyawarah
·
Aspirasi/Pikiran/Saran/Usulan/Suara
·
Bundo Kanduang
·
Candiak Pandai
·
Pemuda
·
Anak Kemenakan/Rakyat
·
Pemerintahan
Wali Nagari/BAMUS
Kalau suara
anak kapanakan (AU, BK, CP, P) sudah sepakat dan bulat pasti tidak diperlukan
pemungutan suara yang merupakan ciri utama demokrasi liberal itu, pasti bisa
dipilih secara demokrasi Minang dengan musyawarah mufakat oleh semua unsur anak
kapanakan tadi yang dihimpun ninik mamak bersatu anak kapanakan dalam KAN tadi.
Suara bulat anak/ kapanakan (rakyat) yang bulat tadi disalurkan ke penyelenggara
pemerintahan (Wali Nagari dan Bamus) diyakini tidak ada konflik, karena semua
akur. Bamusnya pun nanti akan akur pula dengan KAN dan Wali Nagari dan bisa
bersinergi dengan baik, karena tidak ada dendam politik. Suasana itu akan
ciptakan trio leader (pemimpin) nagari yang kuat. Power (kekuatnnya) akan besar
di nagari.
Sharing power bisa dibagi dan saling berhubungan KAN-Bamus dan Wali Nagari. Wali
Nagari posisinya kepala pemerintahan sebagai eksekutif, Bamus bersama KAN
lembaga musyawarah (pemerintah dan adat) fungsi legislatif, dan KAN sendiri
sebagai yudikatif bisa menyelesaikan sengketa adat, pusaka dan sengketa aset
nagari terutama secara mekanisme informal dan formalnya dilakukan penegak hukum
positif (polisi, jaksa, pengadilan negeri/ hakim). Yang pangkal balanya adalah
sama-sama mempertahankan santiang sendiri-sendiri, akhir tak keluar juga
santiang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar