18 Jul 2014 | 07:54
A.
Pendahuluan
Melihat komposisi elit koalisi Jokowi-JK baik
sipil dan/atau purnawirawan maka sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa koalisi
ini tidak lain adalah koalisi lembaga pemikir (think-tank) bernama Center for
Strategic and International Studies (CSIS) yaitu:
1. Sipil: Jusuf Wanandi (bos CSIS); Sofyan Wanandi
(bos Apindo dan CSIS); Jacob Soetoyo (elit CSIS, mempertemukan Jokowi-Megawati
dengan dubes-dubes negara imperialis di rumahnya); Indra J. Piliang (politisi
Golkar pendukung Jokowi-JK yang berlatar belakang peneliti CSIS); The Jakarta
Post (koran milik CSIS); Marie Elka Pangestu (elit CSIS); Goenawan Mohamad/GM
(pendiri Tempo, bawahan CSIS); Tempo (media milik GM dan Fikri Jufri,
menerbitkan berita pesanan CSIS); Todung Mulya Lubis (lawyer bos CSIS), dkk;
2. Purnawirawan terdiri atas binaan Benny Moerdani
dari CSIS, antara lain: Sutiyoso (Gubernur DKI saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998);
Agus Widjojo; Fachrul Razi (pengusul Jonny Lumintang sebagai Pangkostrad),
Ryamizard Ryacudu (mertuanya Try Sutrisno agen Benny); Agum Gumelar-AM
Hendropriyono (bodyguard Mega atas perintah Benny); Theo Syafei (via anaknya
Andi Widjajanto); Fahmi Idris (rumahnya lokasi ide Kerusuhan 27 Juli 1996 dan
Kerusuhan 13-14 Mei 1998 pertama kali dilontarkan); Luhut Binsar Panjaitan
(anak emas Benny Moerdani); Tyasno Sudarto; Soebagyo HS (KSAD saat Kerusuhan
13-14 Mei 1998); TB Silalahi; TB Hasanuddin, dkk. (Anggota sipil dan militer
yang terafiliasi CSIS secara bersama-sama akan disebut sebagai "Klik
CSIS").
Adapun "Prestasi" CSIS selengkapnya bisa
dibaca di: http://m.kompasiana.com/…/pelajaran-sejarah-dan-politik-unt…,
dan http://m.kompasiana.com/…/inilah-yang-terjadi-tahun-1998.ht…;
sedangkan bukti berikut penjelasan bahwa CSIS
mendalangi Kerusuhan 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dapat dibaca di
artikel "Dalang Kerusuhan Mei Mendukung Jokowi" di www.faktajokowi.blog.com. Tulisan ini akan dibuat dengan
asumsi bahwa para pembacanya minimal sudah membaca dua artikel tersebut di
atas.
B. Ledakan
Bom Tanah Tinggi Dan CSIS
Sosok Jokowi tidak akan diciptakan CSIS apabila
tokoh belakang layar Partai Rakyat Demokratik/PRD yaitu Daniel Indrakusuma
alias Daniel Tikuwalu yang dilatih gerilya oleh komunis Filipina dan
berhubungan dekat dengan Max Lane, komunis Australia sekaligus donatur utama
PRD pada Agustus 1997 tidak membuat PRD deklarasikan perlawanan bersenjata.
Seruan tersebut ditindaklanjuti dengan kedatangan tiga pemuda ke Rumah Susun
Johar di Tanah Tinggi, Tanah Abang untuk menyewa kamar Blok V, No. 510. Lokasi
rumah susun tidak jauh dari kantor CSIS di Jl. Tanahabang III/27, Jakarta Pusat.
Menurut keterangan Ketua RT, ketiganya tidak
bermasalah selama tinggal di sana sampai tiba-tiba hari Minggu, 18 Januari 1998
terjadi ledakan dari dalam kamar mereka karena percobaan merakit bom kecil yang
gagal. Ketentuan rumah susun mengatur bila terjadi insiden maka listrik
dimatikan, dan hal ini menyulitkan usaha tiga pemuda tadi untuk melarikan diri
sehingga satu berhasil ditangkap sedangkan dua lainnya melarikan diri dengan
luka bakar cukup serius. Orang yang ditangkap warga diketahui bernama Agus
Priyono (kini Ketua PRD), aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk
Demokrasi (SMID), organisasi sayap PRD dan belakangan aktivis PRD lain bernama
Rahmat Basuki ditangkap di Jogjakarta.
Dari pemeriksaan aparat keamanan di lokasi ledakan
ditemukan 52 alat bukti yang disita antara lain berupa: laptop berisi email,
dokumen notulen rapat, beberapa paspor dan KTP antara lain atas nama Daniel
Indrakusuma, buku tabungan, disket-disket, detonator, amunisi, baterai, timer
dan lain sebagainya. Adapun isi e-mail dan dokumen yang ditemukan antara lain:
a. E-mail dari orang yang memakai nama
"Dewa" berbunyi:
"Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh
Hendardi belum diterima [Dari Asia Watch], sehingga kita belum bisa bergerak.
Kemarin saya dapat berita dari Alex [Widya Siregar] bahwa Sofjan Wanandi dari
Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari
luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu
tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita
selanjutnya."
Pernyataan Dewa dibenarkan anggota PRD bahwa anak
buah Sofyan Wanandi pernah menelpon mereka dan menawarkan bantuan dana sebesar
US$ 15,000 yang sudah diambil sebagian sebelum bom meledak (Manuver Politik:
Sofyan Wanandi & CSIS, Forum Komunikasi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa
Indonesia, 1998, hal. 21).
b. E-mail lain menyebut nama Surya Paloh, bos
harian Media Indonesia yang antara lain menerangkan: "Peranan Surya Paloh
pada surat kabar Media sangat membantu rencana kita dalam membakar massa."
c. Adapun dokumen lainnya adalah notulen berisi
pertemuan “kelompok pro demokrasi” dengan penyandang dana mereka yang
berlangsung di Leuwiliang, Bogor, 14 Januari 1998 yang dihadiri oleh 19 aktivis
mewakili 9 organisasi terdiri dari kelompok senior dan kelompok junior yang
merencanakan revolusi. Anggota kelompok senior adalah sebagai berikut:
Pertama, CSIS bertugas membuat
analisis dan menyusun konsep perencanaan aktivitas ke depan.
Kedua, kekuatan militer yang
diwakili oleh Benny Moerdani.
Ketiga, kekuatan massa yang pro
Megawati Soekarnoputri.
Keempat, kekuatan ekonomi yang
dalam hal ini diwakili oleh Sofjan Wanandi dan Yusuf Wanandi.
Atas penemuan dokumen di atas, Jusuf Wanandi, dan
Sofyan Wanandi didampingi pengacaranya Todung Mulya Lubis telah diperiksa
Bakortanasda Jaya. Kemudian peristiwa tersebut ditambah fakta Sofyan Wanandi
menolak membantu negara yang terkena krisis moneter karena memikirkan diri
sendiri membuat kantor CSIS diterjang demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa
yang antara lain menuntut pembubaran lembaga ini. Semua kejadian ini membuat
klik CSIS menjadi panik dan terlihat dalam tegangnya rapat konsolidasi pada
hari Senin, 16 Februari 1998 di Wisma Samedi, Klender, Jakarta Timur (dekat
lokasi Kasebul) dan dihadiri oleh Harry Tjan, Cosmas Batubara, Jusuf Wanandi,
Sofyan Wanandi, J. Kristiadi, Hadi Susastro, Clara Juwono, Danial Dakidae dan
Fikri Jufri.
Ketegangan terjadi antara J. Kristiadi dengan
Sofyan Wanandi sebab Kristiadi menerima dana Rp. 5miliar untuk untuk menggalang
massa anti Soeharto tapi sekarang CSIS malah menjadi sasaran tembak karena
ketahuan mendanai gerakan makar. Akibatnya Sofyan dkk menuduh Kristiadi tidak
becus dan menggelapkan dana. Tuduhan ini dijawab dengan membeberkan penggunaan
dana terutama kepada aktivis "kiri" di sekitar Jabotabek, misalnya
Daniel Indrakusuma menerima Rp. 1,5miliar dll. Kristiadi juga menunjukan
berkali-kali sukses menggalang massa anti Soeharto ke DPR, dan setelah CSIS
didemo, Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) yang setahun terakhir
digarap segera mengecam demo tersebut. Di akhir rapat disepakati bahwa
Kristiadi menerima dana tambahan Rp. 5miliar (http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/21/0088.html).
Demi menyelamatkan CSIS yang sudah di ujung tanduk
membuat klik CSIS segera merencanakan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto dan
Prabowo Soebianto. Hasil dari rencana tersebut adalah Kerusuhan 13-14 Mei 1998
sebagaimana direncanakan oleh Benny Moerdani di rumah Fahmi Idris yang juga
dihadiri oleh Sofyan Wanandi. Menurut kesaksian George Junus Aditjondro, Jusuf
dan Sofyan Wanandi adalah ekstrim kanan yang tidak peduli ras atau agama, dan
karena itu Tionghoa, Kristen, dan Katolik bisa dihantam bila hal tersebut
menguntungkan mereka. Bukankah mereka yang menghancurkan Gereja Katolik Timor
Timur? Bukankah guru mereka, Ali Moertopo yang anak kiai itu justru
mendiskriditkan Islam melalui DI/TII dan GUPPI? Bukankah David Jenkins,
wartawan Australia dalam orbituari Benny Moerdani, "Charismatic, Sinister
Soeharto Man" menulis:
"Hardened in battle and no stranger to
violence, Moerdani believed that the ends justify the means.. He once shocked
members of an Indonesian parliamentary committee by saying, in effect, that if
he had to sacrifice the lives of 2 million Indonesians to save the lives of 200
million Indonesians he would do so."http://www.smh.com.au/articles/2004/09/09/1094530768057.html
Tidak heran beberapa pastur Katolik seperti Romo
Mangunwijaya, Sandyawan dan Mudji Sutrisno justru tidak menyukai Wanandi
bersaudara padahal saudara kandung mereka, Markus Wanandi adalah pastur.
16 tahun kemudian, Prabowo Soebianto, orang yang
pernah mereka jatuhkan karena memimpin penyelidikan atas bom Tanah Tinggi malah
tidak memiliki saingan untuk menjadi presiden Indonesia berikutnya. Tentu saja
mereka kembali panik sebab bila Prabowo memimpin negeri ini maka kemungkinan
besar semua kejahatan mereka di masa lalu khususnya periode 1998 terbongkar.
Untuk itulah klik CSIS perlu menciptakan sosok lawan tanding Prabowo dan sosok
tersebut adalah Jokowi.
Proses penciptaan Jokowi dimulai pada tahun 2008
dengan mengirim Agus Widjojo untuk menjajaki kerja sama dan setelah itu
penggarapan Jokowi dilakukan oleh Luhut Panjaitan anak emas Benny Moerdani dengan
kedok PT Rakabu Sejahtera sedangkan kegiatan memoles citra Jokowi diserahkan
kepada Goenawan Mohamad dan grup Tempo. Selanjutnya dukungan negara-negara
imperialis diatur oleh Jacob Soetoyo dan Sofyan Wanandi bersama Marie Elka
Pangestu sejak tahun 2013 sudah melempar wacana duet Jokowi-JK dengan
gelontoran dana minimal Rp. 2trilyun (http://m.rmol.co/news.php?id=129021).
Keterlibatan Surya Paloh dan Megawati dalam ledakan bom Tanah Tinggi menjawab
keanehan PDIP, dan NasDem begitu saja mendukung kursi presiden kepada Jokowi
dan wakil presiden kepada Jusuf Kalla (http://m.rimanews.com/…/duet-jokowi-jusuf-kalla-didukung-so…).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar