Besarnya
tuntutan pelayanan BS dari warga Belanda dan Eropa yang tinggal diwilayah
Hindia Belanda mendorong keinginan adanya perundang-undangan Catatan Sipil yang
berlaku khusus di seluruh wilayah Pemerintahan Hindia Belanda.
Asas konkordansi yakni menerapkan hukum pencatatan sipil yang berlaku di Negeri Belanda kepada orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda, menimbulkan permasalahan-permasalahan karena situasi negeri belanda yang jauh berbeda dengan kondisi Hindia Belanda. Hal ini mendorong keinginan orang Belanda untuk memiliki peraturan sendiri tentang pencatatan sipil. Ordonansi pencatatan sipil yang pertama dibuat untuk daerah Hindia Belanda, mulai diberlakukan pada tahun 1850, dengan ditetapkannya ordonantie Catatan Sipil bagi Golongan Eropa di Hindia Belanda, yaitu Reglement tentang hal daftar-daftar pencatatan sipil bagi Bangsa Eropa dan juga Indonesia Asli (Bumi Putera) dan mereka yang dipersamakan dengan bangsa itu (Eropa) yaitu mereka yang menundukkan diri menurut ketentuan perundang-undangan kepada seluruhnya dengan sukarela kepada hukum sipil (perdata) dan hukum dagang yang diterapkan bagi Bangsa Eropa (Staatsblad Tahun 1849 Nomor 25).
Terbatasnya
pelayanan Catatan Sipil tersebut adalah sejalan dengan politik Pemerintah
Hindia Belanda yang membagi dan menggolongkan penduduk dan kemudian bagi setiap
golongan penduduk berlaku hukum yang berbeda.
Didasari
ketentuan Pasal 131 dan 163 IS (Indische Staatsregeling) ada 3 (tiga) golongan
penduduk yaitu Golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Apabila
peraturan-peraturan dari undang-undang ini dari peraturan-peraturan umum dan
peraturan-peraturan lain, reglement-reglement, peraturan-peraturan polisi dan
peraturan- peraturan administrasi membedakan antar Golongan Eropa, Indonesia
dan Timur Asing. Untuk mereka berlaku peraturan-peraturan yang berikut :
1.
Pada
peraturan-peraturan Golongan Eropa tunduk :
a) Semua orang Belanda.
b) Semua orang, tak termasuk
dalam golongan nomor 1 yang berasal dari Eropa.
c) Semua orang Jepang dan
selanjutnya semua orang yang berasal dari lain tempat, tak termasuk golongan
nomor 1 dan 2, untuk siapa di negerinya berlaku hukum keluarga yang dalam
pokoknya berdasar pada azas- azas yang sama dengan azas-azas Belanda.
d) Anak-anak yang sah atau
yang diakui secara sah menurut undang-undang yang dilahirkan di Indonesia dan
turunan-turunan lanjut dari orang-orang yang dimaksudkan dibawah nomor 2 dan 3.
2.
Pada
peraturan-peraturan untuk Golongan Indonesia tunduk kecuali kedudukan hukum
dari Golongan Indonesia Nasrani yang ditetapkan dengan ordonansi semua orang
yang termasuk dalam Golongan Indoesia Asli di Indonesia dan tidak telah masuk
dalam Golongan Penduduk lain dari Golongan Indonesia Asli dan sekarang telah
mempersatukan diri dengan Golongan Indonesia Asli.
3.
Pada
peraturan-peraturan untuk Golongan Timur Asing tunduk kecuali mereka yang
beragama Nasrani yang akan ditetapkan dengan ordonansi, semua orang yang tak
termasuk golongan yang dimaksudkan oleh ayat 2 atau 3 dari pasal ini.
Gubernur
Jenderal berhak selaras dengan “Read van Indonesie” untuk menyatakan peraturan-
peraturan yang berlaku bagi Golongan Eropa juga berlaku bagi orang, untuk siapa
sebetulnya peraturan-peraturan itu tidak berlaku, untuk siapa sebetulnya.
Pernyataan berlaku tersebut berlaku dengan sendirinya untuk anak-anak sah atau
yang diakui menurut undang-undang dan yang dilahirkan setelah itu serta
turunan-turunan lanjutan dari yang bersangkutan.
Pedoman
politik bagi Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan
dalam Pasal 131 IS yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Hukum perdata dan dagang
(begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan pidana) harus
diletakkan dalam kitab undang-undang, yaitu di “kodifikasikan”.
2. Untuk Golongan Bangsa
Eropa untuk itu harus dianut perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda
(asas konkordansi).
3. Untuk Golongan Bangsa
Indonesia Asli dan Timur Asing, jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan,
mereka menghendaki nya, dapatlah peraturan-peraturan untuk Bangsa Eropa
“dinyatakan berlaku” bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan
perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan bersama,
untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan mana boleh diadakan penyimpangan
jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat mereka (ayat 2).
Orang
Indonesia dan Orang Timur Asing sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah
suatu peraturan bersama dengan Bangsa Eropa, diperbolehkan “menundukkan diri”
(onderwer pen) pada hukum yang berlaku untuk Bangsa Eropa, penundukan diri mana
boleh dilakukan baik secara umum maupun secara khusus hanya mengenai suatu
perbuatan tertentu saja (ayat7).
Sebelumnya
hukum untuk Bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, maka bagi merka itu
akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka yaitu hukum adat
(ayat 6).
Hal
penundukkan diri diperjelas dengan adanya dari Staatsblad 1917 No.12 mengenai kemungkinan menudukkan diri pada
hukum Eropa, dalam hal ini ada 4 macam penundukkan diri yaitu :
1. Penundukkan pada seluruh
hukum perdata Eropa.
2. Penundukkan diri pada
sebagian hukum perdata Eropa.
3. Penundukkan mengenai suatu
perbuatan hukum tertentu.
4. Penundukkan secara
diam-diam yaitu menurut Pasal 29 yang berbunyi “jika seorang Bangsa Indonesia
Asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal dalam hukumnya sendiri,
maka ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa”.
Reglement
tersebut dipublikasikan pada tanggal 10 Mei 1849 dalam Staatsblad tahun 1849 No.259.
Pada
akhir abad ke-19 perkembangan dunia khususnya Eropa mengalami
perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang politik, pengaruh paham liberal
telah mendorong pemerinthan Hindia Belanda untuk lebih demokratis dan longgar
khususnya di negara-negara jajahan. Di Negeri Belanda sendiri paham tersebut
berkembang dan dikenal sebagai pemikiran-pemikiran “Politik Etis”. Perkembangan
politik dalam negeri Belanda tersebut mendorong dihapusnya culturstelsel dan
semakin diperluasnya kesempatan kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk
berkembang. Hal ini membawa pengaruh pula pada kegiatan pencatatan sipil, jika
tadinya pencatatan sipil itu hanya berlaku bagi Bangsa Eropa, maka perkembangan
selanjutnya mendorong diberinya kesempatan pelayanan Catatan Sipil bagi golongan-golongan
lain.
Maka
pada awal abad ke-20, dikeluarkan ordonansi tanggal 29 Mei 1917 No.130 (Staatsblad tahun 1917 No.130) yang akan diberlakukan tanggal 1 Mei
1919 dengan Staatsblad 1919 No.81,
reglement tentang daftar-daftar pencatatan sipil bagi Bangsa Tiong Hoa.
Selanjutnya
kepada Golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) Catatan Sipil diberlakukan pula,
namun masih dibatasi kepada mereka yang tidak termasuk rakyat dari sesuatu
swapraja di Jawa dan Madura. berdasarkan Ordonantie tanggal 15 Oktober 1920 (Staatsblad
tahun 1920 No.751), mulai berlaku tanggal
1 Januari 1928. Kemudian bagi Golongan Bumi Putera beragama Kristen di Pulau
Jawa, Madura dan Minahasa serta sebagian Keresidenan Ambon, (Saparua dan
Banda.) yang tertuang dalam staatsblad tahun 1933 no. 75 dan mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1937.
Dalam
hubungannya dengan penggolongan penduduk seperti yang dikemukakan di atas,
untuk pelaksanaan catatan sipil ditetapkan reglement-reglement sebagai berikut
:
1. Reglement Catatan Sipil
untuk Golongan Eropa dan bagi mereka yang menurut hukum nya dipersamakan dengan
hukum yang berlaku bagi Golongan Eropa, yang diundangkan tanggal 10 Mei 1849 (Stbld.1849 No.25),
dengan judul selengkapnya “Reglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar
Catatan Sipil untuk orang-orang Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan
mereka, yang berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang telah tunduk untuk
seluruhnya atau telah tunduk secara sukarela pada hukum perdata dan hukum
dagang yang berlaku untuk orang-orang Eropa.
2. Reglement mengenai
penyelenggaraan daftar- daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Tiong Hoa
(Ordonansi tanggal 29 Maret 1917 ; Stbld. 1917 No.130
Jo. 1919 No.81) dan mulai berlaku tanggal
1 Mei 1919 untuk seluruh Wilayah Indonesia).
3. Reglement mengenai
penyelenggaraan daftar-daftar Catatan Sipil untuk beberapa golongan penduduk
Indonesia di Jawa dan Madura, yang tidak termaduk rakyat swapraja (Ordonansi
tanggal 15 Oktober 1920; Stbld.1920 No.751 Jo. Stbld.1927
No.564 dan setelah dirubah pada tahun
1926 dan 1927) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1928.
4. Reglement Catatan Sipil
orang-orang Indonesia Nasrani (Ordonansi tanggal 15 Pebruari 1933 ; Stbld.1933 No.75
Jo.Stbld.1936 No.607).
Nama
lengkap Reglement tersebut adalah “Reglement mengenai penyelenggaraan
daftar-daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Indonesia Nasrani Manado, yang
dikenal dibawah Minahasa dan Pulau-pulau Teun, Nila dan Serua dari Residensi
Maluku”. Menurut Stbld.1936 No.607 Reglement ini mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 1937. Burgerlijke Stand pada waktu itu, berada satu atap dengan
Pengadilan Negeri dan Raad van Justisi (sekarang Kejaksaan).
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut, ditetapkanlah daftar-daftar akta catatan sipil
yang berbeda untuk masing-masing golongan, sebagai berikut :
1. Untuk Golongan Eropa
dan mereka yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Eropa, disediakan 5 macam
daftar akta catatan sipil :
a)
Daftar
kelahiran.
b) Daftar Pemberitahuan
Perkawinan.
c)
Daftar
Izin perkawinan.
d) Daftar Perkawinan dan Perceraian.
e) Daftar kematian.
2. Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing, disediakan 5 macam daftar
akta catatan sipil :
a)
Daftar-daftar
kelahiran.
b) Daftar izin untuk Nikah.
c)
Daftar
Izin perkawinan.
d) Daftar-daftar Perkawinan
dan Perceraian.
e) Daftar-daftar kematian
Pada perkembangannya,
daftar-daftar Kelahiran dibagi kembali dalam 4 daftar, yaitu :
1)
Daftar
Umum, yaitu daftar untuk memuat segala kelahiran yang diberitahukan kepada
Pegawai Catatan Sipil, dengan tak ada suatu pengakuan anak.
2) Daftar Tambahan, yaitu
daftar untuk memuat segala akta yang dikirim oleh orang-orang perantara catatan
sipil tentang kelahiran-kelahiran yang diberitahukan kepada mereka.
3) Daftar Tambahan untuk
memuat segala pengakuan, kecuali pengakuan yang dilakukan pada waktu dilakukan
perkawinan.
4) Daftar Tambahan untuk
memuat segala akta-akta lain yang menurut undang-undang harus dibukukan dalam
daftar kelahiran.
Sedangkan untuk daftar
Kematian dibagi lagi dalam 3 (tiga) daftar, yaitu :
1)
Daftar
Umum, yaitu memuat segala kematian yang diberitahukan kepada pegawai catatan
sipil.
2)
Daftar
Tambahan, untuk memuat segala akta-akta yang dikirim oleh orang-orang perantara
catatan sipil tentang kematian-kematian yang diberitahukan kepada mereka.
3)
Daftar
Tambahan untuk memuat segala akta-akta lain yang menurut undang-undang harus
didaftar dalam daftar kematian.
3. Untuk Golongan Indonesia Asli yang tinggal di
Pulau Jawa dan madura, disediakan 3 (tiga) macam daftar akta catatan sipil :
a)
Daftar
kelahiran.
b) Daftar Pemilihan Nama.
c)
Daftar
kematian.
Daftar-daftar untuk
golongan Indonesia asli inipun dibatasi hanya terhadap mereka yang memenuhi
ketentuan :
1)
Mereka
yang berhak memakai salah satu gelar kebangsawanan Indonesia, kecuali mereka
yang hanya memakai gelar “mas”.
2)
Pegawai
negeri yang bergaji 100 Gulden (minimal).
3)
Opsir-opsir
tentara dan Pensiunannya (minimal berpangkat Kolonel).
4)
Semua
orang yang menurut firman raja tanggal 15 September 1916 Nomor 26 (stbl. 1917
nomor 12) telah berlaku atau menundukkan diri pada sebagian hukum privat
golongan Eropa.
Pembatasan pelayanan
catatan sipil terhadap penduduk orang Indonesia asli ini, menggambarkan watak
kolonialisme Belanda yang angkuh dan kolot yang tidak mau mengakui hak-hak
sipil sebagian besar bangsa Indonesia.
Tidak disediakannya daftar
untuk Perkawinan dan perceraian untuk orang Indonesia asli ini, adalah karena
kepada mereka telah disediakan lembaga tersendiri diluar BS.
4. Untuk Golongan Indonesia Asli Nasrani yang
tinggal di Pulau Jawa dan Madura, Minahasa dan sebagian keresidenan Ambon,
disediakan 5 macam daftar akta catatan sipil :
a)
Daftar
kelahiran.
b) Daftar Pemilihan Nama.
c)
Daftar
Perkawinan.
d) Daftar Perceraian.
e) Daftar kematian.
Dengan
adanya ordonansi-ordonansi pencatatan sipil yang diberlakukan di Hindia
Belanda, mengurangi ketergantungan mereka pada persoalan-persoalan hukum yang
terkait dengan pencatatan sipil, dengan hukum yang ada di negeri belanda.
Disamping di negeri belanda sendiri para penganut “politik Etis” mendorong
pemerintahan di Hindia belanda untuk meningkatkan kesejahteraan dan
perlindungan hukum yang lebih baik kepada penduduk asli Hindia Belanda. Namun
pengaruh paham politik etis tak terlalu banyak mempengaruhi semangat bangsa
Indonesia, penggolongan penduduk yang dibuat oleh IS melukai hati bangsa
Indonesia, untuk bisa menerima penjajah Belanda kembali setelah mereka menyerah
kepada jepang di tahun 1945, akhirnya setelah 350 tahun Belanda menjajah bangsa
Indonesia, hasil yang mereka terima adalah bangsa Indonesia melepaskan diri dari
kekuasaan Belanda dan berjuang membentuk Republik Indonesia yang berdaulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar