Partai Boedi Oetomo, ‘marhum’ Nationaal Indische Partij yang kini masih ‘hidup’, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain ... itu masing-masing mempunyai rokh Nasionalisme, rokh Islamisme, atau rokh Marxisme adanya. Dapatkah roch-roch ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Rokh yang Besar, Roch Persatuan? Rokh Persatuan yang akan membawa kita ke-lapang ke-Besaran?[1]
Bung Karno dengan tegas
menjawab bahwa ketiga aliran itu dapat bersatu. Terhadap kaum nasionalis Bung
Karno menyatakan:
Bukannya kita mengharap,
yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya
maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan
tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.[2]
Terhadap kalangan Islam
Bung Karno menulis:
Islam yang sejati tidaklah
mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat
anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang
luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri diatas
Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan
dan kerusakan tahadi ! Kita sama sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju
pada Materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu
melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati
itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan
kewajiban-kewajibannya nasionalis pula! [3]
Kekagumannya terhadap
ajaran-ajaran Marx dituangkannya dalam kalimat berikut ini:
Kaum buruh dari semua
negeri, kumpullah menjadi satu!. Riwayat dunia belumlah pernah menceriterakan
pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinan satu
golongan pergaulan hidup, sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh ini. Dari
puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi
laksaan, jutaan ... begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab,
walaupun teori-teorinya ada sangat sukar dan berat untuk kaum yang pandai dan
terang-fikiran, tetapi amatlah ia gampang dimengerti oleh kaum yang tertindas
dan sengsara: kaum melarat yang berkeluh kesah itu.... Berlainan dengan
Ferdinand Lassale yang teriaknya itu ada suatu teriak perdamaian, maka Karl
Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih
atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham
klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya
itu, yalah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum ‘bursuasi’, satu
perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang
kapitalistis itu adanya.... Jasanya ahli-fikir ini yalah: -- ia mengadakan
suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische
Dialectiek); -- ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu
ditentukan oleh banyaknya ‘kerja’ untuk membikin barang-barang itu, sehingga
‘kerja’ ini yalah ‘wert-bildende Substanz’, dari barang-barang itu
(arbeids-waarde-leer); -- ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum
buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia
terima sebagai upah (meerwaarde); -- ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang
berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa ‘bukan budi-akal manusialah
yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubungan dengan
pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya’ (materialistische
geschiedenisopvatting); -- ia mengadakan teori, bahwa oleh karena ‘meerwaarde’
itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar
(kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan
diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena
persaingan, perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan
yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa
perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaals-concentratie); -- dan ia
mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin
lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam-hati yang makin lama makin
sangat (Verelendungstheorie)... [4]
Bung Karno memperingatkan
bahwa:
kaum Marxis harus ingat
bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme
dihati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu
kebanyakannya yalah modal asing , dan oleh karena budi perlawanan itu
menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat
di-‘bawah’ terhadap pada rakyat yang di-‘atas’-nya, dan menumbuhkan suatu
keinginan pada nationale machtspolitiek dari rakyat sendiri . ... Niscaya
mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain
negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau
kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di
negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usaha kaum Nasionalis,
oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan
nasional dan kemerdekaan nasional adanya. Demikian pula, tak pantaslah kaum
Marxis itu bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang
sungguh-sungguh).[5]
Memperhatikan perkembangan
teori Marxisme, Bung Karno menulis:
adapun teori Marxisme
sudah berobah pula. Memang seharusnyalah begitu! Marx dan Engels bukanlah
nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala
zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman berobah; teori-teorinya
harus diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx
dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam
tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham atau perobahan tentang
kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup.[6]
Sejak awal Bung Karno
sudah bersikap memihak Marxisme. Dalam membela kaum Marxis dari serangan kaum
agama, Bung Karno menyatakan, agar bisa memahami Marxisme kita harus membedakan
Historis-Materialisme dan materialisme-filsafat.
Historis-Materialisme—materialisme historis—adalah penerapan materialisme
dialektik dalam ilmu sosial—penerapan filsafat materialisme dalam ilmu sosial;
dalam memandang perkembangan sejarah.
Bung Karno menulis:
Kita harus membedakan
Historis- Materialisme itu dari pada Wijsgerig– Materialisme, kita harus
memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada
maksudnya Wijsgerig-Materialisme tahadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban
atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda
(materie), bagaimana fikiran itu terjadi, Sedang Historis-Materialisme memberi
jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau
begini; wijsgerig-materialisme menanyakan ada (wezen) fikiran itu;
historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya fikiran itu berobah;
wijsgerig-materialisme mencari asal nya fikiran, historis-materialisme
mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig,
historis-materialisme adalah historis. Dua faham ini oleh musuh-musuhnya
Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan
senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka
tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka
menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu yalah kaum yang mempelajarkan, bahwa
fikiran itu hanyalah suatu pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah dari
mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum
Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi [7].
Menghadapi Ir. Baars yang
membelot dari Marxisme, Bung Karno dengan tangguh membela Marxisme. Baars
menyatakan, bahwa ia kini oleh pengalaman-pengalamannya di negeri Russia, sudah
‘bertobat’ dari faham, yang bertahun-tahun menyerapi budi-akalnya: komunisme.
Berkali-kali Baars dalam tulisannya memperingatkan, janganlah mendekati
komunisme itu; berkali-kali ia mengatakan, bahwa apa yang ia alami di Russia
itu hanyalah kekalutan dan kesengsaraan sahaja. Bung Karno tidak percaya
terhadp tulisan Baars itu. Bung Karno menilai Baars sebagai seorang
bekas–komunis yang sekarang bukan saja anti-komunisme, tetapi juga
anti-sosialisme, dan juga anti-marxisme dalam umumnya.
Bung Karno menulis:
Untuk adilnya kita punya
hukuman terhadap pada ‘prakteknya’ faham Marxisme itu, maka haruslah kita
ingat, bahwa ‘failliet’ dan ‘kalang-kabut’nya negeri Russia itu adalah
dipercepat pula oleh penutupan atau blokade oleh semua negeri-negeri musuhnya;
dipercepat pula oleh hantaman dan serangan pada empatbelas tempat oleh
musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis dan jenderal-jenderal Koltchak,
Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang
dilakukan oleh hampir semua surat-kabar di seluruh dunia.....
Bagaimanakah sikap kita,
kaum nasionalis, terhadap pada sosialisme atau komunisme itu dalam umumnya?
Sosialisme, sosial-demokrasi, komunisme adalah suatu reaksi, suatu faham
perlawanan terhadap pada kapitalisme, suatu faham-perlawanan yang dilahirkan
oleh kapitalisme itu juga. Ia adalah anaknya kapitalisme, tetapi ia adalah pula
suatu kekuatan yang mencoba menghancurkan kapitalisme itu juga. Ia tidak bisa
berada dalam suatu negeri, dimana kapitalisme belum berdiri, dan ia tentu ada
suatu negeri, jikalau negeri itu mempunyai aturan kemodalan, ia tentu ada suatu
negeri, jikalau negeri itu susunan-pergaulan hidupnya ada kapitalistis ...Dan
begitulah, maka walaupun sosialisme itu atau komunisme itu diperangi
sehaibat-haibatnya atau ditindas sekeras-kerasnya, walaupun
pengikut-pengikutnya dibui, dibuang, digantung, didrel atau dibagaimanakan
juga; walaupun oleh penindasan yang keras dan pemerangan yang haibat ia
kadang-kadang seolah-olah bisa binasa dan tersapu sama sekali, maka tiada
henti-hentinya ia muncul lagi dinegeri yang kapitalistis, tiada
henti-hentinyalah ia membikin gemparnya kaum yang dimusuhinya, menyatakan diri
didalam riwayat dunia, sebagai ditahun 1848, ditahun 1871, ditahun 1905 dan
ditahun 1917, -- tiada henti-hentinya ia memperingatkan juru-riwayat yang
menulis tambonya negeri-negeri Perancis, Jerman, Inggeris, Rusia, Amerika...
Dan di Indonesia? Dinegeri tumpah-darah kita? Indonesia-pun tak akan hindar
dari pada jurusan-jurusan atau tendenz-tendenz yang dilalui oleh negeri-negeri
lain. Indonesia pun tak akan hindar dari pada sociaal–economische praedestinatie
, yang juga sudah menjadi nasibnya negeri-negeri Asia yang lain, tak akan bisa
hindar dari pada keharusan-keharusan yang sudah pula menetapkan jalan-jalannya
susunan pergaulan hidup negeri-negeri lain, yakni keharusan-keharusannya hukum
evolusi , artinya: Indonesia juga akan menaiki semua tingkat-tingkat susunan
pergaulan hidup yang sudah dinaiki oleh negeri-negeri itu, -- Indonesia juga
akan meninggalkan tingkat susunan-pergaulan hidup yang sekarang ini, dan akan
naik keatas tingkat susunan pergaulan-hidup yang kemudian, masuk kealam zaman
kepabrikan, masuk kedalam zaman kapitalisme yang sebenar-benarnya, sebagaimana
yang sekarang memang sudah kentara adanya, Indonesia oleh karena itu juga tak
luput mengenali ‘pengikutnya’ kapitalisme itu, suatu pergerakan yang berazaskan
sosialisme atau komunisme, sebagaimana yang memang sudah kita alamkan
permulaannya pula.[8]
Pada kesempatan ulang
tahun ke-50 wafatnya Karl Marx, Bung Karno menyatakan pujian yang tinggi pada
Marx. Soekarno menulis sebagai berikut:
Dari muda sampai wafatnya,
manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberikan
penerangan pada simiskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan
bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan
capainya ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk diatas
kursinya, dimuka meja-tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883, -- limapuluh
tahun yang lalu --, melepaskan nafasnya yang penghabisan. .....Berlainan dengan
sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita sosialisme itu dapat
tercapai dengan cara pekerjaan-bersama antara buruh dan majikan, berlainan
dengan umpamanya; Ferdinand Lassale, yang teriaknya ada suatu
teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali
memakai kata kasih atau kata cinta, membeberkanlah faham pertentangan-kelas;
faham klassenstrijd, faham perlawanan-zonder-damai sampai habis-habisan. Dan
bukan itu sahaja! Ilmu dialektik materialisme, ilmu nilai-kerja, ilmu harga
lebih, ilmu historis materialisme, ilmu statika dan dinamikanya kapitalisme,
ilmu Verelendung, ---- semua itu adalah ‘jasanya’ Marx.
Bung
Karno menulis:
Bahwa Kaum
melarat-kepandaian yang berkeluh kesah itu dengan gampang segera
mengertinya.... Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya dialektika: bahwa
perlawanan kelas adalah suatu keharusan riwayat, dan bahwa oleh karenanya,
kapitalisme adalah ‘menggali liang kuburnya’. Begitulah teori-teori yang dalam
dan berat itu dengan gampang sahaja masuk didalam keyakinan kaum yang merasakan
stelsel yang ‘diteorikan’ itu, yakni didalam keyakinannya kaum yang perutnya
senantiasa keroncongan. Sebagai tebaran benih yang ditebarkan oleh angin
kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar
dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropah itu
sebagian telah diterbangkan pula oleh tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus
ke Timur, jatuh dikanan kirinya sungai Sindu dan Gangga dan Yang Tse dan Hoang
Ho, dan dikepulauan yang bernama kepulauan Indonesia. Nasionalisme di dunia
Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme
baru, satu ilmu baru, satu iktikad baru, satu senjata-perjuangan yang baru,
satu sikap-hidup yang baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup dikalangan
rakyat Marhaen Indonesia.[9].
Bung Karno memahami ajaran
Marx mengenai kepeloporan klas buruh dalam revolusi. Sesudah Konferensi
Partindo di Mataram tahun 1933 mengambil 9 butir kesimpulan mengenai Marhaen
dan Proletar, Bung Karno menjelaskan hubungan Marhaenisme dengan pandangan Marx
tentang kepeloporan klas buruh dalam revolusi sosial sebagai berikut:
Kaum proletar sebagai
kelas adalah hasil-langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka
adalah kenal akan paberik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan
cara produksi kapitalisme, kenal akan segala kemoderenannya abad keduapuluh.
Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati-hidupnya kapitalisme didalam
mereka punya tangan, lebih direct mempunyai gevechtswaarde anti-kapitalisme.
Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang didalam perjoangan
anti-kapitalisme dan imperialisme itu berjalan dimuka, jika mereka yang menjadi
pandu, jika mereka yang menjadi ‘voorlooper’ – jika mereka yang menjadi
‘plopor’. Memang ! Sejak adanya soal ‘Agrarfrage’ alias ‘soal kaum tani’, sejak
adanya soal ikutnya sitani didalam perjoangan melawan stelsel kapitalisme yang
juga tak sedikit menyengsarakan sitani itu, maka Marx sudah berkata bahwa
didalam perjoangan tani & buruh ini, kaum buruhlah yang harus menjadi
‘revolutionaire voorhoede’ alias ‘barisan-muka yang revolusioner’, kaum tani
harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan kaum
buruh, dihela dalam perjoangan anti-kapitalisme agar jangan nanti menjadi
begundalnya kaum kapitalisme itu – tetapi didalam perjoangan bersama ini kaum
buruhlah ‘menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial’. Sebab, memang
merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu ’sociale
noodwendigheid’, dan memang kemenangan ideologi merekalah yang nanti ada suatu
‘historische noodwendigheid’, suatu keharusan riwayat, suatu kemustian didalam
riwayat.[10].
Mengenai sikap suatu klas
terhadap kekuasaannya, Bung Karno bepegang pada ajaran Marx yang menyatakan:
Tak pernahlah suatu kelas
suka melepaskan hak-haknya dengan ridlanya kemauan sendiri, --- 'nooit heeft
een klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan’, begitulah
Karl Marx berkata. ---- Selama Rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht
yang maha sentausa, selama Rakyat itu masih sahaja tercerai berai dengan tiada
kerukunan satu sama lain, selama Rakyat itu belum bisa mendorongkan semua
kemauannya dengan suatu k e k u asaan yang teratur dan tersusun, -- selama itu
maka kaum imperialisme yang mencahari untung sendiri itu akan tetaplah
memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus
mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya. Sebab, tiap-tiap tuntutan Rakyat
Indonesia adalah merugikan kepada imperialisme, tiap-tiap tuntutan Rakyat
Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imperialisme tidak terpaksa
menurutinya. Tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia adalah buahnya desakan yang
Rakyat itu jalankan, -- tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia itu adalah suatu
afgedwongen concessie.[11].
Mengenai dirinya sendiri Bung Karno menulis:
Mengenai dirinya sendiri Bung Karno menulis:
Ada orang yang mengatakan
Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis,
tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi
Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan
Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri. Golongan yang tersebut belakangan
ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang
biasanya nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang
tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis, dia ....
sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia ‘gila’ kepada Marxisme itu! Kini saya
menjadi pembantu tetap dari ‘Pemandangan’, dan oleh karena artikel-artikel saya
nanti tentu akan membawa corak jiwa Sukarno, maka baiklah saya tuturkan kepada
Tuan, betapakah ... Sukarno itu. Apakah Sukarno itu ? Nasionaliskah ? Islam-kah
? Marxis-kah ? Pembaca-pembaca, Sukarno adalah ...campuran dari semua isme itu![12]
Selanjutnya Bung Karno
menulis,
Dr Tjiptomangunkusumo dua
bulan yang lalu telah menulis didalam surat-khabar ‘Hong Po’, bahwa Marxisme
adalah ‘membakar Sukarno punya jiwa‘ Saya mengucap terima kasih atas kehormatan
yang Dr Tjiptomangunkusumo limpahkan atas diriku itu. Memang ! sejak saya
sebagai ‘anak plonco’ buat pertama kali belajar kenal dengan teori Marxisme
dari mulutnya seorang guru H.B.S. yang berhaluan sosial-demokrat (C.Hartogh
namanya), sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku
Marxisme dari semua corak, sampai bekerja didalam actieve politiek, sampai
sekarang, maka teori Marxisme begitu adalah satu-satunya teori yang saya
anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik,
soal-soal kemasyarakatan. Marxisme itulah yang membuat saya punya
nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia yang lain,
dan Marxisme itulah yang membuat saya dari dulu mula benci kepada
fasisme.....Dulu saya cinta kepada Marxisme; kini menjadilah ia sebagian dari
sayapunya kepuasan jiwa. Tetapi bagaimanakah akurnya Marxisme itu dengan Islam
yang juga mengisi sayapunya jiwa? Tidakkah orang berkata, bahwa agama dan
Marxisme itu seteru-bebuyutan satu sama lain, mengingkari satu sama lain dan
membantah satu sama lain? Buat orang lain, barangkali begitu! Tetap buat saya,
maka Marxisme dan Islam dapatlah berjabatan tangan satu sama lain didalam satu
sintese yang lebih tinggi. Buat saya Islam satu agama yang rasionil , satu
agama yang bersandar kepada kemerdekaan akal , yang berbeda setinggi langit
dengan agama-agama yang lain. .... Saya punya faham tentang Islam itu adalah
satu faham yang merdeka, -- begitu merdeka, sehingga sering tabrakan dengan
fahamnya orang-orang Islam yang lain !! (Cetak tebal dari penulis).[13]
Apakah Marxisme itu? Orang
mengatakan Marxisme adalah seolah-olah ‘satu agama sendiri’, orang mengatakan
dia satu star systeem pula, orang malah mengatakan dia semacam satu hocus-pocus
yang dikira bisa dipakai buat menyelami semua dalam-dalamnya rokh dan jiwa, --
pada hal dia hanyalah satu metode sahaja untuk memecahkan soal-soal ekonomi,
sejarah, politik, dan kemasyarakatan, atau ilmu–perjoangan didalam hal ekonomi,
politik, kemasyarakatan. Suatu metode berfikir dan sesuatu ilmu – perjoangan
tidak musti harus bertentangan dengan sesuatu agama, apalagi kalau agama itu
adalah agama rasionil seperti yang saya visikan itu.[14]
Bung Karno sangat
memperhatikan perkembangan peristiwa di Uni Sovyet, termasuk perbedaan dan
pertikaian antara Stalin dan Trotski. Bung Karno menulis:
Apakah fatsal pertikaian
ini? Marilah saya terangkan kepada Tuan garis-garis-besarnya seperti pertikaian
Stalin-Trotzky seluruhnya lebih dulu. ....Stalin beranggapan bahwa dapat dan
mungkin didirikan sosialisme didalam satu negeri sahaja (yakni di Rusia saja),
tetapi Trotzky menamakan anggapannya Stalin itu anggapan orang gila: Sosialisme
tak dapat didirikan tegak, tak mungkin, tak bisa, manakala internationaal
kapitalisme tidak diruntuhkan lebih dulu sama sekali. ..... Sebab internationaal
kapitalisme itu adalah berhubungan satu dengan yang lain, ‘organisch verbonden’
satu dengan yang lain. ...Bukankah gila pula mau mendirikan sosialisme di satu
negeri pertanian seperti Rusia, dimana kaum buruhnya kalau tidak mendapat
bantuan kaum buruh negeri luaran, mungkin bisa dikalahkan oleh kaum-kaum tani
yang masih kolot dan besar jumlahnya itu ? Tidak ! kata Trotzky revolusi yang
telah menyala di negeri Rusia itu tidak boleh berhenti dimuka pagar-pagarnya
negeri-negeri yang mengelilinginya, revolusi itu harus menjalar terus menjadi
satu internationale wereldrevolutie, dan dinegeri Rusia serta masing-masing
negeri lain itu, revolusi ini tidak boleh bersifat satu kejadian yang ‘sekali
jadi, sudah’ , tetapi haruslah bersifat satu revolusi terus menerus yang
mengerjakan semua etappe–etappenya, dari a sampai z. Maka faham internationale
wereldrevolutie yang melalui semua etappe-etappenya terus menerus dari a sampai
z ini oleh Trotzky dinamakanlah faham ‘permanente revolutie’.
Stalin pada hakekatnya tidak
anti perjoangan melawan kapitalisme internationaal itu. Ia pada hakekatnya
tidak anti wereldrevolutie, ia pro aksi kaum proletar di mana-mana. Dapatkah
orang menunjukkan seorang komunis yang anti wereldrevolutie itu ? Tetapi Stalin
katanya tidak mau melupakan satu kenyataan yang sudah ada -- satu realiteit.
Apakah realiteit ini ? Realiteit ini ialah, kata Stalin,.bahwa pada dewasa ini
perlu dijaga keselamatan ‘benteng Rusia’. Pada dewasa ini kaum proletar seluruh
dunia hanyalah mempunyai satu benteng sahaja, satu citadel, ‘satu
pusat-kekuasaan’, yakni Sovyet Rusia. Perkuatlah pusat-kekuasaan ini, jagalah
keselamatannya. Perkuatlah negara Sovyet Rusia, haibatkanlah ia punya
industrialisasi, haibatkanlah ia punya tenaga militer, haibatkanlah ia punya barisan
dalam, haibatkanlah ia punya barisan luar. Seluruh dunia kapitalisme dari Barat
dan Timur, dari dekat dan dari jauh, mau menjatuhkan satu-satunya citadel kaum
proletar ini, -- jagalah jangan ia jatuh. Haibatkanlah negara Soyet Rusia ini
menjadi satu negara yang kerasnya seperti baja, supaya tiap-tiap musuh yang
menyerangnya akan hancur menjadi debu dimuka pintu-pintu-gerbangnya dan dimuka
meriam-meriamnya ...Nah, kata Stalin, satu negeri yang demikian luasnya, satu
benua, yang penduduknya ratusan milyun, yang tradisi pergerakan kaum buruh
telah langsung berpuluh-puluh tahun, dapatlah mendirikan sosialisme didalam
pagarnya sendiri! ... Asal sahaja negara Rusia itu tidak dirusakkan orang dari
luar , asal saja dia mampu menangkis tiap-tiap serangan musuh dari luar, maka
pekerjaan mendirikan sosialisme itu bisa langsung dan berhasil.” ...... “Kini,
kini datanglah ujiannya sejarah. Pelor-pelornya Hitler dan dinamit-dinamitnya
Hitler menghantam kepada tembok-temboknya benteng Russia itu. Bumi bergoncang,
udara laksana akan terbelah, karena haibatnya hantaman ini. Kini malaekatnya
sejarah mengkilatkan pedangnya dan menggunturkan suaranya. Kini Stalin dibawa
oleh malaekat sejarah itu kehadapan Mahkamatnya, diuji kebenarannya ia punya
‘teori benteng’. Akan kuatkah benteng Stalin menahan serangan musuh?... Stalin
kini berdiri dimuka Mahkamat itu. Dengan tandas ia akan mengulangi apa yang
berkali-kali ia telah katakan: Ini , serangan dari luar inilah , yang ia
khawatirkan dan jagakan dari dulu![15]. Stalin benar atau Stalin salah, Trotzky
benar atau Trotzky salah, -- pada saat ini soal itu menjadikanlah satu soal
akademis, yang terdorong ke belakang oleh soal mati-hidup yang baru timbul,
yakni soal: akan mampukan Stalin menghantam Hitler ini terjungkel patah
sehingga tidak bisa berdiri lagi?[16] Tulisan Bung Karno ini dimuat dalam
Pemandangan pada tahun 1941, pada saat berkecamuknya serangan militer Nazi
Jerman terhadap Uni Sovyet.. Sejarah menunjukkan, bekerjasama dengan pasukan
Sekutu dalam Perang Dunia kedua, Tentara Merah Uni Sovyet dibawah pimpinan
Stalin berhasil memukul mundur serangan Hitler, sampai Nazi bertekuk lutut.
Sebagai penganut Marxisme,
Bung Karno tegas sejak semula sudah bercita-cita membangun sosialisme di
Indonesia. Tapi, Bung Karno menyatakan:
Sekarang memang belum tiba
saatnya buat kita untuk mengadakan sosialisme, -- belum tiba kemungkinanya buat
kita untuk mengadakan sosialisme --, sekarang Revolusi kita masih Revolusi
Nasional, tetapi itu tidak berarti bahwa Negara Nasional yang hendak kita dirikan
dus satu negara yang burgerlijk. .... Negara Nasional Indonesia yang hendak
kita dirikan itupun tidak bersifat burgerlijk dan juga belum bersifat sosialis,
melainkan bolehlah diibaratkan satu ‘fase-peralihan’ antara fase burgerlijk dan
fase sosialis ... Negara kita adalah satu ‘negara peralihan’ , satu negara yang
dengan sedar memperjuangkan peralihan, -- satu negara yang revolusioner. Untuk
itu Bung Karno sadar bahwa musuh yang dihadapi adalah imperialisme
internasional.
Selanjutnya Bung Karno
menyatakan:
Perjoangan kita adalah
satu bagian dari perjoangan besar di seluruh dunia menentang imperialisme; saru
perjoangan yang hasil-akibatnya ialah melemahkan imperialisme; satu perjoangan
yang revulusioner. Perjoangan-kemerdekaan sesuatu rakyat-jajahan atau
setengah-jajahan janganlah ditinjau dalam ‘keadaannya sendiri’, tetapi haruslah
ditinjau dalam hubungan-sedunia. Jangan ditinjau terlepas dari hubungan itu,
tetapi harus ditinjau dalam hubungan itu: Harus ditinjau di atas gelanggang
perjoangan anti-imperialisme sedunia... Perjoangan kemerdekaan rakyat-jajahan
atau setengah-jajahan melemahkan imperialisme-internasional, lemahnya
imperialisme-internasional melemahkan kapitalisme-internasional; tiap-tiap
perjoangan-kemerdekaan rakyat-jajahan atau setengah jajahan adalah dus
revolusioner dan pantas dibantu, wajib dibantu oleh semua tenaga anti-kapitalis
di seluruh dunia. Golongan-golongan yang membenarkan dan membantu
perjoangan-kemerdekaan rakyat-rakyat jajahan atau setengah jajahan, mereka
adalah pula golongan-golongan yang revolusioner. Sebaliknya, golongan-golongan
apapun, yang tidak membantu, tidak membenarkan perjoangan-kemerdekaan sesuatu
bangsa jajahan atau setengah-jajahan, -- meski dengan memakai alasan-alasan
demokrasi formil, meski ia menamakan diri ‘progresif’, atau ‘demokrat’, atau
‘sosialis --, ia adalah reaksioner. Ia hakekatnya mempertahankan imperialisme,
ia dus mempertahankan kapitalisme. Ia terang reaksioner, dan kalau ia
‘sosialis’, maka ia ‘sosialis’ yang terang-terang mendurhakai sosialisme! .....
– ya, dinegeri Belanda sendiripun ada golongan-golongan sosialis (bukan dari
Partij van den Arbeid !) yang membela kita. Apa sebab golongan-golongan ini
membela kita ? Mereka yakin akan kebenaran ajaran Marx yang berbunyi: ‘ Een
volk dat een ander volk onderdrukt, kan niet vrij zijn ‘. -- Satu rakyat yang
menindas rakyat lain, tak mungkin merdek.[17]
Mengenai masalah membangun
sosialisme, Bung Karno menulis:
Karl Marx sendiri didalam
salah satu tulisannya menyatakan dengan tegas, bahwa runtuhnya kapitalisme itu
tidak automatis berarti berdirinya sosialisme. Sosialisme hanyakah berdiri
jikalau didirikan. Ji kalau tidak ada tenaga-tenaga yang mendirikan sosialisme
itu, maka runtuhnya kapitalisme yang tidak boleh tidak pasti akan terjadi itu, (historisch
noodwendig), niscayalah akan diikuti oleh khaos yang tiada hingganya dan tiada
taranya berpuluh-puluh tahun ! Memang banyak orang yang mengira bahwa perkataan
‘keharusan sosial-historis’ mengandung arti, bahwa (pada suatu tingkatan
evolusi) kapitalisme pasti dengan sendirinya diganti oleh sosialisme. Pada hal
sebagai dinyatakan oleh Marx tadi tidak demikian ! Kapitalisme (pada suatu
tingkatan evolusi) pasti diganti oleh sosialisme, bilamana rakyat-jelata
bertindak untuk menggantinya dengan sosialisme. Yang ‘pasti’ itu hanyalah
adanya anasir-anasir objektif pada suatu tingkatan evolusi: anasir-anasir
objektif guna runtuhnya kapitalisme, anasir-anasir objektif guna berdirinya
sosialisme.[18]
Bung Karno memahami adanya
dua tingkat revolusi, yaitu revolusi nasional dan revolusi sosialis. Disamping
itu, juga memahami bahwa sosialisme adalah teori, adalah ilmu. Bung Karno
sangat menilai tinggi arti penting ‘teori sosialisme’. Dia menuls:
Saya bercita-cita
sosialis, maka saya menulis buku ini. Justru oleh karena saya mengidam-idamkan
masyarakat sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana caranya kita dapat
sampai dimasyarakat sosialis itu. Justru oleh karena kita ingin menuju kepada
masyarakat sosialis, maka kita harus dari sekarang berfikir dan bertindak
dengan tuntutan teori sosialis itu. Sosialisme bukan saja satu sistim
masyarakat, sosialisme adalah pula satu teori, satu ilmu, satu
tuntunan-perjoangan, satu cara-berfikir, satu denkmethode. Teori sosialisme lah
yang membawa kita kepada pengertian tentang keadaan-keadaan objektif didalam
masyarakat Indonesia sekarang dan masyarakat-dunia Teori sosialisme lah
yang memberi pengetahuan kepada kita bahwa tingkatan Revolusi kita sekarang tak
mungkin lain daripada tingkatan Nasional. Teori sosialisme lah dan bukan
teori burjuis, yang menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang
kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme .... Itulah ‘jasa’ teori
sosialisme kepada kita. Apa sebab kita sekarang nasionalis? Justru karena
sosialisme itulah, maka kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita
terangkat naik ketingkatan yang bernama sosio-nasionalisme. Justru karena
sosialisme itulah, maka kita menjalankan perjoangan kita itu secara yang
sekarang ini; memusatkan, membulatkan, mengkonsentrasikan segenap tenaga rakyat
kepada perjoangan Nasional, menghantamkan segenap tenaga-perjoangan daripada
segenap rakyat itu kepada benteng kolonialisme asing untuk memerdekakan
Indonesia dari penjajahan -- mempraktekkan satu Persatuan Nasional-Revolusioner
untuk mendirikan satu Negara Nasional, yang didalamnya bukan saja berkembang
sesegar-segarnya satu Demokrasi yang Sosio-Demokrasi, tetapi pula terbangun
syarat-syarat-tehnis minimum untuk nanti menelorkan satu pergaulan-hidup yang
sosialis. Semua itu berkat ‘jasa’ teori sosialisme, sesuai dengan
kebenaran bahwa ‘tiada gerakan revolusioner dengan tiada teori revolusioner.[19]
Oleh karena itu, janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, -- meski
sosialisme yang ‘okjektif’ sekalipun! – tetapi kita harus memfahami teori sosialisme,
memfahami cara berfikir sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu sosialisme,
agar supaya tahu caranya berjoang mencapai sosialisme! (Cetak tebal, penulis).[20]
Dalam perjuangan membangun
sosialisme itu, Bung Karno mengakui bahwa Indonesia terlambat dalam
perkembangan ideologi dan Konsepsi Nasional. Beliau menganalisis bahwa sebab
musabab keterlambatan itu adalah:
Di dalam negeri disebabkan
oleh dualisme dan kompromisme, di luar negeri disebabkan oleh apa? Beberapa
tahun sesudah proklamasi Kemerdekaan kita, maka terjadilah diluar
negeri—kemudian juga meniup diangkasa kita—apa yang dinamakan ‘perang dingin’.
Perang dingin ini sangat memuncak pada kira-kira tahun 1950, malah
hampir-hampir saja memanas menjadi perang panas. Ia amat menghambat pertumbuhan-pertumbuhan
kekuatan progressif diberbagai negara. Tadinya, segera sesudah selesainya
Perang Dunia yang ke-II, aliran-aliran progressif dimana-mana mulailah berjalan
pesat. Tetapi pada kira-kira tahun 1950, sebagai salah satu penjelmaan daripada
perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran progressif mudah sekali dicap
‘Komunis’. Anti kolonialisme – Komunis. Anti exploitation d l’homme par l’homme
– Komunis. Anti feodalisme – Komunis. Anti kompromis – Komunis. Konseken
revolusioner – Komunis. Ini banyak sekali mempengaruhi orang-orang, terutama
sekali fikirannya orang-orang yang memang jiwanya kintel. Dan inipun terus
dipergunakan (diambil manfaatnya) oleh orang-orang Indonesia yang memang
jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis, blandis, dan lain-lain
sebagainya. Dus: Orang-orang yang jiwanya negatif menjadilah menderita penyakit
‘takut kalau-kalau disebut kiri’, ‘takut kalau-kalau disebut Komunis’.
Kiri-phobi dan komunisto-phobi membuat mereka menjadi konservatif dan
reaksioner dalam soal-soal politik dan soal-soal pembangunan sosial-ekonomis..[21]
Bung Karno yang tak henti-hentinya menggalakkan penggalangan persatuan nasional, mengobarkan semangat Gotong Royong. Bung Karno menyatakan:
Bung Karno yang tak henti-hentinya menggalakkan penggalangan persatuan nasional, mengobarkan semangat Gotong Royong. Bung Karno menyatakan:
Telah masyhur dimana-mana,
sampai diluar negeri sekalipun, bahwa jiwa Gotong Royong adalah salah satu
corak dari pada Kepribadian Indonesia. Tidak ada satu negeri dikolong langit
ini yang disitu Gotong Royong adalah satu kenyatan hidup didesa-desa, satu
living reality, seperti di Indonesia ini. Tidak ada satu bangsa yang didalam
hidup-keigamaannya begitu toleran seperti bangsa Indonesia ini. Tetapi juga
tidak ada satu bangsa yang didalam kehidupan politiknya kadang-kadang
mendurhakai prinsip Gotong Royong itu, seperti bangsa Indonesia!” ... di
lapangan perjoangan bangsa kita harus menggembleng dan menggempurkan persatuan
daripada segala kekuatan-kekuatan revolusioner, -- menggembleng dan
menggempurkan ‘de samenbundeling van alle revolutionnaire krachten in de
natie’. ....Gotong Royong adalah juga satu keharusan dalam perjoangan melawan
imperialisme dan kapitalisme, baik dizaman dulu maupun dizaman sekarang. Tanpa
mempraktekkan samenbundeling van alle revolutionnaire krachten untuk
digempurkan kepada imperialisme dan kapitalisme itu, janganlah ada harapan perjoangan
bisa menang! Dan kita toh ingin menang? Dan kita toh harus menang ? Karena itu
maka saya selalu menganjurkan Gotong Royong juga dilapangan politik. Karena itu
Manifesto Politik-USDEK bersemangat ke Gotong Royongan – bulat dilapangan
politik. Karena itu di Solo beberapa pekan yang lalu saya tegaskan perlunya
persatuan dan ke Gotong Royongan antara golongan Islam, Nasional dan Komunis.
Ini adalah konsekwensi-politik yang terpenting bagi semua pendukung Manifesto
Politik dan USDEK, satu konsekwensi-politik yang tidak plintat-plintut atau
plungkar-plungker bagi semua orang yang setia kepada Revolusi Agustus 1945.[22]
Selanjutnya Bung Karno
menegaskan:
Bukalah tulisan-tulisan
saya dari zaman penjajahan. Bacalah tulisan saya panjang-lebar dalam majalah
‘Suluh Indonesia Muda’ tahun 1926, tahun gawat-gawatnya perjoangan menentang
Belanda. Didalam tulisan itupun saya telah menganjurkan, dan membuktikan
dapatnya, persatuan antara Islam, Nasionalisme, dan Marxisme. Saya membuka topi
kepada Saudara Kiyai Haji Muslich, tokoh alim-ulama Islam yang terkemuka, yang
menyatakan beberapa pekan yang lalu persetujuannya kepada persatuan
Islam-Nasional-Komunis itu, oleh karena persatuan itu memang perlu, memang
mungkin, memang dapat.[23] Persatuan tiga aliran itulah yang dinamakan Nasakom.
Menghadapi kekuatan yang menentang gagasan Nasakom, Bung Karno menyatakan: sebetulnya,
yang menjadi sumber anti-Nasakom itu ialah .... Komunisto-phobi, takut momok
komunis! Sumber-sebab yang sebenarnya itu disembunyikan dibelakang macam-macam
omongan tetapi sumbernya yang sebenarnya ialah .... takut momok komunis.[24]
Dengan menjadikan
Manipol/USDEK sebagai Konsep Sosialisme Indonesia, mengenai pembangunan
sosialisme Indonesia, Bung Karno menyatakan: Saya ulangi lagi: resapkanlah
sosialisme Indonesia sampai kemana-mana. Camkanlah, bahwa tulang-punggung,
darah daging sosialisme Indonesia ialah pelaksanaan didaerah. Disanalah harus
bertumbuh percobaan sosialisme Indonesia, disanalah harus berkembang pengalaman
sosialisme Indonesia. Disanalah kita akan melihat secara pragmatis prakteknya
pelaksanaan sosialisme Indonesia, dan dari cara pemimpin didaerah-daerah,
didesa-desa, diploksok-ploksok diminta segala kemampuan (vindingsrijkheid)
untuk menemukan cara-cara yang baik dalam pelaksanaan Manipol/USDEK. Karena itu
maka tiap kegiatan kita harus kita dasarkan atas Konsep Sosial kita yang jelas,
yaitu Konsep Manipol/USDEK, Konsep Sosialisme Indonesia.[25]
Mengenai hubungan antara
Angkatan Bersenjata dan Konsepsi Nasional Manipol/USDEK, Bung Karno menyatakan:
Mereka adalah alat
Revolusi, mereka adalah Angkatan Bersenjataya Revolusi. Mereka harus mengabdi
kepada Rakyat, mendahulukan kepentingan Rakyat daripada kepentingan lain-lain.
Mereka tak boleh melukai perasaan dan hati Rakyat, mereka harus menjadi Angkatan
Bersenjata yang disukai dan dicintai Rakyat. Sebagai dimuka sudah saya katakan,
Rakyat sudah menerima Manipol sebagai pimpinan politiknya, maka Angkatan
Bersenjatapun harus menerima Manipol juga, dan menerimanya dengan sepenuh-penuh
hati. Rakyat sudah dipimpin oleh Manipol, maka Angkatan Bersenjatapun harus
dipimpin oleh Manipol. Sekali lagi saya ulangi disini: bukan Angkatan
Bersenjata atau bedil yang memimpin Manipol, tetapi Manipol yang memimpin
Angkatan Bersenjata dan bedil!.... Ingat sekali lagi, kita semua dipimpin oleh
Manipol, kita semua harus menuju kepada sosialisme ! Tentang pengertian
sosialisme dan pelaksanaan sosialisme tak boleh ada antagonisme dan Konradiksi
dikalangan pemimpin-pemimpin kita, baik pemimpin preman maupun pemimpin
militer.[26].
Berkali-kali Bung Karno
menyerukan penyatuan semua kekuatan revolusioner untuk kemenangan revolusi.
Bung Karno menyatakan:
’Alle revolutionnaire
krachten’ – ‘semua, sekali lagi semua, tenaga revolusioner didalam Bangsa’!
Dus: segala penggolongan termasuk swasta (asal revolusioneer) dalam masyarakat
kita persatukan. Dus: ‘Nasakom’. Sebab Nasakom adalah kenyataan-kenyataan-hidup
yang tak dapat dibantah, living realities – didalam masyarakat Indonesia kita
ini. Mau tidak mau, senang atau tidak senang, kita harus menerima
kenyataan-kenyataan itu .... Janganlah kita masuk terjerumus dalam peang
dingin. Jangan kita ikut-ikut perang-dingin itu ! Hal ini sudah saya
peringatkan dalam salah satu pidato 17 Agustus yang terdahulu Kenapa masih saja
ada golongan Rakyat Indonesia yang sadar atau tidak sadar masuk terjerumus
dalam perang-dingin orang lain?[27
Mengenai hubungan antara
Panca Sila dan Nasakom Bung Karno menyatakan:
Siapa yang setuju kepada
Panca Sila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada
Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Panca Sila ! Sekarang saya tambah:
Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar ’45 harus setuju kepada Nasakom; siapa
tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setujui kepada Undang-Undang
Dasar ’45![28]
Tentang Marhaenisme Bung
Karno menulis:
Saya sangat dipengaruhi
oleh ajaran-ajaran Marxisme. Malahan ajarannya Karl Marx tentang
historis-materialisme saya gemari dan saya setujui sepenuhnya dan saya gunakan,
ya ..... saya ‘toepassen’, saya ‘trap’kan kepada situasi masyarakat Indonesia.
Dan sebagai hasil daripada penggunaan, atau ‘toepassing’ atau pentrapan
historis-materialisme Karl Marx dimasyarakat Indonesia dengan ia punya kondisi
sendiri dengan ia punya situasi sendiri, dengan ia punya sejarah sendiri, dengan
ia punya kebudayaan sendiri dan sebagainya lagi itu, maka saya datang kepada
ajaran Marhaenisme. Maka dari itu saya selalu menganjur-anjurkan kepada seluruh
Front Marhaenis, bahwa untuk dapat memahami Marhaenisme ajaran saya itu, kita
minimal, paling sedikit harus menguasai dua pengetahuan: pertama: pengetahuan
tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan kedua pengetahuan tentang Marxisme.
Siapa yang secara minimal tidak menguasai dua hal, tak akan dapat memahami
Marhaenisme ajaran saya, apalagi meyakini kebenaran Marhaenisme ajaran saya.[29].
Menjawab berbagai pertanyaan tentang penggunaan kata ‘Nasakom’, Bung Karno berkata:
Menjawab berbagai pertanyaan tentang penggunaan kata ‘Nasakom’, Bung Karno berkata:
Kenapa ‘Kom’? Kenapa kok
tidak seperti tahun duapuluh enam waktu Bung Karno buat pertama kali
mencetuskan ide persatuan dari pada tenaga-tenaga revolusioner ini? Nasionalis,
Islam, Marxisme atau Nasionalis, Agama, Marxis, kenapa Bung Karno tidak memakai
perkataan Nasamarx? Kok pakai perkataan Nasakom? Kenapa ‘Kom’? Kenapa tidak
‘Sos’? Kenapa tidak ‘Marx’? Nasamarx atau Nasasos? Kok Bung Karno memakai
perkataan Nasakom? Jelaslah di sini saudara-saudara, dengarkan, perkataan yang
paling dicatut, dicatut oleh pencoleng-pencoleng politik, oleh coro-coro
politik, perkataan yang paling dicatut pencoleng-pencoleng dan coro-coro ini
yalah perkataan Marxisme saudara-saudara. Saudara-saudara mengetahui bahwa
misalnya PSI, Partai Soslalis Indonesia yang sudah saya bubarkan itu, PSI itu
selalu menepuk-nepuk dada: Kami Marxis, kami Marxis, Kami Marxis!~ Saya berkata
mereka bukan Marxis! Mereka adalah pencoleng dari pada Marxisme. Karena itu aku
tidak mau memakai perkataan Nasamarx. Kalau aku memakai perkataan Nasamarx,
jangan-jangan nanti orang-orang PSI juga ikut-ikut di dalam Nasamarx itu
saudara-saudara. Padahal mereka adalah kontra-revolusioner, padahal mereka
adalah revisionis tulen, pada hal mereka adalah pencoleng Marxisme![30]
Bung Karno memeras
Pancasila menjadi Trisila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme
dan Sosio-demokrasi.. Kebangsaan disatukan dengan Peri-kemanusiaan menjadi Sosio-nasionalisme,
dan Kedaulatan Rakyat disatukan dengan Keadilan Sosial menjadi Sosio-demokrasi.
Trisila bisa diperas menjadi Ekasila, eka artinya satu, Ekasila artinya Gotong
Royong. Kemudian, Bung Karno berkata:
Nah, Saudara-saudara, belakangan, belakangan aku juga berkata
bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara Ketuhanan
Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, tetapi bisa diperas pula
secara lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan
dari Pancasila, dan Nasakom adalah sebenarnya juga gotong-royong, adalah de
totale perasan dari pada Pancasila. Jikalau Nasakom adalah perasan dari
Pancasila, maka perasan Nasakom adalah gotong royong pula.[31].
Catatan:
[1] Ir. Sukarno: NASIONALISME, ISLAMISME DAN
MARXISME, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid pertama, hal. 3, Panitya
Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959.
[2] Ibid, hal, 5
[3] Ibid, hal. 10.
[4] Ibid, hal. 15-16.
[5] Ibid, hal. 20.
[6] Ibid, hal 19.
[7] Ibid, hal 21
[8] Bung Karno: BERHUBUNG DENGAN TULISANNYA Ir. A.BAARS, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 57-61, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[9] Bung Karno: MEMPERINGATI 50 TAHUN WAFATNYA KARL MARX, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI jilid I, hal, 219-221
[10] Bung Karno: MARHAEN DAN PROLETAR, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 255, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[11] Bung Karno: MENCAPAI INDONESIA MERDEKA, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI , hal. 297-298, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959.
[12] Bung Karno: MENJADI PEMBANTU ‘PEMANDANGAN’ – Sukarno Oleh .... Sukarno Sendiri --, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, hal. 508, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[13] Ibid, hal. 511-512.
[14] Ibid, hal 512.
[15] Bung Karno: SATU UJIAN SEJARAH, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI JILID I, hal. 523-525, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[16] Ibid, hal. 530.
[17] Bung Karno: SARINAH—Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, tjetakan ketiga, hal. 279-292, Panitya Penerbit buku-buku Karangan Presiden Sukarno, 1963.
[18] Ibid, hal. 294.
[19] Ibid, hal. 297-298.
[20] Ibid, hal 300.
[21] Bung Karno: LAKSANA MALAEKAT YANG MENYERBU DARI LANGIT, JALANNYA REVOLUSI KITA !, dalam Buku DIBAWAH BEDNDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 406, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1964.
[22] Ibid, hal. 413
[23] Ibid, hal. 414.
[24] Bung Karno: RE-SO-PIM, -- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 467, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[25] Bung Karno: RE-SO-PIM,-- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 459, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[26] Ibid, hal. 466
[27] Ibid, hal. 467.
[28] Ibid, hal.468
[29] Bung Karno: AMALKANLAH MARHAENISME !, Amanat kepada Front Marhaenis 4 Juli 1963, dalam brosur NYALAKAN TERUS API MARHAENISME!, Seri I, hal 40, Departemen Penerangan – Propaganda DPP Partai Nasional Indonesia.
[30] Bung Karno: SUBUR, SUBUR, SUBURLAH PKI, Pidato Presiden Sukarno pada rapat raksasa Ulangtahun ke-45 PKI, hal. 11-12, Jajasan PEMBARUAN , Djakarta, 1965.
[31] Bung Karno: PERTJAJALAH PADA BENARNYA NASAKOM !, Amanat-Indoktrinasi Presiden Sukarno Pada Pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, tanggal 1 Juni 1965, di Istora Bung Karno, Senajan, Djakarta, hal. 13, Departemen Penerangan R.I. 1965
[2] Ibid, hal, 5
[3] Ibid, hal. 10.
[4] Ibid, hal. 15-16.
[5] Ibid, hal. 20.
[6] Ibid, hal 19.
[7] Ibid, hal 21
[8] Bung Karno: BERHUBUNG DENGAN TULISANNYA Ir. A.BAARS, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 57-61, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[9] Bung Karno: MEMPERINGATI 50 TAHUN WAFATNYA KARL MARX, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI jilid I, hal, 219-221
[10] Bung Karno: MARHAEN DAN PROLETAR, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 255, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[11] Bung Karno: MENCAPAI INDONESIA MERDEKA, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI , hal. 297-298, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959.
[12] Bung Karno: MENJADI PEMBANTU ‘PEMANDANGAN’ – Sukarno Oleh .... Sukarno Sendiri --, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, hal. 508, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[13] Ibid, hal. 511-512.
[14] Ibid, hal 512.
[15] Bung Karno: SATU UJIAN SEJARAH, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI JILID I, hal. 523-525, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[16] Ibid, hal. 530.
[17] Bung Karno: SARINAH—Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, tjetakan ketiga, hal. 279-292, Panitya Penerbit buku-buku Karangan Presiden Sukarno, 1963.
[18] Ibid, hal. 294.
[19] Ibid, hal. 297-298.
[20] Ibid, hal 300.
[21] Bung Karno: LAKSANA MALAEKAT YANG MENYERBU DARI LANGIT, JALANNYA REVOLUSI KITA !, dalam Buku DIBAWAH BEDNDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 406, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1964.
[22] Ibid, hal. 413
[23] Ibid, hal. 414.
[24] Bung Karno: RE-SO-PIM, -- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 467, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[25] Bung Karno: RE-SO-PIM,-- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 459, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[26] Ibid, hal. 466
[27] Ibid, hal. 467.
[28] Ibid, hal.468
[29] Bung Karno: AMALKANLAH MARHAENISME !, Amanat kepada Front Marhaenis 4 Juli 1963, dalam brosur NYALAKAN TERUS API MARHAENISME!, Seri I, hal 40, Departemen Penerangan – Propaganda DPP Partai Nasional Indonesia.
[30] Bung Karno: SUBUR, SUBUR, SUBURLAH PKI, Pidato Presiden Sukarno pada rapat raksasa Ulangtahun ke-45 PKI, hal. 11-12, Jajasan PEMBARUAN , Djakarta, 1965.
[31] Bung Karno: PERTJAJALAH PADA BENARNYA NASAKOM !, Amanat-Indoktrinasi Presiden Sukarno Pada Pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, tanggal 1 Juni 1965, di Istora Bung Karno, Senajan, Djakarta, hal. 13, Departemen Penerangan R.I. 1965
Tidak ada komentar:
Posting Komentar