Kalaulah
istilah jender itu secara luas dipahamkan sebagai kesetaraan antara
kaum laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial, maka masyarakat
Minangkabau sudah lama menerapkan kesetaraannya dengan idiom dan
penafsiran tersendiri. Kalau kesetaraan secara umum dimaksudkan; harus
adanya pemisahan fungsi dan peranan laki-laki dengan fungsi dan perempuan, maka
pemisahan demikian tidak ditemukan di dalam adat Minangkabau.
Pemisahan perananan antara fungsi dan kedudukan laki-laki dengan peranan dan fungsi perempuan, tidak pernah secara tegas dinukilkan dalam aturan adat Minangkabau, yang seharusnya dapat ditelusuri melalui pepatahpetitih, mamang, ungkapan atau idiom-idiom budayanya. Peranan dan fungsi yang diberlakukan adat pada perempuan tetap dalam konteks hubungannya dengan kaumnya, keluarganya. Tak pernah perempuan dilihat sebagai seorang individu, sebagaimana pemahaman perempuan dalam pemikiran kesetaraan jender yang umum dikenal saat ini.
Pemisahan perananan antara fungsi dan kedudukan laki-laki dengan peranan dan fungsi perempuan, tidak pernah secara tegas dinukilkan dalam aturan adat Minangkabau, yang seharusnya dapat ditelusuri melalui pepatahpetitih, mamang, ungkapan atau idiom-idiom budayanya. Peranan dan fungsi yang diberlakukan adat pada perempuan tetap dalam konteks hubungannya dengan kaumnya, keluarganya. Tak pernah perempuan dilihat sebagai seorang individu, sebagaimana pemahaman perempuan dalam pemikiran kesetaraan jender yang umum dikenal saat ini.
Dalam
pepatah Minang yang populer disebutkan bahwa perempuan adalah limpapeh rumah
nan gadang. Dalam ungkapan ini jelas terlihat bagaimana kedudukan sebuah
kaum yang punya rumah gadang itu memposisikan perempuan (limpapeh) dalam
konteks kebersamaan. Limpapeh dalam arti kebahasananya adalah kupu-kupu
kecil yang selalu pulang balik dari tiang ketiang, dari satu kamar ke
kamar, dari satu ruang ke ruang dalam rumah gadang, dari satu persoalan ke
persoalan lain. Limpapeh tidak mungkin akan terbang sendiri di dalam sebuah
“ruang” budayanya, dengan kata lain, limpapeh tidak akan dapat merombak tatanan
yang ada atau struktur sebuah rumah gadang.
Begitu
juga dengan pepetah lainnya seperti; amban puruak atau unduang-unduang
ka sarugo. Ungkapan tersebut lebih menjelaskan pada fungsi dan peranan
perempuan dalam konteks kebersamaan di dalam suatu perkauman dan di dalam
keluarga batih. Jelasnya, seorang perempuan Minangkabau tidak akan terlepas
dari kehidupan rumah gadang; artinya mereka tidak dapat ke luar atau di
keluarkan dalam kehidupan perkauman; bamamak bakamanakan, baranak bainduak.
Orang Minang sangat memahami bahwa yang namanya mamak pastilah kaum
laki-laki. Yang ingin penulis tegaskan adalah, bahwa masalah jender dalam budaya
Minangkabau sangat jauh berbeda pemahamannya dengan pengertian jender yang
umum dikenal sekarang, atau dapat dikatakan, kosa kata maupun pengertian jender
tidak dikenal sama sekali dalam terminologi adat dan budaya Minangkabau,
walau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan menurut versi budaya itu
sendiri sudah lama diterapkan dalam kehidupan sosial mereka tanpa digembar
gemborkan pada pihak luar. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat Minangkabau mempunyaimodus dan idiom tersendiri. Laki-laki dan
perempuan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam suatu kerangka tatanan adat
dan budayanya. Laki-laki dan perempuan merupakan satu paket yang satu sama lain
saling mempunyai ketergantungan, saling lengkap melengkapi, saling dukung mendukung,
terutama dalam konteks keluarga kaum maupun keluarga batih. Keberlangsungan
suatu suku dan keturunan dari suatu kaum ditentukan oleh perempuan, sedangkan
keberadaan kaum itu di tengah-tengah kaum-kaum yang lain ditentukan oleh
laki-lakinya.
Pada
sisi lain, jender sebagai sebuah istilah pada hakekatnya mempunyai makna
lain yang terselubung, yaitu usaha atau perjuangan sekelompok perempuan untuk
melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan guna membuat garis
pemisah yang jelas antara kedua makhluk itu, sehingga satu sama lainnya akan
saling mempertahankan eksistensi masing-masing. Dari pandangan agama usaha ini
sangat bertentangan dengan kodrat yang telah ditentukan oleh Yang Maha
Pencipta. Namun kaum feminist membungkus makna terselubung itu dengan redaksi
yang manis; kesetaraan. Sebaliknya perempuan-perempuan lain yang tidak
terpengaruh atau bergabung dalam kelompok pemikiran feminimisme itu tidak
merasakan dan melihat adanya masalah yang besar di dalam kehidupan laki-laki
dan perempuan. Perlakuan laki-laki terhadap perempuan yang dianggap tidak adil
oleh kaum feminimisme itu, ternyata juga pada waktu yang bersamaan banyak pula
perempuan yang tidak berlaku adil terhadap laki-laki. Oleh karena itu,
perlakuan-perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan dapat dianggap sebagai kasuskasus yang perlu dicermati, sebagai
bagian dari kehidupan makhluk yang berpasangan, tetapi bukan sebagai suatu
pembuktian dari suatu kebenaran untuk melegitimasi kebenaran pemikiran
feminimisme.
Hakekat
dari kesetaraan jender
Secara
kronologis, perjuangan jender (bukan jender dalam terminologi budaya
Minangkabau) bermula dari beberapa perempuan Barat yang putus asa dalam
kehidupan sosial dan berkeluarga (umumnya mereka itu tidak pernah merasakan
kelezetan sebuah perkawinan karena mereka menganggap perkawinan adalah hanya
masalah hubungan seks semata, mereka yang tidak pernah merasakan kebahagiaan
berumah tangga karena kehadiran anak bagi mereka dianggap sebagai makhluk
parasit yang mengkuruskan perekonomian mereka, mereka yang masih terlalu
dangkal merenungi hakekat hidup karena umumnya pejuang jender itu
perempuan-perempuan muda, mereka yang punya kepercayaan kepada agama sangat
goyah karena tidak punya latar belakang pendidikan keagamaan yang baik dan
kuat, mereka yang tidak pernah pasrah dan rela menjalani kehidupan karena
masalah kehidupan mereka batasi sebagai hubungan kepentingan dan ketergantungan
dalam aspek sosio-ekonomi belaka, mereka yang tidak pernah mengakui nikmat
Tuhan yang betapapun kecilnya adalah nikmat yang harus disyukuri, mereka yang
tercerabut dari akar budayanya sendiri, dan banyak sebab lainnya) telah
menyebarkan konsepsi kesetaraan (jender) yang, sebagaimana diakui banyak
pejuangnya, konsepsi tersebut akhir-akhir ini sedang mengalami pasang surut
pula. Para pengikutnya bahkan dikatakan sebagai perempuan-perempuan yang telah
salah langkah.
Pada
dekade yang lalu, memang masalah jender menjadi isu yang menarik melanda
sebagian besar belahan dunia dan merembes sampai ke Indonesia, (terutama
perempuan-perempuan muda yang ambisius, yang serba tanggung mau akan jadi apa;
ilmuwan, politikus atau pedagang/bisnis. Namun setelah mereka mendapat jodoh
yang sesuai dan kemudian kawin, diam-diam mereka berhenti sebagai pejuang
jender itu), di mana perempuan harus berusaha dan berjuang untuk mendapatkan
posisi, kedudukan dan peranan sebagaimana yang telah diperoleh laki-laki.
Perempuan tidak harus menerima begitu saja “nasib” mereka yang secara mutlak
ditentukan oleh kaum laki-laki. Perempuan harus memperjuangkan hak-hak
persamaan itu pada setiap kesempatan dan kemungkinan yang ada.
Para
feminist selalu melihat terjadinya perbenturan antara kepentingan perempuan
dengan kepentingan laki-laki disebabkan oleh dominasi laki-laki yang begitu kuat.
Ketidakpuasan kaum feminist terhadap dominasi laki-laki selalu mereka jadikan
pendorong dan alasan yang kuat untuk merombak, merubah, bahkan kalau perlu
menghancurkan konvensi-konvensi atau tatanan masyarakat yang ada.
Konvensi-konvensi atau adat istiadat yang sudah berurat berakar di tengah suatu
kaum, masyarakat atau budaya, mereka anggap sebagai kerangkeng atau penjara
bagi perempuan. Agama mereka tuduh dengan lantang sebagai alat legitimasi
perbudakan bagi kaum perempuan. Adat, budaya, kebiasaan dan tradisi mereka
tuding sebagai penjara yang menyengsarakan beratus ribu kaum perempuan dari
generasi ke generasi sejak zaman dulu, yang menyebabkan kaum perempuan
menderita, teraniaya dan terjajah. Itulah sebabnya, mereka begitu mudahnya
mengatakan bahwa Islam telah berlaku semena-mena terhadap perempuan, bahwa adat
dan budaya di banyak kawasan di Timur telah sewenang-wenang terhadap perempuan,
dan bahwa budaya Minangkabau tidak memberi peluang untuk perempuannya berperan
lebih luas selain peranan domestik saja dan sebagainya dan sebagainya.
Perbedaan
cara pandang
Cara pandang dari
konsepsi seperti ini tidak tepat diterapkan dalam membicarakan masalah
kesetaraan dan keberadaan perempuan dalam budaya Minangkabau. Akan terjadi
stagnasi pemikiran dan akhirnya akan sampai pada kebuntuan. Pembicaraan tentang
sistem matrilineal Minangkabau – sebuah sistem kekerabatan yang sangat
terkenal dan sekaligus menjadi ciri budaya Minangkabau di antara budaya lainnya
di Indonesia - haruslah dilihat dengan cara pandang orang Minangkabau itu
sendiri. Sangat tidak relevant kalau membicarakan sistem matrilineal
Minangkabau dengan menggunakan cara berpikir yang bukan Minangkabau. Kita baru
akan dapat memahami orang Jawa misalnya, apabila kita melihatnya dengan
cara berpikir orang Jawa. Oleh karena itu, berfikir secara pemikiran kaum
feminist dalam melihat kedudukan dan fungsi perempuan dalam adat dan budaya
Minangkabau adalah suatu kecelakaan berpikir yang akhirnya semua asumsi atau result
yang dihasilkan dapat diragukan kebenaran dan keobjektifitasannya.
Bagi
pemikiran kaum feminimisme, boleh jadi sistem matrilineal itu adalah sebuah
sangkar emas yang diciptakan kaum laki-laki Minangkabau untuk kaum
perempuannya. Kaum feminist melihatnya dari segi keterkurungan, keterkungkunangan,
ketergantungan menurut pengertian dan cara pandang feminimisme atau Barat.
Sebagai perbandingan yang menarik dari suatu perbedaan cara pandang, mungkin
kita perlu menganalisa kembali apa yang telah ditulis oleh seorang Belanda yang
merubah namanya menjadi Multatuli di awal abad lalu. Untuk melihat dan
mengetahui budaya Melayu (Sumatera, Sunda dan Jawa), Multatuli yang orang
Belanda itu mencoba melepaskan pikiran ke-Belanda-annya. Setelah
pemikiran keBelandaan itu dilepasnya, barulah dia dapat melihat bagaimana
indahnya sebuah percintaan anak manusia yang bernama Saijah dan Adinda yang
berlatar belakang budaya Sunda.
Betapa
santunnya gadis-gadis Palembang di Sumatera dalam bertegur sapa. Sekiranya
Multatuli tetap setia dengan pikiran “Belanda”nya, dia tidak mungkin dapat
menemukan keindahan-keindahan demikian dalam kehidupan budaya lain. Begitu juga
dengan seorang perempuan Belanda yang melepaskan “keBelandaan”nya dalam
perjuangan pra-kemerdekaan di Bali, yang kita kenal kemudian dengan nama Balinya;
Ktut Tantri. Namun, bagi mereka yang tetap mempertahankan pemikiran
keBelandaannya seperti Snock Hougronye, walaupun dia telah pergi
menunaikan haji ke Mekkah sekalipun, dia tetap melihat ajaran Islam sebagai
ajaran yang membahayakan kekuasaan barat di timur.
Begitu
pulalah agaknya dengan cara pandang kaum feminist. Bila mereka tak dapat
melepaskan pemikiran feminimisme baratnya, mereka tidak akan dapat melihat
kekuatan kedudukan dan peranan perempuan dalam budaya dan adat Minangkabau.
Mereka tidak akan dapat melihat betapa sistem matrilineal yang masih terus
hidup sampai sekarang merupakan benteng tangguh dari sistem pewarisan dan
keturunan dalam masyarakat Minangkabau semenjak zaman dulu.
Bagi
orang Minangkabau, peranan dan fungsi perempuan diformulasikan dalam bentuk
sebuah sistem yang disebut sistem matrilineal. Suatu sistem yang secara
keseluruhan tak mungkin terpisahkan dari tatanan adat dan budaya Minangkabau.
Apabila cara pandang feminimisme itu dipaksakan untuk diterapkan dalam
pembicaraan tentang kesetaraan jender dalam budaya Minangkabau, kita akan
sampai pada pembicaraan yang tidak objektif terhadap kaum
perempuannya maupun kaum lelakinya. Pembicaraan demikian akan
menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi dan tidak produktif selain juga tidak
dapat dikatakan ilmiah sama sekali. Bukankah, metodologi dalam prinsip dasar
keilmuan adalah memberikan perlakuan yang sesuai menurut kodrat, kondisi dan
situasi dari suatu objek yang akan diperlakukan. Ukuran kerasnya kulit biji
enau, tidak dapat dijadikan ukuran untuk lunaknya sebuah kulit pisang,
misalnya. Menikmati suatu karya seni, tak dapat dilakukan dengan pemikiran
praktis seorang ekonom, dan seterusnya.
Jender
dalam budaya Minangkabau
Dalam
tatanan masyarakat dan ajaran adat Minangkabau, tidak pernah dicantumkan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pembicaraan tentang peranan dan
fungsi perempuan Minangkabau yang diformulasikan dan dituangkan dalam sistem
matrilineal itu misalnya, tidak hanya sebatas hak dan kewajiban perempuan saja,
tetapi juga menyangkut empat element terpenting dalam pranata dan
institusi adatnya; ninik mamak, anak kemenakan, sumando dan
kaum perempuan (bundo kanduang). Keberadaan perempuan semakin menjadi
kukuh lagi setelah ajaran adat Minangkabau diakomodasi sepenuhnya oleh ajaran
Islam, maka perempuan di dalam adat Minangkabau adalah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan kaum laki-lakinya. Perempuan Minangkabau tetap berada
dalam naungan ajaran Islam. Suami dan istri masing-masing mempunyai kewajiban
sama; sama-sama menjadi pakaian untuk yang lain.
Hal
yang sering dilansir kaum feminist terhadap kelemahan sistem matrilineal
Minangkabau adalah pada masalah apa yang mereka sebut dengan lantangnya; ketersikasaan,
kemiskinan dan peranan domestic yang dialami kaum perempuan. Mereka
menganggap kemiskinan yang ada di dalam masyarakat Minangkabau sama dengan
kemiskinan yang ada pada budaya lain, atau kemiskinan dalam pengertian umum. Di
dalam adat Minangkabau, semiskin-miskinnya seseorang Minang, baik laki-laki
maupun perempuan, kemiskinan tersebut bukanlah kemiskinan individual, tetapi
kemiskinan suatu kaum. Semiskin-miskinnya suatu kaum, mereka masih tetap punya
rumah gadang, pandam pekuburan dan sawah ladang. Hanya terjadi kemudian,
kemiskinan yang mereka alami diakibatkan perlakuan yang salah terhadap harta
pusaka yang mereka miliki. Standrad kemiskinan bagi perempuan Minangkabau tidak
dapat diterapkan dengan ukuran kemiskinan menurut masyarakat lainnya. Begitu
pula dengan ketersiksaan perempuan Minangkabau yang mereka katakan,
bahwa perempuan Minangkabau terpaksa harus bekerja di sawah dan
berjualan di pasar-pasar untuk menghidupi anak-anak yang ditinggalkan suami.
Tanpa research dan studi lapangan yang akurat mereka telah menghakimi suatu
kehidupan sosial budaya suatu masyarakat.
Jika
akan menyelusuri masalah pemahaman jender dalam budaya Minangkabau, sebaiknya
dilakukan studi lanjutan terhadap masalah ketersiksaan dan kemiskinan
tersebut. Studi lanjutan mengenai hal ini akan sampai pada studi
berikutnya, yaitu pada esensi dan hakekat merantau. Pada hakekatnya
institusi merantau merupakan ventilasi bagi orang Minangkabau untuk
lepas dari pengapnya udara di dalam ruang yang bernama ketersiksaan dan
kemiskinan menurut ukuran mereka. Oleh karena itu, kedudukan rantau
dalam pembicaraan tentang peranan dan posisi perempuan Minangkabau merupakan
suatu kesatuan yang khusus dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan.
Laki-laki yang pergi merantau tidak dapat disebut sebagai penyebab sengsaranya
perempuan yang ditinggalkan, karena baik laki-laki yang pergi merantau maupun
perempuan yang tinggal di rumah sama-sama merelakan diri untuk itu. Atau
sebaliknya, menganggap institusi merantau untuk “membuang” laki-laki yang tak
berguna di kampung. Mereka, laki-laki perempuan, suami istri, mamak kemenakan,
sama-sama berjuang untuk kesempurnaan hidupnya. Yang membedakan antara mereka
yang di rantau dan di kampung adalah tempatnya saja, rantau dan negeri
sendiri. Sesuatu yang dikerjakan dengan rela antara kedua belah pihak dan
dibenarkan pula oleh ajaran atau sistem kemasyarakatannya, tidak dapat
dikatakan sebagai suatu penyiksaan.
Sistem
matrilineal dalam konstelasi adat
Pembicaraan tentang
sistem matrilineal secara langsung menyangkut pembicaraan akan kesetaraan dan
posisi serta peranan perempuan Minangkabau. Akan tetapi pembicaraan seperti itu
tidak semestinya tertumpu pada masalah perempuannya saja, harus juga melibatkan
pembicaraan tentang tiga elemen lainnya; ninik mamak, anak kemenakan dan
sumando. Itu berarti, bahwa pembicaraan tentang keseteraan perempuan
Minangkabau tidak dapat jalan sendiri tanpa membicarakan element-element
lainnya.
Terlebih
dahulu sebaiknya dilihat kedudukan, posisi, dan keberadaan perempuan-perempuan
yang bermain atau berperan di dalam sistem tersebut. Dalam
konteks ini, perempuan yang bermain di dalam sistem matrilineal itu dapat
dikelompokkan sebagai berikut;
Pertama, perempuan yang concern
dan tetap setia terhadap suku dan kaumnya. Mereka merupakan anggota kaum.
Mereka lekat sebagai anggota kaum seperti juga laki-laki di dalam kaum itu.
Mereka tak dapat dipisahkan dari kaumnya, tak dapat ditanggalkan hak-hak dan
kewajibannya (walau mereka pergi merantau sekalipun). Menanggalkan
hak-hak seorang anggota kaum, berarti sama dengan mengeluarkan mereka dari
kaumnya, suatu hal muskil terjadi dalam tatanan adat. Yang membedakan antara
laki-laki dan perempuan hanyalah pada hak pewarisan gelar pusaka yang memang
harus disandang oleh laki-laki.
Kedua, perempuan ikut serta
dalam perkongsian sebagaimana di dalam suatu perusahaan; perempuan sebagai owner
(pemilik) dan laki-laki sebagai manager (pengatur). Sebagai contoh;
secara individual, perempuan di dalam suatu kaum tidak dapat disebut miskin,
karena jika miskin, yang miskin itu adalah kaum, bukan individu. Itu berarti,
pemilik dan pengatur mempunyai risiko yang sama bila pengurusan harta pusaka
kaum) untuk melepaskan diri sendiri dari kemiskinan, tetapi usaha yang mereka
lakukan adalah untuk melepaskan kemiskinan keluarga bersama suaminya. Dalam
konteks ini, maka sangat salah sekali, bila dikatakan, bahwa perempuan bekerja
untuk dirinya sendiri. Begitu juga dengan masalah ketergantungan. Kita tidak
dapat menghakimi mereka dengan mengatakan bahwa mereka tergantung pada suami
atau mereka sedang berusaha mengalahkan suami bila mereka juga ikut bekerja.
Mereka berusaha untuk setara dalam memikul tanggung jawab keluarganya.
Ketiga,
perempuan
yang terlepas dari kaum dan keluarga. Oleh karena berbagai sebab dan alasan,
banyak perempuan Minangkabau yang berusaha melepaskan diri dari hubungan mereka
dengan kaum atau keluarga. Mereka berdiri sendiri. Dalam konteks sosial budaya,
mereka dapat dikatakan sebagai perempuan yang sudah tercerabut dari akar
budayanya. Maka, jika perempuan jenis ketiga ini berada dalam situasi
kemiskinan, maka benar, bahwa dia miskin sebagaimana ukuran kemiskinan yang
umum diterapkan. Umumnya, perempuan dalam kelompok ketiga ini adalah
mereka-mereka yang tampak dinamis, tokoh dan pejuang jender, dapat merangkul
berbagai posisi menentukan dalam masyarakat dan pemerintahan. Umumnya kaum
feminist yang berasal dari Minangkabau adalah mereka yang berada pada kelompok
ketiga ini.
Dari
pengelompokan ini, kita akan mudah mengetahui bagaimana keberadaan, peranan dan
fungsi tokoh-tokoh perempuan Minangkabau yang telah berkiprah selama ini
sebagai tokoh tokoh perempuan produk dari kesetaraan menurut idiom budaya
Minangkabau. Bagi perempuan kelompok pertama, kedudukan dan posisi mereka sudah
jelas. Mereka punya kaum dan keluarga. Mereka jelas Minangnya; basuku,
barumah gadang, basawah ladang, bapandam pakuburan dstnya. Karier utama
mereka benar-benar untuk kepentingan kaum dan keluarganya. Karenanya, dalam
idiom silaturrahmi dengan kaumnya dikatakan; padi manjadi, jaguang maupiah,
mamak pulang dari rantau. Itu berarti, bahwa perempuan pada kelompok ini
menjadi terjamin dan eksis bagi kaumnya. Keberadaannya diakui oleh publik yang
jelas, yaitu kaum Perempuan pada kelompok kedua, ukuran keMinangannya dapat
saja tidak lengkap. Mungkin perempuan itu sumando yang berasal dari
budaya lain, tetapi telah melakukan asimilasi atau akulturasi dengan budaya
pasangannya yang Minang. Mereka (baik laki-laki, apalagi perempuan) berusaha
untuk menjadi Minang bersama perempuan Minang lainnya. Pada kasus-kasus
tertentu, justru mereka lebih berperan jelas dalam kehidupan tatanan
bermasyarakat. Mereka bisa jadi lebih Minang daripada orang Minang sendiri.
Sedangkan bagi perempuan yang orang Minang itu sendiri, mereka akan berperan
ganda; sebagai perempuan di dalam kaum, dan sebagai ibu di rumah tangganya
dalam keluarga batih. Jika perempuan Minang dalam kelompok ini dibawa merantau
oleh suaminya, dia akan berperan sama dengan suaminya, sama-sama bekerja dan
membanting tulang untuk keutuhan kehidupan keluarga mereka. Maka dalam hal ini,
kita tidak dapat melihat perempuan tersebut disengsarakan oleh
laki-laki. Apa yang ditulis Hamka dalam novel Merantau Ke Deli misalnya
harus dilihat dalam konteks kebersamaan seperti ini, tidak dalam konteks
dominasi lakilaki terhadap perempuan. Hamka menulis sastra, mempunyai ibarat,
amsal dan tujuan. Sebagai sebuah gendre sastra, novel tidak mutlak dapat
dianggap sebagai catatan atau realita sosial budaya. Perempuan Minangkabau pada
kelompok ketiga, memang secara umum tampak sebagai burung merak, gagah,
berbinar-binar dan menyandang berbagai perhiasan kekuasaan dan sebagainya.
Tetapi dalam pengalaman empirik yang ditemukan selama ini, perempuan kelompok
ini sudah “terasing” dari budaya Minang itu sendiri. Mereka sudah sangat maju,
sehingga menganggap apa yang ada di Minangkabau sudah seharusnya diganti, tak
sesuai lagi dengan kebebasan yang diinginkan perempuan. Orientasi budaya
mereka, sudah berada pada posisi yang ekstrim; menganggap yang datang dari luar
sajalah yang baik, sedang yang ada di dalam budayanya sendiri dianggap sudah
kolot dan kadaluwarsa. Kaum feminisme dari Minangkabau, umumnya berada pada
kelompok ketiga ini. Itulah sebabnya, jika mereka bicara tentang kesetaraan
jender, mereka selalu tidak puas, menganggap laki-lakilah yang menjadi “biang”
dari kesengsaraan perempuan. Kungkungan yang sangat kuat yang membuat perempuan
sengsara adalah sistem matrilineal. Oleh karena itu, mereka ingin membuang
sistem matrilineal dan menggantikannya dengan sistem lain, yang jika mereka
jujur, juga tidak dapat menjelaskan sistem pengganti itu seperti apa dan
rujukannya apa.
Mereka
tidak pernah mengajukan penyelidikan yang serius; apakah benar
perempuan-perempuan pada kelompok pertama dan kedua itu merasa terpenjara,
merasa dimiskinkan, merasa dikungkung dan terkungkung oleh sistem matrilineal
atau oleh kaum laki-laki? Statement-statement para perempuan kelompok ketiga
ini tentang kesetaraan; terutama tentang kemiskinan, keterkungkungan perempuan
Minang yang kini berada pada posisi yang rawan, yang perlu ditolong dan
diperjuangkan, mengharuskan adanya pihak lain yang lebih netral dan berwibawa
untuk mempertanyakan dan menguji apakah statement-statement tersebut mempunyai
nilai kebenaran atau tidak, baik secara empirik maupun secara akademik.
Oleh
karena itu, pembicaraan tentang jender dan kesetaraan antara perempuan
Minangkabau dengan kaum laki-lakinya terutama dalam tatanan sosial budaya,
sebaiknya harus dibedakan lebih dulu; perempuan yang manakah yang berada dalam
rangkuman atau topik pembicaraan kita. Apakah perempuan dalam kelompok pertama,
kedua atau ketiga. Hal ini perlu dipertegas karena masing-masing
kelompok perempuan mempunyai posisi dan pandangan yang berbeda-beda terhadap
peranannya, posisinya, hak dan kewajibannya. Begitu juga ketika mereka
meletakkan ukuran kemiskinan, kemajuan, kebebasan atau kebahagiaan yang
berbeda-beda pula.
Dengan
pengelompokan ini pula, kita akan mudah mengetahui latar belakang agama,
pendidikan, peranan, hak dan kewajiban seorang perempuan dalam konteks sistem
matrilineal dan segi-segi lain. Terutama dalam berbagai aspek kehidupan dan
perjuangan tokoh-tokoh Minangkabau yang kita selalu agungkan selama ini
seperti; Siti Manggopoh, Tuan Gadih Reno Sumpu, Zubaidah Ratna Djuita, Rohana
Kudus, Rahmah el-Yunusiah, Huriyah Adam, dan banyak lagi. Penulisan sejarah
yang kita kenal selama ini terhadap tokoh-tokoh itu seakan “terlepas” dari
sistem sosial dan sistem budaya dari mana tokoh-tokoh itu berasal, hidup dan
dibesarkan. Sejarah sepertinya telah “membuang” tokoh-tokoh itu dari persada
bumi kelahirannya. Seakan tokoh-tokoh itu bukan orang Minang dalam pengertian
yang sebenarnya, tetapi orang yang kebetulan dilahirkan di Minangkabau.
Kita
tak tahu misalnya, Rohana Kudus itu sukunya apa, siapa gelar penghulunya, di
mana rumah gadangnya, anak kemenakannya dan sebagainya. Namun bila kita mau
menelusuri lebih jauh, Siti Manggopoh misalnya, dia tak akan menjadi besar,
jika tidak berlaku kesetaraan antara dia dengan suaminya. Tuan Gadih Reno Sumpu
takkan akan berarti tanpa adanya kesetaraan yang dilatarbelakangi oleh sistem
dan perangkat adat serta perkaumannya.
Diniyah
Putri yang didirikan Rahmah el-Yunusiah takkan menjadi kebanggaan kita sampai
hari ini tanpa adanya kesetaraan antara dia dengan saudara laki-lakinya,
Huriyah Adam tak kan harum namanya tanpa diperlakukan setara dengan suami dan
saudara-saudaranya. Tak satupun tokoh perempuan muncul tanpa adanya kesetaraan
dengan laki-laki yang berada disekitarnya, apakah itu suami, saudara, mamak dan
masyarakat kaum dan lingkungannya.
Sejarah
juga telah membuktikan, bahwa pemisahanpemisahan yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan tidak akan dapat menghasilkan apa-apa. Seorang
perempuan dapat menjadi seperti Jean d’Arc gadis Prancis yang terkenal
dalam membangkitkan semangat juang pasukan Prancis yang sedang loyo dalam medan
perang melawan Inggeris itu. Mereka pun sanggup menjadi Lysistrata tokoh
perempuan yang mengorganisir semua perempuan Yunani mogok ranjang guna
menghentikan perang yang tak berkesudahan antara Sparta dan Athena. Akan tetapi
perempuan yang hanya berjuang untuk perempuan itu sendiri tak akan menjadikan
mereka apa-apa. Para pejuang jender hendaknya menyadari, bahwa mereka tak akan
mampu mengibarkan bendera apapun, selain sebagai tanda bahwa pada suatu zaman
pernah perempuan menderita akibat dari kerancuan berpikir dan kekeliruan dalam
berasumsi.
Akhir
kata, pembicaraan tentang jender dalam budaya Minangkabau haruslah dimulai
berdasarkan pada cara pandang yang jelas, konsepsi-konsepsi pemikiran yang
relevant, persepsi yang wajar terhadap suatu budaya yang dianut suatu
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar