1. Sejarah Minangkabau
Menurut Tambo.
Asal-usul
Minangkabau menurut Tambo Alam Minangkabau bermula dari tiga anak Raja Iskandar
Zulkarnain (Alexander Agung) dari Makadunia (Macedonia) yaitu Maharajo Alif,
Maharajo Depang dan Maharajo Dirajo berlayar bersama, dan saat dalam perjalanan
mereka bertengkar sehingga mahkota kerajaan jatuh ke dalam laut. Maharajo
Dirajo yang membawa Cati Bilang Pandai –seorang pandai emas- berhasil membuat
satu serupa dengan mahkota yang hilang itu. Mahkota itu lalu ia serahkan kepada
abang-abangnya, tetapi mereka mengembalikannya kepada Maharajo Dirajo karena ia
dianggap yang paling berhak menerima, karena telah berhasil menemukannya.
Mereka
adik beradik lalu berpisah. Maharajo Alif meneruskan perjalanan ke Barat dan
menjadi Raja di Bizantium, sedang Maharajo Depang ke Timur lalu menjadi menjadi
Raja di China dan Jepang (Jepun), manakala Maharajo Dirajo ke Selatan sedang
perahunya terkandas di puncak Gunung Merapi saat Banjir Nabi Nuh melanda.
Begitu banjir surut, dari puncak gunung Merapi yang diyakini sebagai asal alam
Minangkabau turunlah rombongan Maharajo Dirajo dan berkampung disekitarnya.
Awalnya
terlihatlah puncak gunung Merapi tersebut sebesar telur itik. Lama kelamaan
karena air surut, barulah terlihat sebagian besar gunung tersebut. Hingga
muncullah filosofi “Dari mano asal nyo palito, dari telong dan ba tali. Dari
mano asal niniak kito, dari puncak gunuang Marapi” (Dari mana asalnya pelita,
dari telong yang bertali. Dari mana asal nenek moyang kita, dari puncak gunung
Merapi.
2. Sejarah Minangkabau Versi
Terbaru.
Hampir
semua orang Minang percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari dataran
tinggi di Sumatera yang dipimpin oleh Raja Alexander Agung atau Izkandar
Zulkarnain. Menurut Sejarah Kristen, raja tersebut hidup dari zaman 356 SM
sampai 323 SM. Dia juga dikenal sebagai Raja Alexander III dari Macedonia,
seorang pemimpin militer yang paling berhasil sepanjang zaman dan dianggap
tidak bisa dikalahkan dalam setiap pertempuran. Di zamannya, dia sudah
menguasai kebanyakan daerah yang sudah dikenal.
Ayahnya
adalah Philip II yang menyatukan kebanyakan kota2 di dataran utama Yunani dalam
kepemerintahan Macedonian dalam sebuah Negara federasi yang disebut Persatuan
Corinth (League of Corinth). Raja Alexander menguasai daerah2 termasuk
Anatolia, Syria, Phoenicia, Judea ,Gaza, Mesir, Bactria, Mesopotamia (Irak),
dan dia memperluas batas2 imperiumnya sejauh Punjab India.
Menurut
AlQuran, Zulkarnain juga sempat mengunjungi China dan membantu membangun Tembok
Besar China. Alexander menyatukan banyak suku2 asing ke dalam kesatuan
tentaranya, yang akhirnya membuat para cendikiawan menganggap dia sebagai
seorang Bapak Penyatuan. Dia juga mendorong pernikahan antara tentaranya dengan
suku2 asing tersebut, dan dia sendiri juga menikahi 2 putri dari suku2 asing
tersebut.
Daerah
paling terpopular yang pernah ia kuasai adalah Alexandria (Mesir) atau dalam
bahasa arab Iskandariyah, dinamai sesuai namanya. Al Quran menyebutkan Raja Alexander
dalam beberapa ayat antara lain Al Kahfi 83-89. Diantara tentaranya, ada
beberapa suku Yahudi yang ikut yang dikenal sebagai B’nai Jacob (Anak dari Nabi
Yakub).
Hari
ini, para keturunannya menyebut dirinya sebagai orang Minangkabau, yang didapat
dari kata2 generasi mereka sebelumnya “Bainang Ka Yakubu” atau aslinya B’nai
Yakub (sesuai lidah generasi pertama). Selama kunjungan Alexander ke Asia
Timur, pernikahan besar2an antara tentara Alexander dan suku asli Asia timur
terjadi sesuai perintah Alexander, karena China adalah tempat yang sangat damai
untuk beristirahat, dan tentu saja karena raja tidak membawa wanita di dalam
tim tentaranya.
Dan
hasilnya, pria dari suku Yahudi B’nai Yakub menikah dengan wanita2 dari suku di
China dan membawa kebudayaan dari masing2 adat. Dari Cina, Raja melanjutkan
berlayar ke Laut Cina Selatan dan memutari Selat Malaka menuju pantai barat Pulau
Sumatera.
Beberapa
keluarga percampuran Yahudi-China tersebut memutuskan untuk menetap, yang lain
mengambil rute lain ke India dari jalur Nepal. Ketika mereka sampai diantara
pulau Siberut dan dataran utama Sumatera mereka dapat Melihat puncak Gunung
Merapi.
Merapi
adalah sebutan sekarang, kata ini diturunkan dari kata “Marave”, bahasa Aram
yang berarti “tempat yang paling tinggi” (ada lagu daerah yang terkenal yang diambil
dari cerita kuno yang mengatakan “Sajak Gunuang Marapi sagadang talua itiak.”
Yang berarti “sejak Gunung Merapi sebesar telur itik). Bahasa Aram adalah
bahasa Ibu dari Bahasa Arab dan Ibrani. Bahasa ini dipercaya sebagai bahasa
yang dipakai Nabi Ibrahim A.S dan dan tidak diragukan lagi begitu juga dipakai
Raja Alexander juga.
Di
dekat Gunung Merapi, Raja menemukan tempat yang sesuai untuk mengakhiri
perjalanan. Dia meminta tentaranya yang menikah untuk memulai membuat tempat
yang lebih permanent.
Dalam
istilah kuno orang Minang, Kata yang berarti memulai untuk membuat tempat
perlindungan adalah “taruko” yang ternyata berakar dari bahasa Aram “tarukh”
atau “tarack” dan bahasa Ibrani.
Alexander
kemudian wafat disana dengan damai dan dikuburkan di pemakaman mewah bernama
Pariangan (Taman Pharaoh).
Saat
ini, pengunjung dapat dengan mudah menemukan kuburan sepanjang 7 meter disana
dan itu diyakini sebagai tempat peristirahatan.
Salah
satu istri Alexander Boendo Kendon (bahasa Aram yang berarti isteri yang
tercinta) melahirnkan seorang anak satun2nya yang bernama Than Kendon (bahasa
Aram yang berarti Anak tercinta) atau sekarang lebih dikenal sebagai Dang
Tuanku.
Sebelum
wafat, Alexander mewariskan satu set peraturan yang disebut Tamvo Alam (bahasa
Aram yang berarti Kitab Pengakuan) yang menjelaskan adat-adat untuk rakyatnya.
Hari ini, orang Minang masih bersandar kepada buku petunjuk tersebut untuk
memecahkan masalah dan kompleksitas yang terjadi di komunitas mereka.
Kitab
yang sekarang disebut “Tambo” menyebutkan aturan2 tertentu yang sangat tegas.
Mengenai matrilinear yang juga sangat umum dipakai oleh bangsa yahudi sekarang.
Aturan Matrilinear sekarang disebut sebagai Ad Tho’t, Bahasa aram untuk
“kepatuhan” atau Adat. Adat mengatur bahwa seluruh barang termasuk harta
warisan tidak terbatas hanya tanah saja, rumah dan sawah hanya boleh diberikan
kepada wanita saja.
Islam
datang ke dataran Minangkabau kira-kira pada abad ke 13 dang mendapatkan
tentangan keras dari Kaum Adat. Ketika Ajaran wahabi datang, pada abad ke 18,
sebuah kompromi terjadi antara agama dan adat Minangkabau yang kemudian dikenal
sebagai “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah’ (adat bersendi Syariat
Islam, Syariat Islam bersendi Al Quran).
Sistem
Matrilinear masih menyisakan jejak2nya sampai Sekarang. Bahkan Sheikh
Minangkabauwi, seorang ulama kelahiran Sumatera Barat memutuskan untuk menetap
dan menjadi imam di Masjidil Haram di Mekkah ketimbang kembali ke kampong
halamannya untuk menunjukkan ketidaksukaanya terhadap sistem yang dia sebut
kafir.
Untuk
menjaga dan menyakinkan Adat benar-benar menjadi pola-pola perilaku Kaumnya,
raja Alexander menunjuk penasehatnya yang bernama Rafael (Perpatih) dari suku
B’nai Yakub dan Tun Gong (Tumenggung) dari suku China.
Rafael
memimpin dan menjaga kepentingan keluarga Carta (Koto) dan Phillip (Piliang)
sedangkan Tun Gong memimpin keluarga Bong Ti (Bodi) dan Chan Yah Goh (Chaniago).
Setelah
itu, semua keturunan Perpatih dan Tumenggung dianugrahi gelar “Datuk” yang
berasal dari nama “Dan Tuanku” yang meninggal di usianya yang cukup muda.
Dilihat
dari kesamaan dengan atribut bangsa Yahudi seperti aturan warisan berdasarkan
matrilinear dan karakternya yang berbeda dengan rata-rata orang Indonesia
kebanyakan, Seorang dari suku Minang tidak jarang diprediksikan sebagai “Bangsa
Yahudi Indonesia”.
Tapi
sayang, kerabatnya di Israel mungkin tidak terlalu senang mendapat berita ini,
karena fakta menyebutkan bahwa semua orang Minang adalah umat Muslim.
3. Bukti Yang Menunjukkan
Kemiripan Yahudi Dengan Orang Minang.
a. Terkenal dengan jiwa
berdagang.
Kita semua tahu, bahwa
saat ini Yahudi secara tidak langsung telah menguasai perekonomian dunia. Lihat
saja produknya seperti Coca-Cola, Pepsi, Unilever, KFC, dan sebagainya. Itu
semua milik mereka. Jika kita lihat pada masyarakat minang, dapat ditemukan
sedikit persamaan. Secara tidak langsung suku minang juga telah menguasai
negeri. Buktinya saja warung makan padang dapat ditemui di berbagai penjuru
negeri ini. Bahkan mungkin di bulan ada penghidupan, warung padangpun juga akan
berdiri disana.
Dan dari sinilah dapat
kita ambil kesimpulan bahwa yahudi dan suku minang sama-sama telah “menjajah
secara diam-diam”.
b. Tidak betah dirumah.
Tidak betah dirumah ini
diartikan sebagai tabiat yang sering merantau. Seperti yang kita tahu,
kebanyakan dari orang minang adalah perantau. Tujuannya tidak buruk, hanya
sekedar untuk merubah nasib. Karena itulah kita dapat menemukan orang minang di
berbagai pelosok negeri ini. sama halnya dengan yahudi yang juga dapat ditemui
diberbagai penjuru negeru dunia. Hanya 1/3 bangsa yahudi yang bertempat tinggal
di israel, selebihnya menyebar.
c. Sistem keturunan.
Sistem keturunan
berdasarkan keturunan ibu (matrilineal) sangatlah sedikit di dunia ini.
Berdasarkan data yang ada, hanya Minangkabau dan Yahudi pemeluknya. Mengapa
demikian.? Ada sumber mengatakan bahwa suku minang awalnya menganut paham
patrilinial. Namun karena terjadi suatu serangan, lalu rajanya saat itu merubah
sistem kekerabatan yang ada di minangkau menjadi
matrilinial.
Jika ditanya dari mana
asalnya, pasti orang minang menjawabnya “Tambo”. Karena itu adalah buku pedoman
masyarakatnya menjalani hidup dan kehidupan. Seperti yang telah disebutkan
diatas, bahwa tambo adalah kitab yang diwariskan oleh raja Alexander.
d. Gaya diplomatik dan
pemikir.
Orang minang terkenal
dengan diplomatiknya dan pemikir. Sebut saja M. Hatta, H.agus Salim, Sutan
Syahrir, Tan Malaka, dan masih banyak lainnya. Hampir sama dengan yahudi,
diplomatik mereka sungguh sangat hebat.
Bagaimana mungkin Israel
sebagai negara kecil yang baru berdiri pada tahun 1948 bisa menguasai Inggris
dan amerika jika bukan karena diplomatik dan pemikiran mereka sungguh yang handal.
Inilah
beberapa tanda yang menunjukkan persamaan antara Orang Minang dengan Yahudi.
Dari sini mungkin kita bisa percaya bahwa mereka adalah adalah berasal dari
keturunan yang sama.
SUMBER DARI ARTIKEL
TERKAIT
Berikut artikel original dalam
bahasa Inggris : B'nai Jacob (Minangkabau), The lost Jews Tribe from West Sumatera.
Artikel yang sampai sekarang di source menggunakan nama samara "SayHeart Bougart"
(Artikel ini terjemahan dari artikel original berbahasa Inggris dan sudah dipublikasikan
sejak tahun 2000.
Almost
all Minangkabauans believe that their ancestors came to the highland of Sumatra
along with the forces of King Alexander the Great (Izkandar Zulkarnain).
According
to Christian historians, the prophet king lived from 356 BC – 323 BC.
He
was also known as Alexander III of Macedon, one of the most successful military
commanders of all time and is presumed undefeated in battle. By his time, he
had conquered most of the known world.
His
father was Philip II who unified most of city states of mainland Greece under
Macedonian hegemony in a federation called the League of Corinth.
King
Alexander's conquests included Anatolia, Syria, Phoenicia, Judea, Gaza, Egypt,
Bactria and Mesopotamia, and he extended the boundaries of his own empire as
far as Punjab India.
And
according to Quran, Zulkarnain also visited China and help built the Great
Wall.
Alexander
integrated many foreigners into his army, leading some scholars to credit him
with a "policy of fusion". He also encouraged marriages between his
soldiers and foreigners, and he himself went on to marry two foreign
princesses.
The
most popular territory he conquered was Alexandria (Egypt) or in Arabic
`Iskandariyah' –named after him.
Quran
mentions King Alexander in several verses particularly in Al Kahfi:83-89.
Among
the army, there followed those from Jewish families known as B'nai Jacob
(Children of Jacob).
Today
they are called Minangkabau, coming from the words of later generation `Bainang
Ka Yakubu' or genuinely B'nai Jacob (first generation tongue).
During
his visit to East Asia, massive marriages were made to follow the King's orders
because China was quite a peacefull place to rest-simply because the King did
not bring women in the army.
As
the result of such an encounter, men from B'nai Jacob were married to Chinese
women and brought cultures from both
civilization.
From
China, the King continued to sail along the South China Sea and turned around
Malacca Straits following the western coast of Sumatra.
Some
families decided to stay, others picked other routes to subcontinent of India
from Nepal paveway, the only shortcut existed during the period). When they
reached between Siberut Island and the mainland of Sumatra, they could see the
peak of Mount Merapi.
If
you take a speedboat from the Padang fish port called Muara and go to Siberut
Islamd, about 2 hours from leaving the mainland with clear weather you can see
Mount Merapi afar. It looked mystical to me when I was there. It took 4 hours
to boat from Padang to Siberut).
Merapi
is today tongue. It derives from `Marave,' an Aramaic for `the highest place.'
(There is a famous lullaby taken from ancient stories saying, "Sajak
Gunuang Marapi sagadang talua itiak.' It means, "Since the Mount of Merapi
still as big as avian egg").
It
is also believed as the language that Prophet Abraham used and undoubtedly King
Alexander as well.
Near
the Mount of Merapi, the King found a perfect domain to end the journey. He
ordered his married army to start a more permanent settlement.
In
old language of Minangkabau, the word that means to start a settlement is
`taruko' that roots from Aramaic, `tarukh' or `tarack' in Hebrew tongue.
He
died there peacefully and buried in a luxury cemetery called Pariangan
(Pharaoh's Garden). Today visitors today can easily find a (about) 7-meter long
grave there that is believed to be the king's eternal restplace (I ever visited
the place but not precisely had any chance to measure it).
His
wife Boendo Kendon (Aramaic for `beloved wife') or Bundo Kanduang (today
tongue) gave an only child named Than Kendon (Aramaic for `beloved son') or
popularly known as Dang Tuanku. Before his death, King Alexander decreed a set
of rules called Tamvo Alam (Aramaic for `book of acknowledgement') that defines
customs for his people.
Today
Minangkabauan still refers to the guidance book to solve problems and
complexities occurred in their communities. For instance, a son may still
insist that heritage divided upon Sharia while others maintain `Pusako' – the
matrilinear legacy chapters from Aramaic `Saccard' that means sacred or holy
treasures.
In
the book (today called `Tambo') mentions certain strict rules about matrilinear
(motherline) that was also commonly applied in Jewish communities today.
The
matrilinear rules were at the time called Ad Tho't, Aramaic for `the obedience'
or Adat.
The
Adat rules out that all properties and legacies including but not limited in
land, houses, ricepaddy should only go to women.
Islam
came to the highland about 13th century facing resistance from Keepers of Adat.
When Wahabis came, in 18th century, a compromise was made and famously known as
Adat Basandi Syara' and Syara' Basandi Kitabullah (Adatfoll ows Sharia and
Sharia should follow Al Quran). Matrilinear system remains until today. Even
Sheikh Minangkabauwi, an ulema born in West Sumatra decided to stay and became
`imam' of the Mosque of Haram in Mecca instead of coming back home to show his
despair of such a system that he called `kafir' or `infidels'.
To
preserve and ensure that Adat was fully complied with behavioral patterns of
the people, King Alexander therefore appointed his confidantes namely Raphael
(Perpatih) representing the the clan of B'nai Jacob and Tun Gong (Tumenggung)
representing Chinese tribes of their wives.
Raphael
represented, ruled and protected interests of Carta (Koto) and Phillip
(Piliang) families while Tun Gong acted similarly for Bong Ti (Bodi) and Chan
Yan Goh (Chaniago) families.
Later,
all descendants of Perpatih and Tumenggung were crowned with noble titles
`Datuk' coming from the name of `Dan Tuanku' who died in his early youth.
Regarding their similiarities with Jewish attributes such as motherline system of legacy and distinguished characters compared to average Indonesia, a Minangkabauan is today not rarely predicated as the "Jewish Indonesian".
Hmm, ambo urang minang, yg ambo tau dari sejarah islam raja zulkarnain adolah taat kpd allah, banyak yg beranggapan bahwa alexander bakanlah zulkarnaen, "sama tapi beda masa". Tapi tentang orang minang keturunan siapa ambo angkat tangan. Kalau benar dari yahudi apa salah? Yang no satu itu iman bukan keturunan, umat yahudikan umat nabi musa yang disempurnakan nabi Muhammad SAW dengan kitab Al Quran. Jadi orang Minang tentunya lebih CERDAS dari orang yahudi itu sendiri, bahwasanya ajaran yang dibawa Nabi SAW adalah yang paling benar. Orang minang bukan orang yahudi, mungkin keturunan yahudi (dari arab) ya gk masalah yang penting iman. Sekarang ambo tanyo: ANDA KETURUNAN SIAPA?
BalasHapus