KPU, ketika menerima
pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran pada 25 Oktober 2023, masih menggunakan PKPU
No. 19 Tahun 2023 yang belum menyesuaikan dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023
tanggal 17 Oktober 2023.
Pasal 13 ayat (1)
huruf q PKPU No. 19 Tahun 2023 menyebutkan, “Syarat untuk menjadi calon
Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: … q. berusia paling rendah 40 (empat
puluh) tahun”.
Sedangkan Gibran,
pada saat mendaftar sebagai Bacawapres bersama Prabowo sebagai Bacapres, belum
memenuhi syarat usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Diskusi hukum yang
menarik diajukan: apakah karena KPU saat menerima pendaftaran Gibran yang
usianya belum memenuhi syarat usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun adalah
tidak sah?
Apakah KPU saat
menerima pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran masih menggunakan PKPU No. 19 Tahun
2023 cacat hukum? Apakah MK berwenang mendiskualifikasi Paslon Prabowo-Gibran?
Salah satu ahli
hukum yang diajukan oleh paslon Anies-Muhaimin adalah Ridwan, Guru Besar Hukum
Administrasi Negara (HAN) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Dalam keterangan
ahlinya, Ridwan menyatakan, pendaftaran Gibran sebagai Bacawapres yang diterima
oleh KPU pada tanggal 25 Oktober 2023 adalah tidak sah. Pasalnya, saat KPU
menerima pendaftaran tersebut masih berlaku PKPU No. 19 Tahun 2023.
Menurutnya, dalan
proses Pemilu, aturan hukum yang berlaku tidak hanya menggunakan undang-undang
dalam hal ini UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tetapi juga berdasarkan
Peraturan KPU (PKPU).
Saat itu, KPU masih
memberlakukan PKPU No. 19 Tahun 2023 di mana menentukan syarat usia paling
rendah 40 tahun, sedangkan Gibran belum berusia 40, maka pendaftarannya cacat
hukum.
Kedua, menurut
Ridwan, di lingkungan kekuasaan kehakiman, termasuk MK, produk hukum yang
dikeluarkan disebut sebagai putusan atau vonis. Sifat vonis, menurut dia, harus
dilakukan perbuatan hukum lain untuk melaksanakannya.
Jadi, menurut dia,
putusan (vonis) MK itu tidak secara otomatis berlaku. Agar Putusan MK No.
90/PUU-XXI/2023 tanggal 17 Oktober 2023 berlaku, maka KPU harus
menindak-lanjutinya dengan mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 menyesuaikan dengan
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 itu.
Masalahnya, menurut
Ridwan, KPU saat menerima pendaftaran Gibran sebagai Bacawapres belum mengubah
PKPU No. 19 Tahun 2023 yang masih mensyaratkan batas usia paling rendah 40
tahun.
Argumentasi Paslon
Anies-Muhaimin dan Paslon Ganjar-Mahfud termasuk keterangan ahli yang diajukan
untuk memperkuat posita permohonan mereka terkait ketidakabsahan pendaftaran
Gibran sebagai Bacawapres dapat diperdebatkan secara hukum.
Pertama, dari sisi
norma hukum. Tidak dapat dipungkiri ada tindakan tidak profesional dari KPU
saat pendaftaran Bacapres dan Bacawapres.
Ada kenyataan hukum
saat pendaftaran itu, KPU belum mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 untuk
disesuaikan dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Ini yang menjadi pangkal
problematika pendaftaran Gibran sebagai Bacawapres.
Perdebatan hukumnya
adalah, jika dihadapkan pada kondisi seperti itu, apakah tindakan yang tepat
menurut hukum, apakah KPU harus menolak pendaftaran Gibran sebagai Bacawapres
atau menerima pendaftarannya?
Jika KPU menolak pendaftaran, padahal sudah mengetahui ada Putusan MK No.
90/PUU-XXI/2023 dan memahami jika merujuk pada putusan a quo syarat Gibran
sebagai Bacawapres sudah memenuhi, maka tindakan KPU semakin tidak profesional
karena menolak seseorang Bacawapres yang sebenarnya sudah memenuhi persyaratan.
Dengan begitu,
tindakan KPU yang menerima pendaftaran, secara materiil, dapat diterima dari
sisi norma hukum.
Hans Kelsen (2008)
menyatakan sistem hukum merupakan sistem norma. Sistem norma, menurut dia, akan
menjadi valid, jika diperoleh dari norma yang lebih tinggi di atasnya.
Dengan adanya
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 ini, maka norma dalam ketentuan Pasal 169 huruf
q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum sudah dimaknai dan menjadi berbunyi,
“berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki
jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Sedangkan PKPU No.
19 Tahun 2023 merupakan peraturan yang kedudukannya di bawah UU dan merupakan
peraturan pelaksana dari ketentuan dalam UU 7/2017. Pasca adanya Putusan MK No.
90/PUU-XXI/2023, norma hukum yang diaturnya sepanjang syarat usia Capres dan Cawapres
sudah tidak sesuai lagi.
Dengan demikian,
secara materiil, ketentuan yang ada dalam PKPU No. 19 Tahun 2023 sepanjang
syarat usia Capres dan Cawapres tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Ini sejalan dengan
teori Kelsen, norma hukum yang diatur dalam PKPU No. 19 Tahun 2023 sepanjang
syarat usia Capres dan Cawapres tersebut menjadi tidak valid. Pasalnya, tidak
sesuai lagi dan bertentangan dengan norma hukum yang diatur dalam peraturan
yang lebih tinggi, dalam hal ini UU 17/2017 juncto Putusan MK No.
90/PUU-XXI/2023.
Tindakan KPU
meskipun tidak profesional karena belum mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023, tapi
menerima pendaftaran Gibran sebagai Bacawapres, dari sisi asas hukum, juga bisa
diterima.
Hal ini dengan
merujuk pada asas hukum yang menyatakan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi mengalahkan atau mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah (lex superiori derogate legi inferiori).
Kedua, dari asas
penundukan diri (self submission). Ketika KPU menetapkan Pasangan Calon Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 dengan menerbitkan Keputusan KPU
No. 1632 Tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden Tahun 2024 tanggal 13 November 2023, tidak ada keberatan
yang diajukan oleh Paslon Presiden dan Wakil Presiden yang ada.
Paslon
Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tidak pernah mempersoalkan secara hukum. Kedua
paslon ini tidak pernah men-challenge Keputusan KPU ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN), hingga sampai hari H pencoblosan atau pemungutan suara.
Demikian halnya
ketika KPU menetapkan Keputusan KPU No. 1644 Tahun 2023 tentang Penetapan Nomor
Urut Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2024 tanggal 14 November 2023. Kedua pasangan menerima dengan kesadaran penuh.
Dengan adanya
kenyataan-kenyataan hukum ini, tidak dapat disangkal kedua paslon tersebut
telah menundukkan diri secara hukum akan sah dan berlakunya keputusan-keputusan
KPU di atas.
Bahkan, penundukkan
diri (self submission) kedua paslon berlangsung terus dalam kampanye yang
disaksikan secara live oleh rakyat Indonesia hingga pencoblosan atau pemungutan
suara dilangsungkan pada tanggal 14 Februari 2024.
Dengan demikian,
menjadi ganjil jika setelah itu, kedua paslon baru mempersoalkan secara hukum
setelah berakhirnya pencoblosan atau pemungtan suara dan penetapan hasil pemilu
presiden dan wakil presiden.
Ketiga, dari aspek
kemanfaatan dan keadilan hukum. Gustav Radbruch mengemukakan tujuan hukum pada
3 (tiga) aspek, yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Tindakan tidak
profesional KPU menerima pendaftaran Bacawapres Gibran tanpa didahului mengubah
PKPU No. 19 Tahun 2023 yang menyesuaikan dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023
haruslah diakui bermasalah, dari sisi kepastian hukum.
Hal itulah yang
melandasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan No.
135-PKE-DKPP/XII/2023, No. 136-PKE-DKPP/XII/2023, No. 137-PKE-DKPP/XII/2023,
dan No. 141-PKE-DKPP/XII/2023 tanggal 5 Febrari 2024, menjatuhkan sanksi
peringatan keras kepada Komisioner Komisi KPU dan sanksi peringatan keras
terakhir kepada Ketua KPU.
Namun demikian, jika
dilihat dari aspek kemanfaatan dan keadilan, tindakan KPU yang menerima
pendaftaran Gibran sebagai bacawapres menyusul adanya Putusan MK No.
90/PUU-XXI/2023 bisa diterima.
Apabila dikaitkan
dengan aspek norma hukum pasca adanya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tindakan
KPU yang menerima pendaftaran Gibran sebagai Bacawapres, meskipun belum
mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023, memiliki aspek kemanfaatan dan keadilan hukum
yang lebih positif jika dibandingkan KPU tidak menerima pendaftaran.
Ketika KPU menerima
pendafataran, meskipun merupakan tindakan yang tidak profesional oleh karena
tanpa sebelumnya mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023, masih memungkinkan ruang bagi
KPU untuk memperbaiki dan mengoreksi tindakannya dengan segera mengubah PKPU No.
19 Tahun 2023 sebelum penetapan Paslon Presiden dan Wakil Presiden.
Karena, sesuai
Lampiran I PKPU No. 19/2023, masih ada tahapan verifikasi Bakal Pasangan Calon
terhitung sejak 19 Oktober hingga 3 November 2023. Pada tahapan ini sebenarnya,
secara substansial atau materiil berkas pendaftaran diverifikasi apakah telah
memenuhi syarat atau tidak.
Dalam faktanya, KPU
pada akhirnya mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 dengan menerbitkan PKPU No.
23 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas PKPU No. 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan
Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, pada tanggal 3 November
2023.
PKPU No. 19 Tahun
2023 yang sudah menindak-lanjuti Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 inilah yang
kemudian menjadi dasar KPU dalam menetapkan Paslon Presiden dan Wakil Presiden
termasuk di dalamnya penetapan Gibran sebagai Cawapres.
Sebaliknya, jika KPU
menolak pendaftaran Gibran sebagai Bacawapres, padahal mengetahui adanya
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang telah bersifat final dan mengikat
(binding), dari aspek kemanfaatan dan keadilan hukum bernilai negatif.
Jika akibat
ketidak-profesionalan KPU yang belum kunjung mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023
pascaadanya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 berujung pada penolakan pendaftaran
Gibran sebagai Bacawapres, berarti KPU bertindak tidak adil kepada Gibran dan
tidak memberikan kemanfaatan bagi proses pendaftaran Paslon Presiden Wakil Presiden.
Akan menjadi tidak
adil jika tindakan tidak profesional KPU kemudian ditimpakan akibatnya pada
seseorang dalam hal ini Gibran. Gibran tidak boleh dirugikan akibat
ketidak-profesional KPU tersebut.
Dalam hukum, ada
asas yang menyatakan tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan
pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan
oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain (nullus commodum
capere potest de injuria sua propria).
Dari keseluruhan
perdebatan dan problematika hukum seputar pendaftaran Gibran sebagai Bacawapres
sebagaimana didiskusikan di atas, tidak terlihat alasan hukum yang kuat
bagi MK untuk mendiskualifikasi Gibran sebagai Cawapres.
Di samping dari sisi kewenangan absolut, bukanlah menjadi kewenangan MK untuk memutuskannya. Sebab, persoalan tersebut merupakan kewenangan absolut PTUN yang seharusnya jika dianggap bermasalah secara hukum diajukan gugatannya menyusul ditetapkannya Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 oleh KPU dan/atau diterbitkannya Keputusan KPU No. 1632 Tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 tanggal 13 November 2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar