Selasa, 19 Agustus 2025

Kontradiksi Budaya Kita

Kota dan Desa

Apa yang khas dari posisi kita adalah bahwa kita –yang berada di persimpangan antara dunia Barat yang kapitalis dan dunia Timur yang kolonial-petani– adalah yang pertama meluncurkan revolusi sosialis. Rejim kediktatoran proletar pertama kali didirikan di sebuah negeri dengan warisan keterbelakangan dan barbarisme yang luar biasa, memiliki berabad-abad sejarah yang terbentang di antara kaum nomaden Siberia dan kaum proletar Moskow atau Leningrad. Bentuk sosial mereka adalah bentuk transisi menuju sosialisme, oleh karena itu bentuk ini jauh lebih tinggi daripada bentuk kapitalis. Dalam pengertian ini, mereka dibenarkan untuk menganggap diri mereka sebagai negara yang paling maju di dunia. Tetapi teknologi mereka, yang menjadi fondasi material kebudayaan, sangat terbelakang dibandingkan dengan negara-negara kapitalis maju. Di sinilah letak kontradiksi dasar dalam realitas mereka saat itu. Tugas historis yang mengalir dari kontradiksi ini adalah mengembangkan teknologi mereka ke level bentuk sosialnya. Jika mereka tidak dapat melakukan ini, maka struktur sosial mereka pasti akan jatuh ke tingkat keterbelakangan teknologi mereka. Ya, untuk memahami signifikansi kemajuan teknologi, mereka harus secara terbuka mengatakan pada diri sendir i: bila tidak mampu melengkapi bentuk Soviet struktur mereka dengan teknologi produktif yang dibutuhkan, maka tidak akan mungkin bisa melakukan transisi ke sosialisme dan akan kembali ke kapitalisme – dan kembali ke bentuk yang seperti apa? Kapitalisme semi-feodal, semi-kolonial. Perjuangan untuk mengembangkan teknologi bagi mereka adalah perjuangan untuk sosialisme, dan seluruh masa depan budaya merak terkait erat dengannya

Basis keterbelakangan adalah dominasi mengerikan desa atas kota, pertanian atas industri. Terlebih lagi, desa didominasi oleh alat dan sarana produksi yang paling terbelakang. Ketika berbicara mengenai perhambaan secara historis, terutama berbicara mengenai relasi kelas, yaitu perhambaan petani terhadap tuan tanah dan pejabat  negara. Namun, penghambaan memiliki pondasi yang lebih dalam di bawahnya: keterikatan manusia pada tanah, ketergantungan penuh petani pada alam.

Di seluruh belahan dunia, kapitalisme telah membuat kontradiksi antara industri dan pertanian, antara kota dan desa, menjadi sangat tegang. Di sebuah negara karena keterlambatan perkembangan historis, kontradiksi ini mengambil karakter yang benar-benar mengerikan. Betapapun anehnya, industri telah mencoba menyamai contoh-contoh Eropa dan Amerika pada saat pedesaan terus tenggelam ke kedalaman abad ketujuh-belas dan bahkan lebih jauh lagi. Bahkan di Amerika, kapitalisme jelas tidak mampu mengangkat pertanian ke tingkat industri. Tugas ini sepenuhnya diserahkan kepada sosialisme. Dalam kondisi ini, dengan dominasi desa atas kota yang kolosal, industrialisasi pertanian adalah bagian terpenting dari pembangunan sosialisme.

Dengan industrialisasi pertanian, harus memahami dua proses, yang hanya dapat menghapus sekat yang memisahkan kota dan desa bila menggabungkan kedua proses tersebut. Mari bahas masalah yang krusial ini lebih lanjut.

Industrialisasi pertanian, di satu sisi, terdiri dari pemisahan serangkaian cabang yang terlibat dalam pengolahan bahan baku industri dan bahan makanan mentah dari perekonomian domestik desa. Semua industri pada umumnya berasal dari pedesaan, melalui kerajinan tangan dan produksi primitif, melalui pemisahan berbagai cabang industri dari sistem ekonomi rumah-tangga yang tertutup, melalui spesialisasi dan pelatihan, teknologi, dan bahkan produksi mesin. Industrialisasi sebagian besar harus mengikuti jalan ini, yakni, ia harus mensosialisasikan serangkaian proses produksi yang berdiri di antara perekonomian desa, dalam arti yang sebenarnya, dan industri. Contoh Amerika Serikat menunjukkan bahwa kemungkinan yang tak-terbatas terbentang di hadapan kita.

Namun, masalah ini belum selesai. Untuk mengatasi kontradiksi antara pertanian dan industri, perlu mengindustrialisasi perkebunan, peternakan, hortikultura, dan sebagainya. Ini berarti bahkan cabang-cabang kegiatan produktif ini harus didasarkan pada teknologi ilmiah: penggunaan mesin secara luas dalam kombinasi yang benar, traktorisasi dan elektrifikasi, penggunaan pupuk, rotasi tanaman yang tepat, pengujian metode dan hasil di laboratorium, pengorganisasian seluruh proses produksi secara tepat dengan penggunaan tenaga kerja yang paling rasional, dst. Tentu saja, bahkan pertanian yang sangat terorganisir pun akan berbeda dalam beberapa hal dari pabrik. Tetapi bahkan dalam industri, berbagai cabang sangat berbeda satu sama lain. Jika hari ini dibenarkan untuk menyandingkan pertanian dengan industri secara keseluruhan, maka ini karena pertanian saat ini dilakukan dalam skala kecil dan dengan cara-cara primitif, dengan ketergantungan yang sangat besar dari para produsen pada kondisi alam dan dengan kondisi kehidupan petani yang sangat terbelakang secara budaya. Tidaklah cukup hanya dengan mensosialisasikan perekonomian desa, yakni mengalihkan berbagai cabang perekonomian desa ke pabrik, seperti produksi gula, karet, kopra, minyak goreng, dll. Harus mensosialisasikan pertanian itu sendiri, yakni membebaskannya dari kondisi fragmentasinya saat ini dan menggantikan bajak kayu yang primitif dan kotor itu dengan “pabrik” yang terorganisir secara ilmiah, dengan “pabrik pengolahan”, dst. Bahwa hal ini mungkin dilakukan, sebagian telah ditunjukkan oleh pengalaman kapitalis yang sudah ada, khususnya dalam pengalaman pertanian di beberpa negara, di mana bahkan ternak ayam pun tunduk pada perencanaan dan standarisasi; mereka bertelur sesuai dengan jadwal, dalam jumlah yang sangat banyak, dan dengan ukuran dan warna yang sama.

Industrialisasi pertanian berarti menghapus kontradiksi fundamental antara desa dan kota, dan sebagai konsekuensinya, antara kaum tani dan kaum buruh. Dalam hal peran mereka dalam perekonomian negara, standar hidup mereka, atau tingkat budaya mereka, mereka harus semakin setara sedemikian rupa sehingga sekat-sekat di antara mereka hilang. Sebuah masyarakat di mana pengolahan tanah secara mekanis merupakan bagian dari ekonomi yang terencana, di mana kota mengadopsi keunggulan desa (ruang terbuka dan hijau), dan di mana desa memperkaya dirinya dengan keunggulan kota (jalan beraspal, lampu listrik, suplai air leding, sistem pengolahan air limbah), yaitu di mana kontradiksi besar antara kota dan desa lenyap, di mana petani dan buruh berubah menjadi partisipan dengan nilai dan hak yang setara dalam proses produksi yang terpadu –masyarakat seperti itu akan menjadi masyarakat sosialis yang sejati.

Revolusi Kebudayaan

Sekarang sudah jelas bagi semua orang bahwa penciptaan budaya baru bukanlah tugas yang terpisah dari kerja ekonomi dan konstruksi sosial atau budaya secara keseluruhan. Apakah perdagangan merupakan bagian dari “kebudayaan proletar?” Dari sudut pandang abstrak, harus menjawab pertanyaan ini secara negatif. Tetapi sudut pandang abstrak tidak berguna di sini. Dalam masa transisi, terlebih lagi pada tahap awal di mana sekarang berada, produk mengambil bentuk sosial komoditas, dan akan terus mengambil bentuk ini untuk waktu yang lama. Tetapi komoditas harus diperlakukan dengan tepat, yaitu, harus dapat menjual dan membelinya. Tanpa ini, tidak akan pernah melangkah dari tahap awal ke tahap berikutnya. Budaya perdagangan, seperti yang sekarang diketahui dengan baik, adalah salah satu komponen terpenting dari kebudayaan masa transisi. Apakah akan menyebut budaya perdagangan yang terkait dengan negara buruh dan kerja sama sebagai “kebudayaan proletar” – saya tidak tahu. Namun, ini jelas merupakan langkah menuju kebudayaan sosialis, dan ini tidak bisa dibantah.

Ketika berbicara tentang revolusi kebudayaan, terlihat konten dasarnya adalah meningkatkan level budaya massa. Sistem metrik adalah produk ilmu pengetahuan borjuis. Namun, mengajarkan sistem ukuran yang sederhana ini kepada seratus juta petani berarti menyelesaikan tugas revolusioner dan kultural yang besar. Hampir tidak diragukan lagi bahwa tidak akan mencapai ini tanpa traktor dan tanpa tenaga listrik. Basis kebudayaan adalah teknologi. Instrumen yang menentukan dari revolusi kebudayaan haruslah revolusi teknologi.

Berkenaan dengan kapitalisme, bahwa perkembangan kekuatan produktif dihambat oleh bentuk sosial negara borjuis dan kepemilikan borjuis. Setelah memenangkan revolusi proletar, bahwa perkembangan bentuk sosial terhambat oleh perkembangan kekuatan produktif, yaitu oleh teknologi. Mata rantai utama dalam rantai ini, yang jika direnggut dapat menghasilkan revolusi kebudayaan, adalah mata rantai industrialisasi, dan bukan sama sekali mata rantai sastra atau filsafat. Bahwa kata-kata ini tidak dipahami sebagai sikap yang meremehkan filsafat dan puisi. Tanpa pemikiran yang digeneralisasi dan tanpa seni, kehidupan manusia akan menjadi hampa dan miskin. Tapi demikianlah kurang lebih kehidupan jutaan rakyat saat ini. Revolusi kebudayaan harus mampu membuka peluang bagi rakyat untuk dapat benar-benar mengakses budaya, dan bukan hanya sisa-sisanya. Namun, ini mustahil tanpa menciptakan prasyarat-prasyarat material yang besar. Itulah mengapa mesin yang secara otomatis memproduksi botol, saat ini merupakan faktor utama dalam revolusi kebudayaan, sementara sebuah puisi heroik hanya merupakan faktor kecil.

Para filsuf telah cukup menafsirkan dunia, dan bahwa tugasnya sekarang adalah menjungkirbalikkannya. Dengan kata-katanya ini, sama sekali tidak meremehkan filsafat. Perkembangan lebih lanjut filsafat, dan budaya secara keseluruhan, baik material maupun spiritual, menuntut revolusi dalam relasi sosial. Dan oleh karena itu melangkah dari filsafat ke revolusi proletar –bukan untuk menentang filsafat, tetapi demi filsafat. Dalam pengertian yang sama, sekarang dapat dikatakan: tidak masalah jika penyair bernyanyi tentang revolusi dan proletariat; tetapi akan lebih baik lagi jika turbin yang kuat-lah yang menyanyikannya. Banyak sekali puisi medioker yang masih menjadi milik lingkaran-lingkaran kecil. Namun, orientasi opini publik yang benar, yaitu, pemahaman tentang korelasi fenomena yang tepat – penjelasan mengenai sebab musabab – mutlak diperlukan. Tidak boleh memahami revolusi kebudayaan secara idealis, dangkal, atau dalam semangat lingkaran kecil. Bicara tentang mengubah kondisi kehidupan, metode kerja dan kebiasaan sehari-hari seluruh rakyat. Hanya sistem traktor yang kuat yang akan untuk pertama kalinya dalam sejarah memungkinkan petani untuk menegakkan punggungnya; hanya mesin peniup gelas yang menghasilkan ratusan ribu botol dan membebaskan paru-paru peniup gelas; hanya turbin dengan kekuatan puluhan dan ratusan ribu tenaga kuda; hanya pesawat terbang yang dapat diakses oleh semua orang – hanya semua hal ini yang akan menjamin revolusi kebudayaan – dan bukan untuk minoritas tetapi untuk semua orang. Hanya revolusi kebudayaan semacam ini yang layak menyandang nama revolusi kebudayaan. Hanya di atas fondasi itulah filsafat baru dan seni baru akan mulai berkembang.

Seorang pemikir berkata: “Ide-ide yang dominan pada suatu zaman adalah ide-ide kelas penguasa pada zaman tersebut.” Ini juga berlaku untuk proletariat, tetapi dengan cara yang sangat berbeda dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya. Setelah merebut kekuasaan, kaum borjuis mencoba untuk melanggengkan kekuasaannya. Seluruh kebudayaannya disesuaikan untuk tujuan ini. Setelah merebut kekuasaan, kaum proletar harus berusaha memperpendek periode kekuasaannya sependek mungkin, dengan melangkah semakin dekat ke masyarakat sosialis tanpa-kelas.

Budaya Moral

Berdagang secara berbudaya berarti, antara lain, tidak menipu, yang berarti melanggar tradisi dagang nasional kita: “Jika anda tidak menipu, anda tidak akan bisa menjual.” Berbohong dan menipu bukan sekedar cacat pribadi, tetapi juga merupakan fungsi (atau tindakan) tatanan sosial. Berbohong adalah sarana perjuangan, dan sebagai konsekuensinya, ini mengalir dari kontradiksi antar kepentingan. Kontradiksi yang paling mendasar mengalir dari relasi kelas. Tentu saja, seorang dapat mengatakan bahwa penipuan itu jauh lebih tua dari masyarakat kelas. Bahkan hewan pun menunjukkan “muslihat” dan penipuan dalam perjuangan untuk eksistensi. Penipuan – tipu muslihat militer – memainkan peran yang tidak kecil dalam kehidupan suku-suku primitif. Penipuan semacam itu kurang lebih masih mengalir langsung dari perjuangan untuk eksistensi dalam dunia binatang. Tetapi sejak kemunculan masyarakat “beradab”, yaitu masyarakat kelas, kebohongan menjadi jauh lebih kompleks, berubah menjadi fungsi sosial, terpecah berdasarkan garis kelas dan juga menjadi bagian dari “kebudayaan” manusia. Namun, ini adalah bagian dari budaya yang tidak akan diterima oleh sosialisme. Relasi dalam masyarakat sosialis atau komunis, yaitu, dalam perkembangan tertinggi masyarakat sosialis, akan sepenuhnya transparan dan tidak akan membutuhkan metode-metode seperti penipuan, dusta, falsifikasi, pemalsuan, dan pengkhianatan.

Dalam relasi dan moral, masih ada banyak kebohongan yang berakar pada tatanan feodal dan borjuis. Ekspresi tertinggi ideologi feodalisme adalah agama. Relasi dalam masyarakat feodal-monarki didasarkan pada tradisi buta dan diangkat ke tingkat mitos agama. Mitos adalah interpretasi imajiner yang palsu atas fenomena-fenomena alam dan institusi-institusi sosial dalam interkoneksitasnya. Namun, yang tertipu tidak hanya rakyat tertindas saja, tetapi juga para penguasa yang memperoleh manfaat dari penipuan tersebut; mereka semua percaya pada mitos agama ini dan mengandalkannya secara jujur. Ideologi yang secara objektif palsu, yang dibangun dari takhayul, tidak selalu berarti penipuan secara subjektif. Dengan semakin kompleksnya relasi-relasi sosial, yakni seiring dengan perkembangan tatanan sosial borjuis, mitos agama semakin terbentur dengan kontradiksi, dan agama pun menjadi sumber tipu muslihat yang semakin besar dan sumber penipuan yang semakin halus.

Ideologi borjuis yang maju bersifat rasional dan diarahkan untuk melawan mitologi. Kaum borjuis radikal berusaha bebas dari agama dan membangun negara yang berdasarkan nalar dan bukan tradisi. Ini terekspresikan dalam demokrasi dengan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraannya. Namun, ekonomi kapitalis menciptakan kontradiksi yang mengerikan antara realitas sehari-hari dan prinsip demokrasi. Bentuk penipuan yang lebih tinggi diperlukan untuk mengisi kontradiksi ini. Kebohongan politik justru paling banyak dipraktikkan di negara-negara demokrasi borjuis. Dan ini bukan lagi “kebohongan” objektif mitologi, tetapi penipuan yang terorganisir secara sadar terhadap rakyat, dengan memadukan beragam metode yang paling canggih. Teknologi kebohongan dikembangkan seperti halnya teknologi listrik. Negara-negara demokrasi yang paling “maju”, Prancis dan Amerika Serikat, memiliki media yang paling tidak jujur.

Tetapi pada saat yang sama – dan ini harus diakui secara terbuka – di Prancis mereka berdagang dengan lebih jujur, dan bagaimanapun juga, dengan perhatian yang jauh lebih besar kepada pembeli. Setelah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu, kaum borjuis menanggalkan metode-metode penipuan yang sebelumnya mereka gunakan selama periode awal untuk mengakumulasi kekayaan. Ini bukan karena pertimbangan moral abstrak, tetapi karena alasan material: penipuan, pemalsuan, dan ketamakan merusak reputasi perusahaan dan merugikan masa depannya. Prinsip perdagangan yang “jujur”, yang mengalir dari kepentingan perdagangan itu sendiri pada tingkat perkembangan tertentu, menjadi bagian dari moral, menjadi kaidah “moral” dan dikendalikan oleh opini publik. Memang benar, di ranah ini juga, perang imperialis membawa perubahan kolosal, dan melempar mundur Eropa. Tetapi upaya “stabilisasi” kapitalisme pasca-perang berhasil mengatasi bentuk kebiadaban yang paling keji dalam perdagangan. Bagaimanapun, jika diperhatikan perdagangan secara keseluruhan, yaitu dari pabrik ke konsumen di pelosok desa, maka harus dikatakan bahwa berdagang dengan cara yang jauh lebih tidak berbudaya daripada negara-negara kapitalis maju. Ini mengalir dari kemiskinan, dari kekurangan komoditas, dan dari keterbelakangan ekonomi dan budaya.

Rejim kediktatoran proletar tidak dapat didamaikan dengan mitologi Abad Pertengahan yang secara objektif palsu dan dengan tipu daya demokrasi kapitalis. Rejim revolusioner sangat berkepentingan untuk menelanjangi relasi-relasi sosial dan bukannya menutupinya. Ini berarti bahwa rezim ini menjunjung tinggi kejujuran politik, dan selalu mengatakan apa adanya. Tetapi tidak boleh lupa bahwa rejim kediktatoran revolusioner adalah sebuah rejim transisional, dan sebagai konsekuensinya, sebuah rejim yang penuh dengan kontradiksi. Kehadiran musuh yang kuat, memaksa untuk menggunakan muslihat militer, dan muslihat tidak dapat dipisahkan dari kebohongan. Satu-satunya hal yang harus dipastikan adalah bahwa muslihat yang digunakan untuk melawan musuh-musuh tidak lantas mengecoh rakyat sendiri, yaitu massa buruh dan partai mereka. Ini adalah persyaratan dasar politik revolusioner yang dapat di;ihat di seluruh karya Lenin.

Namun, meskipun bentuk negara dan bentuk sosial yang baru tengah menciptakan kemungkinan dan keharusan akan tingkat kejujuran yang lebih besar daripada yang pernah dicapai antara yang berkuasa dan yang dikuasai, hal yang sama tidak dapat dikatakan tentang relasi dalam kehidupan sehari-hari. Di sini keterbelakangan ekonomi dan budaya –dan secara umum seluruh warisan masa lalu– terus menciptakan tekanan yang sangat besar. Tetapi kekurangan bahan-bahan kebutuhan pokok masih meninggalkan bekasnya pada kehidupan dan moral, dan akan terus demikian selama bertahun-tahun yang akan datang. Dari sini mengalir kontradiksi besar dan kecil, ketidakseimbangan besar dan kecil, perjuangan untuk eksistensi yang terkait dengan kontradiksi-kontradiksi ini, dan muslihat, kebohongan, dan penipuan yang semuanya terkait dengan perjuangan untuk eksistensi. Di sini, juga, hanya ada satu jalan keluar: meningkatkan level teknologi, baik dalam produksi maupun perdagangan. Orientasi yang tepat di sepanjang garis ini akan dengan sendirinya berkontribusi pada perbaikan “moral”. Interaksi antara kemajuan teknologi dan moral akan membawa lebih dekat ke sebuah struktur sosial yang terdiri dari manusia-manusia beradab yang saling bekerja sama, yakni ke kebudayaan sosialis.


 

Senin, 02 September 2024

Selamat Datang Color Revolution, Selamat Datang Indonesia Spring

Bila mencermati kronologis gerakan massa tanggal 22 Agustus 2024 hingga kini, bahwa urutan aksi dimulai setelah beredar logo Garuda Biru dengan slogan singkat: “Peringatan Darurat”.

Dejavu. Tiba-tiba, ingatan saya terdampar pada dua peristiwa silam tentang Revolusi Warna (Color Revolution) di jajaran Pakta Warsawa tahun 2000-an yang kemudian dikenal dengan istilah Balkanisasi, serta isu Arab Spring yang memporak-porandakan beberapa negara di Jalur Sutra tahun 2010-an.

Kembali Ke UUD 1945 Bagi Generasi Milenial

Ketika Orde Baru (Orba) jatuh dan Pak Harto lilenial pun baru belajar merangkak alias masih balengser pada Mei 1998, Gen Z belum lahir. Kaum Mita. Milenial lahir antara 1981-1996, sedang Gen Z lahir seputar 1997-2010. Berapa usia mereka sekarang?

Hari ini, kedua generasi tersebut bagian dari Bonus Demografi di Indonesia hingga dekade 2040-an menuju Indonesia Emas (2045). Itulah porsi terbesar dalam demografi karena keduanya berada di usia produktif.

Minggu, 14 Juli 2024

Awas Jangan Salah Masuk Cafe dan Coffeeshop Di Belanda

Buat kalian yang ingin ke Belanda baik untuk pelesiran, kerja, atau kuliah, maka wajib bisa bedain antara Cafe Shop dan Coffeeshop, terutama ketika kamu lagi ada di Red Light District yang ada di setiap kota di Belanda. Kalau kalian cuma pengen ngopi-ngopi cantik dan menikmati kota di malam hari maka kunjungilah kedai-kedai dengan tulisan besar Cafe Shop dan bukannya Coffeeshop. Coffeeshop bukan seperti yang kalian kira kayak di Indonesia, menjual kopi dan turunannya tapi sebagai istilah untuk mereka yang menawarkan obat-obatan terlarang di Indonesia tapi legal di Belanda.

Rabu, 10 Juli 2024

Penafsiran Dan Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Hukum Di Indonesia

Pendahuluan

Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasca amandemen. Sebagai negara hukum maka hukum harus dipahami sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri beberapa elemen, salah satu elemen peradilan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, seorang Hakim haruslah menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Akan tetapi apabila dalam hukum tertulis tidak ditemukan atau dirasa tidak cukup, maka Hakim dapat melakukan penafsiran hukum.

Secara yuridis maupun filosofis, hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penafsiran hukum atau penemuan hukum agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Penafsiran hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu.yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan hukum. Dalam upaya penafsiran hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Minggu, 21 April 2024

Mengkaji Arah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024

 

Penulis: Furqan Jurdi (Praktisi Hukum dan Aktivis Muda Muhammadiyah)

SIDANG Sengketa Perkara Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dimulai pada 27 Maret 2024 dan ditutup pada 5 April 2024, masih hangat dan menarik untuk diperdebatkan.

Menarik karena setelah sidang pembuktian ditutup, Mahkamah meminta kepada para pihak: pemohon, termohon, dan pihak terkait untuk memberikan kesimpulan. Suatu yang baru dalam sidang MK mengenai sengketa Pilpres, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.

Penyerahan kesimpulan tidak dikenal dalam hukum acara PHPU Pilpres di MK dan tidak diatur dalam PMK 4 Tahun 2023 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden.

Meskipun tidak diatur dalam PMK, Mahkamah telah memperlihatkan keseriusannya dalam memeriksa dan mengadili perkara PHPU Pilpres 2024 dengan menerapkan mekanisme beracara yang lengkap dan sempurna selama proses sidang hingga pembuktian.

Senin, 15 April 2024

Analisa Permohonan Diskualifikasi Prabowo-Gibran di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mendiskualifikasi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 atas nama H. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
 
Demikianlah salah satu Petitum Pokok Perkara yang dimintakan dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 di MK oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 atas nama H. Anies Rasyid Baswedan dan Dr (H.C.) Muhaimin Iskandar maupun Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 3 atas nama H. Ganjar Pranowo, S.H., M.I.P. dan Prof. Dr. H. M. Mahfud MD.