Rabu, 16 September 2015

Masyarakat Minangkabau

1. Norma Kehidupan

Apa yang bakal terjadi bila manusia hidup atas dasar hukum rimba?. Yang kuat akan memakan yang lemah. Yang besar akan menindas yang kecil. Yang pintar akan menipu yang bodoh. Kehidupan akan segera menjadi neraka. Manusia mungkin akan segera musnah. Nenek moyang orang Minang, nampaknya sejak beribu tahun yang lalu telah memahami bahaya ini bagi hidup dan kehidupannya, apalagi bagi kelangsungan anak dan cucunya. Karena itu mereka telah menciptakan norma-norma kehidupan yang akan menjamin ketertiban-kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bagi mereka sendiri dan anak cucunya sepanjang zaman. Norma-norma itu antara lain berupa aturan-aturan yang sangat esensial bagi kehidupan yang tertib aman dan damai.

Aturan-aturan itu antara lain mengatur hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta kekayaan, yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, norma-norma tentang tata krama pergaulan dan sistim kekerabatan. Kalau dipelajari dengan seksama, ketentuan adat Minang mengenai hal-hal diatas, agaknya tidak ada seorangpun diantara kita yang tidak kagum dan bangga dengan aturan itu.

Kalau kita tahu manfaat dari aturan-aturan itu, agaknya tidak seorangpun diantara kita yang mengingini lenyapnya aturan itu. Namun sayangnya banyak juga diantara kita yang kurang memahami aturan-aturan adat itu sehingga kurang mencintainya. Tak tahu maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta. Kebanyakan kita dewasa ini memang sudah banyak yang melupakan norma-norma kehidupan yang terkandung dalam ajaran adat Minang.


2. Sistem Matrilinial

Menurut para ahli antropologi tua pada abad 19 seperti J. Lublock, G.A. Wilken dan sebagainya, manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo dan melahirkan keturunan tanpa ikatan.

Kelompok keluarga batih (Nuclear Family) yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak seperti sekarang belum ada. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara “ibu dan anak-anaknya” sebagai satu kelompok keluarga karena anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak tahu siapa dan dimana ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih “ibu dan anak-anaknya” ini, si Ibulah yang menjadi Kepala Keluarga. Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan (persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan diluar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut dengan “adat eksogami”. Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan sepanjang adat. 

Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya. Karena “garis keturunan” selalu diperhitungkan menurut “Garis Ibu”, dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat “matriarchat”. Istilah “matriarchat” yang berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Para ahli sudah tahu bahwa sistem “ibu yang berkuasa” itu tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis “matrilinial”. 

Jadi dalam sistem kekerabatan “matrilinial” terdapat 3 unsur yang paling dominan: 
·          Garis keturunan “menurut garis ibu”.
·          Perkawinan harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami matrilinial.
·         Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga  


3. Hubungan Individu dan Kelompok

Manusia secara alami tidak mungkin hidup sendiri. Setiap individu membutuhkan orang lain untuk bisa hidup. Sudah menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup bersama dan bekerjasama. Ia telah ditentukan harus hidup berkelompok dan hidup bermasyarakat. 

Kelompok kecil dalam masyarakat Minang adalah suku, sedangkan kelompok terbesar, terlihat dari kacamata adat Minang adalah nagari. Suku sebagai kelompok terkecil, seyogianya harus dipahami dan dihayati betul oleh orang-orang Minang. Kalau tidak akan mudah sekali tergelincir pada pengertian bahwa keluarga terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak. Pengertian yang keliru inilah yang sering membawa pecahnya kekeluargaan Minang, karena mamak rumah, dunsanak ibu, bahkan Penghulu suku tidak lagi dianggap keluarga. 

Selain itu sifat dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama”. Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya. Sebaliknya tiap kelompok itu menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang tinggi, rasa kebersamaan, rasa tolong menolong. Tiap individu akan mencintai kelompok sukunya dan setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau melindungi setiap individu. Kehidupan individu terhadap kelompok sukunya bagaikan kehidupan ikan dengan air. Ikan adalah individu sedangkan air adalah suku tempat hidup. Bila si ikan dikeluarkan dari air, maka ia akan segera mati. Dari sini lahirlah pepatah yang berbunyi : Suku yang tidak bisa dianjak Malu yang tidak bisa dibagi. 

Dengan melihat hubungan individu dengan kelompoknya seperti digambarkan diatas, maka jelas antara individu dan kelompoknya akan saling mempengaruhi. Individu yang berwatak baik, akan membentuk masyarakat yang rukun dan damai. Sebaliknya kelompok yang tertata rapi, akan melahirkan individu-individu yang tertib dan berdisiplin baik. Dengan demikian nenek moyang orang Minang, telah memberikan kriteria tertentu yang dianggap ideal untuk menjadi sifat-sifat orang-orang Minang. 


4. Adat Nagari dan Keturunan Orang Minangkabau

Adap

Adapun adab yang pertama, patut kita berkasih-kasihan antara sesama hamba Allah dengan sahabat kenalannya, dengan kaum kerabatnya serta sanak saudaranya.  Adapun adab yang kedua, hormat kepada ibu dan bapak, serta guru dan raja, mamak dan ninik serta orang mulia-mulia. Adapun adab yang ketiga, yang tua wajib dimuliakan, yang muda patut dikasihi, sesama remaja dibasa-basikan (dipersilakan/dilayani dengan baik). Adapun adab yang keempat, adab berkorong dan berkampung, adab berkaum kerabat, jika sukacita sama-sama ketawa, kalau dukacita sama-sama menangis.

Bertolong-tolongan pada jalan kebaikan, jangan bertolong-tolongan pada jalan maksiat, atau jalan aniaya, jangan memakai khizit dan khianat serta loba dan tamak, tidak usah berdengki-dengkian sesama hamba Allah, pada jalan yang patut-patut; janganlah memandang kepada segala manusia, dengan cara bermasam muka, itulah dia yang bersama adat yang patut, yang kita pakaikan setiap hari.  

Tertib 

Adapun tertib kepada raja-raja dan orang-orang besar serta kepada alim ulama; kepada ibu dan bapak; dan kepada ninik mamak dan orang tua-tua dengan orang mulia-mulia; jikalau menyambut barang sesuatu hendaklah meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya.  Sewaktu mengunjukkan barang sesuatu, duduk menghadap dengan cara bersimpuh, jika berjalan mengiring di belakang; jikalau sama-sama minum dan makan, hendaklah kemudian daripadanya, jangan meremas-remas nasi, jangan mengibas-ngibaskan tangan kearah belakang atau samping kanan belakang sehingga besar sekali kemungkinan ada orang lain atau sekurang-kurangnya dinding rumah akan kejipratan air bekas pembasuh tangan yang masih melengket dijari-jari tangan.

Selain dari itu lebihkanlah menekurkan kepala daripada menengadah kepadanya dan apabila berkata-kata hendaklah dengan suara yang lemah lembut.   

Sifat Perempuan

Adapun setiap wanita itu hendaklah dia berhati sabar; menurut perintah suaminya, serta ibu bapaknya; baikpun ninik mamaknya; kalau dia berkata-kata hendaklah merendahkan diri terhadap mereka itu. Dan wajib baginya untuk mempelajari ilmu dan tertib sopan, serta kelakuan yang baik-baik; menghindarkan segala macam perangai yang akan menjadi cela kepadanya, atau kepada suaminya, atau kepada kaum kerabatnya, yang timbul oleh karena tingkah laku dan perangainya yang kurang tertib, hemat cermat. Kalau dia sudah bersuami, hendaklah dia berhati mukmin terhadap suaminya itu.

Perangai

Adapun perangai yang wajib, berlaku atas segala makhluk, baik laki-laki maupun perempuan; ialah menuntut ilmu, dan mempelajari adat dan hormat, dan merendahkan dirinya pada tempatnya juga, dan wajib dia berguru, sifat berkata-kata yang “mardesa” (tertib sopan; hemat cermat) bagaimana bunyi yang akan baik, didengar oleh telinga si pendengar, serta dengan perangai yang lemah lembut juga dilakukan, dengan halus budi bahasanya, karena kita berlaku hormat kepada orang-orang besar dan orang-orang mulia dan orang-orang tua, supaya terpelihara daripada umpat dan caci; itulah kesempurnaan perbasaan bagi orang baik-baik, yang terpakai dalam nagari atau dalam alam ini.   

Hutang Bagi Orang Tua-Tua  

Adapun yang menjadi hutang bagi orang tua-tua dan cerdik pandai serta orang mulia-mulia dan segala arif bijaksana yaitu harus baginya mengingatkan kepada segala ahlinya, dan kepada segala orang nan percaya kepadanya, dan segala kaumnya, yang tidak ikut melakukan perangai dan tertib yang baik-baik. Maka hendaklah dibantahi; segala kelakuan mereka itu, yang bersalahan dengan kebenaran juga, memberi petunjuk ia akan segala kaumnya itu, supaya dia melakukan segala perangai yang baik-baik dan membuangkan segala perangai yang kurang baik itu, supaya mudah sekalian mereka itu mengetahui akan keindahan dan kemuliaan yang terpakai oleh orang besar-besar yang membawa kepada jalan kebajikan, dan kesempurnaan hidupnya, supaya ingat segala anak kemenakannya itu kepada yang baik, dan lembut hatinya yang keras itu, karena hati lebih keras dari batu dan besi.

Apabila sudah berkata-kata dengan orang tua-tua dan orang cerdik pandai itu; dengan ilmunya dan pengetahuannya yang sempurna, tidak boleh tidak akan lembutlah orang yang keras-keras itu oleh muslihatnya, dan kendorlah yang tegang itu, sebab kepandaiannya berkata-kata, melakukan nasihat nan baik-baik itu. Karena itu wajiblah bagi orang yang tua-tua dan cerdik pandai itu akan menajak segala kaum keluarganya dan orang yang percaya kepadanya, dengan perkataan yang lemah lembut juga, serta tutur kata yang baik-baik, akan menarik hati sekalian mereka itu, karena sekalian jalan kebajikan, memberi sukahatinya mendengarkan; serta wajib juga kepada orang tua-tua dan cerdik pandai itu, akan bercerita dan memberi ingat kepada segala kaum kerabatnya, apapun cerita dan kabar; baik maupun buruk; menceritakan kabar-kabar yang dahulu kala, yang dilihat dan didengarnya, dengan menyatakan kesan-kesannya yang baik ataupun yang jelek. Supaya menjadi pengajaran dan peringatan juga untuk semua ahli baitnya; yakni kabar-kabar yang kira-kira cocok dengan pendapat dan pikiran si pendengar.

Demikianlah yang wajib dipakaikan oleh orang tua-tua dan cerdik pandai serta arif bijaksana; ”menyigai-nyigaikan” (sigai=diusut, diselidiki sebaik-baiknya; di dalam ini berarti mendengarkan/menghampirkan dirinya) artinya, janganlah dia mengatakan jauhnya dengan mereka itu, melainkan wajib dia menyatakan hampirnya juga, supaya tertambah-tambah kasih sayangnya, kaum kerabatnya itu dan murah baginya melakukan segala nasihat dan petunjuk yang dilakukannya kepada sekalian orang.  

Adat Berkaum Keluarga 

Apabila ada kerja dalam kampung atau dalam suku dan nagari, baik “kerja yang baik” (kerja yang menyukakan hati) maupun “kerja yang tidak baik” (dukacita, kematian, musibah dan kerugian yang mendadak); jikalau suka sama-sama ketawa, kalau duka sama-sama menangis; jika pergi karena disuruh, jika berhenti karena dilarang; artinya semua perbuatan hendaklah dengan sepengetahuan penghulu-penghulunya juga, serta orang tua-tuanya dan sanak saudaranya yang patut-patut.

Demikianlah adat orang berkaum keluarga dan beranak berbapak, beripar besan, berindu bersuku. Itulah yang dipertalikan dengan adat lembaga, yang “persaluk urat, yang berjumbai akar, berlembai pucuk” (bertali kerabat) namanya, menyerunduk sama bongkok, melompat sama patah; kalau ke air sama basah, jika ke api sama letup, itulah yang dinamakan “semalu sesopan”, kalau kekurangan tambah-menambah, jika “senteng bilai-membilaia’, yang berat sama dipikul dijunjung dan yang ringan sama dijinjing.  Adat penghulu kepada anak kemenakan, baik dalam pekerjaan yang baik maupun didalam pekerjaan yang tidak baik. Apabila sesuatu persoalan anak kemenakan disampaikan kepada penghulu dan orang tua-tua wajiblah bagi beliau itu; bila kusut diselesaikan, bila keruh diperjernih, menghukum dengan jalan keadilan, beserta dengan orang tua-tuanya disana. Adapun yang dikatakan tua disana, ialah orang yang cerdik pandai, orang yang berakal juga, yang akan menimbang buruk dengan baik, tinggi dengan rendah, supaya menjadi selesai seisi kampungnya itu. 

Jika tidak putus oleh penghulu-penghulu dan orang tua-tua didalam masing-masing kampung mengenai apa-apa yang diperselisihkan oleh anak buahnya; wajiblah kepada penghulu-penghulu dan orang tua-tua tersebut untuk membawa “serantau hilir, serantau mudik” (sepanjang sungai kesana kemari mencarikan air yang jernih, sayak yang landai” (keadilan) katian (timbangan dengan ukuran berat sekati) yang genab; supaya diperoleh kata kebenaran dan aman segala kaum keluarganya. 

Adat orang menjadi “kali” (Tuan Kadi; penghulu nikah), pendeta dan alim ulama, imam, khatib dan bilal serta maulana; hendaklah dia mengetahui benar-benar segala aturan agama (syarat; syariat Islam) di dalam surau dan mesjid-mesjidnya atau didalam segala majelis perjamuan, dan pada tempat yang suci-suci baikpun di dusun-dusun atau di medan majelis orang banyak, hendaklah selalu dia melakukan perangai nan suci dan hormat, supaya menjadi suluh, kepada segala isi nagari dan yang akan diturut, oleh segala murid-muridnya. Wajib dia mengatur segala penjagaan nan bersalahan, dalam mesjid dan surau dan didalam majelis perjamuan yang akan menjadi cacat dan cela bagi ketertiban agamanya, yang boleh membinasakan tertib kesopanan orang-orang “siak” (santri) dan alim ulama yang sempurna.  

Adat Laki-laki Kepada Wanita Yang Sudah Dinikahinya 

Wajib laki-laki itu memberi nafkah lahir dan bathin kepada istrinya dan memberi tempat kediaman serta memberi minum dan makannya serta pakaian sekurang-kurangnya dua persalin setahun; dan wajib pula bagi perempuan itu berperangai yang sempurna kepada segala ahli-ahli (karib bait) suaminya dengan perangai yang hormat dan tertib sopan seperti adab kepada suaminya juga. Demikianlah pula wajiblah bagi lelaki tsb berperangai nan sopan, kepada segala kaum kerabat anak istrinya seperti dia melakukannya terhadap kaum kerabatnya sendiri yang patut-patut.

Cara bagaimana hormatnya istri kepada ibu bapaknya dan ninik mamaknya begitu pulalah hendaknya dia menghormati dan mempunyai rasa malu terhadap ibu bapak dan ninik mamak istrinya itu. Yakni dengan basa-basi yang lemah lembut dan hendaklah dia memberi petunjuk akan anak istrinya yang alpa dalam menghormati kaum kerabatnya dan ibu bapak serta ninik mamaknya yang sepatutnya dihormatinya, supaya istrinya itu berlaku baik dan beradat yang sempurna terhadap kepada ahli-ahlinya (karib baitnya). Wajib pula suami melarang istrinya berperangai yang salah menurut adab dan tertib yang sopan dan santun, supaya istrinya itu tetap menurut jalan yang baik-baik dan sopan; begitulah yang sebaik-baiknya yang dilakukan oleh segala suami terhadap istrinya masing-masing.  

Milik

Ada berbagai milik; ada milik raja, ada milik penghulu, ada milik kadi, ada milik dubalang dan pegawai, ada milik imam dan khatib dan ada pula milik orang banyak. Masing-masing milik tsb tidak boleh dikuasai oleh yang bukan pemiliknya. Adapun yang menjadi milik raja itu adalah memerintah dan menghukum segala perselisihan hamba rakyatnya yang disampaikan kepadanya dan menjaga kesentosaan nagari, dan mengetahui dia akan perangai sekalian orang-orang yang dibawah kekuasaannya serta berhubungan dengan pembantunya dan apabila pembantu-pembantunya bersalah maka diapun akan menghukum mereka itu juga supaya nagari menjadi sempurna dan rakyat menjadi sentosa. 

Adapun milik penghulu itu adalah menjaga akan kesentosaan dan keselamatan anak buahnya; baik yang ada dalam kampung dalam suku, dalam nagari, pada tempat masing-masing, dan wajib baginya menentukan batas dan “bintalak” (pasupadan; sempadan) milik anak buahnya didalam pegangan masing-masingnya; dan yang lain-lainnya yang akan memberi kebajikan kepada segala anak buahnya.  

Adapun milik tuan Kardi itu adalah menghukumkan menurut jalan hukum dan syariat agama nabi kita Muhammad dan menentukan sah dan batal, pasal dan bab, dalil dan maknanya, setiap hukum agama dikeluarkannya (diterapkannya). 

Adapun milik pegawai dan hulubalang, menjelaskan apa-apa yang dititahkan penghulu-penghulu; “menakik” yang keras, “menyudu” yang lunak; berdasarkan jalan kebenaran juga. 

Adapun milik bagi orang banyak itu, wajib kita menutur segala titah dan perintah penghulu-penghulu, orang tua-tuanya; memelihara akan pekerjaannya masing-masing; dengan yakin menjalankan titah rajanya dan disampaikan kepadanya; Tuan Kadinya dan ibu bapaknya serta sanak saudaranya.

Adapun milik bagi harta benda itu, seperti sawah ladang, emas perak kerbau sapi, ayam itik dan lain-lainnya, wajib tergenggam pada yang punya milik masing-masing juga, tidaklah harus dimiliki oleh bukan pemiliknya.  

Hak  

Adapun hak itu tidaklah tetap terpegang, kepada yang empunya hak untuk selamanya; hak yang terpegang ditangan yang empunya masing-masing adalah hak milik namanya. Dan apabila haknya itu dipegang oleh orang lain, maka dinamai “Haknya saja” tetapi yang memiliki orang lain. Itulah undang-undang yang terpakai dalam nagari di Alam Minangkabau ini yang sepatutnya engkau ketahui terlebih dahulu. Tentukan (usut dan periksa) benarlah dahulu semuanya yang hamba sebut tadi; yang dipakai didalam nagari ini; agar jelas pegangan masing-masing, agar berbeda orang dengan awak; baik jauh maupun dekat.   


5. NAMA PANGGILAN MASYARAKAT MINANG

Bagi orang Minang nama itu penting. Ketek banamo – gadang bagala. Katiko ketek disabuik namo – alah gadang disabuik gala. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa yang dikatakan sepesukuan sebagai unit terkecil dalam sistem kekerabatan Minang terdiri dari 5 lapis generasi atau keturunan. Mungkin dalam satu masa tidak terdapat kelima tingkat keturunan itu, karena hal itu sangat tergantung dari usia rata-rata anggota suku dari tiap generasi. 

Panggilan Sesama Anak

Adik memanggil kakaknya yang perempuan dengan “Uni” dan “Uda” untuk kakak lelaki. Antara mereka yang seusia, memanggil nama masing-masing. Si Ani memanggil si Ana dengan menyebut Ana. Si Husin memanggil si Hasan dengan sebutan Hasan. Mande dan Mamak serta generasi yang lebih tua, memanggil anak-anak dengan panggilan kesayangan “Upiak” pada anak perempuan dan “Buyuang” untuk anak laki-laki. 

Panggilan untuk Ibu dan Paman

Anak sebagai generasi terbawah dalam susunan pesukuan Minang, mempunyai panggilan kehormatan terhadap ibu dan saudara ibunya, serta generasi yang berada diatasnya. Anak memanggil ibunya dengan panggilan Mande – Amai – Ayai – Biyai – Bundo – Andeh dan di zaman modern ini dengan sebutan Mama – Mami – Amak – Ummi dan Ibu. Jika ibu kita mempunyai saudara perempuan yang lebih tua dari ibu kita (kakak ibu) maka sebagai anak kita memanggilnya dengan istilah Mak Adang yang berasal dari kata Mande dan Gadang.Bila ibu mempunyai adik perempuan, maka kita memanggilnya dengan Mak Etek atau Etek yang berasal dari kata Mande nan Ketek.

Bila ibu kita punya saudara lelaki, kita panggil beliau dengan Mamak. Semua lelaki dalam pesukuan itu, dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita, disebut Mamak. Jadi Mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua lelaki yang segenerasi dengan ibu kita dalam suku yang serumpun. Dengan demikian kita punya Mamak Kanduang, Mamak Sejengkal, Mamak Sehasta, Mamak Sedepa sesuai dengan jarak hubungan kekeluargaan. Mamak Kandung adalah mamak dalam lingkungan semande.

Mamak tertua dan yang lebih tua dari ibu kita, kita panggil dengan istilah Mak Adang dari singkatan Mamak nan Gadang sedangkan yang lebih muda dari ibu kita , kita sebut dengan Mak Etek atau Mamak nan Ketek. Mamak yang berusia antara yang tertua dan yang termuda dipanggil dengan Mak Angah atau Mamak nan Tangah. 

Kedudukan Mamak

Mamak mempunyai kedudukan yang vital dalam struktur kekerabatan minang, khususnya dalam hubungan Mamak-Kemenakan, seperti diatur dalam Pepatah Adat berikut ini.

Kamanakan barajo ka mamak,
Mamak barajo ka panghulu,
Panghulu barajo ka mufakat,
Mufakat barajo ka nan bana,
Bana badiri sandirinyo.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa mamak mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ibu kita. Karena beliau itu saudara kandung. Sehingga mamak dapat diibaratkan sebagai ibu-kandung kita juga kendatipun beliau lelaki. Adat Minang bahkan memberikan kedudukan dan sekaligus kewajiban yang lebih berat kepada mamak ketimbang kewajiban ibu. Adat mewajibkan mamak harus membimbing kemenakan, mengatur dam mengawasi pemanfaatan harta pusaka, mamacik bungka nan piawai. Kewajiban ini tertuang dalam pepatah adat, ataupun dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Kewajiban untuk membimbing kemenakan sudah selalu didendangkan orang Minang dimana-mana. Namun kini sudah mulai jarang diamalkan Pepatah menyebutkan: 

Kaluak         paku  kacang        balimbiang,
Buah           simantuang           enggang                     lenggangkan,
Anak           dipangku               kamanakan                dibimbiang,
Urang          kampuang            dipatenggangkan. 

Kewajiban mamak terhadap harta pusaka antaranya dalam menjaga batas sawah ladang, mengatur pemanfaatan hasil secara adil di lingkungan seperindukan, dan yang terpenting mempertahankan supaya harta adat tetap berfungsi sesuai ketentuan adat. 

Fungsi utama harta pusaka: 

·          Sebagai bukti dan lambang penghargaan terhadap jerih payah nenek moyang yang telah mencancang-malateh, manambang-manaruko, mulai dari niniek dan inyiek zaman dahulu, sampai ke mande kita sendiri. Karena itu kurang pantaslah bila kita sebagai anak cucu, tidak memeliharanya, apalagi kalau mau menjualnya. Tugas mamak terutama untuk menjaga keberadaan harta pusaka ini.

Ramo-ramo si kumbang janti,
Katik Endah pulang bakudo,
Patah tumbuah hilang baganti,
Harto pusako dijago juo. 

·          Sebagai lambang ikatan kaum yang bertali darah. Supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah (peceh) sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah satie (setia), sehingga barang siapa yang merusak harta pusaka ini, akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya.

·         Sebagai jaminan kehidupan kaum jaman dahulu sehingga sekarang terutama tanah-tanah pusaka. Baik kehidupan zaman agraris, maupun kehidupan zaman industri, tanah memegang peranan yang sangat strategis. Jangan terpedaya atas ajaran individualistis atas tanah, yang bisa menghancurkan sendi-sendi adat Minang.

·          Sebagai lambang kedudukan social.

Itulah 4 fungsi utama dari harta pusaka yang menjadi kewajiban mamak untuk memeliharanya. Kewajiban mamak sebagai pamacik bunka nan piawai, selaku pemegang keadilan dan kebenaran. Kewajiban ini dilakukan dengan bersikap adil terhadap semua kemenakan. Antaranya dalam pemanfaatan hasil harta pusaka tinggi.

Dilain pihak penanggung jawab terhadap ikatan perjanjian antara pihak luar pesukuan misalnya dalam ikatan perkawinan. Bila sudah ada kesepakatan antara kedua keluarga, maka mamaklah menjadi penanggung jawab atas kesepakatan itu. Bila terjadi ingkar janji, mamaklah yang harus membayar hutang. Bila telah dilakukan Tukar Tando sebagai tanda kesepakatan, maka mamaklah yang akan menjadi tumpuan dan tumbal bagi kesepakatan itu. Mamaklah yang menjadi penanggung jawab atas janji antara kedua keluarga ini, bukan kemenakan yang akan dikawinkan. 

Panggilan Generasi Ketiga

Dalam hubungan pesukuan diatas, terlihat bahwa kita sebagai anak menjadi generasi kelima. Kita sebagai generasi kelima, memanggil “Uo” atau “Nenek” kepada Mande dari ibu kita sendiri dan Mamak atau Tungganai (Mamak Kepala Waris) pada saudara lelaki dari Uo (Nenek) kita. Berdasarkan pada pengelompokkan umur rata-rata, maka yang diangkat jadi Penghulu dalam pesukuan ini, biasanya dari kelompok tungganai ini. Pada saat kita lahir, kelompok para tungganai ini berusia sekitar 40 tahun, sehingga memenuhi syarat usia yang pantas untuk memimpin suku (kaum) kita. 

Selanjutnya pada generasi kedua kita memanggil Gaek untuk perempuan dan Datuak pada lelaki yang termasuk dalam generasi kedua ini. Generasi pertama (kalau masih hidup) kita sebut dengan panggilan Niniek untuk perempuan dan Inyiek untul lelaki yang termasuk generasi pertama. Usia rata-rata generasi pertama ini, pada saat kita lahir sekitar 80 th. 

Bagi mamak atau tungganai yang diangkat jadi Penghulu, diberi gelar DATUK. Keluarga yang seusia atau lebih tua dari Penghulu memanggilnya dengan “Ngulu”, sedangkan yang lebih muda dengan panggilan yang biasa seperti Uda dan Mamak.  


6. Suku dan Pengembangannya

Suku Asal

Kata suku dari bahasa Sanskerta, artinya “kaki”, satu kaki berarti seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya negeri mempunyai empat suku, Nagari nan ampek suku. Nama-nama suku yang pertama ialah Bodi, Caniago, Koto, Piliang.  

Kata-kata ini semua berasal dari sanskerta: 
·          Bodi dari bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
·          Caniago dari caniaga (niaga = dagang) ·
·          Koto dari katta (benteng)
·          Piliang dari pili hiyang (para dewa)

Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya.

Koto Piliang adalah kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu dengan cara hidup menurut hirarki yang bertingkat-tingkat.

Dalam tambo, kata-kata Bodi Caniago dan Koto Piliang ditafsirkan dengan : Budi Caniago = Budi dan tango, budi nan baharago, budi nan curigo Merupakan lambang ketinggian Dt. Perpatih nan Sabatang dalam menghadapi pemerintahan aristokrasi Dt. Katumanggungan. Koto Piliang = kata yang pilihan (selektif) dalam menjalankan pemerintahan Dt. Katumanggungan. 

Pertambahan Suku  

Suku yang empat itu lama-lama mengalami perubahan jumlah karena: 
·          Pemecahan sendiri, karena warga sudah sangat berkembang. Umpama : suku koto memecah sendiri dengan cara pembelahan menjadi dua atau tiga suku.
·           Hilang sendiri karena kepunahan warganya, ada suku yang lenyap dalam satu nagari.
·          Perpindahan, munculnya suku baru yang warganya pindah dari negeri lain.
·        Tuntutan kesulitan sosial, hal ini timbul karena masalah perkawinan, yang melarang kawin sesuku (eksogami). Suatu suku yang berkembang membelah sukunya menjadi dua atau tiga.

Biasanya suku-suku yang baru tidak pula mencari nama baru. Nama yang lama ditambah saja dengan nama julukan. Jika suku bari itu terdiri dari beberapa ninik, jumlah ninik itu dipakai sebagai atribut suku yang baru itu. Koto Piliang memakai angka genap dan Bodi Caniago memakai angka ganjil. Umpama: 
·          Suku Melayu membelah menjadi : melayu ampek Niniak, Melayu Anam Niniak, Caniago Tigo Niniak, Caniago Limo Niniak (Bodi Chaniago)
·          Kalau gabungan terdiri dari sejumlah kaum, namanya : Melayu Ampek Kaum (Koto Piliang), Melayu Tigo Kaum (Bodi Caniago)
·          Apabila gabungan terdiri dari sejumlah korong namanya : Melayu Duo Korong (Koto Piliang), Caniago Tigo Korong (Bodi Caniago)

Pembentukan 

Suku dipemukiman baru perpindahan dari beberapa negeri ke tempat pemukiman baru di luar wilayah negari masing-masing, ditempat yang baru itu dapat dibuat suku dengan memilih beberapa alternatif: 
·          Setiap anggota bergabung dengan suku yang sejenis yang terlebih dulu tiba di tempat itu.
·          Beberapa ninik atau kaum dari suku yang sama berasal dari nagari yang sama bergabung membentuk suku baru. Nama sukunya pakai nan spt: Caniago nan Tigo Niniak atau Caniago nan Tigo.
·          Apabila tidak ada tempat bergabung dengan suku yang sama lalu mereka berkelompok membentuk suku baru. Mereka memakai nama suku asli dari negerinya tanpa atribut, spt asal Kitianyir ditempat baru tetap Kutianyir.
·          Membentuk suku sendiri di nagari baru tanpa bergabung dengan suku yang ada ditempat lain. Biasanya memakai atribut korong spt Koto nan Duo Korong.
·          Orang-orang dari bermacam-macam suku bergabung mendirikan suku yang baru. Nama suku diambil dari nama negeri asal : spt Suku Gudam (negeri Lima Kaum), Pinawan (Solok Selatan), suku Padang Laweh, suku Salo dsb.

Selain dari itu , cara-cara lain yaitu mengambil nama-nama dari: 
·          Tumbuh-tumbuhan, seperti Jambak, Kutianyir, Sipisang, Dalimo, Mandaliko, Pinawang dll.
·          Benda seperti Sinapa, Guci, Tanjung, Salayan dll.
·          Nagari seperti Padang Datar, Lubuk Batang, Padang Laweh, Salo dll.
·          Orang seperti Dani, Domo, Magek dll.

Suku yang demikian lebih banyak daripada suku-suku yang semula. Apabila dijumlahkan nama-nama suku itu seluruhnya sudah mendekati seratus buah di seluruh Alam Minangkabau. 

Adat orang sesuku 

Orang-orang yang sesuku dinamakan badunsanak atau sakaum. Pada masa dahulu mulanya antara orang yang sesuku tidak boleh kawin walaupun dari satu nagari, dari satu luhak ke luhak. Tetapi setelah penduduk makin bertambah banyak, dan macam-macam suku telah bertambah-tambah, dewasa ini hal berkawin seperti itu pada beberapa nagari telah longgar. Tiap-tiap suku itu telah mendirikan penghulu pula dengan ampek jinihnyo. Jauh mencari suku, dakek mancari indu, sesungguhnya sejak dahulu sampai sekarang masih berlaku, artinya telah menajdi adat juga. Adat serupa ini sudah menjadi jaminan untuk pergi merantau jauh.  

Mamak ditinggakan, mamak ditapati. Mamak yang dirantau itulah, yaitu orang yang sesuku dengan pendatang baru itu yang menyelenggarakan atau mencarikan pekerjaan yang berpatutan dengan kepandaian atau keterampilan dan kemauan “kemenakan” yang datang itu sampai ia mampu tegak sendiri. Baik hendak beristri, sakit ataupu kematian mamak itu jadi pai tampek batanyo, pulang tampek babarito, bagi kemenakan tsb. Sebaliknya “kemenakan” itu harus pula tahu bacapek kaki baringan tangan menyelenggarakan dan memikul segala buruk baik yang terjadi dengan “mamak” nya itu. Dengan demikian akan bertambah eratlah pertalian kedua belah pihak jauh cinto-mancinto, dakek jalang manjalang. Tagak basuku mamaga suku adalah adat yang membentengi kepentingan bersama yang merasa semalu serasa. Bahkan menjadi adat pusaka bagi seluruh Minangkabau, sehingga adat basuku itu berkembang menjadi Tagak basuku mamaga suku tagak banagari mamaga nagari, tagak baluhak mamaga luhak dll. Artinya orang Minangkabau dimana saja tinggal akan selalu bertolong-tolongan, ingat mengingatkan, tunjuk menunjukkan, nasehat menasehatkan, ajar mengajarkan. Dalam hal ini mereka tidak memandang tinggi rendahnya martabat, barubah basapo batuka baangsak.

Karena adat itulah orang Minangkabau berani pergi merantau tanpa membawa apa-apa, jangankan modal. Kalau pandai bakain panjang Labiah dari kain saruang Kalau pandai bainduak samang Labiah dari mande kanduang. Lebih-lebih kalau yang datang dengan yang didatangi sama-sama pandai. Padilah nan sama disiukkan sakik nan samo diarangkan. Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Apalagi kalau “ameh lah bapuro, kabau lah bakandang“.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar