Rabu, 30 September 2015

Sekilas Tentang Jender Dalam Budaya Minangkabau

Kalaulah istilah jender itu secara luas dipahamkan sebagai kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial, maka masyarakat Minangkabau sudah lama menerapkan kesetaraannya dengan idiom dan penafsiran tersendiri. Kalau kesetaraan secara umum dimaksudkan; harus adanya pemisahan fungsi dan peranan laki-laki dengan fungsi dan perempuan, maka pemisahan demikian tidak ditemukan di dalam adat Minangkabau.

Pemisahan perananan antara fungsi dan kedudukan laki-laki dengan peranan dan fungsi perempuan, tidak pernah secara tegas dinukilkan dalam aturan adat Minangkabau, yang seharusnya dapat ditelusuri melalui pepatahpetitih, mamang, ungkapan atau idiom-idiom budayanya. Peranan dan fungsi yang diberlakukan adat pada perempuan tetap dalam konteks hubungannya dengan kaumnya, keluarganya. Tak pernah perempuan dilihat sebagai seorang individu, sebagaimana pemahaman perempuan dalam pemikiran kesetaraan jender yang umum dikenal saat ini.

Dalam pepatah Minang yang populer disebutkan bahwa perempuan adalah limpapeh rumah nan gadang. Dalam ungkapan ini jelas terlihat bagaimana kedudukan sebuah kaum yang punya rumah gadang itu memposisikan perempuan (limpapeh) dalam konteks kebersamaan. Limpapeh dalam arti kebahasananya adalah kupu-kupu kecil yang selalu pulang balik dari tiang ketiang, dari satu kamar ke kamar, dari satu ruang ke ruang dalam rumah gadang, dari satu persoalan ke persoalan lain. Limpapeh tidak mungkin akan terbang sendiri di dalam sebuah “ruang” budayanya, dengan kata lain, limpapeh tidak akan dapat merombak tatanan yang ada atau struktur sebuah rumah gadang.

Begitu juga dengan pepetah lainnya seperti; amban puruak atau unduang-unduang ka sarugo. Ungkapan tersebut lebih menjelaskan pada fungsi dan peranan perempuan dalam konteks kebersamaan di dalam suatu perkauman dan di dalam keluarga batih. Jelasnya, seorang perempuan Minangkabau tidak akan terlepas dari kehidupan rumah gadang; artinya mereka tidak dapat ke luar atau di keluarkan dalam kehidupan perkauman; bamamak bakamanakan, baranak bainduak. Orang Minang sangat memahami bahwa yang namanya mamak pastilah kaum laki-laki. Yang ingin penulis tegaskan adalah, bahwa masalah jender dalam budaya Minangkabau sangat jauh berbeda pemahamannya dengan pengertian jender yang umum dikenal sekarang, atau dapat dikatakan, kosa kata maupun pengertian jender tidak dikenal sama sekali dalam terminologi adat dan budaya Minangkabau, walau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan menurut versi budaya itu sendiri sudah lama diterapkan dalam kehidupan sosial mereka tanpa digembar gemborkan pada pihak luar. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Minangkabau mempunyaimodus dan idiom tersendiri. Laki-laki dan perempuan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam suatu kerangka tatanan adat dan budayanya. Laki-laki dan perempuan merupakan satu paket yang satu sama lain saling mempunyai ketergantungan, saling lengkap melengkapi, saling dukung mendukung, terutama dalam konteks keluarga kaum maupun keluarga batih. Keberlangsungan suatu suku dan keturunan dari suatu kaum ditentukan oleh perempuan, sedangkan keberadaan kaum itu di tengah-tengah kaum-kaum yang lain ditentukan oleh laki-lakinya.

Pada sisi lain, jender sebagai sebuah istilah pada hakekatnya mempunyai makna lain yang terselubung, yaitu usaha atau perjuangan sekelompok perempuan untuk melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan guna membuat garis pemisah yang jelas antara kedua makhluk itu, sehingga satu sama lainnya akan saling mempertahankan eksistensi masing-masing. Dari pandangan agama usaha ini sangat bertentangan dengan kodrat yang telah ditentukan oleh Yang Maha Pencipta. Namun kaum feminist membungkus makna terselubung itu dengan redaksi yang manis; kesetaraan. Sebaliknya perempuan-perempuan lain yang tidak terpengaruh atau bergabung dalam kelompok pemikiran feminimisme itu tidak merasakan dan melihat adanya masalah yang besar di dalam kehidupan laki-laki dan perempuan. Perlakuan laki-laki terhadap perempuan yang dianggap tidak adil oleh kaum feminimisme itu, ternyata juga pada waktu yang bersamaan banyak pula perempuan yang tidak berlaku adil terhadap laki-laki. Oleh karena itu, perlakuan-perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dapat dianggap sebagai kasuskasus yang perlu dicermati, sebagai bagian dari kehidupan makhluk yang berpasangan, tetapi bukan sebagai suatu pembuktian dari suatu kebenaran untuk melegitimasi kebenaran pemikiran feminimisme.

Hakekat dari kesetaraan jender

Secara kronologis, perjuangan jender (bukan jender dalam terminologi budaya Minangkabau) bermula dari beberapa perempuan Barat yang putus asa dalam kehidupan sosial dan berkeluarga (umumnya mereka itu tidak pernah merasakan kelezetan sebuah perkawinan karena mereka menganggap perkawinan adalah hanya masalah hubungan seks semata, mereka yang tidak pernah merasakan kebahagiaan berumah tangga karena kehadiran anak bagi mereka dianggap sebagai makhluk parasit yang mengkuruskan perekonomian mereka, mereka yang masih terlalu dangkal merenungi hakekat hidup karena umumnya pejuang jender itu perempuan-perempuan muda, mereka yang punya kepercayaan kepada agama sangat goyah karena tidak punya latar belakang pendidikan keagamaan yang baik dan kuat, mereka yang tidak pernah pasrah dan rela menjalani kehidupan karena masalah kehidupan mereka batasi sebagai hubungan kepentingan dan ketergantungan dalam aspek sosio-ekonomi belaka, mereka yang tidak pernah mengakui nikmat Tuhan yang betapapun kecilnya adalah nikmat yang harus disyukuri, mereka yang tercerabut dari akar budayanya sendiri, dan banyak sebab lainnya) telah menyebarkan konsepsi kesetaraan (jender) yang, sebagaimana diakui banyak pejuangnya, konsepsi tersebut akhir-akhir ini sedang mengalami pasang surut pula. Para pengikutnya bahkan dikatakan sebagai perempuan-perempuan yang telah salah langkah.

Pada dekade yang lalu, memang masalah jender menjadi isu yang menarik melanda sebagian besar belahan dunia dan merembes sampai ke Indonesia, (terutama perempuan-perempuan muda yang ambisius, yang serba tanggung mau akan jadi apa; ilmuwan, politikus atau pedagang/bisnis. Namun setelah mereka mendapat jodoh yang sesuai dan kemudian kawin, diam-diam mereka berhenti sebagai pejuang jender itu), di mana perempuan harus berusaha dan berjuang untuk mendapatkan posisi, kedudukan dan peranan sebagaimana yang telah diperoleh laki-laki. Perempuan tidak harus menerima begitu saja “nasib” mereka yang secara mutlak ditentukan oleh kaum laki-laki. Perempuan harus memperjuangkan hak-hak persamaan itu pada setiap kesempatan dan kemungkinan yang ada.

Para feminist selalu melihat terjadinya perbenturan antara kepentingan perempuan dengan kepentingan laki-laki disebabkan oleh dominasi laki-laki yang begitu kuat. Ketidakpuasan kaum feminist terhadap dominasi laki-laki selalu mereka jadikan pendorong dan alasan yang kuat untuk merombak, merubah, bahkan kalau perlu menghancurkan konvensi-konvensi atau tatanan masyarakat yang ada. Konvensi-konvensi atau adat istiadat yang sudah berurat berakar di tengah suatu kaum, masyarakat atau budaya, mereka anggap sebagai kerangkeng atau penjara bagi perempuan. Agama mereka tuduh dengan lantang sebagai alat legitimasi perbudakan bagi kaum perempuan. Adat, budaya, kebiasaan dan tradisi mereka tuding sebagai penjara yang menyengsarakan beratus ribu kaum perempuan dari generasi ke generasi sejak zaman dulu, yang menyebabkan kaum perempuan menderita, teraniaya dan terjajah. Itulah sebabnya, mereka begitu mudahnya mengatakan bahwa Islam telah berlaku semena-mena terhadap perempuan, bahwa adat dan budaya di banyak kawasan di Timur telah sewenang-wenang terhadap perempuan, dan bahwa budaya Minangkabau tidak memberi peluang untuk perempuannya berperan lebih luas selain peranan domestik saja dan sebagainya dan sebagainya.

Perbedaan cara pandang

 Cara pandang dari konsepsi seperti ini tidak tepat diterapkan dalam membicarakan masalah kesetaraan dan keberadaan perempuan dalam budaya Minangkabau. Akan terjadi stagnasi pemikiran dan akhirnya akan sampai pada kebuntuan. Pembicaraan tentang sistem matrilineal Minangkabau – sebuah sistem kekerabatan yang sangat terkenal dan sekaligus menjadi ciri budaya Minangkabau di antara budaya lainnya di Indonesia - haruslah dilihat dengan cara pandang orang Minangkabau itu sendiri. Sangat tidak relevant kalau membicarakan sistem matrilineal Minangkabau dengan menggunakan cara berpikir yang bukan Minangkabau. Kita baru akan dapat memahami orang Jawa misalnya, apabila kita melihatnya dengan cara berpikir orang Jawa. Oleh karena itu, berfikir secara pemikiran kaum feminist dalam melihat kedudukan dan fungsi perempuan dalam adat dan budaya Minangkabau adalah suatu kecelakaan berpikir yang akhirnya semua asumsi atau result yang dihasilkan dapat diragukan kebenaran dan keobjektifitasannya.

Bagi pemikiran kaum feminimisme, boleh jadi sistem matrilineal itu adalah sebuah sangkar emas yang diciptakan kaum laki-laki Minangkabau untuk kaum perempuannya. Kaum feminist melihatnya dari segi keterkurungan, keterkungkunangan, ketergantungan menurut pengertian dan cara pandang feminimisme atau Barat. Sebagai perbandingan yang menarik dari suatu perbedaan cara pandang, mungkin kita perlu menganalisa kembali apa yang telah ditulis oleh seorang Belanda yang merubah namanya menjadi Multatuli di awal abad lalu. Untuk melihat dan mengetahui budaya Melayu (Sumatera, Sunda dan Jawa), Multatuli yang orang Belanda itu mencoba melepaskan pikiran ke-Belanda-annya. Setelah pemikiran keBelandaan itu dilepasnya, barulah dia dapat melihat bagaimana indahnya sebuah percintaan anak manusia yang bernama Saijah dan Adinda yang berlatar belakang budaya Sunda.

Betapa santunnya gadis-gadis Palembang di Sumatera dalam bertegur sapa. Sekiranya Multatuli tetap setia dengan pikiran “Belanda”nya, dia tidak mungkin dapat menemukan keindahan-keindahan demikian dalam kehidupan budaya lain. Begitu juga dengan seorang perempuan Belanda yang melepaskan “keBelandaan”nya dalam perjuangan pra-kemerdekaan di Bali, yang kita kenal kemudian dengan nama Balinya; Ktut Tantri. Namun, bagi mereka yang tetap mempertahankan pemikiran keBelandaannya seperti Snock Hougronye, walaupun dia telah pergi menunaikan haji ke Mekkah sekalipun, dia tetap melihat ajaran Islam sebagai ajaran yang membahayakan kekuasaan barat di timur.

Begitu pulalah agaknya dengan cara pandang kaum feminist. Bila mereka tak dapat melepaskan pemikiran feminimisme baratnya, mereka tidak akan dapat melihat kekuatan kedudukan dan peranan perempuan dalam budaya dan adat Minangkabau. Mereka tidak akan dapat melihat betapa sistem matrilineal yang masih terus hidup sampai sekarang merupakan benteng tangguh dari sistem pewarisan dan keturunan dalam masyarakat Minangkabau semenjak zaman dulu.

Bagi orang Minangkabau, peranan dan fungsi perempuan diformulasikan dalam bentuk sebuah sistem yang disebut sistem matrilineal. Suatu sistem yang secara keseluruhan tak mungkin terpisahkan dari tatanan adat dan budaya Minangkabau. Apabila cara pandang feminimisme itu dipaksakan untuk diterapkan dalam pembicaraan tentang kesetaraan jender dalam budaya Minangkabau, kita akan sampai pada pembicaraan yang tidak objektif terhadap kaum  perempuannya  maupun kaum lelakinya. Pembicaraan demikian akan menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi dan tidak produktif selain juga tidak dapat dikatakan ilmiah sama sekali. Bukankah, metodologi dalam prinsip dasar keilmuan adalah memberikan perlakuan yang sesuai menurut kodrat, kondisi dan situasi dari suatu objek yang akan diperlakukan. Ukuran kerasnya kulit biji enau, tidak dapat dijadikan ukuran untuk lunaknya sebuah kulit pisang, misalnya. Menikmati suatu karya seni, tak dapat dilakukan dengan pemikiran praktis seorang ekonom, dan seterusnya.

Jender dalam budaya Minangkabau

Dalam tatanan masyarakat dan ajaran adat Minangkabau, tidak pernah dicantumkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pembicaraan tentang peranan dan fungsi perempuan Minangkabau yang diformulasikan dan dituangkan dalam sistem matrilineal itu misalnya, tidak hanya sebatas hak dan kewajiban perempuan saja, tetapi juga menyangkut empat element terpenting dalam pranata dan institusi adatnya; ninik mamak, anak kemenakan, sumando dan kaum perempuan (bundo kanduang). Keberadaan perempuan semakin menjadi kukuh lagi setelah ajaran adat Minangkabau diakomodasi sepenuhnya oleh ajaran Islam, maka perempuan di dalam adat Minangkabau adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kaum laki-lakinya. Perempuan Minangkabau tetap berada dalam naungan ajaran Islam. Suami dan istri masing-masing mempunyai kewajiban sama; sama-sama menjadi pakaian untuk yang lain.

Hal yang sering dilansir kaum feminist terhadap kelemahan sistem matrilineal Minangkabau adalah pada masalah apa yang mereka sebut dengan lantangnya; ketersikasaan, kemiskinan dan peranan domestic yang dialami kaum perempuan. Mereka menganggap kemiskinan yang ada di dalam masyarakat Minangkabau sama dengan kemiskinan yang ada pada budaya lain, atau kemiskinan dalam pengertian umum. Di dalam adat Minangkabau, semiskin-miskinnya seseorang Minang, baik laki-laki maupun perempuan, kemiskinan tersebut bukanlah kemiskinan individual, tetapi kemiskinan suatu kaum. Semiskin-miskinnya suatu kaum, mereka masih tetap punya rumah gadang, pandam pekuburan dan sawah ladang. Hanya terjadi kemudian, kemiskinan yang mereka alami diakibatkan perlakuan yang salah terhadap harta pusaka yang mereka miliki. Standrad kemiskinan bagi perempuan Minangkabau tidak dapat diterapkan dengan ukuran kemiskinan menurut masyarakat lainnya. Begitu pula dengan ketersiksaan perempuan Minangkabau yang mereka katakan, bahwa perempuan Minangkabau terpaksa harus bekerja di sawah dan berjualan di pasar-pasar untuk menghidupi anak-anak yang ditinggalkan suami. Tanpa research dan studi lapangan yang akurat mereka telah menghakimi suatu kehidupan sosial budaya suatu masyarakat.

Jika akan menyelusuri masalah pemahaman jender dalam budaya Minangkabau, sebaiknya dilakukan studi lanjutan terhadap masalah ketersiksaan dan kemiskinan tersebut. Studi lanjutan mengenai hal ini akan sampai pada studi berikutnya, yaitu pada esensi dan hakekat merantau. Pada hakekatnya institusi merantau merupakan ventilasi bagi orang Minangkabau untuk lepas dari pengapnya udara di dalam ruang yang bernama ketersiksaan dan kemiskinan menurut ukuran mereka. Oleh karena itu, kedudukan rantau dalam pembicaraan tentang peranan dan posisi perempuan Minangkabau merupakan suatu kesatuan yang khusus dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang pergi merantau tidak dapat disebut sebagai penyebab sengsaranya perempuan yang ditinggalkan, karena baik laki-laki yang pergi merantau maupun perempuan yang tinggal di rumah sama-sama merelakan diri untuk itu. Atau sebaliknya, menganggap institusi merantau untuk “membuang” laki-laki yang tak berguna di kampung. Mereka, laki-laki perempuan, suami istri, mamak kemenakan, sama-sama berjuang untuk kesempurnaan hidupnya. Yang membedakan antara mereka yang di rantau dan di kampung adalah tempatnya saja, rantau dan negeri sendiri. Sesuatu yang dikerjakan dengan rela antara kedua belah pihak dan dibenarkan pula oleh ajaran atau sistem kemasyarakatannya, tidak dapat dikatakan sebagai suatu penyiksaan.

Sistem matrilineal dalam konstelasi adat

 Pembicaraan tentang sistem matrilineal secara langsung menyangkut pembicaraan akan kesetaraan dan posisi serta peranan perempuan Minangkabau. Akan tetapi pembicaraan seperti itu tidak semestinya tertumpu pada masalah perempuannya saja, harus juga melibatkan pembicaraan tentang tiga elemen lainnya; ninik mamak, anak kemenakan dan sumando. Itu berarti, bahwa pembicaraan tentang keseteraan perempuan Minangkabau tidak dapat jalan sendiri tanpa membicarakan element-element lainnya.

Terlebih dahulu sebaiknya dilihat kedudukan, posisi, dan keberadaan perempuan-perempuan yang bermain atau berperan di dalam sistem tersebut. Dalam konteks ini, perempuan yang bermain di dalam sistem matrilineal itu dapat dikelompokkan sebagai berikut;

Pertama, perempuan yang concern dan tetap setia terhadap suku dan kaumnya. Mereka merupakan anggota kaum. Mereka lekat sebagai anggota kaum seperti juga laki-laki di dalam kaum itu. Mereka tak dapat dipisahkan dari kaumnya, tak dapat ditanggalkan hak-hak dan kewajibannya (walau mereka pergi merantau sekalipun). Menanggalkan hak-hak seorang anggota kaum, berarti sama dengan mengeluarkan mereka dari kaumnya, suatu hal muskil terjadi dalam tatanan adat. Yang membedakan antara laki-laki dan perempuan hanyalah pada hak pewarisan gelar pusaka yang memang harus disandang oleh laki-laki.

Kedua, perempuan ikut serta dalam perkongsian sebagaimana di dalam suatu perusahaan; perempuan sebagai owner (pemilik) dan laki-laki sebagai manager (pengatur). Sebagai contoh; secara individual, perempuan di dalam suatu kaum tidak dapat disebut miskin, karena jika miskin, yang miskin itu adalah kaum, bukan individu. Itu berarti, pemilik dan pengatur mempunyai risiko yang sama bila pengurusan harta pusaka kaum) untuk melepaskan diri sendiri dari kemiskinan, tetapi usaha yang mereka lakukan adalah untuk melepaskan kemiskinan keluarga bersama suaminya. Dalam konteks ini, maka sangat salah sekali, bila dikatakan, bahwa perempuan bekerja untuk dirinya sendiri. Begitu juga dengan masalah ketergantungan. Kita tidak dapat menghakimi mereka dengan mengatakan bahwa mereka tergantung pada suami atau mereka sedang berusaha mengalahkan suami bila mereka juga ikut bekerja. Mereka berusaha untuk setara dalam memikul tanggung jawab keluarganya.

Ketiga, perempuan yang terlepas dari kaum dan keluarga. Oleh karena berbagai sebab dan alasan, banyak perempuan Minangkabau yang berusaha melepaskan diri dari hubungan mereka dengan kaum atau keluarga. Mereka berdiri sendiri. Dalam konteks sosial budaya, mereka dapat dikatakan sebagai perempuan yang sudah tercerabut dari akar budayanya. Maka, jika perempuan jenis ketiga ini berada dalam situasi kemiskinan, maka benar, bahwa dia miskin sebagaimana ukuran kemiskinan yang umum diterapkan. Umumnya, perempuan dalam kelompok ketiga ini adalah mereka-mereka yang tampak dinamis, tokoh dan pejuang jender, dapat merangkul berbagai posisi menentukan dalam masyarakat dan pemerintahan. Umumnya kaum feminist yang berasal dari Minangkabau adalah mereka yang berada pada kelompok ketiga ini.

Dari pengelompokan ini, kita akan mudah mengetahui bagaimana keberadaan, peranan dan fungsi tokoh-tokoh perempuan Minangkabau yang telah berkiprah selama ini sebagai tokoh tokoh perempuan produk dari kesetaraan menurut idiom budaya Minangkabau. Bagi perempuan kelompok pertama, kedudukan dan posisi mereka sudah jelas. Mereka punya kaum dan keluarga. Mereka jelas Minangnya; basuku, barumah gadang, basawah ladang, bapandam pakuburan dstnya. Karier utama mereka benar-benar untuk kepentingan kaum dan keluarganya. Karenanya, dalam idiom silaturrahmi dengan kaumnya dikatakan; padi manjadi, jaguang maupiah, mamak pulang dari rantau. Itu berarti, bahwa perempuan pada kelompok ini menjadi terjamin dan eksis bagi kaumnya. Keberadaannya diakui oleh publik yang jelas, yaitu kaum Perempuan pada kelompok kedua, ukuran keMinangannya dapat saja tidak lengkap. Mungkin perempuan itu sumando yang berasal dari budaya lain, tetapi telah melakukan asimilasi atau akulturasi dengan budaya pasangannya yang Minang. Mereka (baik laki-laki, apalagi perempuan) berusaha untuk menjadi Minang bersama perempuan Minang lainnya. Pada kasus-kasus tertentu, justru mereka lebih berperan jelas dalam kehidupan tatanan bermasyarakat. Mereka bisa jadi lebih Minang daripada orang Minang sendiri. Sedangkan bagi perempuan yang orang Minang itu sendiri, mereka akan berperan ganda; sebagai perempuan di dalam kaum, dan sebagai ibu di rumah tangganya dalam keluarga batih. Jika perempuan Minang dalam kelompok ini dibawa merantau oleh suaminya, dia akan berperan sama dengan suaminya, sama-sama bekerja dan membanting tulang untuk keutuhan kehidupan keluarga mereka. Maka dalam hal ini, kita tidak dapat melihat perempuan tersebut disengsarakan oleh laki-laki. Apa yang ditulis Hamka dalam novel Merantau Ke Deli misalnya harus dilihat dalam konteks kebersamaan seperti ini, tidak dalam konteks dominasi lakilaki terhadap perempuan. Hamka menulis sastra, mempunyai ibarat, amsal dan tujuan. Sebagai sebuah gendre sastra, novel tidak mutlak dapat dianggap sebagai catatan atau realita sosial budaya. Perempuan Minangkabau pada kelompok ketiga, memang secara umum tampak sebagai burung merak, gagah, berbinar-binar dan menyandang berbagai perhiasan kekuasaan dan sebagainya. Tetapi dalam pengalaman empirik yang ditemukan selama ini, perempuan kelompok ini sudah “terasing” dari budaya Minang itu sendiri. Mereka sudah sangat maju, sehingga menganggap apa yang ada di Minangkabau sudah seharusnya diganti, tak sesuai lagi dengan kebebasan yang diinginkan perempuan. Orientasi budaya mereka, sudah berada pada posisi yang ekstrim; menganggap yang datang dari luar sajalah yang baik, sedang yang ada di dalam budayanya sendiri dianggap sudah kolot dan kadaluwarsa. Kaum feminisme dari Minangkabau, umumnya berada pada kelompok ketiga ini. Itulah sebabnya, jika mereka bicara tentang kesetaraan jender, mereka selalu tidak puas, menganggap laki-lakilah yang menjadi “biang” dari kesengsaraan perempuan. Kungkungan yang sangat kuat yang membuat perempuan sengsara adalah sistem matrilineal. Oleh karena itu, mereka ingin membuang sistem matrilineal dan menggantikannya dengan sistem lain, yang jika mereka jujur, juga tidak dapat menjelaskan sistem pengganti itu seperti apa dan rujukannya apa.

Mereka tidak pernah mengajukan penyelidikan yang serius; apakah benar perempuan-perempuan pada kelompok pertama dan kedua itu merasa terpenjara, merasa dimiskinkan, merasa dikungkung dan terkungkung oleh sistem matrilineal atau oleh kaum laki-laki? Statement-statement para perempuan kelompok ketiga ini tentang kesetaraan; terutama tentang kemiskinan, keterkungkungan perempuan Minang yang kini berada pada posisi yang rawan, yang perlu ditolong dan diperjuangkan, mengharuskan adanya pihak lain yang lebih netral dan berwibawa untuk mempertanyakan dan menguji apakah statement-statement tersebut mempunyai nilai kebenaran atau tidak, baik secara empirik maupun secara akademik.

Oleh karena itu, pembicaraan tentang jender dan kesetaraan antara perempuan Minangkabau dengan kaum laki-lakinya terutama dalam tatanan sosial budaya, sebaiknya harus dibedakan lebih dulu; perempuan yang manakah yang berada dalam rangkuman atau topik pembicaraan kita. Apakah perempuan dalam kelompok pertama, kedua atau ketiga. Hal ini perlu dipertegas karena masing-masing kelompok perempuan mempunyai posisi dan pandangan yang berbeda-beda terhadap peranannya, posisinya, hak dan kewajibannya. Begitu juga ketika mereka meletakkan ukuran kemiskinan, kemajuan, kebebasan atau kebahagiaan yang berbeda-beda pula.

Dengan pengelompokan ini pula, kita akan mudah mengetahui latar belakang agama, pendidikan, peranan, hak dan kewajiban seorang perempuan dalam konteks sistem matrilineal dan segi-segi lain. Terutama dalam berbagai aspek kehidupan dan perjuangan tokoh-tokoh Minangkabau yang kita selalu agungkan selama ini seperti; Siti Manggopoh, Tuan Gadih Reno Sumpu, Zubaidah Ratna Djuita, Rohana Kudus, Rahmah el-Yunusiah, Huriyah Adam, dan banyak lagi. Penulisan sejarah yang kita kenal selama ini terhadap tokoh-tokoh itu seakan “terlepas” dari sistem sosial dan sistem budaya dari mana tokoh-tokoh itu berasal, hidup dan dibesarkan. Sejarah sepertinya telah “membuang” tokoh-tokoh itu dari persada bumi kelahirannya. Seakan tokoh-tokoh itu bukan orang Minang dalam pengertian yang sebenarnya, tetapi orang yang kebetulan dilahirkan di Minangkabau.

Kita tak tahu misalnya, Rohana Kudus itu sukunya apa, siapa gelar penghulunya, di mana rumah gadangnya, anak kemenakannya dan sebagainya. Namun bila kita mau menelusuri lebih jauh, Siti Manggopoh misalnya, dia tak akan menjadi besar, jika tidak berlaku kesetaraan antara dia dengan suaminya. Tuan Gadih Reno Sumpu takkan akan berarti tanpa adanya kesetaraan yang dilatarbelakangi oleh sistem dan perangkat adat serta perkaumannya.

Diniyah Putri yang didirikan Rahmah el-Yunusiah takkan menjadi kebanggaan kita sampai hari ini tanpa adanya kesetaraan antara dia dengan saudara laki-lakinya, Huriyah Adam tak kan harum namanya tanpa diperlakukan setara dengan suami dan saudara-saudaranya. Tak satupun tokoh perempuan muncul tanpa adanya kesetaraan dengan laki-laki yang berada disekitarnya, apakah itu suami, saudara, mamak dan masyarakat kaum dan lingkungannya.

Sejarah juga telah membuktikan, bahwa pemisahanpemisahan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tidak akan dapat menghasilkan apa-apa. Seorang perempuan dapat menjadi seperti Jean d’Arc gadis Prancis yang terkenal dalam membangkitkan semangat juang pasukan Prancis yang sedang loyo dalam medan perang melawan Inggeris itu. Mereka pun sanggup menjadi Lysistrata tokoh perempuan yang mengorganisir semua perempuan Yunani mogok ranjang guna menghentikan perang yang tak berkesudahan antara Sparta dan Athena. Akan tetapi perempuan yang hanya berjuang untuk perempuan itu sendiri tak akan menjadikan mereka apa-apa. Para pejuang jender hendaknya menyadari, bahwa mereka tak akan mampu mengibarkan bendera apapun, selain sebagai tanda bahwa pada suatu zaman pernah perempuan menderita akibat dari kerancuan berpikir dan kekeliruan dalam berasumsi.

Akhir kata, pembicaraan tentang jender dalam budaya Minangkabau haruslah dimulai berdasarkan pada cara pandang yang jelas, konsepsi-konsepsi pemikiran yang relevant, persepsi yang wajar terhadap suatu budaya yang dianut suatu masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar