Rabu, 16 September 2015

Suku Minangkabau Keturunan dari Bangsa Yahudi

1. Sejarah Minangkabau Menurut Tambo.

Asal-usul Minangkabau menurut Tambo Alam Minangkabau bermula dari tiga anak Raja Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung) dari Makadunia (Macedonia) yaitu Maharajo Alif, Maharajo Depang dan Maharajo Dirajo berlayar bersama, dan saat dalam perjalanan mereka bertengkar sehingga mahkota kerajaan jatuh ke dalam laut. Maharajo Dirajo yang membawa Cati Bilang Pandai –seorang pandai emas- berhasil membuat satu serupa dengan mahkota yang hilang itu. Mahkota itu lalu ia serahkan kepada abang-abangnya, tetapi mereka mengembalikannya kepada Maharajo Dirajo karena ia dianggap yang paling berhak menerima, karena telah berhasil menemukannya.

Mereka adik beradik lalu berpisah. Maharajo Alif meneruskan perjalanan ke Barat dan menjadi Raja di Bizantium, sedang Maharajo Depang ke Timur lalu menjadi menjadi Raja di China dan Jepang (Jepun), manakala Maharajo Dirajo ke Selatan sedang perahunya terkandas di puncak Gunung Merapi saat Banjir Nabi Nuh melanda. Begitu banjir surut, dari puncak gunung Merapi yang diyakini sebagai asal alam Minangkabau turunlah rombongan Maharajo Dirajo dan berkampung disekitarnya.

Awalnya terlihatlah puncak gunung Merapi tersebut sebesar telur itik. Lama kelamaan karena air surut, barulah terlihat sebagian besar gunung tersebut. Hingga muncullah filosofi “Dari mano asal nyo palito, dari telong dan ba tali. Dari mano asal niniak kito, dari puncak gunuang Marapi” (Dari mana asalnya pelita, dari telong yang bertali. Dari mana asal nenek moyang kita, dari puncak gunung Merapi.

2. Sejarah Minangkabau Versi Terbaru.

Hampir semua orang Minang percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari dataran tinggi di Sumatera yang dipimpin oleh Raja Alexander Agung atau Izkandar Zulkarnain. Menurut Sejarah Kristen, raja tersebut hidup dari zaman 356 SM sampai 323 SM. Dia juga dikenal sebagai Raja Alexander III dari Macedonia, seorang pemimpin militer yang paling berhasil sepanjang zaman dan dianggap tidak bisa dikalahkan dalam setiap pertempuran. Di zamannya, dia sudah menguasai kebanyakan daerah yang sudah dikenal.

Ayahnya adalah Philip II yang menyatukan kebanyakan kota2 di dataran utama Yunani dalam kepemerintahan Macedonian dalam sebuah Negara federasi yang disebut Persatuan Corinth (League of Corinth). Raja Alexander menguasai daerah2 termasuk Anatolia, Syria, Phoenicia, Judea ,Gaza, Mesir, Bactria, Mesopotamia (Irak), dan dia memperluas batas2 imperiumnya sejauh Punjab India.

Menurut AlQuran, Zulkarnain juga sempat mengunjungi China dan membantu membangun Tembok Besar China. Alexander menyatukan banyak suku2 asing ke dalam kesatuan tentaranya, yang akhirnya membuat para cendikiawan menganggap dia sebagai seorang Bapak Penyatuan. Dia juga mendorong pernikahan antara tentaranya dengan suku2 asing tersebut, dan dia sendiri juga menikahi 2 putri dari suku2 asing tersebut.

Daerah paling terpopular yang pernah ia kuasai adalah Alexandria (Mesir) atau dalam bahasa arab Iskandariyah, dinamai sesuai namanya. Al Quran menyebutkan Raja Alexander dalam beberapa ayat antara lain Al Kahfi 83-89. Diantara tentaranya, ada beberapa suku Yahudi yang ikut yang dikenal sebagai B’nai Jacob (Anak dari Nabi Yakub).

Hari ini, para keturunannya menyebut dirinya sebagai orang Minangkabau, yang didapat dari kata2 generasi mereka sebelumnya “Bainang Ka Yakubu” atau aslinya B’nai Yakub (sesuai lidah generasi pertama). Selama kunjungan Alexander ke Asia Timur, pernikahan besar2an antara tentara Alexander dan suku asli Asia timur terjadi sesuai perintah Alexander, karena China adalah tempat yang sangat damai untuk beristirahat, dan tentu saja karena raja tidak membawa wanita di dalam tim tentaranya.

Dan hasilnya, pria dari suku Yahudi B’nai Yakub menikah dengan wanita2 dari suku di China dan membawa kebudayaan dari masing2 adat. Dari Cina, Raja melanjutkan berlayar ke Laut Cina Selatan dan memutari Selat Malaka menuju pantai barat Pulau Sumatera.

Beberapa keluarga percampuran Yahudi-China tersebut memutuskan untuk menetap, yang lain mengambil rute lain ke India dari jalur Nepal. Ketika mereka sampai diantara pulau Siberut dan dataran utama Sumatera mereka dapat Melihat puncak Gunung Merapi.

Merapi adalah sebutan sekarang, kata ini diturunkan dari kata “Marave”, bahasa Aram yang berarti “tempat yang paling tinggi” (ada lagu daerah yang terkenal yang diambil dari cerita kuno yang mengatakan “Sajak Gunuang Marapi sagadang talua itiak.” Yang berarti “sejak Gunung Merapi sebesar telur itik). Bahasa Aram adalah bahasa Ibu dari Bahasa Arab dan Ibrani. Bahasa ini dipercaya sebagai bahasa yang dipakai Nabi Ibrahim A.S dan dan tidak diragukan lagi begitu juga dipakai Raja Alexander juga.

Di dekat Gunung Merapi, Raja menemukan tempat yang sesuai untuk mengakhiri perjalanan. Dia meminta tentaranya yang menikah untuk memulai membuat tempat yang lebih permanent.

Dalam istilah kuno orang Minang, Kata yang berarti memulai untuk membuat tempat perlindungan adalah “taruko” yang ternyata berakar dari bahasa Aram “tarukh” atau “tarack” dan bahasa Ibrani.

Alexander kemudian wafat disana dengan damai dan dikuburkan di pemakaman mewah bernama Pariangan (Taman Pharaoh).

Saat ini, pengunjung dapat dengan mudah menemukan kuburan sepanjang 7 meter disana dan itu diyakini sebagai tempat peristirahatan.

Salah satu istri Alexander Boendo Kendon (bahasa Aram yang berarti isteri yang tercinta) melahirnkan seorang anak satun2nya yang bernama Than Kendon (bahasa Aram yang berarti Anak tercinta) atau sekarang lebih dikenal sebagai Dang Tuanku.

Sebelum wafat, Alexander mewariskan satu set peraturan yang disebut Tamvo Alam (bahasa Aram yang berarti Kitab Pengakuan) yang menjelaskan adat-adat untuk rakyatnya. Hari ini, orang Minang masih bersandar kepada buku petunjuk tersebut untuk memecahkan masalah dan kompleksitas yang terjadi di komunitas mereka.

Kitab yang sekarang disebut “Tambo” menyebutkan aturan2 tertentu yang sangat tegas. Mengenai matrilinear yang juga sangat umum dipakai oleh bangsa yahudi sekarang. Aturan Matrilinear sekarang disebut sebagai Ad Tho’t, Bahasa aram untuk “kepatuhan” atau Adat. Adat mengatur bahwa seluruh barang termasuk harta warisan tidak terbatas hanya tanah saja, rumah dan sawah hanya boleh diberikan kepada wanita saja.

Islam datang ke dataran Minangkabau kira-kira pada abad ke 13 dang mendapatkan tentangan keras dari Kaum Adat. Ketika Ajaran wahabi datang, pada abad ke 18, sebuah kompromi terjadi antara agama dan adat Minangkabau yang kemudian dikenal sebagai “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah’ (adat bersendi Syariat Islam, Syariat Islam bersendi Al Quran).

Sistem Matrilinear masih menyisakan jejak2nya sampai Sekarang. Bahkan Sheikh Minangkabauwi, seorang ulama kelahiran Sumatera Barat memutuskan untuk menetap dan menjadi imam di Masjidil Haram di Mekkah ketimbang kembali ke kampong halamannya untuk menunjukkan ketidaksukaanya terhadap sistem yang dia sebut kafir.

Untuk menjaga dan menyakinkan Adat benar-benar menjadi pola-pola perilaku Kaumnya, raja Alexander menunjuk penasehatnya yang bernama Rafael (Perpatih) dari suku B’nai Yakub dan Tun Gong (Tumenggung) dari suku China.

Rafael memimpin dan menjaga kepentingan keluarga Carta (Koto) dan Phillip (Piliang) sedangkan Tun Gong memimpin keluarga Bong Ti (Bodi) dan Chan Yah Goh (Chaniago).

Setelah itu, semua keturunan Perpatih dan Tumenggung dianugrahi gelar “Datuk” yang berasal dari nama “Dan Tuanku” yang meninggal di usianya yang cukup muda.

Dilihat dari kesamaan dengan atribut bangsa Yahudi seperti aturan warisan berdasarkan matrilinear dan karakternya yang berbeda dengan rata-rata orang Indonesia kebanyakan, Seorang dari suku Minang tidak jarang diprediksikan sebagai “Bangsa Yahudi Indonesia”.

Tapi sayang, kerabatnya di Israel mungkin tidak terlalu senang mendapat berita ini, karena fakta menyebutkan bahwa semua orang Minang adalah umat Muslim.

3. Bukti Yang Menunjukkan Kemiripan Yahudi Dengan Orang Minang.

a. Terkenal dengan jiwa berdagang.

Kita semua tahu, bahwa saat ini Yahudi secara tidak langsung telah menguasai perekonomian dunia. Lihat saja produknya seperti Coca-Cola, Pepsi, Unilever, KFC, dan sebagainya. Itu semua milik mereka. Jika kita lihat pada masyarakat minang, dapat ditemukan sedikit persamaan. Secara tidak langsung suku minang juga telah menguasai negeri. Buktinya saja warung makan padang dapat ditemui di berbagai penjuru negeri ini. Bahkan mungkin di bulan ada penghidupan, warung padangpun juga akan berdiri disana.

Dan dari sinilah dapat kita ambil kesimpulan bahwa yahudi dan suku minang sama-sama telah “menjajah secara diam-diam”.

b. Tidak betah dirumah.

Tidak betah dirumah ini diartikan sebagai tabiat yang sering merantau. Seperti yang kita tahu, kebanyakan dari orang minang adalah perantau. Tujuannya tidak buruk, hanya sekedar untuk merubah nasib. Karena itulah kita dapat menemukan orang minang di berbagai pelosok negeri ini. sama halnya dengan yahudi yang juga dapat ditemui diberbagai penjuru negeru dunia. Hanya 1/3 bangsa yahudi yang bertempat tinggal di israel, selebihnya menyebar.

c. Sistem keturunan.

Sistem keturunan berdasarkan keturunan ibu (matrilineal) sangatlah sedikit di dunia ini. Berdasarkan data yang ada, hanya Minangkabau dan Yahudi pemeluknya. Mengapa demikian.? Ada sumber mengatakan bahwa suku minang awalnya menganut paham patrilinial. Namun karena terjadi suatu serangan, lalu rajanya saat itu merubah sistem kekerabatan yang ada di minangkau menjadi matrilinial.

Jika ditanya dari mana asalnya, pasti orang minang menjawabnya “Tambo”. Karena itu adalah buku pedoman masyarakatnya menjalani hidup dan kehidupan. Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa tambo adalah kitab yang diwariskan oleh raja Alexander.

d. Gaya diplomatik dan pemikir.

Orang minang terkenal dengan diplomatiknya dan pemikir. Sebut saja M. Hatta, H.agus Salim, Sutan Syahrir, Tan Malaka, dan masih banyak lainnya. Hampir sama dengan yahudi, diplomatik mereka sungguh sangat hebat.

Bagaimana mungkin Israel sebagai negara kecil yang baru berdiri pada tahun 1948 bisa menguasai Inggris dan amerika jika bukan karena diplomatik dan pemikiran mereka sungguh yang handal.

Inilah beberapa tanda yang menunjukkan persamaan antara Orang Minang dengan Yahudi. Dari sini mungkin kita bisa percaya bahwa mereka adalah adalah berasal dari keturunan yang sama.


SUMBER DARI ARTIKEL TERKAIT

Berikut artikel original dalam bahasa Inggris : B'nai Jacob (Minangkabau), The lost Jews Tribe from West Sumatera. Artikel yang sampai sekarang di source menggunakan nama samara "SayHeart Bougart" (Artikel ini terjemahan dari artikel original berbahasa Inggris dan sudah dipublikasikan sejak tahun 2000.

Almost all Minangkabauans believe that their ancestors came to the highland of Sumatra along with the forces of King Alexander the Great (Izkandar Zulkarnain).

According to Christian historians, the prophet king lived from 356 BC – 323 BC.

He was also known as Alexander III of Macedon, one of the most successful military commanders of all time and is presumed undefeated in battle. By his time, he had conquered most of the known world.

His father was Philip II who unified most of city states of mainland Greece under Macedonian hegemony in a federation called the League of Corinth.

King Alexander's conquests included Anatolia, Syria, Phoenicia, Judea, Gaza, Egypt, Bactria and Mesopotamia, and he extended the boundaries of his own empire as far as Punjab India.

And according to Quran, Zulkarnain also visited China and help built the Great Wall.

Alexander integrated many foreigners into his army, leading some scholars to credit him with a "policy of fusion". He also encouraged marriages between his soldiers and foreigners, and he himself went on to marry two foreign princesses.

The most popular territory he conquered was Alexandria (Egypt) or in Arabic `Iskandariyah' –named after him.

Quran mentions King Alexander in several verses particularly in Al Kahfi:83-89.

Among the army, there followed those from Jewish families known as B'nai Jacob (Children of Jacob).

Today they are called Minangkabau, coming from the words of later generation `Bainang Ka Yakubu' or genuinely B'nai Jacob (first generation tongue).

During his visit to East Asia, massive marriages were made to follow the King's orders because China was quite a peacefull place to rest-simply because the King did not bring women in the army.

As the result of such an encounter, men from B'nai Jacob were married to Chinese women and brought cultures from both
civilization.

From China, the King continued to sail along the South China Sea and turned around Malacca Straits following the western coast of Sumatra.

Some families decided to stay, others picked other routes to subcontinent of India from Nepal paveway, the only shortcut existed during the period). When they reached between Siberut Island and the mainland of Sumatra, they could see the peak of Mount Merapi.

If you take a speedboat from the Padang fish port called Muara and go to Siberut Islamd, about 2 hours from leaving the mainland with clear weather you can see Mount Merapi afar. It looked mystical to me when I was there. It took 4 hours to boat from Padang to Siberut).

Merapi is today tongue. It derives from `Marave,' an Aramaic for `the highest place.' (There is a famous lullaby taken from ancient stories saying, "Sajak Gunuang Marapi sagadang talua itiak.' It means, "Since the Mount of Merapi still as big as avian egg").

It is also believed as the language that Prophet Abraham used and undoubtedly King Alexander as well.

Near the Mount of Merapi, the King found a perfect domain to end the journey. He ordered his married army to start a more permanent settlement.

In old language of Minangkabau, the word that means to start a settlement is `taruko' that roots from Aramaic, `tarukh' or `tarack' in Hebrew tongue.

He died there peacefully and buried in a luxury cemetery called Pariangan (Pharaoh's Garden). Today visitors today can easily find a (about) 7-meter long grave there that is believed to be the king's eternal restplace (I ever visited the place but not precisely had any chance to measure it).

His wife Boendo Kendon (Aramaic for `beloved wife') or Bundo Kanduang (today tongue) gave an only child named Than Kendon (Aramaic for `beloved son') or popularly known as Dang Tuanku. Before his death, King Alexander decreed a set of rules called Tamvo Alam (Aramaic for `book of acknowledgement') that defines customs for his people.

Today Minangkabauan still refers to the guidance book to solve problems and complexities occurred in their communities. For instance, a son may still insist that heritage divided upon Sharia while others maintain `Pusako' – the matrilinear legacy chapters from Aramaic `Saccard' that means sacred or holy treasures.

In the book (today called `Tambo') mentions certain strict rules about matrilinear (motherline) that was also commonly applied in Jewish communities today.

The matrilinear rules were at the time called Ad Tho't, Aramaic for `the obedience' or Adat.

The Adat rules out that all properties and legacies including but not limited in land, houses, ricepaddy should only go to women.

Islam came to the highland about 13th century facing resistance from Keepers of Adat. When Wahabis came, in 18th century, a compromise was made and famously known as Adat Basandi Syara' and Syara' Basandi Kitabullah (Adatfoll ows Sharia and Sharia should follow Al Quran). Matrilinear system remains until today. Even Sheikh Minangkabauwi, an ulema born in West Sumatra decided to stay and became `imam' of the Mosque of Haram in Mecca instead of coming back home to show his despair of such a system that he called `kafir' or `infidels'.

To preserve and ensure that Adat was fully complied with behavioral patterns of the people, King Alexander therefore appointed his confidantes namely Raphael (Perpatih) representing the the clan of B'nai Jacob and Tun Gong (Tumenggung) representing Chinese tribes of their wives.

Raphael represented, ruled and protected interests of Carta (Koto) and Phillip (Piliang) families while Tun Gong acted similarly for Bong Ti (Bodi) and Chan Yan Goh (Chaniago) families.

Later, all descendants of Perpatih and Tumenggung were crowned with noble titles `Datuk' coming from the name of `Dan Tuanku' who died in his early youth.

Regarding their similiarities with Jewish attributes such as motherline system of legacy and distinguished characters compared to average Indonesia, a Minangkabauan is today not rarely predicated as the "Jewish Indonesian".


1 komentar:

  1. Hmm, ambo urang minang, yg ambo tau dari sejarah islam raja zulkarnain adolah taat kpd allah, banyak yg beranggapan bahwa alexander bakanlah zulkarnaen, "sama tapi beda masa". Tapi tentang orang minang keturunan siapa ambo angkat tangan. Kalau benar dari yahudi apa salah? Yang no satu itu iman bukan keturunan, umat yahudikan umat nabi musa yang disempurnakan nabi Muhammad SAW dengan kitab Al Quran. Jadi orang Minang tentunya lebih CERDAS dari orang yahudi itu sendiri, bahwasanya ajaran yang dibawa Nabi SAW adalah yang paling benar. Orang minang bukan orang yahudi, mungkin keturunan yahudi (dari arab) ya gk masalah yang penting iman. Sekarang ambo tanyo: ANDA KETURUNAN SIAPA?

    BalasHapus