Senin, 21 September 2015

Soekarno Dan Marxisme

Sejak muda Bung Karno sudah jadi pengagum Marxisme. Dalam usia dua puluh lima tahun, dengan tujuan mempersatukan kekuatan bangsa melawan kolonialisme, Bung Karno sudah mengemukakan arti penting Marxisme dan menilai pentingnya kekuatan kaum Marxis di Indonesia. Dalam karyanya, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, yang diterbitkan tahun 1926, Bung Karno menulis:

Partai Boedi Oetomo, ‘marhum’ Nationaal Indische Partij yang kini masih ‘hidup’, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain ... itu masing-masing mempunyai rokh Nasionalisme, rokh Islamisme, atau rokh Marxisme adanya. Dapatkah roch-roch ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Rokh yang Besar, Roch Persatuan? Rokh Persatuan yang akan membawa kita ke-lapang ke-Besaran?[1]

Bung Karno dengan tegas menjawab bahwa ketiga aliran itu dapat bersatu. Terhadap kaum nasionalis Bung Karno menyatakan:
Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.[2]

Terhadap kalangan Islam Bung Karno menulis:
Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri diatas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tahadi ! Kita sama sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada Materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya nasionalis pula! [3]

Kekagumannya terhadap ajaran-ajaran Marx dituangkannya dalam kalimat berikut ini:
Kaum buruh dari semua negeri, kumpullah menjadi satu!. Riwayat dunia belumlah pernah menceriterakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinan satu golongan pergaulan hidup, sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, jutaan ... begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya ada sangat sukar dan berat untuk kaum yang pandai dan terang-fikiran, tetapi amatlah ia gampang dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat yang berkeluh kesah itu.... Berlainan dengan Ferdinand Lassale yang teriaknya itu ada suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, yalah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum ‘bursuasi’, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya.... Jasanya ahli-fikir ini yalah: -- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek); -- ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya ‘kerja’ untuk membikin barang-barang itu, sehingga ‘kerja’ ini yalah ‘wert-bildende Substanz’, dari barang-barang itu (arbeids-waarde-leer); -- ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); -- ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa ‘bukan budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubungan dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya’ (materialistische geschiedenisopvatting); -- ia mengadakan teori, bahwa oleh karena ‘meerwaarde’ itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaals-concentratie); -- dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam-hati yang makin lama makin sangat (Verelendungstheorie)... [4]

Bung Karno memperingatkan bahwa:
kaum Marxis harus ingat bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya yalah modal asing , dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-‘bawah’ terhadap pada rakyat yang di-‘atas’-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machtspolitiek dari rakyat sendiri . ... Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usaha kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya. Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh).[5]

Memperhatikan perkembangan teori Marxisme, Bung Karno menulis:
adapun teori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnyalah begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman berobah; teori-teorinya harus diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham atau perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup.[6]

Sejak awal Bung Karno sudah bersikap memihak Marxisme. Dalam membela kaum Marxis dari serangan kaum agama, Bung Karno menyatakan, agar bisa memahami Marxisme kita harus membedakan Historis-Materialisme dan materialisme-filsafat. Historis-Materialisme—materialisme historis—adalah penerapan materialisme dialektik dalam ilmu sosial—penerapan filsafat materialisme dalam ilmu sosial; dalam memandang perkembangan sejarah.

Bung Karno menulis:
Kita harus membedakan Historis- Materialisme itu dari pada Wijsgerig– Materialisme, kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada maksudnya Wijsgerig-Materialisme tahadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimana fikiran itu terjadi, Sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan ada (wezen) fikiran itu; historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya fikiran itu berobah; wijsgerig-materialisme mencari asal nya fikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah historis. Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu yalah kaum yang mempelajarkan, bahwa fikiran itu hanyalah suatu pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi [7].

Menghadapi Ir. Baars yang membelot dari Marxisme, Bung Karno dengan tangguh membela Marxisme. Baars menyatakan, bahwa ia kini oleh pengalaman-pengalamannya di negeri Russia, sudah ‘bertobat’ dari faham, yang bertahun-tahun menyerapi budi-akalnya: komunisme. Berkali-kali Baars dalam tulisannya memperingatkan, janganlah mendekati komunisme itu; berkali-kali ia mengatakan, bahwa apa yang ia alami di Russia itu hanyalah kekalutan dan kesengsaraan sahaja. Bung Karno tidak percaya terhadp tulisan Baars itu. Bung Karno menilai Baars sebagai seorang bekas–komunis yang sekarang bukan saja anti-komunisme, tetapi juga anti-sosialisme, dan juga anti-marxisme dalam umumnya.

Bung Karno menulis:
Untuk adilnya kita punya hukuman terhadap pada ‘prakteknya’ faham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa ‘failliet’ dan ‘kalang-kabut’nya negeri Russia itu adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan pada empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis dan jenderal-jenderal Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat-kabar di seluruh dunia.....

Bagaimanakah sikap kita, kaum nasionalis, terhadap pada sosialisme atau komunisme itu dalam umumnya? Sosialisme, sosial-demokrasi, komunisme adalah suatu reaksi, suatu faham perlawanan terhadap pada kapitalisme, suatu faham-perlawanan yang dilahirkan oleh kapitalisme itu juga. Ia adalah anaknya kapitalisme, tetapi ia adalah pula suatu kekuatan yang mencoba menghancurkan kapitalisme itu juga. Ia tidak bisa berada dalam suatu negeri, dimana kapitalisme belum berdiri, dan ia tentu ada suatu negeri, jikalau negeri itu mempunyai aturan kemodalan, ia tentu ada suatu negeri, jikalau negeri itu susunan-pergaulan hidupnya ada kapitalistis ...Dan begitulah, maka walaupun sosialisme itu atau komunisme itu diperangi sehaibat-haibatnya atau ditindas sekeras-kerasnya, walaupun pengikut-pengikutnya dibui, dibuang, digantung, didrel atau dibagaimanakan juga; walaupun oleh penindasan yang keras dan pemerangan yang haibat ia kadang-kadang seolah-olah bisa binasa dan tersapu sama sekali, maka tiada henti-hentinya ia muncul lagi dinegeri yang kapitalistis, tiada henti-hentinyalah ia membikin gemparnya kaum yang dimusuhinya, menyatakan diri didalam riwayat dunia, sebagai ditahun 1848, ditahun 1871, ditahun 1905 dan ditahun 1917, -- tiada henti-hentinya ia memperingatkan juru-riwayat yang menulis tambonya negeri-negeri Perancis, Jerman, Inggeris, Rusia, Amerika... Dan di Indonesia? Dinegeri tumpah-darah kita? Indonesia-pun tak akan hindar dari pada jurusan-jurusan atau tendenz-tendenz yang dilalui oleh negeri-negeri lain. Indonesia pun tak akan hindar dari pada sociaal–economische praedestinatie , yang juga sudah menjadi nasibnya negeri-negeri Asia yang lain, tak akan bisa hindar dari pada keharusan-keharusan yang sudah pula menetapkan jalan-jalannya susunan pergaulan hidup negeri-negeri lain, yakni keharusan-keharusannya hukum evolusi , artinya: Indonesia juga akan menaiki semua tingkat-tingkat susunan pergaulan hidup yang sudah dinaiki oleh negeri-negeri itu, -- Indonesia juga akan meninggalkan tingkat susunan-pergaulan hidup yang sekarang ini, dan akan naik keatas tingkat susunan pergaulan-hidup yang kemudian, masuk kealam zaman kepabrikan, masuk kedalam zaman kapitalisme yang sebenar-benarnya, sebagaimana yang sekarang memang sudah kentara adanya, Indonesia oleh karena itu juga tak luput mengenali ‘pengikutnya’ kapitalisme itu, suatu pergerakan yang berazaskan sosialisme atau komunisme, sebagaimana yang memang sudah kita alamkan permulaannya pula.[8]

Pada kesempatan ulang tahun ke-50 wafatnya Karl Marx, Bung Karno menyatakan pujian yang tinggi pada Marx. Soekarno menulis sebagai berikut:
Dari muda sampai wafatnya, manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberikan penerangan pada simiskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan capainya ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk diatas kursinya, dimuka meja-tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883, -- limapuluh tahun yang lalu --, melepaskan nafasnya yang penghabisan. .....Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita sosialisme itu dapat tercapai dengan cara pekerjaan-bersama antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya; Ferdinand Lassale, yang teriaknya ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali memakai kata kasih atau kata cinta, membeberkanlah faham pertentangan-kelas; faham klassenstrijd, faham perlawanan-zonder-damai sampai habis-habisan. Dan bukan itu sahaja! Ilmu dialektik materialisme, ilmu nilai-kerja, ilmu harga lebih, ilmu historis materialisme, ilmu statika dan dinamikanya kapitalisme, ilmu Verelendung, ---- semua itu adalah ‘jasanya’ Marx.

Bung Karno menulis:
Bahwa Kaum melarat-kepandaian yang berkeluh kesah itu dengan gampang segera mengertinya.... Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya dialektika: bahwa perlawanan kelas adalah suatu keharusan riwayat, dan bahwa oleh karenanya, kapitalisme adalah ‘menggali liang kuburnya’. Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu dengan gampang sahaja masuk didalam keyakinan kaum yang merasakan stelsel yang ‘diteorikan’ itu, yakni didalam keyakinannya kaum yang perutnya senantiasa keroncongan. Sebagai tebaran benih yang ditebarkan oleh angin kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropah itu sebagian telah diterbangkan pula oleh tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, jatuh dikanan kirinya sungai Sindu dan Gangga dan Yang Tse dan Hoang Ho, dan dikepulauan yang bernama kepulauan Indonesia. Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu iktikad baru, satu senjata-perjuangan yang baru, satu sikap-hidup yang baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup dikalangan rakyat Marhaen Indonesia.[9].

Bung Karno memahami ajaran Marx mengenai kepeloporan klas buruh dalam revolusi. Sesudah Konferensi Partindo di Mataram tahun 1933 mengambil 9 butir kesimpulan mengenai Marhaen dan Proletar, Bung Karno menjelaskan hubungan Marhaenisme dengan pandangan Marx tentang kepeloporan klas buruh dalam revolusi sosial sebagai berikut:
Kaum proletar sebagai kelas adalah hasil-langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan paberik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan segala kemoderenannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati-hidupnya kapitalisme didalam mereka punya tangan, lebih direct mempunyai gevechtswaarde anti-kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang didalam perjoangan anti-kapitalisme dan imperialisme itu berjalan dimuka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi ‘voorlooper’ – jika mereka yang menjadi ‘plopor’. Memang ! Sejak adanya soal ‘Agrarfrage’ alias ‘soal kaum tani’, sejak adanya soal ikutnya sitani didalam perjoangan melawan stelsel kapitalisme yang juga tak sedikit menyengsarakan sitani itu, maka Marx sudah berkata bahwa didalam perjoangan tani & buruh ini, kaum buruhlah yang harus menjadi ‘revolutionaire voorhoede’ alias ‘barisan-muka yang revolusioner’, kaum tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan kaum buruh, dihela dalam perjoangan anti-kapitalisme agar jangan nanti menjadi begundalnya kaum kapitalisme itu – tetapi didalam perjoangan bersama ini kaum buruhlah ‘menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial’. Sebab, memang merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu ’sociale noodwendigheid’, dan memang kemenangan ideologi merekalah yang nanti ada suatu ‘historische noodwendigheid’, suatu keharusan riwayat, suatu kemustian didalam riwayat.[10].

Mengenai sikap suatu klas terhadap kekuasaannya, Bung Karno bepegang pada ajaran Marx yang menyatakan:
Tak pernahlah suatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan ridlanya kemauan sendiri, --- 'nooit heeft een klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan’, begitulah Karl Marx berkata. ---- Selama Rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht yang maha sentausa, selama Rakyat itu masih sahaja tercerai berai dengan tiada kerukunan satu sama lain, selama Rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu k e k u asaan yang teratur dan tersusun, -- selama itu maka kaum imperialisme yang mencahari untung sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya. Sebab, tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia adalah merugikan kepada imperialisme, tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imperialisme tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia adalah buahnya desakan yang Rakyat itu jalankan, -- tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia itu adalah suatu afgedwongen concessie.[11].

Mengenai dirinya sendiri Bung Karno menulis:
Ada orang yang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri. Golongan yang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis, dia .... sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia ‘gila’ kepada Marxisme itu! Kini saya menjadi pembantu tetap dari ‘Pemandangan’, dan oleh karena artikel-artikel saya nanti tentu akan membawa corak jiwa Sukarno, maka baiklah saya tuturkan kepada Tuan, betapakah ... Sukarno itu. Apakah Sukarno itu ? Nasionaliskah ? Islam-kah ? Marxis-kah ? Pembaca-pembaca, Sukarno adalah ...campuran dari semua isme itu![12]

Selanjutnya Bung Karno menulis,
Dr Tjiptomangunkusumo dua bulan yang lalu telah menulis didalam surat-khabar ‘Hong Po’, bahwa Marxisme adalah ‘membakar Sukarno punya jiwa‘ Saya mengucap terima kasih atas kehormatan yang Dr Tjiptomangunkusumo limpahkan atas diriku itu. Memang ! sejak saya sebagai ‘anak plonco’ buat pertama kali belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulutnya seorang guru H.B.S. yang berhaluan sosial-demokrat (C.Hartogh namanya), sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja didalam actieve politiek, sampai sekarang, maka teori Marxisme begitu adalah satu-satunya teori yang saya anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan. Marxisme itulah yang membuat saya punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia yang lain, dan Marxisme itulah yang membuat saya dari dulu mula benci kepada fasisme.....Dulu saya cinta kepada Marxisme; kini menjadilah ia sebagian dari sayapunya kepuasan jiwa. Tetapi bagaimanakah akurnya Marxisme itu dengan Islam yang juga mengisi sayapunya jiwa? Tidakkah orang berkata, bahwa agama dan Marxisme itu seteru-bebuyutan satu sama lain, mengingkari satu sama lain dan membantah satu sama lain? Buat orang lain, barangkali begitu! Tetap buat saya, maka Marxisme dan Islam dapatlah berjabatan tangan satu sama lain didalam satu sintese yang lebih tinggi. Buat saya Islam satu agama yang rasionil , satu agama yang bersandar kepada kemerdekaan akal , yang berbeda setinggi langit dengan agama-agama yang lain. .... Saya punya faham tentang Islam itu adalah satu faham yang merdeka, -- begitu merdeka, sehingga sering tabrakan dengan fahamnya orang-orang Islam yang lain !! (Cetak tebal dari penulis).[13]

Apakah Marxisme itu? Orang mengatakan Marxisme adalah seolah-olah ‘satu agama sendiri’, orang mengatakan dia satu star systeem pula, orang malah mengatakan dia semacam satu hocus-pocus yang dikira bisa dipakai buat menyelami semua dalam-dalamnya rokh dan jiwa, -- pada hal dia hanyalah satu metode sahaja untuk memecahkan soal-soal ekonomi, sejarah, politik, dan kemasyarakatan, atau ilmu–perjoangan didalam hal ekonomi, politik, kemasyarakatan. Suatu metode berfikir dan sesuatu ilmu – perjoangan tidak musti harus bertentangan dengan sesuatu agama, apalagi kalau agama itu adalah agama rasionil seperti yang saya visikan itu.[14]

Bung Karno sangat memperhatikan perkembangan peristiwa di Uni Sovyet, termasuk perbedaan dan pertikaian antara Stalin dan Trotski. Bung Karno menulis:
Apakah fatsal pertikaian ini? Marilah saya terangkan kepada Tuan garis-garis-besarnya seperti pertikaian Stalin-Trotzky seluruhnya lebih dulu. ....Stalin beranggapan bahwa dapat dan mungkin didirikan sosialisme didalam satu negeri sahaja (yakni di Rusia saja), tetapi Trotzky menamakan anggapannya Stalin itu anggapan orang gila: Sosialisme tak dapat didirikan tegak, tak mungkin, tak bisa, manakala internationaal kapitalisme tidak diruntuhkan lebih dulu sama sekali. ..... Sebab internationaal kapitalisme itu adalah berhubungan satu dengan yang lain, ‘organisch verbonden’ satu dengan yang lain. ...Bukankah gila pula mau mendirikan sosialisme di satu negeri pertanian seperti Rusia, dimana kaum buruhnya kalau tidak mendapat bantuan kaum buruh negeri luaran, mungkin bisa dikalahkan oleh kaum-kaum tani yang masih kolot dan besar jumlahnya itu ? Tidak ! kata Trotzky revolusi yang telah menyala di negeri Rusia itu tidak boleh berhenti dimuka pagar-pagarnya negeri-negeri yang mengelilinginya, revolusi itu harus menjalar terus menjadi satu internationale wereldrevolutie, dan dinegeri Rusia serta masing-masing negeri lain itu, revolusi ini tidak boleh bersifat satu kejadian yang ‘sekali jadi, sudah’ , tetapi haruslah bersifat satu revolusi terus menerus yang mengerjakan semua etappe–etappenya, dari a sampai z. Maka faham internationale wereldrevolutie yang melalui semua etappe-etappenya terus menerus dari a sampai z ini oleh Trotzky dinamakanlah faham ‘permanente revolutie’.

Stalin pada hakekatnya tidak anti perjoangan melawan kapitalisme internationaal itu. Ia pada hakekatnya tidak anti wereldrevolutie, ia pro aksi kaum proletar di mana-mana. Dapatkah orang menunjukkan seorang komunis yang anti wereldrevolutie itu ? Tetapi Stalin katanya tidak mau melupakan satu kenyataan yang sudah ada -- satu realiteit. Apakah realiteit ini ? Realiteit ini ialah, kata Stalin,.bahwa pada dewasa ini perlu dijaga keselamatan ‘benteng Rusia’. Pada dewasa ini kaum proletar seluruh dunia hanyalah mempunyai satu benteng sahaja, satu citadel, ‘satu pusat-kekuasaan’, yakni Sovyet Rusia. Perkuatlah pusat-kekuasaan ini, jagalah keselamatannya. Perkuatlah negara Sovyet Rusia, haibatkanlah ia punya industrialisasi, haibatkanlah ia punya tenaga militer, haibatkanlah ia punya barisan dalam, haibatkanlah ia punya barisan luar. Seluruh dunia kapitalisme dari Barat dan Timur, dari dekat dan dari jauh, mau menjatuhkan satu-satunya citadel kaum proletar ini, -- jagalah jangan ia jatuh. Haibatkanlah negara Soyet Rusia ini menjadi satu negara yang kerasnya seperti baja, supaya tiap-tiap musuh yang menyerangnya akan hancur menjadi debu dimuka pintu-pintu-gerbangnya dan dimuka meriam-meriamnya ...Nah, kata Stalin, satu negeri yang demikian luasnya, satu benua, yang penduduknya ratusan milyun, yang tradisi pergerakan kaum buruh telah langsung berpuluh-puluh tahun, dapatlah mendirikan sosialisme didalam pagarnya sendiri! ... Asal sahaja negara Rusia itu tidak dirusakkan orang dari luar , asal saja dia mampu menangkis tiap-tiap serangan musuh dari luar, maka pekerjaan mendirikan sosialisme itu bisa langsung dan berhasil.” ...... “Kini, kini datanglah ujiannya sejarah. Pelor-pelornya Hitler dan dinamit-dinamitnya Hitler menghantam kepada tembok-temboknya benteng Russia itu. Bumi bergoncang, udara laksana akan terbelah, karena haibatnya hantaman ini. Kini malaekatnya sejarah mengkilatkan pedangnya dan menggunturkan suaranya. Kini Stalin dibawa oleh malaekat sejarah itu kehadapan Mahkamatnya, diuji kebenarannya ia punya ‘teori benteng’. Akan kuatkah benteng Stalin menahan serangan musuh?... Stalin kini berdiri dimuka Mahkamat itu. Dengan tandas ia akan mengulangi apa yang berkali-kali ia telah katakan: Ini , serangan dari luar inilah , yang ia khawatirkan dan jagakan dari dulu![15]. Stalin benar atau Stalin salah, Trotzky benar atau Trotzky salah, -- pada saat ini soal itu menjadikanlah satu soal akademis, yang terdorong ke belakang oleh soal mati-hidup yang baru timbul, yakni soal: akan mampukan Stalin menghantam Hitler ini terjungkel patah sehingga tidak bisa berdiri lagi?[16] Tulisan Bung Karno ini dimuat dalam Pemandangan pada tahun 1941, pada saat berkecamuknya serangan militer Nazi Jerman terhadap Uni Sovyet.. Sejarah menunjukkan, bekerjasama dengan pasukan Sekutu dalam Perang Dunia kedua, Tentara Merah Uni Sovyet dibawah pimpinan Stalin berhasil memukul mundur serangan Hitler, sampai Nazi bertekuk lutut.

Sebagai penganut Marxisme, Bung Karno tegas sejak semula sudah bercita-cita membangun sosialisme di Indonesia. Tapi, Bung Karno menyatakan:
Sekarang memang belum tiba saatnya buat kita untuk mengadakan sosialisme, -- belum tiba kemungkinanya buat kita untuk mengadakan sosialisme --, sekarang Revolusi kita masih Revolusi Nasional, tetapi itu tidak berarti bahwa Negara Nasional yang hendak kita dirikan dus satu negara yang burgerlijk. .... Negara Nasional Indonesia yang hendak kita dirikan itupun tidak bersifat burgerlijk dan juga belum bersifat sosialis, melainkan bolehlah diibaratkan satu ‘fase-peralihan’ antara fase burgerlijk dan fase sosialis ... Negara kita adalah satu ‘negara peralihan’ , satu negara yang dengan sedar memperjuangkan peralihan, -- satu negara yang revolusioner. Untuk itu Bung Karno sadar bahwa musuh yang dihadapi adalah imperialisme internasional.

Selanjutnya Bung Karno menyatakan:
Perjoangan kita adalah satu bagian dari perjoangan besar di seluruh dunia menentang imperialisme; saru perjoangan yang hasil-akibatnya ialah melemahkan imperialisme; satu perjoangan yang revulusioner. Perjoangan-kemerdekaan sesuatu rakyat-jajahan atau setengah-jajahan janganlah ditinjau dalam ‘keadaannya sendiri’, tetapi haruslah ditinjau dalam hubungan-sedunia. Jangan ditinjau terlepas dari hubungan itu, tetapi harus ditinjau dalam hubungan itu: Harus ditinjau di atas gelanggang perjoangan anti-imperialisme sedunia... Perjoangan kemerdekaan rakyat-jajahan atau setengah-jajahan melemahkan imperialisme-internasional, lemahnya imperialisme-internasional melemahkan kapitalisme-internasional; tiap-tiap perjoangan-kemerdekaan rakyat-jajahan atau setengah jajahan adalah dus revolusioner dan pantas dibantu, wajib dibantu oleh semua tenaga anti-kapitalis di seluruh dunia. Golongan-golongan yang membenarkan dan membantu perjoangan-kemerdekaan rakyat-rakyat jajahan atau setengah jajahan, mereka adalah pula golongan-golongan yang revolusioner. Sebaliknya, golongan-golongan apapun, yang tidak membantu, tidak membenarkan perjoangan-kemerdekaan sesuatu bangsa jajahan atau setengah-jajahan, -- meski dengan memakai alasan-alasan demokrasi formil, meski ia menamakan diri ‘progresif’, atau ‘demokrat’, atau ‘sosialis --, ia adalah reaksioner. Ia hakekatnya mempertahankan imperialisme, ia dus mempertahankan kapitalisme. Ia terang reaksioner, dan kalau ia ‘sosialis’, maka ia ‘sosialis’ yang terang-terang mendurhakai sosialisme! ..... – ya, dinegeri Belanda sendiripun ada golongan-golongan sosialis (bukan dari Partij van den Arbeid !) yang membela kita. Apa sebab golongan-golongan ini membela kita ? Mereka yakin akan kebenaran ajaran Marx yang berbunyi: ‘ Een volk dat een ander volk onderdrukt, kan niet vrij zijn ‘. -- Satu rakyat yang menindas rakyat lain, tak mungkin merdek.[17]

Mengenai masalah membangun sosialisme, Bung Karno menulis:
Karl Marx sendiri didalam salah satu tulisannya menyatakan dengan tegas, bahwa runtuhnya kapitalisme itu tidak automatis berarti berdirinya sosialisme. Sosialisme hanyakah berdiri jikalau didirikan. Ji kalau tidak ada tenaga-tenaga yang mendirikan sosialisme itu, maka runtuhnya kapitalisme yang tidak boleh tidak pasti akan terjadi itu, (historisch noodwendig), niscayalah akan diikuti oleh khaos yang tiada hingganya dan tiada taranya berpuluh-puluh tahun ! Memang banyak orang yang mengira bahwa perkataan ‘keharusan sosial-historis’ mengandung arti, bahwa (pada suatu tingkatan evolusi) kapitalisme pasti dengan sendirinya diganti oleh sosialisme. Pada hal sebagai dinyatakan oleh Marx tadi tidak demikian ! Kapitalisme (pada suatu tingkatan evolusi) pasti diganti oleh sosialisme, bilamana rakyat-jelata bertindak untuk menggantinya dengan sosialisme. Yang ‘pasti’ itu hanyalah adanya anasir-anasir objektif pada suatu tingkatan evolusi: anasir-anasir objektif guna runtuhnya kapitalisme, anasir-anasir objektif guna berdirinya sosialisme.[18]

Bung Karno memahami adanya dua tingkat revolusi, yaitu revolusi nasional dan revolusi sosialis. Disamping itu, juga memahami bahwa sosialisme adalah teori, adalah ilmu. Bung Karno sangat menilai tinggi arti penting ‘teori sosialisme’. Dia menuls:
Saya bercita-cita sosialis, maka saya menulis buku ini. Justru oleh karena saya mengidam-idamkan masyarakat sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana caranya kita dapat sampai dimasyarakat sosialis itu. Justru oleh karena kita ingin menuju kepada masyarakat sosialis, maka kita harus dari sekarang berfikir dan bertindak dengan tuntutan teori sosialis itu. Sosialisme bukan saja satu sistim masyarakat, sosialisme adalah pula satu teori, satu ilmu, satu tuntunan-perjoangan, satu cara-berfikir, satu denkmethode. Teori sosialisme lah yang membawa kita kepada pengertian tentang keadaan-keadaan objektif didalam masyarakat Indonesia sekarang dan masyarakat-dunia Teori sosialisme lah yang memberi pengetahuan kepada kita bahwa tingkatan Revolusi kita sekarang tak mungkin lain daripada tingkatan Nasional. Teori sosialisme lah dan bukan teori burjuis, yang menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme .... Itulah ‘jasa’ teori sosialisme kepada kita. Apa sebab kita sekarang nasionalis? Justru karena sosialisme itulah, maka kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita terangkat naik ketingkatan yang bernama sosio-nasionalisme. Justru karena sosialisme itulah, maka kita menjalankan perjoangan kita itu secara yang sekarang ini; memusatkan, membulatkan, mengkonsentrasikan segenap tenaga rakyat kepada perjoangan Nasional, menghantamkan segenap tenaga-perjoangan daripada segenap rakyat itu kepada benteng kolonialisme asing untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan -- mempraktekkan satu Persatuan Nasional-Revolusioner untuk mendirikan satu Negara Nasional, yang didalamnya bukan saja berkembang sesegar-segarnya satu Demokrasi yang Sosio-Demokrasi, tetapi pula terbangun syarat-syarat-tehnis minimum untuk nanti menelorkan satu pergaulan-hidup yang sosialis. Semua itu berkat ‘jasa’ teori sosialisme, sesuai dengan kebenaran bahwa ‘tiada gerakan revolusioner dengan tiada teori revolusioner.[19] Oleh karena itu, janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, -- meski sosialisme yang ‘okjektif’ sekalipun! – tetapi kita harus memfahami teori sosialisme, memfahami cara berfikir sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu sosialisme, agar supaya tahu caranya berjoang mencapai sosialisme! (Cetak tebal, penulis).[20]

Dalam perjuangan membangun sosialisme itu, Bung Karno mengakui bahwa Indonesia terlambat dalam perkembangan ideologi dan Konsepsi Nasional. Beliau menganalisis bahwa sebab musabab keterlambatan itu adalah:
Di dalam negeri disebabkan oleh dualisme dan kompromisme, di luar negeri disebabkan oleh apa? Beberapa tahun sesudah proklamasi Kemerdekaan kita, maka terjadilah diluar negeri—kemudian juga meniup diangkasa kita—apa yang dinamakan ‘perang dingin’. Perang dingin ini sangat memuncak pada kira-kira tahun 1950, malah hampir-hampir saja memanas menjadi perang panas. Ia amat menghambat pertumbuhan-pertumbuhan kekuatan progressif diberbagai negara. Tadinya, segera sesudah selesainya Perang Dunia yang ke-II, aliran-aliran progressif dimana-mana mulailah berjalan pesat. Tetapi pada kira-kira tahun 1950, sebagai salah satu penjelmaan daripada perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran progressif mudah sekali dicap ‘Komunis’. Anti kolonialisme – Komunis. Anti exploitation d l’homme par l’homme – Komunis. Anti feodalisme – Komunis. Anti kompromis – Komunis. Konseken revolusioner – Komunis. Ini banyak sekali mempengaruhi orang-orang, terutama sekali fikirannya orang-orang yang memang jiwanya kintel. Dan inipun terus dipergunakan (diambil manfaatnya) oleh orang-orang Indonesia yang memang jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis, blandis, dan lain-lain sebagainya. Dus: Orang-orang yang jiwanya negatif menjadilah menderita penyakit ‘takut kalau-kalau disebut kiri’, ‘takut kalau-kalau disebut Komunis’. Kiri-phobi dan komunisto-phobi membuat mereka menjadi konservatif dan reaksioner dalam soal-soal politik dan soal-soal pembangunan sosial-ekonomis..[21]

Bung Karno yang tak henti-hentinya menggalakkan penggalangan persatuan nasional, mengobarkan semangat Gotong Royong. Bung Karno menyatakan:
Telah masyhur dimana-mana, sampai diluar negeri sekalipun, bahwa jiwa Gotong Royong adalah salah satu corak dari pada Kepribadian Indonesia. Tidak ada satu negeri dikolong langit ini yang disitu Gotong Royong adalah satu kenyatan hidup didesa-desa, satu living reality, seperti di Indonesia ini. Tidak ada satu bangsa yang didalam hidup-keigamaannya begitu toleran seperti bangsa Indonesia ini. Tetapi juga tidak ada satu bangsa yang didalam kehidupan politiknya kadang-kadang mendurhakai prinsip Gotong Royong itu, seperti bangsa Indonesia!” ... di lapangan perjoangan bangsa kita harus menggembleng dan menggempurkan persatuan daripada segala kekuatan-kekuatan revolusioner, -- menggembleng dan menggempurkan ‘de samenbundeling van alle revolutionnaire krachten in de natie’. ....Gotong Royong adalah juga satu keharusan dalam perjoangan melawan imperialisme dan kapitalisme, baik dizaman dulu maupun dizaman sekarang. Tanpa mempraktekkan samenbundeling van alle revolutionnaire krachten untuk digempurkan kepada imperialisme dan kapitalisme itu, janganlah ada harapan perjoangan bisa menang! Dan kita toh ingin menang? Dan kita toh harus menang ? Karena itu maka saya selalu menganjurkan Gotong Royong juga dilapangan politik. Karena itu Manifesto Politik-USDEK bersemangat ke Gotong Royongan – bulat dilapangan politik. Karena itu di Solo beberapa pekan yang lalu saya tegaskan perlunya persatuan dan ke Gotong Royongan antara golongan Islam, Nasional dan Komunis. Ini adalah konsekwensi-politik yang terpenting bagi semua pendukung Manifesto Politik dan USDEK, satu konsekwensi-politik yang tidak plintat-plintut atau plungkar-plungker bagi semua orang yang setia kepada Revolusi Agustus 1945.[22]

Selanjutnya Bung Karno menegaskan:
Bukalah tulisan-tulisan saya dari zaman penjajahan. Bacalah tulisan saya panjang-lebar dalam majalah ‘Suluh Indonesia Muda’ tahun 1926, tahun gawat-gawatnya perjoangan menentang Belanda. Didalam tulisan itupun saya telah menganjurkan, dan membuktikan dapatnya, persatuan antara Islam, Nasionalisme, dan Marxisme. Saya membuka topi kepada Saudara Kiyai Haji Muslich, tokoh alim-ulama Islam yang terkemuka, yang menyatakan beberapa pekan yang lalu persetujuannya kepada persatuan Islam-Nasional-Komunis itu, oleh karena persatuan itu memang perlu, memang mungkin, memang dapat.[23] Persatuan tiga aliran itulah yang dinamakan Nasakom. Menghadapi kekuatan yang menentang gagasan Nasakom, Bung Karno menyatakan: sebetulnya, yang menjadi sumber anti-Nasakom itu ialah .... Komunisto-phobi, takut momok komunis! Sumber-sebab yang sebenarnya itu disembunyikan dibelakang macam-macam omongan tetapi sumbernya yang sebenarnya ialah .... takut momok komunis.[24]

Dengan menjadikan Manipol/USDEK sebagai Konsep Sosialisme Indonesia, mengenai pembangunan sosialisme Indonesia, Bung Karno menyatakan: Saya ulangi lagi: resapkanlah sosialisme Indonesia sampai kemana-mana. Camkanlah, bahwa tulang-punggung, darah daging sosialisme Indonesia ialah pelaksanaan didaerah. Disanalah harus bertumbuh percobaan sosialisme Indonesia, disanalah harus berkembang pengalaman sosialisme Indonesia. Disanalah kita akan melihat secara pragmatis prakteknya pelaksanaan sosialisme Indonesia, dan dari cara pemimpin didaerah-daerah, didesa-desa, diploksok-ploksok diminta segala kemampuan (vindingsrijkheid) untuk menemukan cara-cara yang baik dalam pelaksanaan Manipol/USDEK. Karena itu maka tiap kegiatan kita harus kita dasarkan atas Konsep Sosial kita yang jelas, yaitu Konsep Manipol/USDEK, Konsep Sosialisme Indonesia.[25]

Mengenai hubungan antara Angkatan Bersenjata dan Konsepsi Nasional Manipol/USDEK, Bung Karno menyatakan:
Mereka adalah alat Revolusi, mereka adalah Angkatan Bersenjataya Revolusi. Mereka harus mengabdi kepada Rakyat, mendahulukan kepentingan Rakyat daripada kepentingan lain-lain. Mereka tak boleh melukai perasaan dan hati Rakyat, mereka harus menjadi Angkatan Bersenjata yang disukai dan dicintai Rakyat. Sebagai dimuka sudah saya katakan, Rakyat sudah menerima Manipol sebagai pimpinan politiknya, maka Angkatan Bersenjatapun harus menerima Manipol juga, dan menerimanya dengan sepenuh-penuh hati. Rakyat sudah dipimpin oleh Manipol, maka Angkatan Bersenjatapun harus dipimpin oleh Manipol. Sekali lagi saya ulangi disini: bukan Angkatan Bersenjata atau bedil yang memimpin Manipol, tetapi Manipol yang memimpin Angkatan Bersenjata dan bedil!.... Ingat sekali lagi, kita semua dipimpin oleh Manipol, kita semua harus menuju kepada sosialisme ! Tentang pengertian sosialisme dan pelaksanaan sosialisme tak boleh ada antagonisme dan Konradiksi dikalangan pemimpin-pemimpin kita, baik pemimpin preman maupun pemimpin militer.[26].

Berkali-kali Bung Karno menyerukan penyatuan semua kekuatan revolusioner untuk kemenangan revolusi. Bung Karno menyatakan:
’Alle revolutionnaire krachten’ – ‘semua, sekali lagi semua, tenaga revolusioner didalam Bangsa’! Dus: segala penggolongan termasuk swasta (asal revolusioneer) dalam masyarakat kita persatukan. Dus: ‘Nasakom’. Sebab Nasakom adalah kenyataan-kenyataan-hidup yang tak dapat dibantah, living realities – didalam masyarakat Indonesia kita ini. Mau tidak mau, senang atau tidak senang, kita harus menerima kenyataan-kenyataan itu .... Janganlah kita masuk terjerumus dalam peang dingin. Jangan kita ikut-ikut perang-dingin itu ! Hal ini sudah saya peringatkan dalam salah satu pidato 17 Agustus yang terdahulu Kenapa masih saja ada golongan Rakyat Indonesia yang sadar atau tidak sadar masuk terjerumus dalam perang-dingin orang lain?[27

Mengenai hubungan antara Panca Sila dan Nasakom Bung Karno menyatakan:
Siapa yang setuju kepada Panca Sila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Panca Sila ! Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar ’45 harus setuju kepada Nasakom; siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setujui kepada Undang-Undang Dasar ’45![28]

Tentang Marhaenisme Bung Karno menulis:
Saya sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Marxisme. Malahan ajarannya Karl Marx tentang historis-materialisme saya gemari dan saya setujui sepenuhnya dan saya gunakan, ya ..... saya ‘toepassen’, saya ‘trap’kan kepada situasi masyarakat Indonesia. Dan sebagai hasil daripada penggunaan, atau ‘toepassing’ atau pentrapan historis-materialisme Karl Marx dimasyarakat Indonesia dengan ia punya kondisi sendiri dengan ia punya situasi sendiri, dengan ia punya sejarah sendiri, dengan ia punya kebudayaan sendiri dan sebagainya lagi itu, maka saya datang kepada ajaran Marhaenisme. Maka dari itu saya selalu menganjur-anjurkan kepada seluruh Front Marhaenis, bahwa untuk dapat memahami Marhaenisme ajaran saya itu, kita minimal, paling sedikit harus menguasai dua pengetahuan: pertama: pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan kedua pengetahuan tentang Marxisme. Siapa yang secara minimal tidak menguasai dua hal, tak akan dapat memahami Marhaenisme ajaran saya, apalagi meyakini kebenaran Marhaenisme ajaran saya.[29].

Menjawab berbagai pertanyaan tentang penggunaan kata ‘Nasakom’, Bung Karno berkata:
Kenapa ‘Kom’? Kenapa kok tidak seperti tahun duapuluh enam waktu Bung Karno buat pertama kali mencetuskan ide persatuan dari pada tenaga-tenaga revolusioner ini? Nasionalis, Islam, Marxisme atau Nasionalis, Agama, Marxis, kenapa Bung Karno tidak memakai perkataan Nasamarx? Kok pakai perkataan Nasakom? Kenapa ‘Kom’? Kenapa tidak ‘Sos’? Kenapa tidak ‘Marx’? Nasamarx atau Nasasos? Kok Bung Karno memakai perkataan Nasakom? Jelaslah di sini saudara-saudara, dengarkan, perkataan yang paling dicatut, dicatut oleh pencoleng-pencoleng politik, oleh coro-coro politik, perkataan yang paling dicatut pencoleng-pencoleng dan coro-coro ini yalah perkataan Marxisme saudara-saudara. Saudara-saudara mengetahui bahwa misalnya PSI, Partai Soslalis Indonesia yang sudah saya bubarkan itu, PSI itu selalu menepuk-nepuk dada: Kami Marxis, kami Marxis, Kami Marxis!~ Saya berkata mereka bukan Marxis! Mereka adalah pencoleng dari pada Marxisme. Karena itu aku tidak mau memakai perkataan Nasamarx. Kalau aku memakai perkataan Nasamarx, jangan-jangan nanti orang-orang PSI juga ikut-ikut di dalam Nasamarx itu saudara-saudara. Padahal mereka adalah kontra-revolusioner, padahal mereka adalah revisionis tulen, pada hal mereka adalah pencoleng Marxisme![30]

Bung Karno memeras Pancasila menjadi Trisila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi.. Kebangsaan disatukan dengan Peri-kemanusiaan menjadi Sosio-nasionalisme, dan Kedaulatan Rakyat disatukan dengan Keadilan Sosial menjadi Sosio-demokrasi. Trisila bisa diperas menjadi Ekasila, eka artinya satu, Ekasila artinya Gotong Royong. Kemudian, Bung Karno berkata:
Nah, Saudara-saudara, belakangan, belakangan aku juga berkata bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, tetapi bisa diperas pula secara lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan dari Pancasila, dan Nasakom adalah sebenarnya juga gotong-royong, adalah de totale perasan dari pada Pancasila. Jikalau Nasakom adalah perasan dari Pancasila, maka perasan Nasakom adalah gotong royong pula.[31].

Catatan:
[1] Ir. Sukarno: NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid pertama, hal. 3, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959.
[2] Ibid, hal, 5
[3] Ibid, hal. 10.
[4] Ibid, hal. 15-16.
[5] Ibid, hal. 20.
[6] Ibid, hal 19.
[7] Ibid, hal 21
[8] Bung Karno: BERHUBUNG DENGAN TULISANNYA Ir. A.BAARS, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 57-61, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[9] Bung Karno: MEMPERINGATI 50 TAHUN WAFATNYA KARL MARX, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI jilid I, hal, 219-221
[10] Bung Karno: MARHAEN DAN PROLETAR, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 255, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[11] Bung Karno: MENCAPAI INDONESIA MERDEKA, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI , hal. 297-298, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959.
[12] Bung Karno: MENJADI PEMBANTU ‘PEMANDANGAN’ – Sukarno Oleh .... Sukarno Sendiri --, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, hal. 508, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[13] Ibid, hal. 511-512.
[14] Ibid, hal 512.
[15] Bung Karno: SATU UJIAN SEJARAH, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI JILID I, hal. 523-525, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[16] Ibid, hal. 530.
[17] Bung Karno: SARINAH—Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, tjetakan ketiga, hal. 279-292, Panitya Penerbit buku-buku Karangan Presiden Sukarno, 1963.
[18] Ibid, hal. 294.
[19] Ibid, hal. 297-298.
[20] Ibid, hal 300.
[21] Bung Karno: LAKSANA MALAEKAT YANG MENYERBU DARI LANGIT, JALANNYA REVOLUSI KITA !, dalam Buku DIBAWAH BEDNDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 406, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1964.
[22] Ibid, hal. 413
[23] Ibid, hal. 414.
[24] Bung Karno: RE-SO-PIM, -- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 467, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[25] Bung Karno: RE-SO-PIM,-- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 459, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[26] Ibid, hal. 466
[27] Ibid, hal. 467.
[28] Ibid, hal.468
[29] Bung Karno: AMALKANLAH MARHAENISME !, Amanat kepada Front Marhaenis 4 Juli 1963, dalam brosur NYALAKAN TERUS API MARHAENISME!, Seri I, hal 40, Departemen Penerangan – Propaganda DPP Partai Nasional Indonesia.
[30] Bung Karno: SUBUR, SUBUR, SUBURLAH PKI, Pidato Presiden Sukarno pada rapat raksasa Ulangtahun ke-45 PKI, hal. 11-12, Jajasan PEMBARUAN , Djakarta, 1965.
[31] Bung Karno: PERTJAJALAH PADA BENARNYA NASAKOM !, Amanat-Indoktrinasi Presiden Sukarno Pada Pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, tanggal 1 Juni 1965, di Istora Bung Karno, Senajan, Djakarta, hal. 13, Departemen Penerangan R.I. 1965

Tidak ada komentar:

Posting Komentar